Rabu, 01 April 2020

Cinta Dalam Netra

 

 

Sudah dua tahun perpisahan itu terjadi. Tapi bagi Aksa kejadian itu seperti baru kemarin. Semua masih terlihat begitu jelas dan nyata. Tatapan mata, raut wajah, serta rasa kecewa dari gadis itu masih bisa ia lihat dengan jelas. Seandainya saja kesalahan itu tidak pernah terjadi, pasti dia masih bersama gue di sini. Bisik hati Aksa begitu lirih sambil menatap langit-langit kamarnya.

Fany, gadis cantik nan mungil serta pintar. Dialah yang tidak pernah bisa menghilang dari pikirannya, ataukah memang Aksa yang tidak berani menghilangkannya? Entahlah, yang pasti Aksa masih merasa begitu kehilangan sejak perpisahan itu. 

Perempuan yang ia kira tidak akan pernah membawa pengaruh besar dalam hidupnya itu ternyata telah menyihirnya tanpa sadar. Perempuan yang ia pikir sama dengan perempuan-perempuan lainnya, ternyata berbeda. Aksa pun baru menyadarinya sejak malam itu, malam perpisahan yang tidak pernah ia duga sebelumnya.

 

^^^

Fany datang lima menit sebelum waktu yang dijanjikan. Di taman belakang kampus, tempat biasa ia dan Aksa bertemu. Dari lima menit menjadi lima belas menit, dan kemudian setengah jam. Tapi Aksa tak kunjung terlihat. Berkali-kali Fany menghubunginya, mencoba telepon dan mengirimkan pesan, tapi tak ada jawaban maupun balasan dari Aksa. Fany mencoba untuk mengirim pesan kepada Aksa untuk yang terakhir kalinya.

Kamu dimana? Kita jadi ketemu gak? Aku tunggu lima menit lagi, kalau kamu gak dateng juga, aku pulang!’

Pesan terkirim.

               Pesan diterima.

Lima menit pun beralih menjadi sepuluh menit kemudian, tapi tidak ada satu pun pesan Fany terbalas. Fany pun memutuskan untuk segera pulang. Saat ia sedang berjalan ke gerbang kampus untuk pulang, Fany melihat motor Aksa baru saja memasuki parkiran motor. Ia sedikit tidak yakin jika yang membawa motor itu pun Aksa, karena wajahnya tertutup helm dan juga orang itu membonceng seorang wanita.

“Masa iya sih itu Aksa? Enggak mungkin lah, mungkin itu temennya yang lagi pinjem motor dia.” Kata Fany pelan.

“Tapi, bisa jadi juga itu dia kan? Dari tadi ditelepon enggak jawab, di WA juga gak dibales, ah ... udahlah!” lanjut Fany yang semakin kesal.


Keesokannya, jam tujuh pagi Aksa sudah berada di depan rumah Fany.

“Ngapain pagi-pagi udah di sini? Kalau ngajakin ke kampus bareng, maaf, aku hari ini gak ada perkuliahan!” kata Fany ketus saat menghampiri Aksa yang masih duduk di atas motornya depan rumah Fany.

“Ketus banget sih, say ... masih pagi lho! Gak boleh marah-marah, nanti cantiknya luntur.” Goda Aksa sambil sesekali menjawil hidung Fany, yang selalu ditepis oleh Fany. Fany pun tak tergoda oleh rayuan Aksa.

“Maafin aku dong, say. Kemarin ada rapat sama anak pecinta alam. Ngomongin buat acara pendakian yang tinggal dua minggu lagi.” Aksa mencoba menjelaskan.

“Sampe enggak bisa jawab telepon aku dan bales pesan aku?” tanya Fany masih dengan nada kesalnya.

“Hp aku lowbatt banget kemarin dan aku charge selama rapat. Jadi aku enggak tau kalau kamu telepon dan kirim pesan. Maaf ya sayang...” rajuk Aksa.

“Bener kemaren rapat? Bukan pergi dengan cewek lain?” tanya Fany penuh selidik.

Aksa tidak mengira Fany akan bertanya seperti itu. Namun ia cukup pandai menyembunyikan keterkejutannya.

“Pergi sama cewek lain? Ya enggaklah, ay. Beneran kemaren itu aku rapat. Maafin aku yaa..” Aksa masih memohon minta maaf. Dengan berat hati Fany mencoba memaafkan.

 
Seminggu menjelang acara pendakian gunung bersama teman-teman organisasi pecinta alam, membuat Aksa benar-benar sibuk. Fany pun mencoba menyibukkan diri dengan tugas-tugas kuliah, dan hobi melukisnya. Fany mencoba mengerti dengan kesibukkan Aksa di organisasinya itu. Ia pun rela mengalah untuk tidak pulang dan pergi bersama lagi seperti awal mereka masuk kuliah. Saat Aksa belum terlalu sibuk seperti saat ini. 

Hari keberangkatan Aksa bersama teman-temannya pun tiba. Fany meminta untuk bertemu Aksa sebelum ia pergi. Aksa pun mengiyakan.

“Jaga diri kamu baik-baik selama gak ada aku. Sebisa mungkin aku akan hubungi kamu, kalau sinyalnya mendukung. Hehehe” ucap Aksa sebelum pergi. Fany mengiyakan dengan anggukan kecil, dan di saat itu pula Fany melihat wanita yang sempat ia lihat berada di boncengan motor Aksa sedang menatap ke arah mereka. Hati Fany mulai tak enak. Kecurigaan mulai kembali hadir, namun segera ia tepis.

“Kamu juga jaga diri baik-baik, jaga hati kamu juga selama gak ada aku.” Jawab Fany sambil sedikit menggoda Aksa, yang digoda hanya tertawa kecil yang kemudian mendaratkan kecupan sayang dikening Fany.

^^^

Dua minggu berlalu sudah sejak kepulangan Aksa dari pendakiannya. Tapi Fany belum juga bertemu Aksa. Tiap kali Fany mengajaknya bertemu, Aksa selalu bilang sedang tidak ada waktu. Fany belum putus asa. Ia mencoba lagi untuk mengajak Aksa bertemu di taman kampus seperti yang dulu sering mereka lakukan. Fany mencoba mengirim pesan ke Aksa.

‘Aku mau ketemu kamu. Di taman seperti biasa. Aku kangen. Banyak hal yg mau aku obrolin sama kamu. Plis, aku minta waktu kamu sebentar aja. Kalau kamu bisa, kabari ya. Aku tunggu kamu di sini.”

Pesan terkirim.

               Pesan diterima.

Tidak sampai satu menit balasan pun diterima Fany.

“Oke. Aku kesana. Tunggu ya.”

 Fany tersenyum bahagia mendapatkan balasan dari Aksa. Lima menit kemudian, Fany melihat Aksa sedang berjalan ke arahnya. Namun seketika senyum bahagianya hilang, saat mata Fany menangkap sosok wanita yang sudah tidak asing lagi di matanya sedang berjalan bersama Aksa, dan bergandengan tangan! Namun Aksa segera melepaskan gandengan tangannya saat bersitatap dengan Fany. Sedangkan wanita itu pun berjalan menjauh dari Aksa.

“Maaf sayang, nunggu lama ya? Aku kangen banget sama kamu.” Kata Aksa saat sudah berada di samping Fany, dan kemudian mendaratkan kecupannya di kening Fany.

“Enggak, aku baru sebentar di sini. Aku juga kangen kamu.” Jawab Fany sambil menutupi kekecewaannya. Aksa tau Fany marah dan kecewa, tapi Aksa memilih untuk bersikap seolah tak terjadi apa-apa selama Fany tidak menyinggung tentang wanita itu. Aksa dan Fany pun mulai larut dalam obroan ringan pelepas kerinduan mereka. Hingga tidak terasa, waktu sudah semakin sore.

“Kita pulang barengkan hari ini?” tanya Fany sebelum beranjak dari tempat duduknya. Aksa tidak langsung menjawab. Ia meilirik jam tangannya dan terlihat seperti sedang mempertimbangkan sesuatu.

“Kenapa? Gak bisa ya?” lanjut Fany.

“Bisa, tapi sebentar aku ke toilet dulu.” Jawab Aksa yang kemudian beranjak meninggalkan Fany. Sepuluh menit kemudian, Aksa kembali lagi dan mengajak Fany untuk pulang.

Dalam perjalanan pulang, tak banyak yang mereka bicarakan seperti biasanya. Fany hanya ingin memeluk Aksa lebih erat. Ia ingin membayar kerinduannya yang belum tuntas hilang terbayar hanya dengan mengobrol di taman kampus tadi. Suara deru motor menjadi alunan melodi mengiring perjalanan mereka. Fany sangat menikmati momen ini. Momen duduk di boceng Aksa dan memeluk Aksa dari belakang dengan sangat puas.

 Momen yang kemudian tidak pernah Fany dapatkan lagi. Karena sejak hari itu, Aksa semakin sulit untuk ditemui oleh Fany. Sekalipun bisa ditemui itu tak bisa lama. Fany mulai merasa ada yang tidak beres dengan hubungan mereka. Fany berusaha untuk sabar menunggu waktu yang tepat untuk berbicara empat mata bersama Aksa tentang hubungan mereka yang ia rasa sudah mulai meregang.

 Kesabaran Fany pun kemudian berubah menjadi amarah dan rasa kecewa yang tak terelakkan. Bahkan, kesabarannya pun berubah menjadi pisau yang begitu tajam menusuk hatinya yang lembut. Membuat air matanya tak dapat dihentikan saat ia melihat kejadian itu.

^^^

Hari itu, tepat hari ulang tahun Aksa dan hari perayaan hari jadi mereka yang memasuki tahun kedua. Fany mencoba membuat kejutan kecil-kecilan. Fany sengaja membuat acaranya di rumah Aksa. Karena ia tahu, Aksa akan pulang agak malam hari itu. Fany beserta Mama dan adik Aksa mempersiapkan acara perayaan itu sebelum Aksa pulang.

Senja menjelang dan persiapan perayaan serta kejutan untuk Aksa sudah rapih. Hanya tinggal menunggu Aksa datang. Pukul delapan malam Fany mendengar deru motor Aksa memasuki pintu gerbang dan kemudian terparkir di depan rumah. Fany sedikit mengintip dari jendela ruang tamu dengan perasaannya yang begitu bahagia. Tapi sedetik kemudian rasa itu berubah menjadi curiga, kecewa, dan amarah yang menjadi satu saat ia melihat Aksa membawa seorang perempuan di boncengan motornya. Mereka terlihat sangat akrab. Bahkan, perempuan itu tanpa canggung membantu Aksa membuka jaket motornya. Fany sering sekali melihat perempuan itu. Apakah dia teman satu organisasi dengan Aksa? Mungkinkah dia alasannya yang menjadikan Aksa berubah sama aku? Bisik hati Fany.

 Seolah melupakan persiapan kejutan yang akan diberikan, Fany langsung mengambil tasnya yang berada di meja ruang tamu, dan kemudian menghampiri Aksa yang terlihat sedang tertawa-tawa kecil bersama perempuan itu. Tanpa basa basi Fany langsung menarik tangan Aksa untuk mengikutinya menjauh dari perempuan itu.

 “Dia orangnya, Sa? Yang udah membuat kamu akhir-akhir ini sibuk enggak ada waktu tiap kali aku ajak ketemu? Dia yang jadi alasan kamu menjauh dari aku? Dia juga yang udah membuat kamu hilang rasa ke aku? Iya?” tanya Fany tanpa basa-basi dengan tatapan mata yang tajam saat berada di hadapan Aksa.

 Aksa terlihat sangat bingung dan kaget saat melihat Fany yang tiba-tiba keluar dari rumahnya dan menarik tangannya.

 “Bukan, Fan. Kamu salah faham. Aku akan jelaskan!” kata Aksa sambil berusaha menahan Fany yang sudah siap melangkah meninggalkannya.

“Mau ngejelasin apalagi? Jelasin kalau dia teman kamu? Atau pacar kamu? Atau selingkuhan kamu? Apa, Sa??” tanya Fany dengan tatapan marah berbalut air mata kecewa yang siap tumpah di hadapan Aksa. Namun buru-buru ia hapus.

 Aksa terdiam tak bisa menjawab.

 “Kamu gak bisa jawab, kan? Udahlah, memang gak ada yang perlu dijelaskan!” kata Fany yang langsung berbalik badan dan melangkah meninggalkan Aksa. Belum sampai langkahnya ke pintu gerbang, Aksa sudah mengejarnya, dan berdiri di hadapan Fany, menahannya untuk tidak pergi.

“Fan, plis, jangan pergi dulu.” Hanya itu yang mampu Aksa ucapkan sambil menggenggam tangan Fany.

 Fany tidak berkata apapun. Tapi melalui tatapan matanya Fany menuntut Aksa untuk melepaskan tangannya. Aksa pun menurut.

 “Jangan halangi langkah aku!” kata Fany mencoba mengancam Aksa untuk tidak mengikutinya ataupun menahannya untuk pergi. Aksa pun menggeser badannya, memberikan jalan kepada Fany. Amarah, kecewa, sakit hati, semua berpadu menjadi satu di dalam hati Fany. Hari yang telah lama dibayangkannya menjadi hari yang paling menyenangkan dan penuh kenangan, justru menjadi hari yang sangat menyakitkan baginya.

 “Kita putus! Semoga kamu bahagia dengan perempuan itu.” kalimat yang terlontar begitu tegas saat Fany akan meninggalkan Aksa. Pelan namun bagaikan sambaran petir di telinga Aksa.

Tatapan mata Fany yang penuh rasa marah dan kecewa, berhias air mata yang menggantung di ujungnya, membuat Aksa tidak bisa berbuat apa-apa. Dia hanya bisa membiarkan Fany melangkah pergi meninggalkannya. Acara yang telah dipersiapkan pun gagal berantakan.

 Setelah Reina, perempuan yang tadi ikut bersama Aksa, sudah pulang Mama memberitahukan semua yang telah Fany siapkan sejak tadi untuk menyambutnya pulang dan membuat pesta kecil untuk merayakan ulang tahunnya serta hari jadi mereka. Aksa pada awalnya tidak percaya dengan ucapan Mama. Akan tetapi, setelah Mama mengajaknya ke taman belakang rumah, dan melihat di sana telah ada beberapa makanan tersaji dengan indah, dan dua bungkus kado yang keduanya dari Fany membuat Aksa hanya bisa terdiam tak percaya. Aksa merasa dirinya adalah lelaki paling bodoh yang telah menyiakan dan menyakiti Fany. Wanita yang begitu tulus mencintainya.

 “Aksa mau sendiri ya, Ma? Boleh, kan?” tanya Aksa sambil menatap sang Mama yang berada di sampingnya.

“Tentu boleh sayang,” jawab Mama disusul dengan senyumannya.

Aksa langsung menutup pintu yang menghubungkan ruang makan dengan taman belakang setelah Mama meninggalkannya sendiri. Ia pun duduk di salah satu bangku. Ia perhatikan kue ulangtahun ukuran kecil dengan kalimat “selamat bertambah usia lelaki kesayanganku” yang tersedia di atas meja. Ia pun melihat dua kado yang juga tersedia di atas meja, tepat di samping kue ulang tahunnya. Kemudian ia membuka kado tersebut satu persatu.

 Aksa mencoba menahan air matanya setelah ia membuka kado yang pertama. Ia mendapati foto dirinya berdua dengan Fany di dalam sebuah bingkai foto yang terdapat tulisan “I Love You Forever.” Aksa semakin merutuki dirinya. Menyesali apa yang telah ia lakukan selama ini.

Membiarkan cintanya terbagi ke wanita lain, memberikan kenyamanan pada wanita lain, menduakan Fany jauh sebelum acara pendakian itu dimulai. Hingga akhirnya membiarkan Fany mengalah, dan kemudian menghancurkan kesabaran serta menghilangkan rasa percaya Fany kepada dirinya karena telah membawa seorang perempuan ke rumahnya. Di hari ulang tahunnya sekaligus di hari jadi mereka. Aksa terus memandangi foto Fany tak peduli malam semakin beranjak dan kelam.

Kemudian ia membuka kado kedua. Aksa mendapati jersey salah satu club bola kesayangannya. Salah satu jersey yang sudah ia incar sejak lama, dan kini menjadi salah satu hadiah berharga yang ia dapatkan dari Fany. Aksa semakin menyalahkan dirinya sendiri. Menyalahkan sikap bodohnya selama ini. Menyalahkan keputusannya menyakiti Fany secara perlahan seperti ini. Ya, hanya penyesalan akhirnya yang menjadi penutup hari pentingnya saat itu.

Penyesalan yang terus mengiringi langkahnya, bahkan menemaninya hingga malam ini. Saat ia memandang lepas ke langit-langit kamar, hanya ada Fany dalam pikiran hatinya. Membuat penyesalan berbalut rindu kian memeluknya erat.

^^^

Sejak kejadian itu Fany sebisa mungkin menghindar dari pengelihatan Aksa. Ia benar-benar ingin membuat Aksa kehilangan akan dirinya. Bahkan nomor ponselnya pun segera ia ganti. Takut-takut Aksa nekat menghubunginya suatu saat nanti. Ia terus fokus kepada kuliahnya. Mencoba melupakan Aksa dengan menyibukkan diri sebisa mungkin. Melampiaskan segala rasa kecewanya di atas kanvas. Walau tak bisa dipungkiri, Fany memang masih menyimpan rasa kepada Aksa, tapi ia belum bisa memaafkan Aksa tiap kali ia teringat kejadian di hari itu dan mengingat sikap cuek Aksa di hari-hari sebelumnya. Ditambah lagi Fany seringkali melihat Reina bersama Aksa sejak hari keberangkatan Aksa untuk mendaki gunung. Amarah, kecewa, berpadu dengan rasa cinta dan sayang tak pernah sanggup pergi dari hati kecil Fany.

Sedangkan Aksa, selama dua tahun sudah perpisahan itu terjadi, ia tidak pernah bisa sampai hati melupakan dan menghilangkan Fany. Walau ia akhirnya menjadi terkenal dengan julukan si playboy, karena sikapnya yang terlihat mudah sekali berganti pacar sejak hari perpisahan dirinya dengan Fany. Tapi Aksa tidak bisa melupakan Fany begitu saja. Tidak pernah ada yang berhasil membuat Aksa jatuh cinta seperti Fany. Selepas Fany pergi pun tidak pernah ada perhatian, pengertian, serta cinta yang tulus ia dapatkan dari pacar-pacarnya seperti yang dulu pernah ia dapatkan dari Fany. Kebanyakan dari mereka hanya mengejar harta kekayaan yang dimiliki Aksa. Anak dari salah satu pengusahan sukses di negeri ini.

 “Kapan lo akan melepaskan Fany seperti Fany melepaskan lo, Sa?” tanya Andre, setelah memasukkan suapan pertama ketoprak favoritnya.

 Aksa baru saja menceritakan perasaannya yang sebenarnya ia rasakan selama ini. Tentang pikiran yang mengganggunya selama ini. Ia tidak peduli dengan kantin yang masih ramai dengan mahasiswa dan tidak merasa takut juga jika ada yang mendengarkan pembicaraannya itu.

Aksa mengangkat bahunya memberikan jawaban.

 “Gue selau mencoba melupakan dia, Ndre. Tapi susah. Gue juga yakiin Fany masih mencintai gue.” Kata Aksa kemudian dengan mata yang menerawang.

“Gila apa lu? Dua tahun kalian udah berpisah dan lu bilang dengan yakin Fany masih mencintai lo? Ya ampun, bro! segitu cintanya lo sama dia??” tanya Andre tidak percaya.

“Dan itu nyatanya yang gue rasain selama ini, cuy! Hampir gila gue kalau inget dia!”

“Ya udah, lupakan lah!” kata Andre begitu entengnya.

“Enggak bisa!” jawab Aksa tegas.

“Bukan enggak bisa, tapi lo itu enggak mau melupakan Fany! Lo itu terlalu takut untuk kehilangan dia! Terlalu takut kalau-kalau ada orang lain yang bisa mendapatkan cintanya Fany.” kata Andre tak mau kalah.

“Bodo, ah! Gue cabut duluan, ya?” kata Aksa yang langsung meninggalkan Andre tanpa mendengar jawaban Andre terlebih dahulu.

“Kebiasaan, begitu deh kalau udah kepentok.” Kata Andre pelan. Tak mengharapkan Aksa mendengar ucapannya.

~^~^~^~

Fany sedang sibuk mencari buku untuk dijadikan refrensi skripsinya di toko buku favoritnya. Tiba-tiba saja matanya menangkap satu sosok yang masih sangat ia kenal. Aksa.

Setelah ia bercerita tentang perasaannya tadi kepada Andre di kantin kampus, tanpa direncanakan Aksa menuju toko buku yang sering ia kunjungi bersama Fany, dulu.

Fany bisa merasakan degup jantungnya berdetak lebih cepat. Ia bisa merasakan sedikit kebahagiaan saat ia melihat Aksa nampaknya baik-baik saja walau tanpa dirinya. Namun di sisi lain, hatinya masih merasakan sakit saat teringat peristiwa itu. Fany langsung mengalihkan pandangannya dan berpura-pura tidak mengetahui keberadaan Aksa di tempat itu. Namun Aksa bisa melihat dirinya dengan jelas. Dengan perasaan bahagia karena bisa bertemu dengan Fany di toko buku itu, diam-diam Aksa menghampiri Fany.

 “Hay, akhirnya aku bisa ketemu kamu lagi, Fan,” kata Aksa yang sudah berada di samping Fany.

Tanpa menjawab, Fany segera membawa satu buku dan membayarnya di kasir. Setelah itu ia segera keluar dari toko buku. Sebisa mungkin ia ingin menghidar dari Aksa. Tetapi Aksa terus mengikuti dan mencoba mengajaknya bicara. Tapi Fany selalu bertindak acuh terhadap dirinya.

 “Fan, plis…. Berhenti sebentar, kasih aku kesempatan, Fan.” Aksa memohon.

 Berkali-kali Aksa mencoba menarik tangan Fany. Berkali-kali itu pula Fany selalu menepisnya dengan kasar. Aksa kali ini tidak akan membiarkan Fany pergi begitu saja. Aksa tidak peduli jika ia harus mengikuti langkah Fany hingga ke tempat parkir. Fany berhenti di samping jazz birunya. Aksa pun segera berdiri dengan menyandarkan badannya di pintu mobil. Membuat Fany terpaksa mengalah akan ulahnya.

“Satu menit! Cepet ngomong!” kata Fany sedikit kesal.

Aksa membuang nafas berat. Mencoba secepat kita isi kepalanya merangkai apa yang akan ia katakana.

“Aku hanya ingin minta maaf. Atas kesalahan aku dua tahun yang lalu.” Ujar Aksa.

“Udah, kan? Sekarang minggir! Gue mau pulang!”

“Satu lagi,” jawab Aksa cepat.

Fany yang semula tak ingin menatap Aksa, kini langsung menatap Aksa dengan pandangan kesal. Serta mengisyaratkan kepada Aksa untuk segera berbicara.

“Aku masih sayang kamu, Fan. Demi Tuhan aku sayang dan cinta banget sama kamu, Fan!” Lanjut Aksa.

Seketika itu degup jantung Fany lebih cepat dari normalnya. Darahnya berdesir lebih cepat dan terasa hangat hingga ke lubuk hatinya terdalam. Ia bahagia mendengar Aksa mengatakan itu. Ada sesuatu yang tiba-tiba terasa melebur di hati Fany. Mungkin itulah yang ia rindukan pula selama ini. Merindukan ungkapan hati dari mulut Aksa. Walau ia tidak tahu apakah yang Aksa katakan sebuah kejujuran atau hanya rayuan gombal seperti biasanya, namun yang ia tahu, ia sangat bahagia mendengar Aksa mengucapkan itu. Ingin rasanya ia memluk Aksa begitu erat, namun gengsinya lebih kuat untuk mencegahnya melakukan itu.

 “Waktu lo habis! Sekarang minggir! Gue mau pulang!” kata Fany masih dengan sinisnya. Aksa pun beranjak dari tempatnya, dan Fany segera melangkah dan kemudian membuka pintu mobilnya.

 “Terimkasih udah kasih aku kesempatan untuk ungkapkan ini, Fan. Setidaknya, kalau setelah ini aku tidak bisa bertemu kamu lagi, kamu udah tau apa yang aku rasakan selama ini, walau aku enggak pernah tau apa yang kamu rasakan saat ini sama dengan yang aku rasa, atau tidak. Terpenting buat aku, kamu harus tahu, rasa ini tak pernah hilang.” Ucap Aksa menahan langkah Fany yang sudah bersiap memasuki mobilnya. Fany tidak menjawab, ia hanya melemparkan tatapan penuh arti menembus mata Aksa dari balik kemudinya, sebelum ia menutup pintu mobilnya dan kemnudian meninggalkan Aksa sendiri.

Aksa tidak memerlukan jawaban atas pengakuannya itu. Karena ia tahu, tidak mungkin Fany menjawab pengakuannya. Jangankan untuk menjawab, menanggapi pun terasa enggan. Tapi Aksa dapat melihat kejujuran hati Fany lewat tatapan matanya. Fany boleh saja berkata dengan nada marah atau bahkan membenci sekalipun! Tapi tatapan matanya itu tidak bisa menyeimbangkan apa yang ia ucapkan dan apa yang ia rasakan sebenarnya. Aksa bisa melihat rasa kerinduan yang begitu dalam tersimpan di dalam hati Fany. Aksa juga melihat getaran cinta dan sayang itu masih ada dari balik tatapan mata Fany.

 ‘Terimakasi Tuhan, Engkau beri aku waktu dan kesempatan untuk ungkapkan semua ini. Aku tahu, ia masih menjaga cintanya untukku. Netranya telah berbicara. Satu-satunya yang ia punya dan tak pernah bisa membohongiku. Tuhan, jika Kau berkenan mempertemukanku kembali dengannya kelak, izinkan aku menatap matanya yang sedang menatapku dengan tatapan yang teduh berbalut cinta. Izinkan ia untukku selamanya.’ Bisik hati Aksa mengiringi langkahnya meninggalkan toko buku itu.

Di waktu yang sama, dan terpisahkan oleh jarak, seseorang yang sedang berada di balik kemudinya sedang sekuat hati menahan sesak karena telah menuruti egonya. Ingin ia memutar arah kemudinya, kembali ke tempat tadi. Menghampiri lelaki yang tak pernah benar-benar mampu ia singkirkan dari hati dan pikirannya. mengatakan bahwa ia juga masih mencintainya. Ia bahkan teramat sangat merindukannya. Dua tahun terpisah seperti ini begitu mengganggu dan menyiksa batinnya. Ya, seseorang itu adalah Fany. Ia tahu Aksa telah berkata seperti itu dengan tulus. Tidak ada gurat kepalsuan di balik netranya. Namun Fany tetap kalah oleh egonya. Ia memilih tetap pergi meninggalkan Aksa. Walau akhirnya ia harus merasakan perang batin yang begitu menyesakkan. Entah, kapan Fany akan benar-benar siap kembali kepada Aksa. Untuk kembali membangun cinta mereka yang sempat hancur, tetapi yang pasti, Fany ingin Aksa menjadi pelabuhan cinta pertama dan terakhir untuknya. 

1 komentar:

  1. seruh banget ambu....aku suka baca cerpen ambu yg kaya gini,tapi selalu aja ujung"nya selalu berpisah kan bikin kepo ambu..kali" gitu bikin cerpen yg ceritanya sampai abis. terimakasih ambu udh buat sya kepo...di tunggu yah cerpen terbaru nya...

    BalasHapus