Minggu, 15 Maret 2020

Hingga Akhir Waktu (part 1)

Langit sudah mulai menurunkan tirai senja. Perlahan gelap pun mulai datang. Menjelang pukul tujuh malam, Reina pamit dari rumah Seila, sang sahabat. Sahabat yang seperti keluarga sendiri baginya. Reina yang hanya memiliki Kakak satu–satunya harus merasakan sepinya rumah besar nan megah lantaran tidak ada sosok kakak yang sudah hampir setahun ini hijrah ke Australi untuk melanjutkan kuliahnya. Sang Mama yang terkadang sibuk di butik, sang Papa yang selalu sibuk dengan pekerjaannya, membuat Reina sering berkunjung ke rumah Seila demi mengubur sepi dan melupakan segala penyakit yang sedang di deritanya. 

Seila, anak dari teman akrab sang Mama dan Papanya dengan senang hati dan tidak mempedulikan segala kekurangan Reina mau menerima setiap saat di rumahnya. Keberadaan Reina yang hampir setiap hari di rumah Seila membuat salah satu Kakak Seila merasa simpati dan mulai menyukainya. Walau belum ada seorang pun yang tahu. Walaupun hampir setiap hari Reina berkunjung ke rumah Seila, tidak membuat ketiga Kakak Seila mengetahui bagaimana keadaan sosok Reina yang sebenarnya. Mereka hanya tahu bahwa sosok Reina adalah wanita yang periang, baik, ramah, juga pintar. Tidak ada yang tahu tentang cerita segala penyakit yang ia derita saat ini. Luar dalam kisah Reina, hanya keluarga Reina dan Seila yang mengetahuinya.

“Tolong rahasiakan tentang semua penyakit aku yang kamu tau ya, La!” pinta Reina suatu ketika.

Seila yang mengerti maksud dan keinginan Reina akhirnya menuruti permintaan Reina.

“Bawa motor, De?” tanya Radit, Kakak Seila yang ketiga, sekedar basa–basi.

“Aku enggak bisa kalau bawa motor, Ka. Berat, aku bisanya mengendarai motor. Hehehe.” Canda  Reina.

Radit dan Seila tertewa mendengar jawaban Reina yang bercanda itu.

“Hati–hati, Rei, udah malem. Kabarin kalau sudah sampai rumah!” kata Seila khawatir, karena Seila tahu kondisi badan Reina yang sensitif jika terkena angin malam.

Reina yang sudah siap menjalankan motornya hanya mengacungkan jempol untuk menjawab kekhawatiran Seila dan kemudian pergi meninggalkan rumah Seila.

“Reina cantik ya? Baik, pinter pula!” kata Radit di antara sadar dan tidak sambil menatap Reina hingga sudah tak terlihat lagi di matanya.
Seila yang ingin masuk ke dalam rumah langsung menghentikan langkahnya lantaran mendengar ucapan sang Kakak.
“Kak Radit naksir ya sama Reina?” tanya Seila dengan nada menggoda. Spontan Radit langsung sadar dengan ucapannya tadi.

“Kagak! Ngaco kamu!!” jawab Radit dan langsung meninggalkan Seila.

Tapi Seila tidak mau melewati kesempatan ini. Kapan lagi ia bisa menggoda dan meledek sang kakak yang terkenal paling dingin dan paling susah untuk jatuh cinta. Seila pun langsung mengejar sang Kakak dan berusaha menyamakan langkahnya dengan Radit.

“Kalau enggak, kenapa muka Kakak merah gitu? Terus, kenapa juga Kakak muji–muji dia? Hayo….” Kata Seila dengan nada yang masih menggoda sang Kakak. 

Radit pun langsung masuk ke dalam kamarnya dan langsung mengunci pintu. Jaga–jaga jika nanti adiknya itu masuk tiba–tiba. Radit menyesali dirinya sendiri karena sudah berkata seperti itu di samping Seila, adiknya yang paling jahil yang tak akan puas meledeknya sampai Radit sendiri yang mengaku kalah.

Reina hanya memerlukan waktu lima belas menit perjalanan dari rumah Seila ke rumahnya dengan mengendarai motor matic kesayanganya. Reina langsung memasukkan motor ke dalam garasi rumah, dan ia segera menghampiri sang Mama ketika ia melihat sang Mama sedang bersantai di ruang keluarga.

“Pulang jam berapa, Ma dari butik?” tanya Reina ketika sudah berada di samping sang Mama.

“Tadi sore, sekitar jam lima. Kamu kenapa baru pulang sekarang? Inget kondisi kamu, Rei. Kamu tidak bisa kena angin malam. Sudah minum obat?” tanya Mama jelas khawatir.

“Ma, bisa enggak sih, sekali aja Rei gak usah di perlakukan seperti ini!” Keluh Rei.

“Rei capek, Mam. Setiap saat Rei harus diingatkan minum obat, pakai baju harus begini, begitu. Tidak boleh pulang malam dan sebagainya. Rei ingin, Ma menikmati masa remaja Rei tanpa harus bergantung dengan sesuatu! Terutama dengan obat!” lanjut Reina merajuk.

“REI! Cukup, ya! Kamu tuh, ngomong apa sih?!” bentak Mama.

Reina tahu Mama hanya khawatir dan takut untuk kehilangan dirinya, tapi Reina juga tidak bisa membohongi dirinya sendiri jika ia sudah merasa lelah dengan keadaan dirinya yang harus selalu bergantung dengan obat-obatan, yang harus diperlakukan layaknya seorang anak yang baru belajar jalan. Yang masih harus di arahkan kemana kakinya harus melangkah.

“Maaf, Ma.” Kata Reina yang langsung meninggalkan sang Mama. Ia langsung menuju kamarnya yang berada di lantai dua. Tanpa sepengetahuan Reina, sang Mama langsung menitikkan air mata ketika melihat sang putri berjalan meninggalkan dirinya. Beginikah rasanya ketika Reina harus berjalan pergi meninggalkan ku selamanya, nanti.  Bisik hati Mama.

Malam semakin larut, Reina masih saja duduk di depan jendela kamarnya yang terbuka. Menikmati keindahan langit malam yang bertabur ribuan bintang yang cerah, menikmati indahnya cahaya bulan sabit yang bersinar terang. Tidak peduli dengan rasa sakit yang mulai terasa di dadanya, tidak peduli dengan batuknya yang tak kunjung henti. Reina hanya ingin merenungkan semua yang telah ia lakukan sepanjang hari ini. Reina baru saja ingin menutup jendela kamarnya ketika ia mendengar ponselnya berbunyi. Hanya tertera nomornya, tidak ada nama.

 “Malam, belum tidur, De?” tanya si penelpon setelah Reina menyapanya lebih dulu.

 “Belum, maaf dengan siapa ini?” tanya Reina.

“Radit.” Jawab si penelpon singkat.

Reina cukup terkejut mengetahui siapa yang menelponnnya. Tapi degan cepat Reina bisa mengatasi keterkejutannya itu.

"Lagi apa? Kakak ganggu, ya?"

"Oh, enggak, Ka. Aku lagi santai ko."

 “Bagaiman keadaan kamu, De?” tanya Radit.

“Rei, baik–baik saja, Kak. Seperti yang tadi Kak Radit lihat.” Jawab Reina sambil menahan rasa sakit yang semakin jadi di dadanya.

“Syukurlah, karena Kakak perhatiin beberapa hari ini keadaan kamu kurang baik. Sudah malem, De, istirahat ya!” kata Radit sebelum mengakhiri pembicaraannya. 

Reina mengangguk walau ia tahu Radit tidak dapat melihatnya. Reina pun langsung meletakkan kembali ponselnya di meja belajar, dan kemudian mencoba tidur dengan keadaan dadanya yang masih saja sakit.

Esok paginya. Kekhawatiran sang Mama muncul lagi ketika Mama menyadari Reina belum juga keluar kamar. Padahal sudah pukul tujuh pagi. Dengan perasaan khawatir dan takut yang berkecamuk, Mama pun langsung ke kamar Reina. Kekhawatiran Mama semakin memuncak saat ia melihat sang putri sedang terbatuk–batuk bahkan sampai mengeluarkan darah.

“Rei, ke dokter ya, sayang? Keadaanmu semakin memburuk begini.” Kata mama sambil mengambilkan Reina air putih dari dispenser yang tersedia di pojok kamar. Reina menggeleng dan kemudian meminum air yang diambilkan sang Mama.

“Kalau bisa, dokternya aja yang dipanggil ke rumah ya, Ma. Rei enggak kuat ….” Kata Rei lemas. Tanpa berfikir panjang lagi, Mama pun langsung menelepon dokter Bagus, dokter yang biasa merawat Reina.

“Ma, tolong kabari Seila, hari ini Rei enggak bisa masuk!” kata Reina di sela batuknya yang tak kunjung henti.

Seila yang baru tiba di sekolahnya sangat kaget mendengar kabar tentang Reina pagi ini. Seila pun langsung menelepon Radit dan meminta Radit untuk menjemputnya sepulang sekolah nanti. Awalnya Radit tidak mau. Dengan keyakinan bahwa Radit memang menyukai Reina, terpaksa Seila harus memberitahukan Radit tentang keadaan Reina pagi ini. Agar Radit mau menjemputnya dan mengantarkan ke rumah Reina. 

Tanpa pikir panjang lagi, Radit pun mengiyakan permintaan Seila. Akan tetapi, tanpa Seila ketahui, Radit langsung pergi ke rumah Reina setelah mengakhiri pembicaraannya dengan Seila. Radit merasa didorong oleh rasa khawatirnya yang menyebabkan ia tidak bisa menuggu hingga siang nanti untuk bisa melihat keadaan Reina. Radit pun mulai yakin apa yang ia rasakan terhadap sahabat adiknya itu. Ya, Radit menincatinya. Cinta memang buta. Tidak punya mata untuk melihat kepada siapa ia akan berlabuh. Tidak punya kaki untuk menentukan kemana ia akan berjalan. Tidak punya tangan untuk kepada siapa ia akan menggenggam. Tapi cinta dimiliki oleh hati setiap manusia, yang hanya bisa memilih, yang hanya bisa berjalan, dan hanya bisa menggenggam mengikuti rasa nyamannya.

“Pagi tante, Reina ada?” sapa Radit.

Mama yang sudah mengenal Radit lebih dulu di bandingkan Reina, langsung membalas sapaan Radit.

“Ada di kamar. Yuk, Tante antar.” kata sang Mama kemudian.

“Rei sakit apa, Tante?” tanya Radit ingin tahu.

“Kamu tanyakan sendiri sama Rei, ya? Tante tidak bisa memberi tahu kepada mu. Rei selalu berpesan kepada Tante untuk tidak memberitahukan keadaan sebenarnya kepada siapapun. Hanya orang–orang tertentu yang boleh tahu keadaannya.” Jawab sang Mama. Radit pun tidak ingin memaksa.

“Kalau Rei sedang istirahat, biarkan saja Tante, jangan diganggu!” kata Radit sebelum Mama memasuki kamar Reina.

“Rei, ada yang ingin bertemu dengan mu. Boleh?” tanya sang Mama.

Reina mengangguk memberikan jawaban. Mama pun langsung menyuruh Radit untuk masuk.

“Kak Radit?” Reina merasa tidak percaya dengan kehadiran Radit di rumahnya.

“Sini Dit, duduk! Tante keluar dulu ya?” kata Mama, dan Radit pun duduk di kasur, tepat di samping Reina.

“Sakit apa, De? Muka kamu pucat banget!” Tanya Radit dengan tatapan yang begitu khawatir, dan takut.

Ya, Radit sangat takut untuk kehilangan Reina di saat ia belum bisa mengungkapkan semua yang ia rasa. Reina hanya menggelangkan kepalanya. Untuk kesekian kali ia terbatuk. Reina langsung mengambil tisu yang memang disiapkan oleh Mama tepat di sampingnya, dan ia tidak merasa aneh dan heran tatkala melihat percikan darah di tisunya.

“De, kenapa berdarah?” tanya Radit panik.

Reina berusaha tersenyum, dan kemudian menjawab

“Ini udah biasa, Kak.”

Radit semakin terlihat panik dan mendesak Reina untuk memberitahukan kepadanya apa yang sebenarnya terjadi. Reina sangat bangga kepada Seila, karena ternyata, hingga detik ini pun Radit tidak mengetahui apa yang terjadi sebenarnya dengan Reina. Padahal Radit adalah kakaknya sendiri.

“Kakak jawab dulu pertanyaan Rei, ada apa Kak Radit ke sini?”

“Cuma mau memastikan enggak ada sesuatu yang buruk terjadi sama kamu.” Jawab Radit yang tanpa ia sadari, sedari tadi tangannya terus menggenggam tangan Reina. Seperti seseorang yang takut kehilangan.

“Selain itu?” pancing Reina.

"Enggak ada, cuma itu." jawab Radit yang langsung melepaskan genggaman tangannya.

"Bohong. Ada apa, Ka sebenarnya?" desak Reina. 

Radit pun langsung terlihat salah tingkah.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar