Jika kamu bertanya apakah ini perihal rasa sayang yang masih tertinggal, mungkin aku akan menjawab dengan ragu bahwa iya… ada sedikit rasa yang tertinggal. Tapi kali ini aku hanya ingin peduli secukupnya, tanpa dua perasaan itu. Perasaan yang dulu sempat membuatku jatuh, terpuruk, meratapi harapan yang ternyata menyakitkan.
Aku pernah berjuang melepasmu, juga berusaha melupakanmu. Namun setiap usahaku selalu berakhir sama: sia-sia. Selalu ada kata mustahil yang berdiri di antara aku dan keinginan untuk benar-benar menjauh darimu. Aku mencoba menanam bibit benci, berharap itu bisa mengusir bayangmu dari hidupku—tapi aku gagal. Kamu terlalu melekat dalam memori kenangan indah untuk bisa kubenci.
Aku kira waktu akan mampu meniadakanmu dari pikiranku. Aku kira, aku bisa begitu yakin bahwa setiap rasa yang tertuju padamu akan lenyap. Tapi ternyata, rindu lebih berkuasa. Ia selalu menemukan celah untuk menghadirkanmu di sela-sela langkahku. Ia selalu berhasil menggoyahkan keputusanku untuk tidak lagi memikirkan dan mengkhawatirkan segala hal tentangmu. Ia menyadarkan ku, bahwa ternyata cinta yang hanya sebentar singgah, rupanya memilih tinggal lebih lama. Dalam ruang diam yang mengubahnya menjadi rindu yang sunyinya tak bisa ku tolak. Rindu yang tahu dirinya tak punya ruang untuk kembali, namun mengingkannya pulang ke hati kecil yang sangat merindu.
Namun pada akhirnya aku selalu sadar, rindu ini cukup ku peluk sendiri, dalam diam, dalam sunyi, dalam harapan yang tak pernah menjelma nyata. Karena kita tidak akan pernah bisa bersama.

Tidak ada komentar:
Posting Komentar