Mungkin sejak kata-kata berhenti mencari telinga, dan rindu berhenti menemukan tempat pulang.
Mungkin sejak matanya tak lagi menatap dengan rasa, hanya dengan sekilas yang hambar.
Sejak saat itu, aku seperti hidup di dunia yang sama, tapi di ruang yang berbeda.
Ada aku, dengan segenggam rindu yang terus berdegup.
Ada dia, dengan segenggam alasan yang tak pernah ingin ia ceritakan.
Dan di antara kami, ada sunyi.
Sunyi yang lebih bising daripada keramaian.
Sunyi yang menggigit lebih dalam daripada dingin malam.
Aku benci sunyi ini.
Aku benci bagaimana aku masih terus menaruh harap,
sementara dia seperti sengaja meluruhkan setiap detik bersamaku menjadi abu.
Aku benci menatap layar ponsel yang kosong dari kabarnya,
padahal dulu ia pernah menjadi suara yang paling kurindukan.
Kini, ia hanya bayang samar yang berdiri di kejauhan,
membiarkan aku menunggu sesuatu yang tak lagi ingin ia beri.
Kadang aku bertanya,
apa salahku hingga hangatnya berubah jadi beku?
Kenapa aku masih berusaha menyulam kembali,
sementara dia perlahan merobek setiap benang yang kupintal?
Aku ingin membencinya, benar-benar membenci.
Tapi bagaimana bisa?
Jika setiap bayangannya masih menetap di dalam mataku.
Jika setiap kenangan tentangnya masih menempel di napasku.
Jika setiap luka yang ia torehkan justru semakin menegaskan betapa aku masih mencintainya.
Dan setiap kali aku mencoba pergi, ada sesuatu yang menahanku—
seolah hatiku sendiri menjadi penjara yang kuncinya ia simpan.
Sunyi di antara aku dan dia bukan sekadar jeda,
ia adalah dinding tinggi yang tak bisa kutembus.
Aku mengetuk, tapi dia tak pernah menjawab.
Aku menunggu, tapi dia tak pernah kembali.
Yang paling menakutkan adalah…
barangkali dia memang sudah benar-benar pergi,
sementara aku masih berdiri di tempat yang sama,
terikat oleh janji yang hanya aku anggap suci.
Mungkin, di antara aku dan dia,
yang benar-benar tinggal hanyalah sunyi.
Sunyi yang menolak pergi,
bahkan saat aku sudah tak punya tenaga lagi untuk bertahan.
.png)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar