Sabtu, 11 April 2020

Sebuah Jawaban (Part 1)

“Ta, besok aku tetap harus pergi. Papa minta aku menggantikannya sementara waktu mengurus usahanya yang di Singapur.” Kata dia sore itu, di tempat makan favorit kami, sepulang aku kuliah. Dia menjemputku sore itu sepulang kerja. Aku dan dia terpaut usia empat tahun. Dia sudah sibuk dengan dunia kerjanya, sedang aku, sedang sibuk memikirkan proposal skripsi.

Aku hanya diam mendengar keputusannya. Aku bisa apa? Aku tak ingin menjadi wanita egois, aku tidak ingin merusak hubungan harmonis antara anak dan ayahnya. Maka lebih baik aku mengalah, bukan?

“Ta, kenapa diam? Ngomong lah, Ta. Jangan diam aja.” Pintanya sambil menatapku.

“Pergilah kalau memang kamu harus pergi, jaga dirimu baik-baik selama di sana.” Jawabku sambil mengalihkan pandangan darinya.

“Apa kita enggak bisa coba untuk …”

“Gak perlu. Kamu tau prinsip aku, kan? Aku enggak mau ganggu kamu. Aku mau kamu fokus dengan urusan kamu di sana.”Ucapku memotong kalimatnya. Aku tahu apa yang akan dia minta. Dia pun hanya terdiam mendengar keputusanku.

Sore itu, tempat dan makanan favoritku seolah berubah rasa. Tempat itu menjadi tempat menyimpan cerita bahagiaku dengannya, juga saksi atas perpisahan kami. Makanan kesukaanku pun terasa begitu hambar. Aku benar-benar tidak bias menikmati momen kebersamaan dengannya sore itu. Tidak seperti hari-hari sebelumnya.

“Aku mau pulang.” Pinta ku tak lama kemudian.

“Aku antar kamu.” Jawabnya yang langsung menuju kasir untuk membayar makanan kami. Setelah itu, kami pun pulang. Ia mengantarku dengan camry hitam kesayangannya. Sepanjang jalan, aku lebih banyak diam. Begitupun dia. Kami sibuk dengan pikiran dan perasaan masing-masing. Hingga tidak terasa, kami pun sampai di depan rumahku.

“Terimakasih, kamu udah repot-repot anter aku pulang.” Kata ku sebelum turun dari mobilnya.

“Ta, aku pamit. Maafkan keputusan aku ini.” Katanya setelah mengikutiku keluar dari mobil dan berdiri di hadapan.

“Enggak ada yang perlu dimaafkan. Karena tidak ada yang salah di sini. Kamu pergilah! Fokus dengan kerjaan kamu di sana. Jangan lagi hiraukan aku di sini. Anggap saja tidak pernah terjadi apapun diantara kita. Mulai hari ini, tidak ada lagi ikatan apapun diantara kita.” Jawabku sambil melepaskan cicin yang melingkar di jari manisku, yang dulu pernah ia berikan sebagai tanda bahwa kami telah resmi jadian, lalu aku beriakn kepadanya.

“Jangan, Ta. Ini harus kamu simpan. Karena ini sudah menjadi milik kamu.” Ia menolak.

Aku menarik tangannya, dan meletakkan cincin itu di atas telapak tangannya.

“Kamu yang lebih berhak menyimpan ini. Kelak ada seseorang peganti aku disana, berikan cincin ini kepadanya. Sekali lagi, terimakasih sudah mengantarku. Kamu hati-hati ya.” Kataku yang langsung berbalik badan siap meninggalkannya.

Selangkah lagi kakiku melewati pintu gerbang, ia menarik lenganku, membawa tubuhku dalam pelukannya.

“Maafkan aku, Ta. Terimakasih untuk tiga tahun ini. Untuk tiga tahun kebersamaan kita. Jaga diri kamu baik-baik selama enggak ada aku. Tetaplah bahagia demi aku, Ta.” Bisiknya saat memelukku. Aku hanya memberikan anggukan kecil sebagai jawabannya. Rasanya aku sudah tak sanggup lagi berkata-kata. Suara ku tercekat di kerongkongan. Dadaku mulai sesak, dan mataku mulai panas, siap meluapkan lahar yang sedari tadi tertahan. Aku melepaskan diri dari pelukannya sebelum lahar itu menganak sungai di wajahku.

 “Pulanglah, Kee. Jaga dirimu baik-baik.” Hanya kalimat itu yang kemudian mampu aku ucapkan sebelum akhirnya ia benar-benar pergi meninggalkanku dengan membawa separuh hati dan jiwaku. Setelah kepergiannya, aku lepaskan sesak yang sedari tadi tertahan melalui lahar panas yang meleleh dari ujung mataku yang kemudian menganak sungai di wajah. Aku pun segera memasuki rumah dan langsung menuju kamar. Beruntung Mama masih berada di butiknya, sehingga beliau tak melihatku memasuki rumah dengan wajah yang sembab seperti itu.

Sejam sudah aku mengunci diri di kamar. Air mata ini masih saja mengalir. Aku mungkin terlihat terlalu bodoh. Menangisi keputusan yang begitu menyiksa ini. Tiga tahun bersama menjalin hubungan dengannya ternyata tidak menjamin ia akan menjadi jodohku saat ini. Padahal beberapa bulan yang lalu kami sempat membicarakn tentang masa depan. Berimajinasi bagaimana kalau aku menjadi istrinya, dan ia menjadi suamiku. Bagaimana nanti kalau kita punya anak, akan seperti apa. Ah, rasanya semakin sesak mengingat semua itu.

Aku begitu mencintainya. Karena dia telah mencuri hatiku secara utuh. Inilah yang menjadi alasan mengapa aku bisa merasa sesesak ini melihat dan membiarkan ia pergi. Namun menahannya untuk tetap tinggal di sini adalah hal yang paling tidak mungkin. Aku cukup menghargai keputusannya dan membiarkan ia menjemput bahagianya. Membiarkan ia tetap menjadi anak yang berbakti kepada orangtuanya. Karena dia adalah anak lelaki pertama yang kelak akan menjadi penerus ayahnya. Mengurus bisnis sang ayah yang sudah memiliki cabang di beberapa Negara. Merelakan ia pergi adalah salah satu cara terbaik yang harus aku lakukan. Walau aku harus menanggung luka yang entah kapan akan membaik.

“Ta, lo yakin melepas dia begitu aja? Lo bisa kan LDR-an sama dia sampai urusan dia selesai?” Tanya Rasya, satu-satunya sahabat terbaik yang aku punya. Setelah aku menceritakan kejadian dua hari yang lalu.

“Elo tau kan, Sya? Kalau gue bukan penganut sistem LDR-an. Gue enggak mau ganggu urusan dia dengan hubungan yang seperti itu. Biarkan dia fokus dengan kerjaannya. Gue enggak mau memecahkan konsentrasi dia.” Jawabku santai. Lebih tepatnya mencoba santai. Walau gemuruh dalam dada kembali membuatku merasakan sesak.

“Tapi lo tersiksa, kan? Elo sakitkan dengan keputusan itu? Lalu Kenan? Apa lu kira dia akan baik-baik aja di sana dengan keadaan kalian seperti ini?” Tanya Rasya yang semakin membuat dada ini terasa begitu sesak. Aku hanya mampu melemparkan pandangan kosong ke sembarang tempat sebagai jawabannya. Jika saja saat ini kami bukan berada di taman kampus, mungkin tangisku sudah kembali meledak.

“Maafkan gue, Ta. Enggak seharusnya gue bertanya seperti itu.” Ucap Rasya sambil merangkulku. Mengerti apa yang sesungguhnya aku rasakan. Ia mencoba membuatku tegar dengan keadaan ini melalui rangkulannya. “Kita pulang aja yuk! Udah enggak ada kelas juga kan?” lanjutnya. Aku menjawab dengan anggukan.

Entah mengapa aku merasa sudah menjadi perempuan yang bodoh banget. Mempertahankan sebuah prinsip yang nyatanya membuat batin dan pikiran begitu tersiksa. Aku merasa bodoh banget karena tidak mencoba mengiyakan tawaran Kenan untuk mencoba menjalin long distance relationship demi menyelamatkan hubungan kami. Aku benar-benar merasa bodoh banget karena harus mempertahankan prinsip no LDR sampai kapanpun dan bersama siapapun, termasuk bersamanya.

Ya, lelaki terbaik yang aku punya selama tiga tahun terakhir ini bernama Kenan. Lengkapnya adalah Kenan Mahendra. Sosok lelaki yang begitu tegas, tekun, rela berkorban. Ia juga sosok yang sangat penyabar menghadapi aku selama ini. Ia pun begitu memahami aku, memahami apapun tentang aku. Memahami segala hal yang menjadi prinsipku. Termasuk soal hubungan LDR ini. Dia tahu betul, hal yang paling tidak mungkin aku lakukan adalah menjalin hubungan jarak jauh. Maka kehilangan dia menjadi pilihan yang harus siap aku ambil saat ia memutuskan untuk mengiyakan permintaan sang ayah. Walau pada akhirnya aku tersiksa sendiri dengan mempertahankan prinsip ini.

Dua tahun berlalu.

Kenan memang pergi meninggalkan negeri ini. Kenan pergi dari hari-hariku, namun ia tak benar-benar pergi dari pikiran dan hatiku. Dua tahun sudah berlalu, tapi bagiku setiap harinya seperti baru terjadi kemarin. Setiap kali aku mengingat perpisahan itu, hatiku kembali merasa sesak, dan air mataku akan berkumpul menjadi satu dan kemudian meneteskan bulirnya.

Sejak kepergiannya, hanya ada penyesalan dan kerinduan yang begitu menyiksa hati. Aku akui, diri ini terlalu keras berpegang pada prinsip “no LDR.” Padahal, jika saja aku mau meruntuhkan sedikit ego dan prinsip itu, bisa saja saat ini aku dengan Kenan masih dalam keadaan baik-baik saja. Walau kami terpisahkan jarak.

 “Hai Kenan. Apa kabar dirimu? Aku rindu. Apakah kamu juga merindukan aku?” lirihku sambil memandang potret dirinya yang masih rapih terpajang di atas nakas samping tempat tidurku.

 Rindu ini terus saja bersemayam, dan ini sungguh menyiksa. Aku tidak pernah tahu kapan aku bisa benar-benar melepasnya dan mengakhir semua rasa penyesalan dan kerinduan ini. Sejak perpisahan itu, aku hanya terus berdoa dan berharap Tuhan masih berbaik hati untuk kembali mempertemukanku dengan Kenan suatu hari nanti dan menjadikan ia jodohku selamanya. Aku akan berhenti berdoa dan memohon kepada Tuhan agar menjadikan Kenan jodohku sampai aku benar-benar mendapatkan sebuah jawaban yang pasti. Sebuah jawaban apakah aku akan kembali bersamanya, atau justru aku harus bisa melangkah ke depan, dan tak lagi memikirkan Kenan.

Dua tahun kemudian....

~~~~

B E R S A M B U N G

Klik P A R T 2 untuk baca lanjutan ceritanya 😊

Tidak ada komentar:

Posting Komentar