Terimakasih 2023
Aku yang telah sangat menyayangi seseorang, yang begitu bahagia di saat ia hadir dan membuka pintu rumahnya untukku ternyamankan dengan caranya, yang selalu tersenyum penuh suka cita di kala sambutan hangatnya memeluk hati, kini harus berjuang untuk tetap berdiri di atas kepingan bahagia yang tersisa, diiringi denting kerinduan tersebab sebuah kehilangan dirinya.
Aku, yang telah menemukan rumah singgah untuk melepas lelah dan mengisi ulang keceriaan, yang telah menemukan ruang untukku berdiam sesaat melukis senyuman, sekarang harus menerima kenyataan bahwa rumah singgahku telah terkunci dan tak lagi dapat menerima kehadiran ku. Tak akan ada lagi tawaku tercipta karenanya. Tak akan ada lagi sedihku tertumpah padanya. Dan aku, kembali kehilangannya.
Namun ternyata keyakinanku tak bertahan lama. Belum genap enampuluh hari, aku melihat dirimu yang tak lagi ku kenal. Langkah kita mulai tak seiring sejalan. Aku mulai tak mengerti bagaimana bentuk sayang dan cinta yang sesungguhnya kau miliki untukku. Tangan kekarmu mulai tak jarang melukai ragaku dengan sengaja. Lebam biru yang membekas menjadi bukti dari hilangnya perlakuan manismu kepadaku. Di saat buah hati kita masih berjuang untuk tumbuh dalam rahimku, kamu belum juga berhenti untuk mencetak memar pada setiap sisi sariraku. Hingga akhirnya kita harus kehilangan buah hati yang bahkan ia pun belum ku lahirkan. Namun semua itu masih bisa ku maafkan.
Tidakkah kau ingat, Tuan? Ketika kau
menyebut namanya saja hatiku tergores. Lalu kemarin, dengan tanpa berdosa,
kamu dengan nyata menghadirkannya di hadapanku. Dengan wajah bahagia, kau
memperkenalkan ia kepada ku. Kau ini kenapa? Sedang menguji sedalam apa cintaku
padamu? Sedang mengejek kesetianku?? Atau apa?? Dari hari berganti minggu, aku menunggu dirimu yang dulu
kembali lagi. Namun sayangnya, yang kembali ke sisiku hanyalah jiwamu. Sedangkan
sebagian dari hatimu, masih terpaut padanya.
Bulan berganti tahun, ketika sikapmu menyatakan bahwa jiwa ragamu telah kau serahkan lagi seluruhnya untukku, aku menyambutmu dengan sangat hangat. Meski cintaku telah hancur, kepercayaanku telah tercerai berai, dan hatiku telah hilang rasa padamu. Mungkin kamu merasakan sedikit perubahan dari sikapku kali ini. Bukankah itu hal yang wajar? Ketika sebuah luka sengaja kau sayat pada hati yang utuh, walau telah kau obati sedemikian rupa, tentu bekasnya masih ada, bukan?
Terimakasih, ya. Kamu telah mencintaiku sejauh ini. Sudah ribuan hari ku melangkah mengarungi perjalanan hidup ini, dan kamu, masih bertahan membersamai. Padahal, diantara hari-hari yang telah kita lewati, bukan saja bahagia yang kupersembahkan untukmu. Namun juga ada luka yang dengan sengaja atau tidak telah begitu dalam kugoreskan dalam relung kalbumu.
Terimakasih, ya. Telah mencintaiku sampai hari ini. Meskipun kamu harus melalui berbagai macam badai yang menguji kekuatan cintamu, hingga akhirnya kamu bisa bertahan sampai detik ini. Kamu hebat! Kamu adalah seseorang yang paling luar biasa dalam hidupku.
Hai, Wan. Kamu apa kabar hari ini?
Aku ingin, kamu baik-baik saja, Wan. Walau aku tau hatimu pasti tidak bisa baik-baik saja. Apalagi, setelah aku memutuskan sepihak untuk mengakhiri segala hal tentang kita.
Wan, maaf harus aku katakan, aku tidak bisa kembali lagi bersamamu. Meski berulang kali kamu menyatakan mencintaiku. Berulang kali kamu mencoba mencari dan memintaku untuk tidak pernah pergi darimu. Maaf, aku tidak bisa, Wan.
Aku tau, perpisahan ini tentu menyakitkan untukmu. Tentu ini juga menyesakkan untukku. Namun, aku rasa ini yang terbaik untuk kita. Agar kamu tak semakin sakit, dan agar aku tak semakin dalam melukaimu.
Jika ada satu takdir Tuhan yang bisa kupinta untuk bisa diperbaiki, maka aku akan meminta untuk tidak ada bagian perjumpaan denganmu. Jika aku tahu dalam perjalanan dari pertemuan denganmu adalah mencintai, mungkin aku lebih memilih untuk menghindarimu. Aku tidak ingin kamu hadir hingga menjadi bagian dari ceritaku, dan kemudian aku melabuhkan rasa cinta ini padamu. Jika akhirnya harus seperti ini, aku sungguh tidak ingin bertemu dan mengenalmu!
Mungkin aku kalah, saat menjaga diri dan hati mu untuk tetap berada di sampingku. Karena itu bukanlah kuasaku. Sebab aku tak punya kekuatan untuk itu. Namun, menjaga dan menyimpan segala rahasiamu yang telah kau bagi padaku, adalah tugas dan janjiku seumur hidup. Akan kulakukan hal itu hingga detak terakhir. Dan aku yakin, tak akan kalah di bagian ini.
Biar hanya aku, dirimu, dan Tuhan yang tahu segala rahasia itu. Kamu tak perlu cemas, aku akan selalu menyimpan serapat mungkin semua rahasia itu. Jika kamu tak percaya, silahkan cari tahu. Adakah kau temukan satu saja rahasiamu tersebar ke orang lain?
Ketika waktu menggulirkan rasa, dan menghadirkan kembali percikan rindu yang begitu menyesakkan, aku pasti bertanya, "mengapa harus ada pertemuan denganmu? Mengapa pernah aku rela menghabiskan waktu bersamamu?" Padahal, saat itu ku tahu, kebahagiaan bersamamu adalah semu. Meski kamu mengatakan berulang kali; kamu tidak akan meninggalkan, dan tetap setia di dekatku. Namun pada akhirnya, perpisahan itu menjadi nyata juga.
Pernahkah kamu bertanya pada dirimu sendiri, bagaimana kalau aku hancur, terluka, dan patah saat tak lagi bersamamu? Bagaimana kalau hari-hariku selalu diselimuti senyuman palsu?
Jujur, sejauh itu aku memikirkan tentangmu. Sedalam itu aku mengkhawatirkanmu. Bahkan, ketika kamu tiba-tiba datang dalam bunga tidurku, aku tak mampu berhenti memikirkanmu berhari-hari lamanya. Kecemasanku tentang keadanmu semakin datang berkali lipat. Namun, di saat aku bisa melihatmu dari kejauhan, memastikan kamu baik-baik saja, saat itulah kecemasanku berkurang.
Herannya, saat aku melihatmu bahagia bersama yang lain, hatiku kembali remuk! Rindu yang selama ini kuabaikan, kembali menyapa dengan sangat memilukan. Ada sayatan luka yang kembali aku rasa. Meski aku tak tahu atas alasan apa luka ini tercipta. Bukankah harusnya aku ikut bahagia saat melihatmu masih bisa tersenyum bahkan tertawa? Walaupun bukan bersamaku. Bukankah harusnya aku tak lagi peduli padamu? Karena, aku dan kamu telah kembali menjadi orang asing bagimu, ya kan? Bukankah harusnya aku tak menyimpan rasa sayang juga cinta yang paripurna untukmu? Karena kamu telah bahagia bersama yang lain, kan?
Hei, kamu. Bisakah kemari sejenak? Ajariku bagaimana caranya aku melupakanmu. Atau ajari caramu melupakanku. Ajariku bagaimana aku harus melepaskanmu tanpa rasa sakit yang mengigit. Agar aku bisa melangkah menikmati sisa hidupku tanpa teriksa dengan bayang tentangmu. Agar aku tetap kuat tanpa peluk dan hadirmu lagi.
Kumohon, ajariku cara melupakanmu. Agar tak ada lagi pecahan kaca yang menancap dalam hati, saat kutahu kau telah sangat bahagia tanpa hadirku di hidupmu. Tolong, ajariku cara melupakanmu. Agar aku bisa menjemput bahagia dengan hati yang baru untuk melanjutkan kisah hidupku. Seperti dirimu yang kini begitu bahagia dengan pilihanmu. Sekali lagi, tolong ajariku cara melupakanmu.
Aku tidak benar-benar mengenalmu sebelum ini. Aku hanya tahu, kamu adalah seorang lelaki yang telah memiliki kekasih, dan ingin sekadar berteman denganku. Aku sambut salam pertemanan darimu. Namun aku membangun pembatas tinggi untukmu agar tak semakin mendekat.
Kedatanganmu dalam hidupku memberikan napas baru. Napas beraroma ketulusan cinta dan hangatnya kasih sayang. Menyadarkanku bahwa aku tak lagi membutuhkan kecantikan yang sempurna, ataupun harta yang menjadi hal utama untuk mencipta cinta. Ternyata aku hanya membutuhkan seseorang sepertimu ... yang mampu menggugah rasaku untuk merawat cinta yang telah tercipta. Kamu yang menempatkanku menjadi begitu istimewa di balik kesederhanaan yang ada. Mengubah cara pandangku sebelumnya tentang cinta; yang melukai, menakutkan, dan nestapa. Menjadi cinta yang apa adanya tanpa beban, tanpa ketakutan akan terluka. Kaulah yang mengajarkanku tentang cinta yang memberi, dengan ketulusan, tanpa bayang-bayang pertanyaan, "kenapa harus demikian?"
Hari ini, sudah lebih dari 50 tahun dirimu menatap dunia. Menghadapi suka dukanya kehidupan. Menelan manis pahitnya ujian yang Allah kirimkan. Melewati badai air mata juga derai tawa yang selalu menjadi siklus kehidupan. Dirimu ... wanita terhebat yang kumiliki.
Darimu ... aku diajarkan bagaimana mengenal Tuhanku. Bagaimana aku harus selalu dekat dengan Sang Pencipta. Darimu ... aku belajar tentang perjuangan, kesabaran, keikhlasan, juga kesetiaan. Ya! Dirimu adalah perempuan hebat yang telah kuat melewati bermacam terpaan badai yang menghantam hatimu.
Kamu tau? Hadirmu dalam pikiranku mengacaukan segala fokusku! Memecah perhatianku terhadap target tanggung jawab yang menuntut untuk segera kuselesaikan. Layar di hadapanku yang menampilkan sederet tugas yang sedang melambai memanggilku, menuntut untuk segera kutuntaskan, tak juga digubris. Mereka kalah dengan segala perihal tentangmu. Kamu telah membuat hatiku tak tenang dan terus bertanya-tanya; ada apa sebenarnya denganmu?
Ini sudah tahun ke tiga aku melanjutkan hidup tanpamu. Namun aku masih tetap setia menunggumu di tempat biasa kita menghabiskan waktu bersama. Kata sebagian banyak orang, aku ini hampir gila! Masih saja dengan setia menantimu; yang bisa mereka pastikan kamu tidak akan kembali.
Ya ...! Mungkin mereka benar ... aku hampir gila! Dan kamu pelaku utama yang membuatku nyaris gila seperti ini! Hahaha ...
Tidak ... aku tidak ingin menghujatmu seperti mereka yang tanpa lelah menghujat tingkah lakuku. Setiap ucapan mereka, cukup ku balas dengan senyuman dan anggukan. Karena ... mereka tak mengerti, seberapa besar cinta yang ku punya untukmu, sebesar apa perjuanganku untuk bisa bersanding dengamu, sedalam apa sayangku kepadamu. Mereka tak mengerti dengan semua itu! dan mereka juga tak perlu tau segala hal yang kurasa dan kupikirkan tentangmu.
Salju ...
Apa kamu mengerti bagaimana kesepianku sejak kamu tak ada?
Menghadapi bahagia tanpa cinta ...
Mendekap rindu dalam ramainya suka cita
Sepi ... teramat sangat sepi dan begitu sunyi!
Salju...
Inilah aku saat ini, seorang yang hidup seolah 'tak bernyawa.
Kini bukan lagi tentang kerinduan yang ingin kuutarakan.
Tapi ... ini tentang kebimbanganku ketika 'tak lagi bersamamu
Aku mencintaimu dengan sederhana; tulus tanpa syarat apa-apa!
Ribuan hari terlewati. Ku pikir ... senyummu, bayangmu, ceria juga tangismu, semua hal tentangmu, akan tergerus waktu dan menghilang dari hidupku. Aku yang telah mencipta cerita cinta yang baru; berharap tentangmu akan terganti dengan segala tentangnya ... ternyata tidak bisa! Aku salah mengira!
Diam ... menikmati perih yang tak terjabarkan. Menanggung sesak yang menyakitkan. Tersebab satu nama yang tak mampu disingkirkan.
Pertemuan itu singkat. Terlalu singkat bahkan! Namun jejak cerita yang tergores begitu dalam mengakar dalam ingatan. Hingga ... ketika waktu dengan paksa mengakhiri segala cerita, membentang kembali jarak yang pernah ada, kini ... hanya ada perih yang tercipta.
Hai, kamu...
Diamku saat ini bukanlah bentuk untuk mencaci apalagi membenci. Bukan pula sebagai cara untuk melupa atau menganggap kau tiada.
Aku hanya sedang menatap jarak yang kini kian terbentang hebat ... diantara kita yang pernah memiliki cerita dengan judul "selalu bersama."
Jika ada kesempatan satu jam berjumpa dengan seeorang yang telah tiada, maka Ayah adalah orang pertama yang ingin kutemui.
Mungkin akan kuhabiskan waktu sejam hanya bersamanya. Membayar rindu ribuan hari yang telah terlewati tanpanya.
Akan aku rangkum cerita panjang yang selama ini kusimpan agar ia dengar dengan singkat. Lalu ku dekap tubuhnya yang gagah sebagai pelepas rinduku yang telah membuncah. Akan kupinta satu kalimat nasihat sebagai penguat langkahku berikutnya. Akan kudengar dan rekam dengan baik semua nasehatnya.
Sejak menatap wajahmu untuk pertama kali, meski hanya dalam layar, harus ku akui, kagumku berubah menjadi getar cinta yang tak bisa ku tepiskan.
Tatap matamu, suara merdumu, bahasa pesanmu, seolah mengunci hatiku agar terpaku hanya kepadamu. Desir cinta yang kurasakan tiap kali menatap namamu, membaca barisan pesan darimu, atau bahkan sekadar mendengar suaramu, membuatku ingin menepis jarak yang membentang antara kita.
Aku ingin mendekapmu dalam nyata, bukan dalam hayalan belaka. Berkali pertanyaan soal pertemuan itu kusinggung, dan kamu selalu menjawab, "sabar ... sebentar lagi, ya. Aku masih belum bisa kalau untuk sekarang."
Lalu sederet alibi pun akan kamu lontarkan. Menuntut pengertianku, yang terkesan memaksaku untuk tak lagi bertanya soal itu. Aku pun diam dari pertanyaan tentang sebuah pertemuan.
Tenang, Nona ... cintaku kepadamu selalu menang. Hingga tak ada segan untukku menunggu kapan temu itu menjadi kenyataan.
Aku
menghitung setiap detiknya. Berharap waktu berpacu sedikit lebih cepat. Hingga kelak mengantarkanku pada temu bersamamu. Aku menunggu dalam kata sabar dan
sebentar lagi yang selalu kau janjikan.
Hingga
aku tidak tahu lagi, batas sabar tungguku, batas sebentar lagi versi mu berada
di detik keberapa, di hari, bulan, bahkan tahun keberapa akan berakhir?
Sampai pada
akhirnya ... aku bertemu satu waktu, dimana aku tersadar, bahwa aku selama ini hanya menunggu.
Menunggu
dengan sabar yang tak tahu dimana batasnya.
Menunggu di balik kata "sebentar lgai" yang selalu kau gaungkan.
Menunggu
dengan harap kosong tentang sebuah pertemuan.
Ya! Aku tersadar ... cintaku sedang dipermainkan. Sabarku sedang tak diindahkan. Tungguku sedang dilecehkan! Selama ini, aku hanya menunggu!
Menunggu dengan ketidakpastian. Menunggu dengan kehampaan. Menunggu dengan akhir yang disia-siakan!
Hai Nona ... katakan saja jika pertemuan denganku adalah hal yang sangat kau hindari! Agar aku cukup tahu diri dan yakin, bahwa selama ini, yang kulakukan hanyalan percuma. Aku hanya sedang menunggu dan tak akan ada temu.
Oktober ku telah menyapa. Sungguh tak terasa ... langkah kaki pada perjalan panjang ini, telah sampai padanya. Sebuah senyuman "Selamat datang di Oktober" menyambut kedatanganku.
Menatapmu di padang rumput hijau pada peraduan itu
Menikmati tiap bentangan luas yang meneduhkan hatiku
Tempat di mana aku selalu melukis di kanvas perasaanku
Biru ... aku ingin menceritakan sebuah kisah elegi
Tentang monolog hati yang sedang kuperankan sendiri
Mungkin ini akan menjadi kesalahan paling dicinta
Dalam sejarah yang kubukukan dalam kisah paling lara
Hai kamu ...
Iya! Kamu ... Seseorang yang banyak diam saat di depanku. Kamu yang lebih sering tersenyum manis saat bersitatap denganku. Kamu yang selalu bersikap hormat ketika berhadapan denganku.
Iya! Kamu ... yang kusayang tanpa meminta imbalan. Kamu, yang kuanggap nona manis nan beradab. Kamu yang kukira mengerti bagaimana rasanya memainkan peranku.
Masa lalu adalah milik setiap manusia yang telah menuliskan ceritanya. Seperti halnya masa depan yang menjadi impian bagi setiap insan yang memiliki harapan.
Jangan pernah membandingkan masa lalumu dengan mereka. Jangan pernah melihat kamu lebih buruk dari mereka! Sehingga hal itu membuatmu merasa terpuruk dan begitu hina! Setiap manusia akan melewati fasenya masing-masing. Mereka menuliskan cerita dengan konfliknya yang berbeda. Tidak ada masa lalu yang lebih buruk atau lebih baik antara kamu dan oranglain. Tidak perlu merasa duniamu runtuh hanya karena cibiran mereka.
Pergilah! Biarkan aku tetap di sini. Menikmati segala kenangan tentang kamu.
Kamu si paling gaduh, kini mencipta sepi yang paling sunyi.
Kamu si paling tak ingin sendiri, kini melangkah pergi dengan berani seorang diri.
Kamu si paling perhatian, kini menjadi seorang yang seolah tak memiliki belas kasihan
Kamu si paling ingin tahu tentang kabar dan segala aktivitasku, namun kini bak orang asing yang tak lagi peduli.
Ya! Semua tentangmu. Masih tercetak jelas dalam ingatanku.
Pergilah! Biarkan aku tetap di sini.
Biarkan aku mengenang semua tentang kita yang pernah bersama. Menyadarkan diri bahwa kisah kita hanya berhenti pada batas sebuah cerita. Tak akan pernah ada kata bersama. Meski ku tahu, harapan hanya berhenti pada garis asa. Biarkan aku tetap di sini.
Menahan segala perih berteman sepi ... saat kamu dengan tegas memutuskan pergi. Menikmati setiap sendu sebab merindu ... karena tak akan pernah lagi ada temu.
Biarkan aku tetap di sini.
Menatapmu dari kejauhan. Meyakinkan diri bahwa kamu baik-baik saja. Masih bisa melihatmu tertawa dan terlihat bahagia. Meski bukan lagi aku yang mencipta tawamu. Meski bukan aku lagi sebab hadir bahagiamu, dan meski aku tetap di sini menahan lelah karena merindukanmu.
Biarkanlah aku tetap di sini ... menikmati segala rasa yang sedang berkecamuk dalam dada.
<><><>
bs; instrumen ketika cinta bertasbih
Aku tidak peduli, karena aku bukan seperti itu, yang pasti aku mencintaimu.
Aku mengenal lelaki yang pandai merangkai kata indah dan mulut yang manis ... ternyata dia bingung dengan cinta sejati.
Aku tidak peduli, yang pasti aku mencintaimu
Rindu itu kembali datang. Menyergap tanpa aba-aba. Mengoyak sisi hati yang mulai tenang. Sesak! Sakit! Perih!! Namun semua itu tak mendorongku untuk menuju titik temu dengannya. Bahkan, menghadirkan bayangnya dalam ilusipun aku enggan.
Entah ... aku sungguh 'tak tahu harus berbuat apa. Menikmati perihnya merindu ini pun rasanya sungguh menyiksa! Mengabaikannya pun aku tak bisa! Tuhan, aku harus apa??
Karya; Rio Dirgantara
~~~~~~~
Sahabat
Haruskah kau tutup pintu rapat-rapat bagi kami sahabatmu?
Kau usir kami yang lebih dahulu bertamu
Lantas kau biarkan tamu asing bertahta di ruang hidupmu?
Tak bisakah tamu agungmu juga berteman dengan kami seperti kita berteman sejak lama?
Kita telah bertumbuh bersama dengan segala terpaan
Terik, menggigil lapar dan haus yang kita lalui ... apakah tidak sedikitpun berkesan bagimu?
Kamu adalah mimpi indah yang memeluk malamku
Mimpi indah penuh makna, yang kini menjelma menjadi nyata
Menghiasi hari dengan bunga cinta, yang terus bermekaran di setiap sisi
Menjadikan indah surga duniaku.
Biarkanlah ...
cintamu merengkuhku ... dengan rapalan doa yang tiada henti
Cintamu menatapku ... dengan mata hati yang tak pernah berdusta
Hari ini sesak sekali rasanya. Ada rindu yang begitu menggebu, namun harus ku redam agar ia berhenti bertalu. Hadirnya kembali meski dalam bingkai imaji, membuat rindu ini semakin tak tahu diri. Aku tak ingin ada temu, meski dalam bayang semu. Walau aku sangat memahami apa yang aku rasa. Rindu ini sungguh menyiksa!!
Aku tidak tahu, apakah ia merasakan hal yang sama, atau hanya aku yang tersiksa. Namun satu hal yang pasti kutahu, aku ingin ia bahagia. Aku ingin ia baik-baik saja. Seperti halnya aku yang ingin melangkah bahagia bersama seorang yang masih setia.
Cerita tentang aku dan dirinya memang tak lama. Terjadi begitu cepat dan singkat. Tapi, entah kenapa, rasa yang tercipta begitu kuat. Hingga akhirnya rindu yang kini hadir memelukku begitu erat.
Aku pernah terbang tinggi mengepakkan sayap pada hutan barisan kata. Bukan untuk mencarimu. Namun heranku, kepakan ini berhenti di sisimu. Aku pun kemudian bersandar di dekatmu.
Menikmati indahnya ciptaan Tuhan berwujud kamu. Mengagumi setiap pahatan yang dibentuk oleh Tuhan tentang dirimu. Begitu pun dirimu. Kau begitu terlihat menikmati kehadiranku. Banyak tanya yang kau lontarkan demi membuatku berlama-lama di dekatmu. Herannya, aku menikmati itu!
Apakah aku jatuh cinta?
Ah! Tak mungkin!!
Aku hanya mengagumi, bisikku dalam hati.
Karya: Emma Sofi
~~••~~••~~••~~••~~••~~
Suasana siang itu cerah ceria seperti biasanya.
Semua orang pun sedang sibuk dengan rutinitas mereka masing masing. Begitupun aku, yang sedang melakukan kesibukanku sendiri.
Tidak ada yang aneh pada siang itu. Hanya saja, perasaanku yang tak nyaman. Kupikir... perasaan tidak enak yang singgah dihati hanyalah rasa gelisah yang tak berarti. Namun nyatanya ... ada sebuah kabar buruk yang harus ku terima!
Aku seperti tersambar petir disiang hari!
Ketika aku mengetahui bahwa orang yang selama ini selalu ada buatku telah pergi jauh meninggalkanku. Kepergiannya begitu mendadak menurutku. Sampai-sampai aku tidak punya kesempatan untuk mempersiapkan hati dan mentalku.
Namanya tak mampu dilupakan. Juga kenangan itu, tak mampu disingkirkan. Ia menetap dalam sudut memori.
Hari ini … setiap insan sedang bersuka cita menyambut momen kemerdekaan negeri. Hampir di seluruh pelosok negeri sibuk dengan perayaan momen tentang hari kemerdekaan. Upacara, lomba-lomba atau parade yang ada di tiap jalanan kota, bereuforia atas kemenangan Indonesia untuk meneriakkan gegap gempita dari kata merdeka.
Namun, aku yakin, dari sekian banyak wajah yang menampakkan bahagia, ada di antara mereka sedang menyembunyikan luka. Berjuang untuk memerdekakan hati yang masih terjajah oleh masa lalu, bertarung dengan air mata untuk segera melenyapkan belenggu- termasuk aku
Segala cara dan upaya telah aku kerahkan demi mengusir gundah yang menjajah hati dan pikiran. Bahkan 'tak segan menyerang tiba-tiba tanpa mengenal waktu secara bersamaan. Entah menyerang dengan rasa rindu yang tertahan, sebuah rasa penyesalan ataukah dengan rasa cinta yang masih tertanam. Masa lalu itu masih saja berkuasa, bertahta dan terus saja memberikan luka.
Ah ... Aku rasa, penjajahan ini bisa saja lebih lama dari bangsa yang pernah menjajah Indonesia. Karena sungguh ini 'tak akan mudah melawan penjajah berbentuk rasa yang tidak akan pernah bisa kujamah. Hingga terkadang aku lelah, berpikir bahwa mungkin kematian adalah hal yang paling indah.
Pada akhirnya, selamat datang di belantara rasa yang pilu. Yang mungkin hanya ada aku dengan kehampaanku atau kau dengan kesendirianmu, tak ada kalian ataupun mereka yang mau tahu.
Perjuangan kali ini adalah sebuah perubahan, melepaskan diri dari lara atas memoar kenangan. Merindukan kemenangan di laut dalam mencari kesejatian diri, mengalahkan keangkuhan dan keegoisan diri sendiri. hancurkan duka nestapa maha tuan yang bertahta, Hati dan jiwaku haruslah sekuat baja, melawan segala rasa yang terus menerus menajajah tanpa mengenal iba. Kini saatnya bangkit! Berjuang untuk memerdekakan hati yang terus terjajah oleh rasa sakit.
Aku ingin merdeka,
melepaskan lara yang masih menjajah jiwa
Aku ingin merdeka,
hidup bahagia tanpa lagi merasakan derita
Aku harus merdeka,
meski kelak, nyawaku yang harus menjadi bayarannya
~~~•••~~~•••~~~•••~~~
Tertulis; 16 Agustus 2023