Terkadang aku berpikir...
Kenapa kesunyian selalu berhasil memutar kembali rekam kenangan yang sudah ku kubur perlahan? Kenapa sepi selalu mengetuk dinding hati hanya untuk menghadirkan rindu? Kenapa kesendirian selalu memunculkan senyuman yang selalu ingin aku lupakan?
Jujur, aku tak pernah benar-benar menemukan jawabannya. Mungkin karena hati tak pernah benar-benar bisa menolak apa yang pernah membuatnya bahagia. Mungkin karena dia terlalu berharga atau terlalu dalam menggoreskan rasa.
Atau mungkin, karena aku terlalu sering berusaha melupakan, sampai lupa caranya menerima bahwa kehilangan juga bagian dari hidup yang harus dijalani.
Kehilangannya membuat aku belajar. Belajar melepaskan dan mengikhlaskan. Aku pun belajar bahwa ikhlas bukan berarti berhenti mengingat, tapi berhenti berharap semua bisa kembali seperti dulu.
Ikhlas adalah ketika aku bisa menatap luka yang sama tanpa lagi merasa perih.
Ikhlas adalah saat aku bisa menyebut namanya dalam doa, tanpa menuntut takdir untuk mengulang pertemuan. Ikhlas adalah saat aku tau dia bahagia, aku pun ikut tersenyum karenanya. Ikhlas adalah saat aku bisa menceritakan tentangnya di hadapan Tuhan tanpa harus memaksa untuk dipersatukan.
Tapi, Ikhlas pun masih boleh merindukan, kan? Merindu tanpa harus tau apakah rindu ini bersambut atau terabaikan.
Dan kini, setiap kali rindu datang tanpa permisi, aku hanya tersenyum kecil.
Bukan karena sudah lupa, tapi karena akhirnya aku paham—
beberapa hal hanya hadir untuk dipertemukan bukan untuk dipersatukan, dan karena beberapa hal memang harus dibiarkan pergi, untuk kita menjadi lebih baik atau menemukan yang lebih tepat.

Tidak ada komentar:
Posting Komentar