Pertemuan kita terlalu cepat dan singkat. Namun entah kenapa, rasa yang tercipta dan tertinggal begitu melekat dengan sangat hebat.
Aku mengira setelah kata sepakat untuk kita mengakhiri apa yang kita rasa, berhenti mengharapkan segala yang tak mungkin untuk menjadi mungkin, semua akan kembali seperti semula. Seperti saat aku belum mengenalmu.
Aku berpikir, bahwa rasa yang telah kita cipta pun akan ikut berakhir. Namun nyatanya tidak!
Setelah kita sepakat untuk saling melepaskan, berdamai dengan keadaan, ku biarkan kau berkelana mencari siapa yang mampu membuatmu bahagia dengan begitu paripurna. Ku persilahkan kau singgah dan menetap di hati siapa saja yang kau ingikan. Asal kau bahagia, begitu pikirku.
Lalu aku?
Aku tetap berjalan, berusaha menjauh darimu, menjauh dari bayang-bayang tentangmu. Aku pun berkelana, mencari bahagia yang ku inginkan. Mencari kata bahagia dengan level yang setara saat aku bersamamu. Aku mencari penggantimu, mungkin dari wajah yang serupa, atau suara yang sama, atau bahkan mungkin dari kebiasaaan, hobi, dan segala kesukaanmu yang persis seperti mu. Tapi aku tidak pernah menemukannya. Dan tentu tidak akan pernah menemukannya!
Ya. Bodohnya aku, karena aku mencarimu di orang lain.
Dari sekian banyak yang datang bertamu, tak juga ku temukan seseorang sepertimu. Mereka yang datang dan singgah sementara waktu hanya ingin memberi tahuku, bahwa tak ada seorangpun yang memiliki ketulusan rasa seperti yang kau bawa. Atau mungkin mereka membawa ketulusan rasa itu, namun hatiku sudah terkunci rapat hanya karena satu nama yaitu, kamu!
Hingga akhirnya aku tersadar, aku tak pernah benar-benar bisa menjauh darimu. Aku tak pernah benar-benar bisa melepaskanmu. Aku bahkan tak pernah ingin kita menjadi seperti semula, saat kita belum mengenal atau hanya baru sekadar bertegur sapa. Aku tersadar bahwa sampai kapanpun aku tak ingin menjadi orang lain lagi di matamu. Dan aku pun tak mengingkan kamu terlihat layaknya orang yang tak pernah ku kenal sama sekali dalam hidupku. Aku ingin kita tetap saling menjaga, mesti tak harus saling memiliki. Kita tetap saling mendekap, meski hanya dengan lewat barisan doa.
Karena ternyata, dari segala apa yang ku rasakan, dari siapapun yang datang dan mencoba merebut hatiku, dari sekian banyak yang ku perjuangkan dan ku harapkan, ternyata masih kamu lah pemenangnya. Ternyata masih kamu yang menduduki tahta tertinggi rasa sayangku. Masih kamu yang menjadi pemenang dalam hal mencuri rasa dan hatiku. Ya. Masih kamu pemenangnya.
🥲🥲
BalasHapus