Menanti Senja
Dua bulan sudah berlalu, dan Rina masih setia pada tempat dan waktu yang sama selama dua bulan ini.
“Sama siapa?” desakku. Tiba-tiba ia menatapku begitu dalam dengan wajah yang sangat serius.
“Sama seorang perempuan.” Jawabnya mengerjaiku.
“Ya Tuhan, Jay! Gue juga tau lah sama perempuan! Kalau sama laki-laki artinya lu ‘sakit.’ Gue serius nih Jay.” Kata ku dengan ajntung yang berdegup lebih cepat karena melihat tatapan Jay tadi.
“Udah ah, balik yuk ke kelas.” Ajaknya sambil melangkah lebih dulu.
Aku mendengus kesal dengan sikap Jay yang seperti ini. Sumpah demi apapun, aku ingin sekali mengetahui seseorang yang istimewa di hati Jay saat ini. Aku mencoba menjaga jarak langkahku dengannya. Ia yang sudah berada beberapa langkah di depanku menghentikan langkahnya, dan kembali ke sampingku.
“Cepetan dong jalannya, Kei! Lama banget lu kaya siput!” katanya sambil merangkulku. Ia memang sudah sering seperti itu denganku. Mungkin baginya itu hal yang biasa, namun belakangan bagiku hal itu menjadi tak biasa.
Bukan karena perlakuannya atau sikapnya, tapi aku menjadi tak seperti biasa karena perasaanku sendiri. Perasaan tidak biasa yang perlahan timbul akibat keakraban kami setiap hari. Perasaan yang sulit sekali aku kontrol akhir-akhir ini. Perasaan yang berharap ia lebih dari seorang sahabat sekaligus rival dalam memperebutkan posisi peringkat pertama di kelas.
“Tujuh tahun yang lalu??” Tanya Ayah, Ibu, dan juga kedua orangtuanya secara berbarengan.
Ya, tujuh tahun yang lalu, aku bertemu dan mengenal dia saat kami masih berseragam abu-abu. Ia teman sekelas ku sejak kelas satu semester dua. Sejak aku pindah ke sekolah Pelita Nusantara dari sekolah favoritku di Bandung.
Setelah nyaris sepuluh tahun kami di Bandung, Ayah harus kembali lagi ke Jakarta dan fokus mengurus bisnisnya di Jakarta. Oleh sebab itu aku mau tidak mau harus rela meninggalkan kota kembang menuju ibu kota.
Di Pelita Nusantara itulah aku mengenal Jay, begitu aku memanggilnya atas permintaan ia saat kami pertama kali berkenalan. Jay satu-satunya teman lelaki yang akrab dengan ku. Aku sendiri pun heran dengan diriku sendiri yang bisa begitu dekat dan akrab dengan Jay hanya dalam waktu kurang dari dua bulan keberadaanku di Pelita Nusantara.
Bagiku Jay sosok yang begitu hangat kepada siapapun. Ia termasuk seorang lelaki yang begitu supel kepada siapa saja. Aku nyaris tak pernah melihat ia memiliki musuh, atau sekedar mendengar omongan miring tentang dirinya. Bukan saja hangat, ramah, dan supel. Ia juga sosok yang cerdas, secara fisik bisa diaktakan dia tampan, tinggi, belum lagi ia adalah kapten basket di sekolah. Tak heran jika cewek-cewek di sekolah saat itu banyak yang mencari perhatiannya dan berusaha mendekatinya. Herannya, dari sekian banyak teman wanita di sekolah, tidak ada satu pun di antara mereka yang menarik perhatiannya Jay.
Aku seolah kembali ke masa itu. Masa di saat kami masih bisa bersama-sama. Saling bercerita dan berdiskusi tentang banyak hal di sekolah. Jay dan aku seperti dua orang yang selalu ditakdirkan untuk berada di kelas yang sama sejak pertama kali aku datang di Pelita Nusantara hingga hari perpisahan sekolah kami tiba.
Aku nyaris tak percaya dengan apa yang berada di hadapanku saat ini. Biodata seorang laki-laki dalam sebuah map, yang kini di tangan membuat aku tak bisa berkedip beberapa saat. Ia adalah lelaki yang ingin Ayah kenalkan kepadaku.
“Dia anak dari sahabat Ayah yang udah lama ingin sekali Ayah kenalkan sama kamu. Ayah dan sahabat ayah berharap kalian bisa berjodoh suatu hari nanti, dan kami ingin kalian bisa saling berkenalan saja dulu.” Terang Ayah saat aku membaca biodata di hadapanku.
“Bagaimana, Key? Kamu mau?” tanya Ayah membuyarkan lamunanku.
Aku mengangguk memberi jawaban kepada Ayah.
“Kamu tidak keberatan kan, Nak?” tanya ibu sekedar meyakinkan.
“Tidak Ibu. Tidak sama sekali.” Jawabku untuk meyakinkan Ayah dan Ibu. Terlihat senyum lega dan bahgaia di wajah mereka yang mulai nampak keriput halus. Tanda mereka sudah mulai menua.
“Ibu dan Ayah tidak akan memaksa menjodohkan kamu dengan dia. Kami hanya berusaha untuk memperkenalkan kamu dengan dia dulu. Ya, syukur-syukur memang kamu setuju dengan perjodohan ini dan cocok dengan dia. Kalaupun tidak, ya sudah, tidak masalah.” Kata Ayah. Aku hanya tersenyum mendengar ucapan Ayah. Jikalau saja Ayah tahu yang sebenarnya. Ah, biarlah waktu yang akan memberitahu Ayah yang sebenarnya, bisikku dalam hati.
Senja mulai menurunkan tirainya, dan aku masih menikmati waktu dengan memandang potret Kenan. Beginilah caraku menikmati waktu tiap akhir pekan. Berdiam diri di kamar, merehatkan pikiran dan badan yang sudah lelah memikirkan kerjaan di butik, sambil memandangi potret Kenan. Lelaki yang tak pernah mampu aku biarkan untuk pergi dari hati dan pikiran.
Tiba-tiba saja ponselku berdering. Nomor tanpa nama tertera di layar ponselku. Aku pun menjawab panggilan itu dengan sedikit keraguan.
“Halo Ta, apa kabar?” Sapa orang di sebarang telepon.
Aku tak percaya dengan suara yang baru saja aku dengar! Aku merasa seperti sedang berhalusinasi bahwa potret yang berada di genggamanku itu bersuara.
“Halo, Ta.” Suara di sebrang telepon memanggilku lagi. Dadaku seketika berdetak lebih cepat dari normalnya. Ada rasa bahagia tak terkira. Setelah dua tahun benar-benar tidak ada komunikasi, tidak lagi mendengar suaranya, dan kini suara itu kembali menyapa. Aku nyaris ingin menjerit bahagia karenanya.
“Hai, Kenan. Aku baik. Kamu?” jawabkku dengan sebisa mungkin menyembunyikan getar suaraku.
“Aku baik. Bisa keluar rumah sebentar?” tanya Kenan. Aku langsung mengintip dari jendela kamarku yang berada di lantai atas, dan melihat ia sedang berdiri di depan rumahku.
“Bisa, tunggu sebentar.” Jawabku yang langsung memutuskan sambungan telepon, dan mengganti baju secepat kilat. Lalu berlari menuruni anak tangga.
“Ta, besok aku tetap harus pergi. Papa minta aku menggantikannya sementara waktu mengurus usahanya yang di Singapur.” Kata dia sore itu, di tempat makan favorit kami, sepulang aku kuliah. Dia menjemputku sore itu sepulang kerja. Aku dan dia terpaut usia empat tahun. Dia sudah sibuk dengan dunia kerjanya, sedang aku, sedang sibuk memikirkan proposal skripsi.
Aku hanya diam mendengar keputusannya. Aku bisa apa? Aku tak ingin menjadi wanita egois, aku tidak ingin merusak hubungan harmonis antara anak dan ayahnya. Maka lebih baik aku mengalah, bukan?
“Ta, kenapa diam? Ngomong lah, Ta. Jangan diam aja.” Pintanya sambil menatapku.
“Pergilah kalau memang kamu harus pergi, jaga dirimu baik-baik selama di sana.” Jawabku sambil mengalihkan pandangan darinya.
“Apa kita enggak bisa coba untuk …”
“Gak perlu. Kamu tau prinsip aku, kan? Aku enggak mau ganggu kamu. Aku mau kamu fokus dengan urusan kamu di sana.”Ucapku memotong kalimatnya. Aku tahu apa yang akan dia minta. Dia pun hanya terdiam mendengar keputusanku.
Sore itu, tempat dan makanan favoritku seolah berubah rasa. Tempat itu menjadi tempat menyimpan cerita bahagiaku dengannya, juga saksi atas perpisahan kami. Makanan kesukaanku pun terasa begitu hambar. Aku benar-benar tidak bias menikmati momen kebersamaan dengannya sore itu. Tidak seperti hari-hari sebelumnya.
“Aku mau pulang.” Pinta ku tak lama kemudian.
Sudah dua tahun perpisahan itu terjadi. Tapi bagi Aksa kejadian itu seperti baru kemarin. Semua masih terlihat begitu jelas dan nyata. Tatapan mata, raut wajah, serta rasa kecewa dari gadis itu masih bisa ia lihat dengan jelas. Seandainya saja kesalahan itu tidak pernah terjadi, pasti dia masih bersama gue di sini. Bisik hati Aksa begitu lirih sambil menatap langit-langit kamarnya.
Fany, gadis cantik nan mungil serta pintar. Dialah yang tidak pernah bisa menghilang dari pikirannya, ataukah memang Aksa yang tidak berani menghilangkannya? Entahlah, yang pasti Aksa masih merasa begitu kehilangan sejak perpisahan itu.
Perempuan yang ia kira tidak akan pernah membawa pengaruh besar dalam hidupnya itu ternyata telah menyihirnya tanpa sadar. Perempuan yang ia pikir sama dengan perempuan-perempuan lainnya, ternyata berbeda. Aksa pun baru menyadarinya sejak malam itu, malam perpisahan yang tidak pernah ia duga sebelumnya.