Saat kamu masih berada di sisiku, duniaku seolah berhenti berputar dan hanya berpusat padamu. Dalam benakku, masa depan tampak begitu sempurna selama kamu yang mendampingiku. Aku membayangkan, betapa banyak bahagia yang akan kupetik jika seluruh waktuku hanya bersamamu.
Tapi ternyata, semua itu hanya hidup di ruang khayalku.
Kenyataan memaksa kita saling melepaskan. Restu dan perbedaan menjadi tembok tinggi yang tak mampu kita robohkan bersama. Aku sempat ingin melawan semuanya, menembus batas itu sendirian. Tapi kamu memilih menyerah—dan membiarkanku berjuang tanpa arah.
Hingga aku menyadari, mungkin memang aku harus berhenti.
Bukan karena aku berhenti mencintaimu. Bukan karena aku lelah mencintai, tapi karena aku tak ingin terus terluka atas cinta yang tak diperjuangkan dua arah.
Melepaskanmu... adalah keputusan paling berat yang harus kupilih dalam keadaan masih mencintaimu. Sama beratnya dengan menahan air mata tiap kali rindu itu datang tiba-tiba, lalu menyiksa diam-diam.
Tapi aku harus melakukannya.
Karena bertahan hanya akan meluluhlantakkan diriku sendiri. Aku berdiri di titik lelah, di mana cinta tak bisa dilanjutkan jika hanya aku yang terus menggenggam.
Jadi hari ini, aku pamit.
Aku mundur dari langkah yang pernah kita mulai. Bukan untuk melupakan, tapi untuk menjaga diriku agar tetap utuh.
Jangan khawatir, aku masih mencintaimu—dengan caraku sendiri.
Aku masih menyimpan namamu dalam rindu yang tak pernah meminta kembali.
Dan jika suatu hari nanti rindu ini lelah, biarlah ia bersemayam dalam sunyi dan sepi yang tak pernah lagi terlihat olehmu. Tapi cintaku... akan tetap ada, meski tak lagi ingin dimenangkan. Karena setidaknya, aku oernah berjuang atas nama cinta kita.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar