Sebuah Jawaban (Part 1)
“Ta, besok aku tetap harus pergi. Papa minta aku menggantikannya sementara waktu mengurus usahanya yang di Singapur.” Kata dia sore itu, di tempat makan favorit kami, sepulang aku kuliah. Dia menjemputku sore itu sepulang kerja. Aku dan dia terpaut usia empat tahun. Dia sudah sibuk dengan dunia kerjanya, sedang aku, sedang sibuk memikirkan proposal skripsi.
Aku hanya diam mendengar keputusannya. Aku bisa apa? Aku tak ingin menjadi wanita egois, aku tidak ingin merusak hubungan harmonis antara anak dan ayahnya. Maka lebih baik aku mengalah, bukan?
“Ta, kenapa diam? Ngomong lah, Ta. Jangan diam aja.” Pintanya sambil menatapku.
“Pergilah kalau memang kamu harus pergi, jaga dirimu baik-baik selama di sana.” Jawabku sambil mengalihkan pandangan darinya.
“Apa kita enggak bisa coba untuk …”
“Gak perlu. Kamu tau prinsip aku, kan? Aku enggak mau ganggu kamu. Aku mau kamu fokus dengan urusan kamu di sana.”Ucapku memotong kalimatnya. Aku tahu apa yang akan dia minta. Dia pun hanya terdiam mendengar keputusanku.
Sore itu, tempat dan makanan favoritku seolah berubah rasa. Tempat itu menjadi tempat menyimpan cerita bahagiaku dengannya, juga saksi atas perpisahan kami. Makanan kesukaanku pun terasa begitu hambar. Aku benar-benar tidak bias menikmati momen kebersamaan dengannya sore itu. Tidak seperti hari-hari sebelumnya.
“Aku mau pulang.” Pinta ku tak lama kemudian.