Hai, kamu. Apa kabar?
Kalimat itu, ingin sekali rasanya ku kirimkan padamu. Agar kamu tahu, bahwa setiap harinya masih ada seseorang yang selalu menunggu kabar darimu. Memastikan kamu baik-baik saja. Tapi rasanya, sudah tak patut aku mengirimkan pesan itu lagi.
Hai, apa kamu bahagia bersamanya?
Pertanyaan itu terus menggema dalam dada. Membutuhkan jawaban yang langsung terucap dari bibirmu. Namun sayangnya, itu tak lagi mungkin terjadi. Ada jarak teramat jauh yang telah kamu bentangkan di antara kita. Meski kita pernah melalui hari-hari penuh tawa bersama, saling menghapus air mata dan menguatkan, atau bahkan hanya sekadar menikmati gugusan bintang yang seolah tersenyum menyaksikan betapa bahagianya kita malam itu.
Masih banyak pertanyaan yang ingin ku layangkan padamu. Mengubah keasingan ini kembali menjadi suatu hal yang saling. Tapi, menyedihkannya, aku tak punya kuasa untuk itu. Hari-hari yang telah kulalui tanpamu telah mengajariku banyak hal: untuk kuat menanggung rindu yang tak usai, untuk mampu menekan ego agar tak lagi melangkah mendekat padamu, dan untuk menyadari, bahwa apa yang kita ingin tak selalu bisa menjadi milik.
Dan harus kuakui, pembelajaran hidup yang datang karena hadirmu sungguh tak mudah bagiku. Meski aku menjalaninya dalam ruang diam dan perenungan, tapi semuanya terasa menyakitkan.
Tapi begitulah hidup—tidak semua yang datang ditakdirkan untuk tinggal, tidak semua yang mengisi hati akan menetap selamanya. Kadang, pertemuan hanya sebatas pengingat bahwa rasa pun bisa salah alamat.
Dan malam ini, aku kembali memeluk sepi yang setia.
Bukan karena aku belum bisa melupakan, tapi karena aku sedang belajar menerima. Bahwa mencintai juga bisa berarti merelakan. Bahwa peduli tak selalu harus menyapa.
Jadi, jika suatu hari kamu membaca ini—entah sengaja atau tidak—ketahuilah, aku pernah ada di sana.
Menunggu, mendoakan, juga mencintaimu, dalam diam yang tak sempat berpulang.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar