Saat kau datang meminang, kebahagianku begitu terasa sempurna. Kita saling berjanji untuk berjuang bersama memperjuangkan ikatan cinta di antara kita. Meskipun sebuah restu menjadi salah satu bagian dari kerikil yang harus kita lalui. Bersamamu aku merasa yakin, apapun bentuk kerikil yang menguji perjalanan panjang ini tentu kita bisa melaluinya.
Namun ternyata keyakinanku tak bertahan lama. Belum genap enampuluh hari, aku melihat dirimu yang tak lagi ku kenal. Langkah kita mulai tak seiring sejalan. Aku mulai tak mengerti bagaimana bentuk sayang dan cinta yang sesungguhnya kau miliki untukku. Tangan kekarmu mulai tak jarang melukai ragaku dengan sengaja. Lebam biru yang membekas menjadi bukti dari hilangnya perlakuan manismu kepadaku. Di saat buah hati kita masih berjuang untuk tumbuh dalam rahimku, kamu belum juga berhenti untuk mencetak memar pada setiap sisi sariraku. Hingga akhirnya kita harus kehilangan buah hati yang bahkan ia pun belum ku lahirkan. Namun semua itu masih bisa ku maafkan.
Entah, aku yang terlalu
mencintaimu atau aku terlalu bodoh untuk bertahan bersamamu. Belum selesai
sampai di sana ujianku menghadapi badai ini sendirian. Belum hilang luka
batinku atas segala perlakuanmu, kini kau tambahkan lagi dengan hubungan
percintaanmu bersama salah satu sahabat terbaikku. Saat aku mengetahuinya,
dengan rintikan air mata buaya kamu memohon ampun meminta maaf. Memohon untukku
menerimamu kembali dan bertahan dalam bahtera yang kita bina. Bodohnya, aku
menerimamu. Aku percaya akan segala janji palsumu.
Sampai pada akhirnya, aku memilih
pergi di saat ikatan suci yang kita jalani sudah menginjak angka sembilan puluh
enam bulan. Mendapatimu berkhianat lagi, dengan orang yang sama, membuatku
merasa telah kalah dari perjuangan panjang ini. Sungguh, ini bukanlah pilihan
yang mudah bagiku. Namun, sederet kejadian membuatku kuat mengambil langkah
ini. Aku lelah dengan segala pengorbananmu. Lahir batin aku korbankan untuk
selalu memaafkan dan menerimamu kembali. Namun segala perjuangan dan
pengorbananku seolah tak berharga setitikpun di matamu.
Maka, maaf kali ini aku memilih
pergi. Terimakasih untuk ribuan hari kebersamaannya. Terimakasih telah
membentukku menjadi wanita kuat yang memahami apa itu makna berjuang,
memaafkan, dan kini melepaskan. Aku harap kamu bahagia selalu bersamanya.
Sekali lagi, maaf aku memilih pergi darimu.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar