Kejadian itu kembali menari di kepalaku. Padahal ini sudah tahun ke tiga aku tak pernah lagi bertemu tatap wajah dengannya. Ada desiran rindu yang begitu menggebu dalam hati. Tapi aku bisa apa? Hadirku hanya akan merusak kebahagiannya. Dia sudah terlihat sangat bahagia. Setidaknya itu yang tertangkap olehku saat aku menatapnya dari kejauhan, atau sekedar memantau akun media sosialnya.
Dia sepertinya sudah menemukan lelaki lain yang membuatnya jauh lebih bahagia. Saat dulu pergi, ia tak akan pernah tahu bahwa langkah kepergiannya membawa hati yang telah ku serahkan begitu utuh hanya untuknya. Aku ingin ia kembali bersama hati yang telah aku berikan. Aku ingin melangkah jauh serius dengannya. Walau aku pikir itu tidak mungkin.
"Hai, Fi. Apa kabar?"
Pesan itu aku kirim lewat kotak pesan salah satu akun media sosialnya. Tiga tahun berlalu, aku harap ia tak sedingin dulu. Dia terakhir online sejam yang lalu rasanya mustahil dia akan cepat membalas pesan dari ku.
Dua jam berlalu, gawaiku bergetar memberikan notifikasi pesan yang masuk. Aku nyaris tak percaya dengan apa yang aku lihat. Dia membalas pesannya!
"Hai, kabarku baik. Gimana denganmu?"
Ingin ku balas, "aku? Tak baik. Aku sedang sesak karena menahan rindu kepadamu." Tapi nyali ku tak seberani itu.
"Aku baik. Kamu sibuk apa sekarang?"
Jawaban itu akhirnya yang terkirim.
Kami pun kembali mengobrol walau dengan cara berbalas pesan. Aku tidak menyangka dia sudah secair ini. Dia kembali seperti dia yang pertama kali aku kenal. Fi, ku semakin rindu.
"Fi, boleh aku telepon? Kalau kamu gak keberatan, aku minta nomormu."
Kerinduan ini mendorongku untuk berani bertanya demikian. Tak lama kemudian dia membalas, memberikan nomor teleponnya. Saat itu pun aku menghubunginnya. Sumpah demi apapun. Aku rindu suaranya. Aku rindu tawanya. Aku rindu senyumannya. Aku rindu semua tentangnya.
"Hai, Fi. Apa kabar?" Tanyaku saat telepon kami terhubung.
Bodoh, tadi kan sudah menanyakan kabar. Arrgh! Seketika aku merutuki kebodohan ku sendiri.
"Aku baik. Kemana aja baru muncul lagi?" Tanya nya seolah tak pernah ada yang terjadi dengan kami beberapa tahun lalu.
"Gak kemana-mana. Aku selalu ada di sini. Kamu yang terus pergi dan menjauh."
Dia terdiam beberapa saat. Aku kembali menyesal telah mengucapkan itu. Bersyukur dia kembali mencair denganku. Kami pun mengobrol panjang. Paling tidak inilah caraku melepas rindu yang sudah menyesakkan dada.
"Fi, bisa kita ketemu?" Tanyaku akhirnya.
"Nanti aku kabari ya. Aku harus masuk kelas dulu. Nanti pulang kuliah aku kabari."
"Pulang jam berapa? Boleh aku jemput?"
"Gak perlu, Za. Aku udah ada janji dengan orang lain."
Oh, ya. Aku lupa. Dia sudah punya seseorang yang menggantikan posisiku.
Sebulan sudah berlalu. Komunikasi ku dengannya masih terjaga baik. Namun masih ada rasa belum cukup dan puas sampai di sini. Aku ingin benar-benar berada di sampingnya. Aku ingin kembali menggenggam tangan, atau bahkan memeluk tubuh mungilnya. Aku akan mencoba menelepon. Membuat janji untuk bertemu, barangkali dia mau.
"Hai Za. Ada apa?"
"Fi, aku ganggu gak?"
"Oh enggak, kebetulan banget aku baru keluar kelas. Kenapa, Za?"
"Ketemuan yuk! Bisa gak?"
"Kapan? Hari ini?"
"Kalau hari ini, bisa?"
"Hm ... Kayanya gak bisa. Aku ada janji sama temen-temen untuk selesaikan tugas kelompok."
"Besok?"
"Besok ya? Hm... Boleh deh. Kebetulan besok aku gak ada jam kuliah. Nanti kabari aja ya tempat dan jam berapa. Tapi kita langsung ketemu di tempat aja, ya."
"Oke, nanti aku kirim alamat tempat dan jamnya. See you."
Aku melepas napas lega saat dia mengiyakan ajakan ku. Besok, ah rasanya ingin ku putar waktu lebih cepat.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar