Sejak malam pertama kau terpejam untuk selamanya, isi kepalaku sangat berisik. Semakin gaduh ketika hatiku ikut berteriak mengeluarkan tanya yang tak akan pernah ku dapati jawabannya.
"Kenapa sekarang?"
"Kenapa tak ada pamit dan salam perpisahan?"
"Bagaimana hari-hariku berikutnya tanpa mu?"
Dan masih banyak sekali pertanyaan kenapa dan bagaimana yang menari di kepalaku.
Semua pertanyaan itu, mendorong kaki ku untuk terus melangkah mencari jawabannya sendirian.
Sekali waktu aku terjatuh. Meringis. Menahan perih sendiri.
Tapi suaramu menggema dalam ingatan. "Kamu bukan anakku yang lemah. Kamu gak boleh menyerah sebelum berperang. Kamu bisa melewati semuanya. Anakku, adalah anak yang tangguh! Yang hebat! Yang selalu aku banggakan!" Semua kalimat itu membuat kakiku kembali kuat berdiri, dan kembali melangkah untuk menemukan jawaban demi jawaban.
Ayah... Tapi sering kali aku merasa tak seperti apa yang kau katakan. Seringkali aku merasa gagal menjadi anak kebanggaanmu.
Sejak kau tak ada... Semua tak lagi sama, Ayah. Aku enggan mengatakan hidup ini kejam sejak kepergianmu. Tapi aku mencoba melihat dan menerima bagaimana dunia begitu keras membentuk diriku untuh menjadi tangguh seperti apa katamu. Aku juga mencoba memahami maksud baik Tuhan atas kepulanganmu.
Ya. Karena pada nyatanya, tak ada takdir dan ketetapan Tuhan yang tak baik untuk setiap hamba. Hanya saja, kita sering lari dari kenyataan dan mengatakan bahwa Tuhan tak adil, atau dunia yang terlalu kejam.
Dan aku yakin kau akan sangat marah jika aku memaki Tuhan atau menyalahkan dunia atas kepulanganmu. Aku juga yakin, kau tahu, bahwa sejak kau tak ada, aku rapuh, aku hancur, tapi aku mampu untuk tetap berdiri dan terus berjalan ditemani lapusan rindu untukmu, serta lapisan percaya kelak kita akan kembali bertemu.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar