Tampilkan postingan dengan label senandika. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label senandika. Tampilkan semua postingan

Senin, 17 November 2025

Rindu Yang Ku Peluk Sendiri

11/17/2025 10:52:00 AM 0 Comments



Ketika kamu mengatakan bahwa ini adalah cinta, aku dengan tegas menyangkalnya. Bukan. Kali ini bukan lagi perihal cinta. Entah… bahkan aku merasa cinta ini telah habis ditelan kecewa realita. Aku tak lagi mengerti apa makna dari sebuah kata mencintaimu, setelah sekian banyak fakta yang kau hadirkan di depan mataku—mata yang dulu masih menatapmu penuh rasa.

Jika kamu bertanya apakah ini perihal rasa sayang yang masih tertinggal, mungkin aku akan menjawab dengan ragu bahwa iya… ada sedikit rasa yang tertinggal. Tapi kali ini aku hanya ingin peduli secukupnya, tanpa dua perasaan itu. Perasaan yang dulu sempat membuatku jatuh, terpuruk, meratapi harapan yang ternyata menyakitkan.

Aku pernah berjuang melepasmu, juga berusaha melupakanmu. Namun setiap usahaku selalu berakhir sama: sia-sia. Selalu ada kata mustahil yang berdiri di antara aku dan keinginan untuk benar-benar menjauh darimu. Aku mencoba menanam bibit benci, berharap itu bisa mengusir bayangmu dari hidupku—tapi aku gagal. Kamu terlalu melekat dalam memori kenangan indah untuk bisa kubenci.

Aku kira waktu akan mampu meniadakanmu dari pikiranku. Aku kira, aku bisa begitu yakin bahwa setiap rasa yang tertuju padamu akan lenyap. Tapi ternyata, rindu lebih berkuasa. Ia selalu menemukan celah untuk menghadirkanmu di sela-sela langkahku. Ia selalu berhasil menggoyahkan keputusanku untuk tidak lagi memikirkan dan mengkhawatirkan segala hal tentangmu. Ia menyadarkan ku, bahwa ternyata cinta yang hanya sebentar singgah, rupanya memilih tinggal lebih lama. Dalam ruang diam yang mengubahnya menjadi rindu yang sunyinya tak bisa ku tolak. Rindu yang tahu dirinya tak punya ruang untuk kembali, namun mengingkannya pulang ke hati kecil yang sangat merindu.

Namun pada akhirnya aku selalu sadar, rindu ini cukup ku peluk sendiri, dalam diam, dalam sunyi, dalam harapan yang tak pernah menjelma nyata. Karena kita tidak akan pernah bisa bersama.

Selasa, 21 Oktober 2025

Ikhlas Yang Tertinggal

10/21/2025 08:14:00 PM 0 Comments


Terkadang aku berpikir...

Kenapa kesunyian selalu berhasil memutar kembali rekam kenangan yang sudah ku kubur perlahan? Kenapa sepi selalu mengetuk dinding hati hanya untuk menghadirkan rindu? Kenapa kesendirian selalu memunculkan senyuman yang selalu ingin aku lupakan?

Jujur, aku tak pernah benar-benar menemukan jawabannya. Mungkin karena hati tak pernah benar-benar bisa menolak apa yang pernah membuatnya bahagia. Mungkin karena dia terlalu berharga atau terlalu dalam menggoreskan rasa.
Atau mungkin, karena aku terlalu sering berusaha melupakan, sampai lupa caranya menerima bahwa kehilangan juga bagian dari hidup yang harus dijalani.

Kehilangannya membuat aku belajar. Belajar melepaskan dan mengikhlaskan. Aku pun belajar bahwa ikhlas bukan berarti berhenti mengingat, tapi berhenti berharap semua bisa kembali seperti dulu.
Ikhlas adalah ketika aku bisa menatap luka yang sama tanpa lagi merasa perih.
Ikhlas adalah saat aku bisa menyebut namanya dalam doa, tanpa menuntut takdir untuk mengulang pertemuan. Ikhlas adalah saat aku tau dia bahagia, aku pun ikut tersenyum karenanya. Ikhlas adalah saat aku bisa menceritakan tentangnya di hadapan Tuhan tanpa harus memaksa untuk dipersatukan.

Tapi, Ikhlas pun masih boleh merindukan, kan? Merindu tanpa harus tau apakah rindu ini bersambut atau terabaikan.

Dan kini, setiap kali rindu datang tanpa permisi, aku hanya tersenyum kecil.
Bukan karena sudah lupa, tapi karena akhirnya aku paham—
beberapa hal hanya hadir untuk dipertemukan bukan untuk dipersatukan, dan karena beberapa hal memang harus dibiarkan pergi, untuk kita menjadi lebih baik atau menemukan yang lebih tepat.

Senin, 25 Agustus 2025

Lupa yang Tak Pernah Nyata

8/25/2025 01:35:00 PM 0 Comments

Aku tahu, hidup ini adalah perjalanan siklus dari sebuah pertemuan, perpisahan, tawa, dan juga air mata. Semua pasti akan terjadi. Entah siapa lebih dulu memilih untuk meninggalkan, ataupun ditinggalkan. Sama hal nya dengan kita. Tiba-tiba Tuhan mempertemukan, tapi seketika, keadaan memaksa kita untuk saling melepaskan. 

Aku pikir, aku akan dengan mudah melupakan. Sama seperti ketika waktu dengan mudah mempertemukan, dan aku dengan mudah menyambut kehadiranmu. Nyatanya, melupakanmu ternyata bukan soal peran sang waktu, tapi soal luka yang tak pernah berhenti mencari cara untuk mengingat. Aku selalu mencoba menghapus tentangmu perlahan, menutup bayangmu dari ingatan. Namun yang terjadi adalah setiap langkah untuk menjauh, selalu menyeretku kembali pada jejakmu.

Aku mencoba menyibukkan diri, mengisi hari dengan tawa baru, berjalan di jalan yang tak pernah kita lalui bersama. Tapi tetap saja, bayanganmu selalu hadir di sela-sela senyumku yang paling pura-pura. Segala tentangmu selalu hadir dalam rindu yang paling sunyi, yang ku sembunyikan di balik tirai malam.

Mereka bilang, waktu akan menyembuhkan. Tapi mengapa setiap detik justru membuatku lebih sakit? Mengapa aku merasa semakin jauh dari sembuh? Padahal aku sudah berusaha sekuat itu. Hingga merapalkan namamu dihadapan Tuhan pun sudah hampir ku tiadakan. Tapi kenapa? Kenapa lagi-lagi harus tentang kamu yang membuat gaduh isi kepalaku?

Pada akhirnya, aku tahu seberapa banyak aku berjuang untuk melupa, sebanyak itu pula aku tersiksa.
Dan seberapa banyak cerita baru tercipta, sebanyak itu pula cerita lama melekat— dan menjadi pemenangnya. Aku benci harus mengakuinya, tapi fakta yang ada memang kamu masih jadi alasan dari setiap kosongku. Dan aku masih kalah, dalam peperangan yang seharusnya bisa kumenangkan.

Selasa, 19 Agustus 2025

Sunyi Di Antara Aku dan Dia

8/19/2025 02:18:00 PM 0 Comments


Aku tak tahu sejak kapan jarak ini tumbuh tanpa bisa kutahan.
Mungkin sejak kata-kata berhenti mencari telinga, dan rindu berhenti menemukan tempat pulang.
Mungkin sejak matanya tak lagi menatap dengan rasa, hanya dengan sekilas yang hambar.
Sejak saat itu, aku seperti hidup di dunia yang sama, tapi di ruang yang berbeda.

Ada aku, dengan segenggam rindu yang terus berdegup.
Ada dia, dengan segenggam alasan yang tak pernah ingin ia ceritakan.
Dan di antara kami, ada sunyi.
Sunyi yang lebih bising daripada keramaian.
Sunyi yang menggigit lebih dalam daripada dingin malam.

Aku benci sunyi ini.
Aku benci bagaimana aku masih terus menaruh harap,
sementara dia seperti sengaja meluruhkan setiap detik bersamaku menjadi abu.
Aku benci menatap layar ponsel yang kosong dari kabarnya,
padahal dulu ia pernah menjadi suara yang paling kurindukan.
Kini, ia hanya bayang samar yang berdiri di kejauhan,
membiarkan aku menunggu sesuatu yang tak lagi ingin ia beri.

Kadang aku bertanya,
apa salahku hingga hangatnya berubah jadi beku?
Kenapa aku masih berusaha menyulam kembali,
sementara dia perlahan merobek setiap benang yang kupintal?

Aku ingin membencinya, benar-benar membenci.
Tapi bagaimana bisa?
Jika setiap bayangannya masih menetap di dalam mataku.
Jika setiap kenangan tentangnya masih menempel di napasku.
Jika setiap luka yang ia torehkan justru semakin menegaskan betapa aku masih mencintainya.

Dan setiap kali aku mencoba pergi, ada sesuatu yang menahanku—
seolah hatiku sendiri menjadi penjara yang kuncinya ia simpan.
Sunyi di antara aku dan dia bukan sekadar jeda,
ia adalah dinding tinggi yang tak bisa kutembus.
Aku mengetuk, tapi dia tak pernah menjawab.
Aku menunggu, tapi dia tak pernah kembali.

Yang paling menakutkan adalah…
barangkali dia memang sudah benar-benar pergi,
sementara aku masih berdiri di tempat yang sama,
terikat oleh janji yang hanya aku anggap suci.

Mungkin, di antara aku dan dia,
yang benar-benar tinggal hanyalah sunyi.
Sunyi yang menolak pergi,
bahkan saat aku sudah tak punya tenaga lagi untuk bertahan.

Kamis, 07 Agustus 2025

Merasa Cukup

8/07/2025 11:07:00 AM 1 Comments

Apakah aku tak cukup bagimu? Setelah aku mendampingi mu waktu ke waktu. Memelukmu demi bangkit kembali dari satu masalah ke masalah baru. Apakah aku tak cukup? Apakah yang ku curahkan masih jauh dari kata cukup?

Aku hanya ingin merasa menjadi seseorang yang cukup untuk orang lain, terutama untukmu. Ya. Aku ingin hadirku cukup membuatmu tenang. Cukup membuatmu bahagia. Cukup memberikan alasan untukmu merasa harus semangat dan hidup lagi setiap harinya. Aku ingin hadirku cukup untuk kamu menemukan alasan bahwa duniamu akan selalu baik-baik saja.

Namun realitanya tidak! Aku tidak pernah cukup untuk kamu yang selalu mencari sempurna.

Setiap usahaku terasa seperti tetesan air di samudra tak bertepi. Aku berikan waktu, kasih, dan kekuatan, tapi matamu selalu mencari sesuatu yang lebih, sesuatu yang tak pernah kumiliki. Aku berdiri di tepi harapan, menatapmu yang terus berlari mengejar bayangan sempurna itu, meninggalkanku dengan pertanyaan yang menggantung. Apakah cinta yang kuberikan tak cukup manis? Apakah pelukan yang kuberikan tak cukup hangat?

Aku pernah menangis di malam yang sunyi, merasa kecil di bawah beban “tidak cukup” yang kau letakkan di pundakku. Tapi di tengah air mata itu, ada percikan cahaya—suara kecil dalam diriku yang mulai berani bicara. “Mengapa aku harus membuktikan cukup untuk seseorang yang tak melihat usahaku?”

Aku memilih mundur selangkah, memberi ruang untuk diriku sendiri. Aku belajar mendengarkan detak jantungku yang berbisik, “Kau sudah cukup, bahkan jika dia tak melihatnya.” Aku mulai menuai ketenangan dari dalam, dari setiap napas yang kuhirup di pagi hari, dari setiap senyum yang kujaga untuk diriku sendiri.

Kini, aku tak lagi memohon untuk dianggap cukup olehmu. Aku cukup untuk diriku sendiri. Cukup untuk bangkit setiap kali jatuh, cukup untuk mencintai hidup ini dengan caraku. Dan suatu hari, aku harap, aku akan menemukan seseorang yang melihat “cukup” itu—bukan sempurna, tetapi cukup—seperti yang kuperjuangkan untukmu dulu.

Selasa, 05 Agustus 2025

Perlahan Kembali Pulang

8/05/2025 11:11:00 AM 0 Comments



Aku ingin pulang. Pulang pada damai yang benar-benar aku impikan. Pulang pada diriku yang telah lama ku hilangkan. Aku telah terlalu jauh melangkah pada apa yang tak seharusnya. Menorehkan tinta hitam di setiap langkahnya, menorehkan garis pekat pada kanvas suci kehidupan yang seharusnya aku jaga. Terlalu banyak noda yang ku biarkan merusak keindahan hari yang semestinya mampu mendatangkan bahagia lebih dari yang sekadar ku ingin.

Aku ingin pulang. Pulang pada tenang yang mengabadikan bahagia di setiap detaknya. Pulang pada hatiku yang penuh kelembutan dan kasih sayang tanpa terkotori hal apapun. Aku telah terlalu lama membiarkan hati ini bermain pada tempat yang tak semestinya.

Langkahku terhenti di ujung jalan yang asing. Di sekitarku, dunia berputar dengan hingar bingar yang memekakkan. Suara-suara itu—tuntutan, harapan, dan bisikan dunia yang memaksaku menjadi seseorang yang bukan aku—menggema, mengikatku pada peran yang ku mainkan dengan terpaksa. Aku telah lama mengenakan topeng, tersenyum di baliknya, berbicara dengan kata-kata yang bukan milikku, dan berjalan di jalur yang ditentukan orang lain. Topeng itu kini terasa berat, menekan wajahku hingga napasku tersengal, hingga aku lupa bagaimana rasanya bernapas dengan bebas.

Di malam yang sunyi, ketika dunia akhirnya terdiam, aku duduk di sudut ruang yang kelam, menatap bayanganku di cermin. Wajah itu... apakah itu aku? Matanya lelah, penuh keraguan, penuh penyesalan. Aku mencoba mencari diriku yang dulu—seseorang yang tertawa tanpa beban, yang bermimpi dengan penuh harap, yang mencintai dunia dengan hati terbuka, yang selalu berjalan pada koridor yang semestinya. Tapi bayangan itu hanya menatapku kosong, seolah berkata, “Kau telah pergi terlalu jauh.”

Namun, di dalam dada, ada sesuatu yang masih berdenyut pelan. Sekecil apa pun, itu adalah sisa-sisa diriku yang lama, berbisik lirih, memanggilku untuk kembali. Aku ingin mendengarnya. Aku ingin memeluknya. Aku ingin pulang.

Aku mulai melepaskan satu per satu beban yang ku genggam erat. Harapan orang lain, mimpi yang bukan milikku, harapan untuk memiliki apa yang tak semestinya, dan rasa takut akan penilaian dunia—aku letakkan mereka di tepi jalan. Aku berjalan perlahan, menelusuri jejak-jejak yang dulu ku tinggalkan. 

Setiap langkah membawaku lebih dekat pada diriku yang sejati. Aku belajar mendengar lagi—bukan suara dunia, tetapi suara hatiku. Aku belajar melihat lagi—bukan apa yang diinginkan orang lain, tetapi apa yang membuat jiwaku hidup. Aku belajar merasakan lagi—bukan luka yang ku ciptakan sendiri, tetapi damai yang selalu ada di dalam diriku, menanti untuk ku temukan.

Aku belum sampai. Mungkin perjalanan ini masih panjang. Tapi aku tahu, di ujung sana, ada rumah. Rumah yang terbuat dari kejujuran, dari keberanian untuk menjadi diriku sendiri, dari cinta yang tulus pada hidup ini. Aku ingin pulang. Dan kali ini, perlahan langkahku membawa kembali pulang. Pada diriku. Pada hidup yang ku pilih dengan hati. Perlahan aku kembali pulang, pada tenang yang melahirkan kebahagiaan paripurna. 

Selasa, 15 Juli 2025

Bukan Milikku, Tapi Selalu Ku Rindu

7/15/2025 02:54:00 PM 0 Comments

Entah kenapa, rasanya sakit saat aku harus tahu dia sedang asik berbincang dengan yang lain.

Sedangkan aku di sini… menunggunya dengan penuh rindu.

Aku menahan diri untuk tidak menoleh, untuk tidak peduli. Tapi hati ini terlalu lemah untuk berdusta.
Aku cemburu!!
Bukan karena dia milikku—karena memang sejak awal ia tak pernah jadi milikku.
Aku hanya... merasa kalah oleh harapan dan mimpi-mimpiku sendiri.

Aku pikir aku bisa menahan rindu.
Aku pikir aku bisa pura-pura baik-baik saja.
Tapi nyatanya, setiap kali aku melihatnya tertawa bukan untukku, aku patah. Diam-diam, hatiku hancur berkeping!

Lucu, ya?
Bagaimana seseorang yang tak pernah benar-benar menggenggam hatiku, justru bisa mengikatku lebih erat dari siapa pun. Aku mencintainya dalam diam seribu bahasa. Aku merindukannya, dalam bayang-bayang yang selalu tak terlihat. Dan aku mencemburuinya dari balik senyum yang ku tarik paksa agar terlihat kuat.

Aku tahu, aku tak punya hak. Bahkan mungkin namaku pun tak pernah ia sebut dalam doa-doanya.
Tapi, anehnya aku di sini… tetap berharap, meski aku tak tahu untuk apa.

Aku tau, ia bebas mencintai siapa pun. Ia bebas tertawa dengan siapa pun. Dan aku… hanya bisa menunggu. Menunggu sesuatu yang tak akan pernah datang.

Aku ingin pergi, sungguh. Tapi yang lebih menyakitkan dari bertahan adalah menyadari: aku bahkan tak pernah diminta untuk datang.

Jadi aku diam.
Bukan karena tidak ingin bicara.
Tapi karena tahu, suaraku tak pernah benar-benar didengar olehnya.

Dan jika suatu hari nanti ia membaca ini, aku ingin ia tahu, bawa ada seseorang yang pernah mencintainya dengan seluruh luka, dan selalu merindukannya meski tak pernah ia sadari keberadaannya. Ia mungkin tak akan pernah menjadi milikku, tapi ia akan selalu menjadi alasanku memelihara rindu. 

Senin, 30 Juni 2025

Seindah Takdir-Mu

6/30/2025 07:34:00 PM 0 Comments


Jika kamu adalah takdir ku, maka segalahya menjadi masuk akal mengapa aku harus terluka dahulu,

Mengapa aku harus melewati malam-malam panjang yang dingin tanpa pelukan, dan mengapa aku  begitu lama merasa sendiri. Karena rupanya, semesta sedang mempersiapkan cara paling lembut untuk mempertemukanku dengan dirimu..

Aku tak lagi ingin bertanya siapa yang akan menggengamku saat aku rapuh, karena setiap detik bersama mu menjawab tanya itu dengan cara paling indah, dengan tatapan mu yang tenang dengan cara mu diam-diam menjaga, dengan hadir yang tak pernah memaksa tapi selalu ada.

Bayangkan, pagi hari yang biasanya biasa, berubah menjadi syair hanya karena ada suaramu yang menyapaku lebih dulu. Dan malam, yang dulu terasa kosong kini jadi surga kecil hanya karena kita saling bercerita meski hanya tentang hal-hal sederhana.

Jika kamu adalah takdirku, maka aku tak perlu banyak berjanji atau rencana yang berlebihan, cukup hatimu menetap di sisiku, cukup tanganmu tak melepasku di tengah badai, cukup kamu menjadi tempat ku pulang saat dunia terasa asing dan aku mulai goyah.

Dan jika benar kamu adalah takdirku, maka aku ingin mencintaimu seperti anugrah yang di jaga sepenuh jiwa bukan dengan tergesa, tapi dengan kesandaran bahwa kehadiranmu adalah sesuatu yang takpernah kupinta, namun selalu aku sykuri dalam setiap helaan nafas dan sujudku yang paling lama.

Karena bersamamu...segalanya terasa seperti puisi yang ahirnya menemukan bait terahirnya penuh makna, dan berahir dengan Damai.

Sabtu, 28 Juni 2025

Sembuh Bersamamu

6/28/2025 07:31:00 PM 0 Comments


Hai Tuan, seberapa ingin tahu kau tentang aku? Kemarilah, dan akan aku ceritakan sedikit perihal tentang diriku.

‎Tuan, aku pernah melewati hari-hari yang begitu menyakitkan. Aku pernah merasa sangat dicintai, merasa bahwa aku akan menjadi satu-satunya wanita yang selamanya diratukan. Saat itu, aku selalu merasa bahwa aku adalah wanita yang paling dicintai di bumi ini. Aku merasa, bahwa aku adalah satu-satunya wanita paling beruntung karena bisa bersanding dengannya.

‎Tapi Tuan, semua itu hanya sekejap ku rasakan. Perasaan bahagia dan juga keberuntungan itu, hanya sesaat singgah dalam hidupku.

‎Setelah aku dibuat melayang terbang tinggi olehnya, aku dihempaskan dengan sangat tidak berharga. Aku seperti terbuang, dan terasingkan. ‎Segala kecewa dan kesakitan terlalu banyak harus aku lalui. 

Padahal, aku pernah mencipta tawa dalam hari-harinya. Aku pernah berpura-pura kuat agar ia bisa bersandar saat keberuntungan sedang tak berpihak padanya. Aku pernah menghabiskan waktu dan pikiranku untuk bisa membuatnya merasa nyaman dan aman. Tapi semua itu seolah lenyap begitu saja. Ketika ia menemukan rumah baru yang membuatnya jatuh cinta setiap detik. 

Mungkin dulu, aku menghadapi itu dengan rintik air mata. Tapi kini, aku di sini memilih bersamamu. Menikmati pulih yang sebentar lagi terasa sempurna. Setelah ditemani sang waktu, aku tertatih berjalan  untuk mengobati luka yang  ada.

‎Saat ini, di sini aku bersamamu, merasa benar-benar sembuh karena hadirmu.

‎Kamu, yang dengan berani mencintaiku tanpa alasan. Meski kau tau, banyak luka yang masih harus aku sembuhkan. Tapi kamu memilih untuk tetap tinggal bersamaku. Membiarkan aku sembuh bersamamu.

‎Terimakasih Tuan, kini kau tau bukan? Betapa berharganya kamu untukku. 

Sabtu, 07 Juni 2025

Sejak Kau Tak Ada

6/07/2025 09:34:00 AM 0 Comments


Sejak malam pertama kau terpejam untuk selamanya, isi kepalaku sangat berisik. Semakin gaduh ketika hatiku ikut berteriak mengeluarkan tanya yang tak akan pernah ku dapati jawabannya. 

"Kenapa sekarang?"

"Kenapa tak ada pamit dan salam perpisahan?"

"Bagaimana hari-hariku berikutnya tanpa mu?"

Dan masih banyak sekali pertanyaan kenapa dan bagaimana yang menari di kepalaku. 

Semua pertanyaan itu, mendorong kaki ku untuk terus melangkah mencari jawabannya sendirian. 

Sekali waktu aku terjatuh. Meringis. Menahan perih sendiri. 

Tapi suaramu menggema dalam ingatan. "Kamu bukan anakku yang lemah. Kamu gak boleh menyerah sebelum berperang. Kamu bisa melewati semuanya. Anakku, adalah anak yang tangguh! Yang hebat! Yang selalu aku banggakan!" Semua kalimat itu membuat kakiku kembali kuat berdiri, dan kembali melangkah untuk menemukan jawaban demi jawaban. 

Ayah...  Tapi sering kali aku merasa tak seperti apa yang kau katakan. Seringkali aku merasa gagal menjadi anak kebanggaanmu.

Sejak kau tak ada... Semua tak lagi sama, Ayah. Aku enggan mengatakan hidup ini kejam sejak kepergianmu. Tapi aku mencoba melihat dan menerima bagaimana dunia begitu keras membentuk diriku untuk menjadi tangguh seperti apa katamu. Aku juga mencoba memahami maksud baik Tuhan atas kepulanganmu.

Ya. Karena pada nyatanya, tak ada takdir dan ketetapan Tuhan yang tak baik untuk setiap hamba. Hanya saja, kita sering lari dari kenyataan dan mengatakan bahwa Tuhan tak adil, atau dunia yang terlalu kejam. 

Dan aku yakin kau akan sangat marah jika aku memaki Tuhan atau menyalahkan dunia atas kepulanganmu. Aku juga yakin, kau tahu, bahwa sejak kau tak ada, aku rapuh, aku hancur, tapi aku mampu untuk tetap berdiri dan terus berjalan ditemani lapisan rindu untukmu, serta lapisan percaya kelak kita akan kembali bertemu. 

Rabu, 04 Juni 2025

Hari Ini Aku Memilih Diriku Sendiri

6/04/2025 04:35:00 PM 0 Comments

Cinta yang seperti apa lagi yang harus aku percaya? Ketika orang yang sangat aku cinta, bisa dengan mudahnya mengkhianati. Kepercayaan seperti apa lagi yang harus ku bangun tinggi? Jika ternyata, orang yang membangun kepercayaan bersamaku, justru ia yang menghancurkannya tanpa bersisa.
Kerinduan seperti apa lagi yang harus ku rapalkan dalam sunyinya malam, ketika seseorang yang sangat aku rindukan bisa dengan mudahnya mengabaikan segala perasaan dan pengorbananku.

Rasanya sakit!
Rasanya terlalu limbung aku menghadapi ini!

Aku mencoba menambal hatiku dengan harapan, tapi harapan itu rapuh, ia mudah retak oleh kenangan-kenanganmu yang datang tanpa izin.
Aku pernah percaya, bahwa cinta adalah tentang bertahan dan saling menggenggam, bukan tentang siapa yang paling dulu melepaskan. Tapi kamu justru menghancurkan percaya itu, menjadikan aku seperti rumah yang tak layak pulang, seperti tumpuan yang tak lagi kau butuhkan.
Kini aku tak lagi menanti. Bukan karena rasa ini mati, tapi karena aku memilih untuk mencintai diriku sendiri lebih dulu. Sebab dari semua kehilangan, yang paling perih adalah kehilangan diriku saat memperjuangkanmu.
Dan jika suatu hari kamu bertanya, mengapa aku tak lagi ada di tempat yang sama— jawabannya sederhana: aku lelah berlari dalam lingkar luka yang kamu ciptakan sendiri.
Aku pernah menatapmu dengan begitu percaya bahwa kamu berbeda, tapi nyatanya aku salah menilai. 
Jika kamu pernah melihatku yang paling berisik di hari-harimu, hari ini aku memilih diam, bukan karena tak peduli. 
Aku hanya mulai belajar bahwa tidak semua yang kita perjuangkan harus kembali. Bahwa tidak semua yang diharapkan adalah yang terbaik. 

Aku lelah dengan cukup terluka, dan kini aku ingin sembuh. 
Aku tak ingin lagi menyalahkan siapa pun, juga tidak ingin terus bertanya pada semesta.

Mungkin ini bukan akhir yang kuharapkan, tapi ini adalah akhir yang harus kuterima dan ku jalani. Seperti kamu, yang sudah terus melangkah melanjutkan hidup dan bahagia. 

Dan meskipun namamu tak lagi ku pinta dalam doa, tapi aku tetap mendoakanmu… diam-diam, dalam hati yang perlahan belajar ikhlas.

Kamis, 22 Mei 2025

Menunggu yang Tak Pasti

5/22/2025 09:27:00 AM 0 Comments


Berapa lama kau akan bertahan di persimpangan ini ? Berdiri di antara harapan dan kenyataan, menanti sesuatu yang bahkan tak memberi kepastian. Kau tau bahwa menunggu tanpa kepastian adalah luka yang kau ciptakan sendiri, tetapi entah mengapa kau tetap memilih bertahan, seoalah hati tak mengenal kata Pulang.


Kau menghibur diri dengan kemungkinan, membangun harapan dari percakapan, tetapi jauh di dalam dada, kau tau bahwa semua itu hanyalah angan. Kau menunggu isyarat, berharap ada jawaban, tetapi waktu terus berjalan tanpa pernah memberikan kepastian. Kau mencoba meyakinkan diri bahwa kesabaran akan membuahkan pertemuan, tetapi bagaimana jika yang kau tunggu bahkan tak pernah menoleh ke belakang? 


Hidup bukan tentang seberapa lama kau menunggu, tetapi tentang seberapa berani kau melangkah menuju kepastian. Kau boleh berharap, tetapi jangan biarkan harapan itu mengikatmu dalam penantian yang tak berkesudahan. Sebab ada saatnya menunggu bukan lagi kesabaran, tetapi hanya ketertarikan yang kau ciptakan sendiri dalam ketakutan.

Maka kau memilih kesadaran, bahwa Tuhan tak pernah meminta hambanya bertahan pada sesuatu yang tak mengarah pada kebaikan. Jika memang ditakdirkan, cinta itu akan menemukan jalan, tetapi jika tidak, maka yang lebih baik telah TUHAN siapkan. Kau tak harus terus menunggu, sebab yang baik tak akan membuatmu meragu, dan yang ditulis untukmu tak akan membuat mu menunggu tanpa ahir yang menenangkan hati Mu.

Untukmu Tanpa Suara

5/22/2025 07:41:00 AM 0 Comments


Hai, kamu. Apa kabar?

Kalimat itu, ingin sekali rasanya ku kirimkan padamu. Agar kamu tahu, bahwa setiap harinya masih ada seseorang yang selalu menunggu kabar darimu. Memastikan kamu baik-baik saja. Tapi rasanya, sudah tak patut aku mengirimkan pesan itu lagi.

Hai, apa kamu bahagia bersamanya?
Pertanyaan itu terus menggema dalam dada. Membutuhkan jawaban yang langsung terucap dari bibirmu. Namun sayangnya, itu tak lagi mungkin terjadi. Ada jarak teramat jauh yang telah kamu bentangkan di antara kita. Meski kita pernah melalui hari-hari penuh tawa bersama, saling menghapus air mata dan menguatkan, atau bahkan hanya sekadar menikmati gugusan bintang yang seolah tersenyum menyaksikan betapa bahagianya kita malam itu.

Masih banyak pertanyaan yang ingin ku layangkan padamu. Mengubah keasingan ini kembali menjadi suatu hal yang saling. Tapi, menyedihkannya, aku tak punya kuasa untuk itu. Hari-hari yang telah kulalui tanpamu telah mengajariku banyak hal: untuk kuat menanggung rindu yang tak usai, untuk mampu menekan ego agar tak lagi melangkah mendekat padamu, dan untuk menyadari, bahwa apa yang kita ingin tak selalu bisa menjadi milik.

Dan harus kuakui, pembelajaran hidup yang datang karena hadirmu sungguh tak mudah bagiku. Meski aku menjalaninya dalam ruang diam dan perenungan, tapi semuanya terasa menyakitkan.

Tapi begitulah hidup—tidak semua yang datang ditakdirkan untuk tinggal, tidak semua yang mengisi hati akan menetap selamanya. Kadang, pertemuan hanya sebatas pengingat bahwa rasa pun bisa salah alamat.

Dan malam ini, aku kembali memeluk sepi yang setia.
Bukan karena aku belum bisa melupakan, tapi karena aku sedang belajar menerima. Bahwa mencintai juga bisa berarti merelakan. Bahwa peduli tak selalu harus menyapa.

Jadi, jika suatu hari kamu membaca ini—entah sengaja atau tidak—ketahuilah, aku pernah ada di sana.
Menunggu, mendoakan, juga mencintaimu, dalam diam yang tak sempat berpulang.


Jumat, 16 Mei 2025

Karena Aku Pernah Berjuang

5/16/2025 02:01:00 PM 0 Comments


 Saat kamu masih berada di sisiku, duniaku seolah berhenti berputar dan hanya berpusat padamu. Dalam benakku, masa depan tampak begitu sempurna selama kamu yang mendampingiku. Aku membayangkan, betapa banyak bahagia yang akan kupetik jika seluruh waktuku hanya bersamamu.


Tapi ternyata, semua itu hanya hidup di ruang khayalku.

Kenyataan memaksa kita saling melepaskan. Restu dan perbedaan menjadi tembok tinggi yang tak mampu kita robohkan bersama. Aku sempat ingin melawan semuanya, menembus batas itu sendirian. Tapi kamu memilih menyerah—dan membiarkanku berjuang tanpa arah.


Hingga aku menyadari, mungkin memang aku harus berhenti.

Bukan karena aku berhenti mencintaimu. Bukan karena aku lelah mencintai, tapi karena aku tak ingin terus terluka atas cinta yang tak diperjuangkan dua arah.


Melepaskanmu... adalah keputusan paling berat yang harus kupilih dalam keadaan masih mencintaimu. Sama beratnya dengan menahan air mata tiap kali rindu itu datang tiba-tiba, lalu menyiksa diam-diam.


Tapi aku harus melakukannya.

Karena bertahan hanya akan meluluhlantakkan diriku sendiri. Aku berdiri di titik lelah, di mana cinta tak bisa dilanjutkan jika hanya aku yang terus menggenggam.


Jadi hari ini, aku pamit.

Aku mundur dari langkah yang pernah kita mulai. Bukan untuk melupakan, tapi untuk menjaga diriku agar tetap utuh.


Jangan khawatir, aku masih mencintaimu—dengan caraku sendiri.

Aku masih menyimpan namamu dalam rindu yang tak pernah meminta kembali.


Dan jika suatu hari nanti rindu ini lelah, biarlah ia bersemayam dalam sunyi dan sepi yang tak pernah lagi terlihat olehmu. Tapi cintaku... akan tetap ada, meski tak lagi ingin dimenangkan. Karena setidaknya, aku oernah berjuang atas nama cinta kita. 

Jumat, 11 April 2025

Titik Kesia-siaan

4/11/2025 04:02:00 PM 0 Comments



Aku pernah mengatakan padamu, bahwa aku tak akan pernah berhenti mencintaimu. Bagaimanapun keadaannya. Aku jua pernah meyakinkan diriku sendiri bahwa kamu, akan menjadi orang terakhir yang aku cinta.

Tapi, entah kenapa, perlahan aku merasa cintaku berhenti. Tak ada lagi secercah harapan yang bisa kugenggam. Tidak ada lagi gemuruh semangat untuk mempertahankanmu tetap ada dalam perjalanan ku.

Jika hari ini cintaku berhenti, lalu perlahan aku melangkah menjauh, bukan karena aku membencimu, membenci keadaan, apalagi membenci takdir Tuhan. Bukan.

Ini hanya karena aku mulai sadar, bahwa aku sedang berdiri pada titik kesia-siaan. Tak ada harapan indah untuk kita merajut kisah bersama. Tak ada tanda-tanda bahwa takdir Tuhan berpihak untuk menyatukan kita. Maka, jika aku terus berdiri di sini, aku hanya sedang terus melukai diriku sendiri.

Aku memang pernah berkata, bahagiaku adalah melihat bahagiamu. Meski bahagiaku tak pernah benar-benar sempurna. Karena harus menyaksikan senyummu yang begitu tulus dan jujur … tapi untuk orang lain.

Tapi semakin hari, entah kenapa rasanya aku semakin lelah. Lelah menyaksikan bahagiamu yang tidak berasal dari aku.

Terlalu naif jika aku terus menerus mengatakan baik-baik saja dengan berada di tempatku saat ini, tempat dimana aku harus melepasmu, tapi aku tak sanggup membiarkanmu hilang. Tempat dimana aku ikut tersenyum melihatmu bahagia, tapi diam-diam hatiku meringis kesakitan. Tempat dimana aku hanya menjadi bayangan … pengisi kekosonganmu saja.

Mungkin mulai saat ini, aku memilih keluar dari titik kesia-siaan yang selama ini ku pijak. Mengayunkan langkah ku menuju ruang yang memberiku tenang dan bahagia yang jauh dari kata pura-pura.

Meskipun aku tak benar-benar ingin kehilanganmu dari pandangan, tapi setidaknya, kali ini, pijakanku bukan lagi tentang menunggu suatu hal yang sia-sia.

Setidaknya kali ini, aku akan belajar memulai menciptakan kebahagiaanku sendiri. Bahagia yang sempurna, tanpa bayanganmu. Tanpa keinginan untuk selalu bersanding denganmu.

Sabtu, 01 Februari 2025

Masih Kamu Pemenangnya

2/01/2025 02:14:00 PM 1 Comments


Pertemuan kita terlalu cepat dan singkat. Namun entah kenapa, rasa yang tercipta dan tertinggal begitu melekat dengan sangat hebat. 
Aku mengira setelah kata sepakat untuk kita mengakhiri apa yang kita rasa, berhenti mengharapkan segala yang tak mungkin untuk menjadi mungkin, semua akan kembali seperti semula. Seperti saat aku belum mengenalmu. 
Aku berpikir, bahwa rasa yang telah kita cipta pun akan ikut berakhir. Namun nyatanya tidak!
Setelah kita sepakat untuk saling melepaskan, berdamai dengan keadaan, ku biarkan kau berkelana mencari siapa yang mampu membuatmu bahagia dengan begitu paripurna. Ku persilahkan kau singgah dan menetap di hati siapa saja yang kau ingikan. Asal kau bahagia, begitu pikirku.
Lalu aku? 
Aku tetap berjalan, berusaha menjauh darimu, menjauh dari bayang-bayang tentangmu. Aku pun berkelana, mencari bahagia yang ku inginkan. Mencari kata bahagia dengan level yang setara saat aku bersamamu. Aku mencari penggantimu, mungkin dari wajah yang serupa, atau suara yang sama, atau bahkan mungkin dari kebiasaaan, hobi, dan segala kesukaanmu yang persis seperti mu. Tapi aku tidak pernah menemukannya. Dan tentu tidak akan pernah menemukannya!
 Ya. Bodohnya aku, karena aku mencarimu di orang lain.
Dari sekian banyak yang datang bertamu, tak juga ku temukan seseorang sepertimu. Mereka yang datang dan singgah sementara waktu hanya ingin memberi tahuku, bahwa tak ada seorangpun yang memiliki ketulusan rasa seperti yang kau bawa. Atau mungkin mereka membawa ketulusan rasa itu, namun hatiku sudah terkunci rapat hanya karena satu nama yaitu, kamu!
Hingga akhirnya aku tersadar, aku tak pernah benar-benar bisa menjauh darimu. Aku tak pernah benar-benar bisa melepaskanmu. Aku bahkan tak pernah ingin kita menjadi seperti semula, saat kita belum mengenal atau hanya baru sekadar bertegur sapa. Aku tersadar bahwa sampai kapanpun aku tak ingin menjadi orang lain lagi di matamu. Dan aku pun tak mengingkan kamu terlihat layaknya orang yang tak pernah ku kenal sama sekali dalam hidupku. Aku ingin kita tetap saling menjaga, mesti tak harus saling memiliki. Kita tetap saling mendekap, meski hanya dengan lewat barisan doa.
Karena ternyata, dari segala apa yang ku rasakan, dari siapapun yang datang dan mencoba merebut hatiku, dari sekian banyak yang ku perjuangkan dan ku harapkan, ternyata masih kamu lah pemenangnya. Ternyata masih kamu yang menduduki tahta tertinggi rasa sayangku. Masih kamu yang menjadi pemenang dalam hal mencuri rasa dan hatiku. Ya. Masih kamu pemenangnya.

Selasa, 21 Januari 2025

Dua Mata Air

1/21/2025 12:56:00 PM 0 Comments

Aku, sebuah gelas kristal, berdiri di antara dua sumber yang bermuara pada rindu. Yang satu, airnya bening bagai sepi menyusup sunyi, murni tanpa dusta, dingin namun meneduhkan. Yang lain, derasnya gemuruh, menyala bagai api yang menari di dalam cairan membakar namun memeluk. Kedua mata air itu melintas jauh, namun menemukan muaranya padaku.


Air pertama mengisi setengah ruangku dengan kepastian. Rasanya seperti embun yang jatuh pada dedaunan pagi tak pernah bertanya, hanya hadir dan menggenapi. Tapi air kedua, oh, ia adalah badai yang menjelma tetes. Rasanya asing, namun dalam ketidaktahuannya, aku menjadi candu.


Kini tubuhku penuh, dua rasa saling bertaut, bertabrak, tetapi tak menyatu. Aku gelas yang rapuh, terancam retak oleh berat paradoks ini. Kadang aku merasa ada retakan halus di pinggirku, sebuah peringatan bahwa cinta yang membelah tidak pernah berakhir tanpa luka.


Tetapi, apakah salah mencintai dua rasa yang tak sama? Yang satu memberiku kedamaian, yang lain memberiku hidup. Aku tidak memilih untuk menjadi gelas di antara mereka; aku hanya menjadi wadah bagi keberadaan mereka.


Mungkin suatu hari salah satu akan mengering, dan aku, gelas ini, akan lebih ringan. Atau mungkin aku akan pecah, dan dua air itu akan kembali ke asalnya, membawa sebagian kecil diriku dalam setiap alirannya.


Namun, sebelum saat itu tiba, aku hanya ingin meneguk keberadaan ini. Aku ingin menjadi saksi bahwa tidak semua yang berbeda harus saling menghapus. Kadang, mereka hanya butuh ruang untuk mengisi, meski hanya untuk sesaat.

~~Created By: Opet~~

Kamis, 07 November 2024

Zona Mati Kata

11/07/2024 09:39:00 AM 0 Comments


Lama telah ku kehilangan kata-kata penyembuh luka, atau sekedar pelepas kesakitan yang mendera. Setiap kata yang sering kali terangkai karena apapun dan siapapun penyebabnya, seketika buntu. Tak mampu terangkai sempurna. Diksi-diksi yang sering kali menemani seolah lari menjauhi diri dan hati.

Lama ku terjebak dalam zona mati kata yang membuatku bahkan tak mampu mengenal diriku sendiri. Bahkan aku tak mampu memaksa kemampuanku untuk melahirkan kembali diksi-diksi terindah yang pernah terangkai begitu nyata. Aku terkurung dalam ruang mati kata. Berkali ku teriak ingin keluar darinya, namun ku tak bisa! Langkahku seolah terpaku pada ruang itu. Berkali ku mencoba menghadirkan rangkaian kata menjadi kalimat yang kelak menjelma menjadi obat dari berbagai kesakitan karena sebuah rasa,aku pun tak mampu. Zona mati kata membuatku harus menelan sendiri kesakitakan yang kerap kali menyapa bahkan memeluk jiwa. Membuatku bekerja keras mengolah berbagai perasaan yang sering kali hadir tak sesuai harapku. Zona mati kata, membuatku kehilangan separuh aku yang selama ini menjadi kawan di setiap keadaan. Tak ada lagi rangkaian air mata berteman kata-kata yang mengalir melalui ujung pena yang ku goreskan. Tak ada lagi cerita suka maupun duka cita yang ku abadikan dalam kota memori kata. Semua yang terjadi ku biarkan terjadi dan berlalu begitu saja. sedangkan ku, menikmati kesendirian, kesakitan maupun kebahagiaan semu dalam zona mati kata yang membelenggu entah sampai kapan.

Senin, 16 September 2024

Rasa Bersalah

9/16/2024 08:14:00 PM 0 Comments

Sebelum sampai di angka dua tahun untuk saling mengenal, aku dan dia sepakat akan melanjutkan kisah kita hingga ke mahligai pernikahan.
Satu minggu menjelang hari pernikahan mestinya menjadi hari yang membahagiakan. Menjadi hari-hari yang mendebarkan menanti momen paling sakral yang akan terjadi dalam hidupku. Satu minggu menjelang hari pernikahan, mestinya sudah ku selesaikankan segala urusan, sehingga tak ada lagi alasan aku dan dia untuk pergi menyelesaikan urusan yang belum tuntas. Ya. Semestinya... dan seandainya...
Namun siapa kira? Seminggu menjelang hari pernikahan kami, menjadi hari yang paling menyakitkan bagiku! Menjadi hari dimana aku terlempar dan terkurung dalam ruang rasa bersalah yang menyakitkan dan tak berkesudahan!
Ratusan, atau bahkan ribuan hari aku terkurung dalam rasa bersalah, tersebab kejadian di hari itu. Hari dimana aku bersamanya terlempar dari motor kesayangan kami tersebab sebuah mobil yang menghantam kami dari arah berlawanan. Ia seketika tak sadarkan diri. Meregang nyawa di tempat kejadian. Aku yang masih setengah sadar harus menyaksikan calon pedamping hidupku menghembuskan napas terakhirnya. Padahal, sesaat sebelum kejadian itu, kami masih menikmati perjalanan dengan sangat bahagia. Aku masih bisa mendengar tawanya. Melihat wajah bahagianya. Rasanya, kami sudah tak sabar menunggu waktu seminggu lagi untuk segera mengikat hubungan kami dengan sebuah akad.
Setelah kejadian itu, aku tak sadarkan diri berhari-hari lamanya, membuatku tak bisa mengantarkan ia kerumah barunya, dan hal itu, mencipta ruang rasa bersalahku semakin besar!
Entah, apa yang sedang Tuhan persiapkan untuk masa depanku, hingga sesakit ini ujian yang harus ku hadapi. 
Kehilangan cinta pertama, membuatku merasa akulah penyebab utama atas kepergiannya, hancur segala harapan dan impian untuk dapat hidup bersamanya. 
Akad itu tak pernah terucap. Aku kalah cepat dengan kematian yang menjemputnya lebih dulu. Dan kepergiannya membuatku selalu dipeluk rasa bersalah.
Aku hanya berharap, kelak Tuhan hadirkan aku kebahagiaan yang begitu paripurna. Meski bukan bersamanya. Namun satu hal yang pasti, seiring rasa bersalah ini pergi, ia akan tetap abadi dalam memori juga sanubari. Raganya boleh terkubur bersama rasa bersalahku, namun jiwanya akan selalu hidup dan abadi dalam kisah perjalan hidupku.

Rabu, 21 Agustus 2024

Berdamai Dengan Kenyataan

8/21/2024 10:46:00 AM 0 Comments

Amarahku sudah mereda sejak lama. Bahkan saat namamu ku dengar disebut oleh siapapun, aku tak lagi merasakan getar amarah dan kebencian yang sempat memelukku dengan begitu hebatnya.
Jika kini kau melihat aku bisa tersenyum atau bahkan tertawa lepas, percayalah bahwa aku pernah berada di hari-hari bagaimana ku lupa caranya tersenyum. Aku pernah berada  di masa tak tau bagimana menghentikan rintik air mataku.
Tenanglah, kini amarahku telah mereda, tangisku tak lagi bercucuran air mata. Tapi maaf, luka yang kau cipta perihnya masih terasa begitu nyata. 
Tak usah khawatir, aku akan berjuang untuk berdamai dengan kenyataan yang tak pernah ku rencanakan ini. Aku akan berdamai dengan realita bahwa kini kau tak lagi milikku. Karena ku sadar, untuk melupakanmu adalah hal yang teramat sulit bagiku. Kenangan bersamamu terlalu banyak terekam dalam memori. Maka berdamai dengan kenyataan menjadi jalan terbaik yang ku pilih.
Aku yakin, saat ku telah sangat berhasil berdamai dengan kenyataan yang ada, bukan saja amarah dan tangisku yang mereda, namun juga tak ada lagi sakit yang tersisa.