Senja mulai menurunkan tirainya, dan aku masih menikmati waktu dengan memandang potret Kenan. Beginilah caraku menikmati waktu tiap akhir pekan. Berdiam diri di kamar, merehatkan pikiran dan badan yang sudah lelah memikirkan kerjaan di butik, sambil memandangi potret Kenan. Lelaki yang tak pernah mampu aku biarkan untuk pergi dari hati dan pikiran.
Tiba-tiba saja ponselku berdering. Nomor tanpa nama tertera di layar ponselku. Aku pun menjawab panggilan itu dengan sedikit keraguan.
“Halo Ta, apa kabar?” Sapa orang di sebarang telepon.
Aku tak percaya dengan suara yang baru saja aku dengar! Aku merasa seperti sedang berhalusinasi bahwa potret yang berada di genggamanku itu bersuara.
“Halo, Ta.” Suara di sebrang telepon memanggilku lagi. Dadaku seketika berdetak lebih cepat dari normalnya. Ada rasa bahagia tak terkira. Setelah dua tahun benar-benar tidak ada komunikasi, tidak lagi mendengar suaranya, dan kini suara itu kembali menyapa. Aku nyaris ingin menjerit bahagia karenanya.
“Hai, Kenan. Aku baik. Kamu?” jawabkku dengan sebisa mungkin menyembunyikan getar suaraku.
“Aku baik. Bisa keluar rumah sebentar?” tanya Kenan. Aku langsung mengintip dari jendela kamarku yang berada di lantai atas, dan melihat ia sedang berdiri di depan rumahku.
“Bisa, tunggu sebentar.” Jawabku yang langsung memutuskan sambungan telepon, dan mengganti baju secepat kilat. Lalu berlari menuruni anak tangga.
“Kenapa, Ta? Ko lari-lari gitu?” Tanya Mama saat aku baru saja mennginjakkan kaki di anak tangga terakhir.
“Ada Kenan, Mah.” Jawabku sumringah sambil berjalan cepat ke luar rumah. Aku tak peduli dengan tatapan heran bercampur tak percaya dari Mama. Aku tak ingin Kenan menungguku terlalu lama.
“Hai, aku ganggu waktu istirahatmu ya?” sapa Kenan yang sudah duduk di kursi teras.
“Enggak, dari pagi aku udah istirahat. Masuk yuk!” Jawabku sambil mempersilahkannya masuk ke ruang tamu.
“Tadi itu kata satpam kamu, dia bilang kamu lagi istirahat. Makanya aku telepon kamu tadi. Ngomong-ngomong, itu satpam baru? Pak Narto kemana?”
“Iyah, baru tiga bulan. Pak Narto di pindahkan ke kantor Papa.” Jawabku yang kemudian meninggalkannya sebentar untuk ke dapur, meminta bantuan kepada Bi Sari, asisten rumah tangga kami, agar membuatkan minum untuk Kenan.
“Kamu udah kerja?” Tanya Kenan setelah aku kembali ke hadapannya.
“Sudah. Di butik Mama. Capek cari kerja di luar, dan kebetulan Mama butuh manager di butiknya, jadi ya sudah aku yang isi kekosongan itu.” Jawabku.
“Daripada diisi oleh oranglain, lebih baik sama anak sendiri, kan? Papanya juga tidak kasih izin untuk dia bekerja di kantor orang lain.” kata Mama yang tiba-tiba saja datang mendekat dan kemudian duduk di sampingku.
“Iya, benar Tante. Kalau anak sendiri punya potensi yang bagus, dan bisa membantu orangtuanya, kenapa harus cari orang lain?” jawab Kenan.
“Nah, benar itu. Persis dengan apa yang dikatakan Papanya Nita. Eh, ngomong-ngomong lama kamu enggak terlihat. Nita terakhir cerita tentang kamu, katanya kamu lagi di Singapur?”
“Oh, iya tante, bantu Papa. Urus cabang bisnisnya di sana.”
“Wow, hebat. Sekarang sudah selesai?” Tanya Mama ingin tahu.
Ah, Mama. Plisss jangan lama-lama basa basinya, Ma. Aku rindu berat sama Kenan, kenapa Mama yang asik ngobrol?? Kesalku dalam hati.
“Belum Tante, aku lagi minta cuti dulu beberapa hari.” Jawab Kenan.
“Ooh, begitu. Kamu sekalian makan malam di sini, ya? Biar tante bilang ke Bi Sari untuk menyiapkan porsi lebih malam ini.” ajak Mama.
“Oh, enggak usah Tante, Kenan sebentar saja di sini. Justru Kenan mau ijin sama Tante mau ajak Nita keluar sebentar.” Ucap Kenan. Yang seketika itu membuat aku melongo tak percaya.
“Oh, mau makan malam di luar nih kalian berdua?” Tanya Mama dengan nada sedikit menggoda.
“Hehehe. Iya Tante, kalau diijinkan.” Jawab Kenan malu-malu. Mama pun menginjinkan dengan syarat tak boleh pulang larut malam. Setelah beberapa saat Mama pun pamit meninggalkan kami berdua karena dipanggil oleh Papa.
“Hei, kamu serius sama apa yang kamu bilang tadi ke Mama?” tanyaku heran kepada Kenan.
“Iya. Emang aku terlihat bercanda, ya?” Kenan balik bertanya.
“Ya enggak sih, cuma bingung aja. Tiba-tiba kamu nelepon, tau-tau udah di depan rumah, dan sekarang mendadak ngajak aku pergi? Kaya mimpi aja sih ini.”
“Iya, sebenarnya kedatangan aku kesini karena ada hal yang mau aku bicarakan sama kamu.” Ucap Kenan terlihat sedikit lebih serius.
“Tentang apa?” tanyaku penasaran.
“Aku akan kasih tau, tapi enggak di sini.” Jawab Kenan yang membuat aku semakin penasaran.
“Hm … kalau gitu aku siap-siap dulu deh. Sebentar ya.” Ujarku yang kemudian pergi meninggalkannya. Aku segera menuju kamar untuk mengganti baju dan sedikit merapihkan penampilanku.
Aku memilih middle dress berwarna dark brown dan membiarkan rambut sebahuku tergerai. Setelah memasukkan beberapa barang penting yang harus ku bawa ke dalam tas kecil, aku pun kembali turun menghampiri Kenan.
Aku melihat tatapan mata Kenan terpaku ke arahku. Tatapan matanya terus mengikuti gerakku saat aku memasuki ruang tamu dan kemudian berdiri di hadapannya. Aku yakin dia heran dengan penampilanku saat ini. Karena dulu aku jarang sekali menggunakan dress seperti ini. Saat pergi bersamanya dulu, aku seringkali menggunakan kaos dan celana panjang jeans. Hari ini, entah mengapa aku ingin memberikan penampilan berbeda kepadanya.
“Hai, kenapa melihat aku seperti itu? Ayo berangkat.” Kataku yang masih berdiri di hadapannya.
“Oh, ya. Ayo.” Jawabnya gugup sambil bangun dari duduknya.
Kamipun pergi meninggalkan rumah bersama camry hitam miliknya yang masih nampak mulus walau sudah ditinggalkan oleh pemiliknya selama dua tahun.
“Kamu berbeda banget malam ini. Lebih anggun. Lebih cantik.” Ucap Kenan yang berada di belakang kemudi sambil sesekali melirikku.
“Terimakasih untuk pujiannya.” Jawaku yang kemudian tersenyum simpul menanggapi ucapannya.
Tidak lama kemudian kami pun tiba di sebuah restoran terbilang mewah di kawasan Jakarta. Aku merasa beruntung karena tidak salah memilih kostum malam ini. Kami pun turun di lobi restoran, setelah itu Kenan menyerahkan kunci mobil kepada petugas parkir valet untuk memarkir mobilnya.
Kenan mengajakku ke lantai dua, dan memilih meja dengan posisi tepat di samping kaca. Sehingga kami bisa menikmati pemandangan kota Jakarta dari atas dengan langit yang mulai gelap berhias semburat senja yang masih tersisa yang begitu indah.
Kenan langsung memesan dua menu makan dan dua minuman kepada waiters yang membawakan menu ke meja kami. Setelah mencatat pesanan dengan baik, waiters itu pun pergi meninggalkan meja kami.
“Jadi, apa yang mau kamu bicarakan?” Tanyaku yang masih penasaran.
Ada rasa takut yang tiba-tiba menyelinap ke dalam hati. Aku takut ia akan memberikan kabar bahwa ia sudah memiliki penggantiku di Singapur sana. Lalu pertemuan ini hanyalah pertemuan untuk salam perpisahan selamanya.
“Sebenarnya, kedatanganku ke sini, karena ada dua hal yang mau aku tanyakan ke kamu.” Kenan akhirnya membuka suara. Aku masih terus menunggu kelanjutannya dengan perasaan dan pikiran yang tak karuan.
“Hal pertama yang mau aku tanyakan adalah, setelah aku pergi hingga saat ini, apakah aku masih ada di hati kamu?” Tanya Kenan sambil menatap mataku begitu dalam.
Jantungku berdegup lebih cepat saat mendengar pertanyaannya. Aku tidak tahu harus menjawab apa. Jika aku menjawab tidak, maka aku telah kembali membohongi hatiku. Maka itu artinya, aku akan kembali melanjutkan penyiksaan batin ini. Namun jika aku menjawab iya, aku takut ia telah menjadi milik orang lain, dan artinya, aku akan melukai dia juga wanita itu. Ya Tuhan, aku harus jawab apa?
“Kenapa kamu bertanya soal itu?” jawabku dengan melontarkan Tanya lagi.
“Karena aku ingin memastikan, apakah ada seseorang yang menggantikan aku selama ini? Dan jawaban kamu, akan berpengaruh pada pertanyaanku ke dua.” Jawab Kenan dengan tatapannya yang begitu lekat.
“Jujur Kee, belum ada seorang pun yang bisa menggantikan kamu. Karena aku tidak pernah bisa melepas kamu dari hati aku. Maafkan aku, Kee.” Kataku sambil mengalihkan pandangan dari tatapannya.
Tiba-tiba saja air mataku berkumpul di ujung mata dan siap untuk terjun bebas membasahi wajah. Aku ingin berkata “aku masih sangat mencintai kamu, Kenan. Aku tersiksa selama ini. Aku merindukan kamu. Aku berharap kamu kembali kepada ku, dan selamanya untukku. Aku mencintai kamu. Aku merindukan kamu. Aku merindukan kita yang dulu.” namun kata-kata itu tercekat di kerongkongan. Yang ada hanyalah bulir air mata yang jatuh satu per satu mewakili setiap kata yang tak mampu aku ucapkan.
“Jangan nangis, Ta. Please …” ujar Kenan sambil pindah ke kursi sampingku, dan menghapus air mataku. Tak lama pramusaji datang menghidangkan pesanan kami.
“Lalu apa pertanyaan kedua?” tanyaku setelah pramusaji pergi dari hadapan kami.
“Bolehkah aku menetap di hati dan hidup kamu selamanya?” Tanya Kenan sambil menggenggam tanganku dan menatap mataku yang sembab. Aku hampir tidak percaya dengan pendengaran ku sendiri. Aku seperti sedang bermimpi. Atau mungkinkah aku sedang berhalusinasi? Oh tidak. Aku bisa merasakan hangat genggaman tangannya. Aku bisa merasakan embusan napasnya. Ini nyata!
“Maksud kamu?” Aku ingin memastikan bahwa pendengaranku tak salah.
“Aku ingin tetap berada di hati dan hidup kamu, Ta. Karena jujur, tujuan utama aku meminta cuti dan pulang ke sini, dan bertemu denganmu seperti ini karena aku ingin mengajakmu kembali merajut masa depan bersamaku. Aku ingin kita memulai kehidupan baru, dengan status, dan cerita yang baru.”
Aku belum mampu berkata apapun. Aku masih mencoba mencerna setiap kata yang terucap darinya. Rasanya degup jantung ini semakin tak karuan.
“Aku mau kamu jadi pedamping hidupku, Ta. Dua tahun kemarin aku mencoba melupakan tentang kita, menuruti apa maumu. Mencoba fokus dengan apa yang aku kerjakan, mencoba tidak memikirkanmu sedetik saja, namun nyatanya aku enggak bisa, Ta. Sulit sekali. Dua tahun kemarin aku tersiksa, Ta. Aku merasa ada yang hilang.” Jawab Kenan dengan tatapan menerawang dan sendu. Ia seolah sedang melihat dirinya sendiri dua tahun kemarin yang tersiksa oleh perasaannya sendiri.
Apa yang ia rasakan persis dengan apa yang aku rasakan. Ucapan Rasya waktu itu benar adanya. Kami sama-sama saling tersiksa, dan ini semua karena aku yang terlalu egois dan tak ingin sedikit melunturkan prinsipku. Ya Tuhan, betapa bodohnya aku.
“Aku merindukan kamu, Ta. Aku enggak sanggup harus menjalani hari-hari aku tanpa kamu seperti kemarin.“ Ucap Kenan yang sudah mengalihkan pandangannya ke dalam mataku. Ia mengatakn itu sungguh-sungguh. Getar rindu itu mampu aku rasakan dari tatapannya, dan genggaman tangannya.
“Aku juga merindukan kamu, Kenan.” Bisikku pelan. Air mataku kembali menyeruak. Aku ingin memeluknya erat saat itu juga. Tapi aku terlalu malu untuk melakukannya. Tiba-tiba saja Kenan mengeluarkn kotak kecil berwarna biru. Saat ia membuka kotak itu, terlihat cincin yang dulu aku kembalikan kepadanya.
“Danita Pratista, Will you marry me? Maukah kamu menjadi pendamping hidupku hingga maut yang memisahkan kita? Bersediakah kamu menemaniku dalam keadaan suka dan duka?” Tanya Kenan yang masih lekat menatap mataku.
“Aku mau Kenan Mahendra.” Jawabku tanpa berpikir lagi.
“Apa? Aku enggak dengar.” Ucap Kenan. Aku tahu dia hanya berpura-pura agar aku mengulanginya lagi.
“Aku mau Kenan Mahendra. Aku bersedia menemani kamu di kondisi apapun.” Kata ku dengan suara sedikit lebih keras, di susul senyuman termanis yang aku punya, dan diiringi bulir air mata bahagia.
Kenan langsung mengambil cincin yang berada dalam kotak, dan melingkarkan di jari manis tangan kiriku.
“Berjanji kepada ku, agar kita tidak pernah saling melepaskan dan meninggalkan lagi.” Kata Kenan setelah cincin itu tersemat manis di jari manisku. Aku mengangguk kecil menjawab ucapannya. Ia pun mengecup lembut punggung tanganku lalu tersenyum dan kemudian menghapus sisa air mata yang membasahi wajahku.
Aku benar-benar percaya bahwa saat ini aku sedang tidak bermimpi. Sebuah jawaban yang selama ini aku tunggu akhirnya Tuhan kirimkan. Bahwa ternyata Kenan memang telah ditakdirkan oleh-Nya sebagai jodohku. Aku bersyukur atas jawaban yang telah Tuhan berikan ini. Aku berjanji pada diriku sendiri, untuk tidak meninggalkan Kenan dalam kondisi apapun. Malam ini menjadi malam terindah yang aku rasakan setelah melawan rasa rindu dan penyesalan yang begitu menyiksa selama dua tahun ini. Bukan hanya aku, Kenan pun sama tersiksanya. Aku yakin, mala mini pun menjadi malam yang sangat membahagiakan untuknya.
Terimakasih Tuhan telah mentautkan hatinya dengan hatiku selama ini. Terimakasih telah menjaga dia untukku. Dan terimakasih karena Engkau telah mengirimkan sebuah jawaban yang selama ini ku tunggu.
~~~~ T A M A T~~~~
Cocuit...
BalasHapusKu tunggu cerpen selanjutnya ambu...
So cute...
BalasHapusBikin baper ambu. Hihi
Dtunggu cerpen slanjutnya