Sabtu, 14 Maret 2020

Rindu Tak Berujung (Part 4)

Aku sudah berada di cafe tempat kami bertemu. Dia belum datang. Aku memilih duduk dekat kaca agar bisa lebih tenang menanti kedatangannya. Aku tau, dia bukan perempuan yang mudah mengingkari janji. Sepeluh menit berlalu dari kesepakatan, dia belum juga terlihat. Mungkin dia terjebak macet. Gak apalah. Ini belum seberapa di bandingkan tiga tahun lo nungguin dia kan, Za? Sabar, sedikit lagi dia datang. Hati kecilku mulai bergumam. 

Di menit ke duapuluh, dia datang! Dia tidak sendiri. Dia di antar oleh seorang lelaki yang kemudian pergi setelah mendaratkan kecupan mesra di keningnya.

Oh, tunggu. Laki-laki itu?? Ternyata mereka masih? Aku pikir, selama sebulan ini dia leluasa berkomunikasi dengan ku karena lelaki itu sudah tidak lagi bersamanya. Ternyata aku salah menduga.

"Fii! Sini!" Kata ku memanggilnya sambil melambaikan tangan. Dia sedang mencari sumber suaraku. Hingga kemudian mata kami bertemu. Dia melangkah mendekat dengan senyuman termanisnya. 

"Zayyan?? This is you??" Dia terlihat sangat tidak percaya

"Yes! It's me. Duduk yuk." 
Dia memilih duduk di depanku. Sehingga aku bisa bebas memandang wajahnya. Rindu ini, terbayar sudah. Ah Fi, andai lo tau rasa bahagia gue saat ini.

"Hei! Kenapa ngeliatin aku begitu?" Tanyanya heran. Senyuman itu masih merekah begitu indah di wajahnya.

"Cantik." Kata itu terlontar begitu saja tanpa permisi. "Maksud aku, kamu masih cantik kaya dulu." 

Ah, apalagi ini. Semoga dia gak salah paham.

"Thanks, dan kamu beda banget, Za. Looking better than three years ago. Terlihat sedikit kurus juga ya?"

"Course, and its because of you."

"Maksud kamu karena aku?"

"Nothing, forget it. Aku cuma diet dan atur pola makan. By the way, mau makan apa, Fi? Pesan makan dulu, biar ngobrolnya lebis santai."

"Aku ngemil aja."

"Aku pesenin ya? Mocca float dan roti bakar coklat keju. Gimana?"

"Masih inget aja cemilan favorit aku." Ucap ia disusul senyuman bahagianya.

Anything about you masih tersimpan rapih dalam memori, entah sampai kapan. Bisikku dalam hati.

"Susah buat dilupain." Jawabku yang langsung beranjak meninggalkannya ke counter untuk memesan makanan dan minuman. 

"By the way, kamu tadi dianter siapa?" Tanya ku setelah kembali di hadapannya. Ia terlihat sedikit sibuk dengan ponselnya dan membalas pesan yang masuk.

"Ooh, kamu tadi lihat? Dia Rayhan. Aku rasa kamu tau siapa dia tanpa harus aku cerita lebih banyak. Ya kan?" Jawab ia sambil menyimpan ponselnya ke dalam tas mini yang ia bawa. 

"Ya gak lah. Dari mana aku tau dia siapa? Ngobrol aja aku gak pernah."

"Sekitar dua atau tiga tahun lalu kamu pernah ketemu dia. Waktu itu kita lagi di toko buku yang sama. Aku sama Rayhan, kamu sama Ratih. Mungkin kamu udah lupa. tapi aku masih sangat ingat."

Oh dia masih ingat dengan pertemuan tak sengaja waktu itu rupanya. Dia dengan cowok itu, dan aku kebetulan lagi jalan berdua dengan Ratih. Sudah pasti dia menduga Ratih adalah perempuan penggantinya.

"Jadi, gimana kamu sama Ratih? Dan kamu kenapa sendiri? Gak sama Ratih?" 
Tanyanya tiba-tiba. Dugaanku tepat!

"Enggak. Ngapain juga aku ngajak dia. Udah lama juga gak ketemu dia, dan harus kamu tau, dia bukan siapa-siapa aku."

"So, who's your girlfriend?"

"Nothting."

"You're lying, right??"

"Really! Aku berani sumpah, Fi. Gak semudah itu buat aku."

"Kenapa? Gak bisa move on nih ceritanya? Ayolah, Za. It's have been three years. Aku yakin pasti banyak cewek-cewek yang mau sama kamu."

Ringan sekali dia mengucapkan itu. Matanya menatap dalam ke mataku. Seolah sedang mencari jawaban atas tanyanya.

"Iya, tapi aku yang gak mau sama mereka."

"Why? Dari pada sendiri terus."

"Aku gak bisa, Fi. Aku cuma mau ..."

Aku cuma mau sama kamu. Only you. Because you are the only one in my heart.

Kalimat ku terputus saat pramusaji tiba-tiba saja datang membawa pesanan kami.

"Cuma mau apa? Belum tuntas tadi." Tanya dia saat pramusaji sudah pergi meninggalkan kami.

"Aku cuma mau cari yang siap diajak serius untuk kedepannya."

Ya! Aku rasa jawaban itu lebih baik. Aku enggak mau menjadi penghalang kebahagiaan dia. Aku lihat dia sudah sangat bahagia dengan pilihannya sekarang.

"Ooh. Semoga segera dipertemukan. Aku doakan yang terbaik untuk kamu." Katanya sambil mengalihkan pandangannya dari mataku.

"Za, aku mau minta maaf." Ucapnya sambil memotong roti bakar di hadapannya beberapa saat kemudian.

"Minta maaf untuk apa?"

"Minta maaf untuk sikap ku waktu itu. Entah, aku merasa saat itu aku terlalu egois. Aku terlalu bersikap childish, gak seharusnya aku ..."

"Gak seharusnya kamu meminta maaf seperti ini. Semua sudah terjadi. Semua sudah berlalu. Aku bahagia melihat kamu sebahagia ini sekarang."

Kataku memotong ucapannya. Seketika itu ia menatapku. Dengan tatapan dan raut wajah yang berbeda. Tak bisa aku menangkap apa yang ia rasa dan apa yang tersimpan di balik tatapan serta guratan itu.

"Terimakasih, Za." Hanya kalimat itu yang terlontar. Ada bulir air mata yang siap menetes sebelum ia memalingkan wajahnya.

Kenapa menangis, Fi? Apakah aku salah? Ada sesuatu yang ingin kamu sampaikan namun tak bisa? Kenapa, Fi? Pliiss, jangan nangis. Bisikku dalam hati sambil tak henti menatapnya.

"Fi, ada apa?" Tanyaku mulai khawatir.

Ia menggeleng lemah memberikan jawaban. Menghapus air matanya, dan kembali tersenyum untukku. Seketika itu, aku beranjak dan pindah duduk di sampingnya.

"Maafkan aku kalau ucapanku tadi malah membuat kamu merasa bersalah atau apapun itu. Aku cuma mau kamu tau, aku bahagia melihat kamu bahagia. Sekalipun kebahagian untukmu hadir dari Rayhan." Kataku sambil merangkul tubuhnya.

Namun tidak aku kira, ia melingkarkan tangannya ke tubuhku. Ia memintaku memeluknya. 

"Terimakasih untuk semuanya, Za." Bisik ia dalam pelukan ku.

Getar bahagia atas pertemuan dan pelepasan rindu ini semakin membuncah dalam diri. 'Tuhan, bolehkah aku meminta hentikan waktu sesaat? Agar aku dapat merasakan pelukannya sedikit lebih lama.'

"Kamu juga harus bahagia, walau bukan dengan aku." Katanya sambil menatap mataku. 

Aku tak sanggup berjanji dengannya, atau sekadar mengiyakan ucapannya. Secepat mungkin aku palingkan wajah, dan kembali ke kursi dihadapannya. Tak lama kemudian aku melihat mobil Rayhan memasuki parkiran cafe.

"Rayhan dateng, Fi." Kataku sambil memberi isyarat kepadanya untuk menoleh ke arah parkiran. Dia pun segera pamit ke toilet untuk mencuci muka. Aku mengiyakan. Tidak lama kemudian Rayhan terlihat mulai memasuki cafe. Ia seperti mencari seseorang. Siapalagi yang dicari kalau bukan wanitanya. Wanitanya yang baru saja ku peluk erat sebagai bayaran atas rasa rindu yang terpendam selama tiga tahun ini.

"Hai, lo Zayyan kan?" Tanya laki-laki itu yang kini berdiri di hadapanku.

"Iya, lo pasti Rayhan. Duduk, Ray. Fina lagi ke toilet." Jawabku sambil mempersilahkan nya duduk.

Kami pun mengobrol basa basi sekedar membunuh waktu. Beruntung Fina segera kembali dari toilet. 

"Halo sayang, maaf aku langsung dateng ke sini tanpa kasih kabar dulu ke kamu." Kata Rayhan setelah mengecup kening Fina. 
"Enggak apa-apa, say. Kebetulan aku juga udah selesai."

What?? Selesai?? Secepat ini?? Hhhff. Yasudahlah. Gak masalah. Yang penting aku bisa bertemu dia, dan semoga akan ada pertemuan berikutnya, dan tentu tanpa Rayhan.

"Lo mau langsung pulang?" Tanyaku yang entah tertuju pada siapa pastinya.

"Iyah, kayanya kita pamit sekarang ya, Za. Udah ada janji juga sama ibunya Rayhan." Jawab Fina sambil beranjak dari kursinya yang kemudian di susul Rayhan.

"Biar gue aja yang bayar. Lo langsung aja." Kata ku sambil mensejajarkan langkah mereka.

"Say, kamu tunggu mobil dulu ya. Aku mau bayar makanan aku dulu, sama mau cek barang aku kayanya ada yang ketinggalan di toilet." Kata Fina yang berada selangkah di depanku.

"Oh, oke. Jangan lama-lama ya. Karena kita udah ditunggu Ibu di rumah." Jawab Rayhan yang kemudian pamit kepadaku.

"Fi, please. Biar aku yang bayar. Sebagai ucap terimakasih aku karena kamu udah mau meluangkan waktu buat aku hari ini." Ucapku saat Rayhan sudah meninggalkan kami.

"Yakin nih??"

"Yakin bangetlah!"

"Ya sudah kalau begitu, tadinya, aku yang mau traktir kamu." Ujar Fina diiringi senyum termanisnya.

"Aku yang ngundang kamu untuk ketemuan, jadi udah seharusnya aku yang traktir kamu."

"Oke kalau gitu, sekali lagi terimakasih banyak, Za. Aku pamit ya." Katanya sambil mendekat ke arahku dan menyelipkan secarik kertas ke tanganku.

"Apa ini, Fi?" Tanyaku bingung.

"Buka dan baca aja. Tapi nanti. Setelah aku benar-benar pergi dari tempat ini." Jawabnya sambil berjalan menjauh dari hadapanku.

Aku pun segera membereskan pembayaran dan kembali ke meja kami. Setelah memastikan mobil Rayhan benar-benar sudah pergi, aku langsung membuka lipatan secarik kertas yang tadi Fina berikan. 

Dear, Zayyan.
Terimakasih untuk pertemuan hari ini. Pertemuan yang sudah aku tunggu selama tiga tahun. Maafkan segala keegoanku, Za. Maafkan luka yang pernah aku goreskan untuk kamu. Maafkan segalanya. Aku berharap, kelak kamu menemukan seseorang yang jauh lebih baik dari aku dan membuat kamu selalu bahagia. Za, I will misiing you anytime. Karena kamu adalah orang pertama yang benar-benar pernah singgah dalam hidup dan hatiku. Jaga dirimu baik-baik, Za. Kamu juga harus Janji sama aku untuk selalu bahagia walau bukan bersama aku.

I will missing you, and i still loving you.
Fina.

Aku lipat kembali surat itu dan ku simpan baik-baik dalam dompet. Ada rasa bahagia karena ternyata dia pun merasakan kerinduan sama seperti yang aku rasakan. Ada rasa tak percaya jika rasa sayang dan cinta itu masih tersimpan di hatinya. Ada rasa terluka karena aku tahu, dia tak akan pernah kembali dalam hidupku. Melihat Rayhan yang begitu menyayanginya, dan ia yang begitu nyaman juga bahagia saat bersama Rayhan.

 Ah, Fina. Andai dulu kita tak pernah saling menjauh. Mungkinkah kamu di sampingku saat ini dan untuk selamanya? Entah sampai kapan aku menanggung kerinduan ini. Aku juga tak tahu, seberapa kuat aku menanggung rasa ini. 

~~~~

Empat tahun berlalu. Tak pernah ada lagi perjumpaan seperti waktu itu. Aku tidak pernah mengira jika hari itu adalah hari terakhir aku benar-benar bertemu dan memeluk dirinya. Kerinduan itu masih bersemai. Semakin hari semakin bergemuruh begitu dahsyat. Pelarian apapun yang aku lakukan, tak pernah berhasil menghapus semua rasa ini. Beberapa kali mencoba menjalin hubungan yang baru, selalu tak berhasil. Bayang-bayang Fina selalu menari dalam ingatan. Ditambah lagi komunikasi kami sudah tak berjalan baik setahun terakhir ini. Rasanya semakin menyesakkan.

"Bro, lu di undang gak??" Tiba-tiba saja Dika dan Alvi datang ke rumah dan langsung menanyakan hal ini.

"Diundang apa? Sama siapa? Lo kalau ngomong yang tuntas! Biar gue paham."

"Diundang sama Fina, ke acara nikahannya." Jawab Alvi santai.

"Fina? Nikah? Hari ini?? Becanda kali lu!" Aku tak percaya.

"Serius gue bro! Lu emang gak di kontak sama dia?" Tanya Dika dengan raut wajah tak percaya.

"Enggak, udah hampir enam bulan kali gue enggak ada komunikasi lagi sama dia. Apa nyaris setahun. Gak tau lah. Lupa gue." Jawabku sambil melengos.

"Kalian berdua diundang?" Selidikku.

"Yoi coy! Gak liat lo kita udah kece begini?" Jawab Alvi masih dengan santainya.

Ah ya, aku baru sadar mereka tidak biasanya datang ke rumah dengan penampilan seperti orang mau menghadiri acara pesta.

"Yaudah, berangkat sono! Keburu bubaran tuh acaranya."

"Yaudh, kita pamit deh. Entar kita mampir ke sini lagi ya." Kata Dika sambil menyalakan mesin motornya.

"Iya, siplah! Take care. Salam happy wedding buat dia dan suaminya."

"Yoi. Setelah ini plis jangan bunuh diri ya, bro." Kata Dika disusul ketawa meledek.

"Gila lu!" Jawabku sambil menutup pintu.

Aku kembali ke kamar. Mencoba mencerna informasi yang baru saja aku dapatkan. Untuk memastikan, aku cek semua akun media sosialnya. Belum ada poto pernikahan yang diunggah olehnya. Tapi banyak kerabat yang mention akunnya, sehingga banyak poto momen bahagia yang terunggah dan dapat aku lihat satu persatu.

Fina cantik sekali hari ini. Memang dasarnya ia wanita cantik. Secara fisik dan hati. Aura bahagianya terpancar begitu nyata hari ini. Senyumnya begitu lepas. Dia benar-benar sudah bahagia bersama Rayhan. Dengan tidak mengundangku adalah jalan terbaik yang ia pilih. Bisa jadi kehadiran aku di sana akan merusak senyuman itu.

Tuhan memang telah menggariskan dia untuk Rayhan. Bukan untuk aku. Sekuat apapun aku menahannya saat itu pasti akan berujung seperti ini juga, kan? Karena aku yakin, jika dia jodoh yang Tuhan gariskan untukku, sekuat apapun kita menjauh, akan ada magnet yang menyatukan kita kembali. Aku percaya Tuhan selalu memberikan hal terbaik kepada setiap hamba-Nya. Termasuk soal pasangan hidup.

Happy wedding day Fina. Semoga kamu selalu bahagia bersama Rayhan. Semoga kerinduan dan rasa sayang kamu yang tertuju untukku seperti yang kamu pernah tuliskan dulu sudah terbang menjauh seiring waktu berjalan. Aku bahagia melihat kamu bahagia. Walau rasanya sesak sekali.

Biarkan aku selalu membawa dan menyimpan rindu serta sayang ini untukmu. Walau aku tahu rasa ini tak akan pernah berujung. Seperti inginmu, aku janji, aku akan temukan kebahagiaanku sendiri. Sekalipun rasa ini tak pernah hilang. Sekalipun kebahagiaan itu bukan bersumber darimu. Biarkan waktu yang membantuku. Happy wedding Fi. 



~~~S.E.L.E.S.A.I~~~

1 komentar: