Aku yang telah sangat menyayangi seseorang, yang begitu bahagia di saat ia hadir dan membuka pintu rumahnya untukku ternyamankan dengan caranya, yang selalu tersenyum penuh suka cita di kala sambutan hangatnya memeluk hati, kini harus berjuang untuk tetap berdiri di atas kepingan bahagia yang tersisa, diiringi denting kerinduan tersebab sebuah kehilangan dirinya.
Aku, yang telah menemukan rumah singgah untuk melepas lelah dan mengisi ulang keceriaan, yang telah menemukan ruang untukku berdiam sesaat melukis senyuman, sekarang harus menerima kenyataan bahwa rumah singgahku telah terkunci dan tak lagi dapat menerima kehadiran ku. Tak akan ada lagi tawaku tercipta karenanya. Tak akan ada lagi sedihku tertumpah padanya. Dan aku, kembali kehilangannya.
Pada akhirnya, aku tersadarkan, sedalam apapun aku menyayanginya, sebahagia apapun saat aku bersamanya, seindah apapun cerita yang pernah tertulis saat dengannya, di penghujung kisah, aku akan tetap bertemu dengan satu keadaan yang pasti, yaitu; kehilangannya.
Maka, semestinya aku harus bisa melatih hati lebih cepat untuk dapat menerima sebuah kehilangan. Seharusnya aku harus bisa melatih diri untuk terbiasa tanpanya. Namun sayangnya, aku terlambat. Belum sempat aku mempersiapkan hati dan diri, kini aku sudah kehilangannya.
Pada akhirnya, aku memang harus kehilang dia. Karena di dunia ini, tidak ada satupun yang abadi, bukan? Seseorang yang datang, dia akan pergi. Sesuatu yang terjadi pasti akan berlalu. Segala hal kejadian akan datang dan pergi silih berganti. Dan, aku sadari bahwa sebuah kehilangannya adalah keniscayaan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar