Enam bulan berlalu, dia masih begitu dingin. Benar-benar seperti tak kenal. Saat libur sekolah, sebisa mungkin aku menghubunginya. Namun selalu gagal. Aku meminta kepada teman-teman terdekatnya untuk coba mempertemukan kami, namun tak juga berhasil. Aku hampir frustasi dengan keadaan ini. Hingga akhirnya aku melihat pengumuman pembagian kelas dan dia, satu kelas lagi denganku di kelas tiga nanti. Terimakasih Tuhan!
Hari yang paling aku nantikan akhirnya tiba. Aku sengaja datang lebih awal ke sekolah. Aku tahu, tak lama lagi dia akan datang. Tepat dugaanku. Ia datang. Hati ku mendadak cerah saat melihat ia melangkah mendekat ke arah kelas kami. Tapi ternyata dugaanku salah! Ia bukan ke kelas kami. Melainkan ke kelasnya. Entah bagaimana bisa ia masuk ke kelas itu.
"Napa lu, Za? Bingung liat dia masuk ke kelas itu?" Tanya Dika yang entah sejak kapan ada di belakangku.
"Ngimpi lu pagi-pagi! Hahaha." Jawab Dika sambil berlalu. Aku semakin heran.
"Eh bentar, Ka. Maksud lu gimana? Kan tempo hari kita lihat sendiri pengumumannya, dia sekelas sama kita. Ada apa sih ini?" Tanya ku yang sudah mensejajarkan langkah dengannya.
"Masa lu gak paham, Za? Lu pikir dia mau satu kelas sama lo? Dia minta pindah kelas tiga hari lalu. Dia langsung nelepon ke TU, minta bantuan Bu Ina juga sih menurut info yang gue dapet." Jawab Dika setelah memesan segelas teh hangat dan sepiring nasi goreng di kedai Pa Darmin, langganan kami di kantin.
Segitu bencinya lo sama gue, Fi? Sampe-sampe lu gak mau lagi satu kelas sama gue.
"Ka, gue minta bubaran nanti bantuin gue buat ngomong sama dia. Gimana caranya lu bawa dia buat ketemu sama gue."
Dika mengangguk menyetujui permintaan ku.
Kantin menjadi salah satu tempat dan cara agar aku bisa bertemu dengannya. Beruntungnya, kantin kami menyediakan saungan untuk orang-orang yang mau berkumpul tapi agak privasi. Aku menunggu di salah satu saungan yang ada. Dika pun berhasil membawa dia ke hadapanku.
"Maksud lu apa nih ,Ka? Kenapa ada dia?" Tanyanya dengan raut wajah agak marah kepada Dika.
"Aku yang minta." Jawabku. Dia langsung menatapku tajam.
"Lo pergi aja, Ka. Thanks ya."
"Sama-sama, bro. Sukses ya untuk misinya. Gue pamit duluan. Gue tunggu lu di rumah entar sore."
"Siaap!" Jawabku yang langsung beralih kembali ke arah dia yang terlihat sangat kesal.
"Ada yang mau aku omongin sama kamu." Kata ku sambil menatapnya. Ia terlihat begitu acuh tak acuh.
"Fi, aku tau apa yang buat kamu semarah ini dan sampai detik ini. Yang harus kamu tahu, apa yang ada dalam pikiran kamu hanya salah paham."
Dia melirik sinis ke arahku.
"Aku tau, Devi salah satu alasan kamu menjauh. Tapi dia cuma adik kelas kita. Aku hanya menganggap dia temen, dan cuma adik kelas. Gak lebih." Lanjutku.
"Apapun alasan kamu, maaf Za. Ini semua enggak akan mengembalikan keadaan. Maaf beribu maaf, kalau kamu minta kita balikan, aku gak bisa." Kata dia membuat aku patah sebelum berharap.
"Terus, kenapa kamu pindah kelas? Bukannya kita seharusnya sekelas?" Tanyaku mencoba mengalihkan pembicaraan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar