“Sama siapa?” desakku. Tiba-tiba ia menatapku begitu dalam dengan wajah yang sangat serius.
“Sama seorang perempuan.” Jawabnya mengerjaiku.
“Ya Tuhan, Jay! Gue juga tau lah sama perempuan! Kalau sama laki-laki artinya lu ‘sakit.’ Gue serius nih Jay.” Kata ku dengan ajntung yang berdegup lebih cepat karena melihat tatapan Jay tadi.
“Udah ah, balik yuk ke kelas.” Ajaknya sambil melangkah lebih dulu.
Aku mendengus kesal dengan sikap Jay yang seperti ini. Sumpah demi apapun, aku ingin sekali mengetahui seseorang yang istimewa di hati Jay saat ini. Aku mencoba menjaga jarak langkahku dengannya. Ia yang sudah berada beberapa langkah di depanku menghentikan langkahnya, dan kembali ke sampingku.
“Cepetan dong jalannya, Kei! Lama banget lu kaya siput!” katanya sambil merangkulku. Ia memang sudah sering seperti itu denganku. Mungkin baginya itu hal yang biasa, namun belakangan bagiku hal itu menjadi tak biasa.
Bukan karena perlakuannya atau sikapnya, tapi aku menjadi tak seperti biasa karena perasaanku sendiri. Perasaan tidak biasa yang perlahan timbul akibat keakraban kami setiap hari. Perasaan yang sulit sekali aku kontrol akhir-akhir ini. Perasaan yang berharap ia lebih dari seorang sahabat sekaligus rival dalam memperebutkan posisi peringkat pertama di kelas.
“Lu kenapa tiba-tiba jadi pendiam begini, Kei?” Tanya Jay saat kami tiba di kelas. Ia masih merangkulku hingga kami kembali duduk di kursi ku.
“Enggak apa-apa.” Jawabku singkat. Menanyakan hal yang sama untuk kesekian kali, rasanya terlalu percuma. Maka diam adalah cara terbaik bagiku.
“Ada yang lu pikirin?” Tanya Jay lagi.
“Enggak ada. Udah gih balik sana ke bangku lu! Kasian tuh si Rina mau duduk di sini tapi ada lu!” usiku pelan.
“Yah, diusir! Ya udah, entar pulang harus cerita lu!”
“Enggak janji.”
“Harus janji.!” Ucapnya sambil mengacak-acak rambutku dan ia langsung kembali ke bangkunya.
Tak lama kemudian, Rina datang lalu duduk di kursinya yang tepat berada di sampingku.
“Kenapa, Kei?” Tanya Rina akhirnya yang melihatku lebih banyak diam dari biasanya.
“Enggak ada apa-apa, Na.” jawabku disusul senyuman.
Rina adalah salah satu teman yang lumayan dekat juga denganku sejak kelas sebelas. Aku dan Rina seolah ditakdirkan untuk sekelas sejak kelas sebelas hingga kelulusan. Sedangkan Aku dengan Jay, ditakdirkan untuk selalu sekelas sejak kelas sepuluh hingga lulus. Namun begitu, aku, Rina, dan Jay tak pernah berkumpul, mengobrol, atau bahkan jalan bersama. Jay selalu menghindar jika aku ajak ia untuk kami jalan bertiga. Rina pun sempat heran dan bertanya-tanya ada apa, namun aku sendiri tidak pernah tahu alasan yang pastinya. Mungkin hanya Jay dan Tuhan yang tahu megapa ia selalu begitu.
“Kei, lo sama Jay sebenarnya ada apa sih? Kalian serius enggak pacaran?” Tanya Rina setelah beberapa saat. Aku yang sedari tadi membaca buku ekonomi materi yang akan dipelajari saat itu, terkejut mendengar Rina bertanya demikian.
“Enggak, Na. Demi Tuhan gak ada gue pacaran sama dia. Lo pasti kemakan gossip dari anak-anak lain nih!” selidik ku.
“Hmm… bisa dilang begitu. Soalnya sikap Jay tuh aneh, Kei. Apa lu enggak sadar kalau Jay selama ini …” belum tuntas ucapan Rina, Pak Ferdy, guru ekonomi kami memasuki kelas. Rasa penasaranku semakin bertambah. Pikiranku hanya ada tentang apa jawaban Jay sebenarnya dan apa yang ingin dibicarakan oleh Rina.
“Bagaimana, Kei? Kamu bisa kan?” Tanya Pak Ferdy membuyarkan lamunanku.
“Ada Apa, Pak?” Tanyaku menjawab pertanyaannya.
“Ya ampun, Kei! Kamu dari tadi gak dengar bapak bicara?”
“Hmm.. maaf pak, bukan begitu, cuma tadi …”
“Udah, gak apa-apa. Bapak tadi bilang, sekarang guru-guru mau ada rapat, jadi hari ini kalian bapak beri tugas kerjakan LKS halaman 8-10. Kamu dan Jaya bantu teman-teman yang lain jika ada yangn mereka tidak mengerti. Bagaimana? Kamu bisa kan?” jelas Pak Ferdy.
“Oh, siap pak!” Jawabku.
Pak Ferdy pun keluar kelas kami, dan kami mulai mengerjakan tugas yang beliau berikan. Teman-teman lelaki dikelasku satu persatu datang ke mejakku dan bertanya tentang apa yang belum mereka mengerti. Sudah tentu, teman-teman perempuan lebih banyak datang ke meja Jay.
“Tadi lu mau ngomong apa, Na? belum tuntas tadi.” Tanyaku setelah bel pulang sekolah berbunyi.
“Selama ini, apa lu benar-benar gak ngerasa kalau Jay sebenarnya punya rasa sama lo? Sikap dia tuh aneh, dan berbeda banget kalau sama lo, Kei.” Kata Rina setelah merapihkan buku-bukunya ke dalam tas.
“Gak. Gue pikir dan ngerasa semua sikap dia biasa aja. Wajar dan sama saja sejak dulu.”
“Tapi gue dan anak-anak menilainya gak begitu, Kei. Ada yang beda saat dia bareng sama lo. Terus, lu sendiri apa gak punya perasaan lebih sama dia?” Tanya Rina dengan tatapan ingin tahu.
Deg!! Aku kaget mendengar pertanyaan Rina seperti itu. Ingin aku menjawab, ada! Perasaan ini lebih dari sekedar sahabat. Tapi aku terlalu nyaman dengan kondisi ini semua. Aku gak mau semua berakhir hanya karena pernyataan bodoh tentang cinta semu yang belum tentu indah pada akhirnya. Tapi aku terlalu takut untuk mengungkapkan itu.
“Kei, gue tunggu di depan sekolah ya!” ucap Jay sambil lalu dari depan mejaku.
Hhhff …. Aku menghembuskan napas lega, karena aku bisa menahan ucapanku tadi. Kalau tidak, bisa-bisa tadi Jay mendengar apa yang sudah aku simpan rapat-rapat selama ini.
“Kei, jawab dong pertanyaan gue!” pinta Rina.
“Perasaan lebih sama Jay? Gue rasa enggak, Na. gue hanya menganggap dia sahabat gue. Gak lebih dari itu.” Jawabku menutupi yang sebenarnya kepada Rina.
Rina terlihat mengangguk kecil. Mencoba untuk percaya. Walau aku tahu ia masih menyimpan banyak pertanyaan tentang kami. Sebelum ia bertanya lebih banyak, aku pun mengajaknya untuk segera pulang. Aku dan Rina berpisah di depan gerbang sekolah. Karena Jay sudah benar-benar menunggu aku.
“Mau ngobrol dimana?” Tanya Jay setibanya aku di hadapannya.
“Ngobrolin apa?”
“Ngobrolin yang lagi lu pikirin dari tadi.”
“Gue gak ada mikirin apa-apa.” Elakku.
“Jangan bohong sama gue, Kei. Gue tau dan kenal banget sama lu!” tegas Jay.
“Pulang aja deh, yuk!” ajakku.
“Enggak! Ya sudah, kita ke warung mpok Minah aja. Ayo!” ajak dia sambil menggandeng tanganku menuju warung Mpok Minah. Warung yang berada di sebrang sekolah yang menjadi tempat kumpulnya beberapa anak Pelita Nusantara sepulang sekolah.
“Eh, jangan deh! Rame pasti. Gue lagi males ke tempat yang rame-rame.” Kataku menolak dan menghentikan langkah kami.
“Ya udah, dimana?”
“Kantin aja.” Jawabku tanpa pikir panjang. Akhirnya kami memutar langkah kami dan kembali ke sekolah. Langsung menuju kantin.
“Oke, jadi ada apa?” Tanya Jay tanpa basa basi setelah kami duduk di salah satu kursi bagian dalam kantin. Sebelumnya kami sudah memesan minum dan cemilan untuk menemani obrolan kami.
“Sebenarnya gue cuma penasaran aja Jay, siapa perempuan yang ada di hati lu saat ini?” Kataku menjawab pertanyaannya. Wajahnya terlihat kaget, tapi ia tetap terlihat santai.
“Emang penting banget ya buat lu?” Jay menjawab dengan balik bertanya. Aku yang ditanya seperti itu mendadak salting.
“Ya, enggak juga sih. Hanya heran aja. Kenapa lu terlihat menikmati banget gossip-gosip yang merebak tentang kita pacaran.”
“Lu terganggu?” tanyanya sambil menatapku lekat. Aku menghindari tatapannya.
“Jujur sih gue sedikit terganggu. Apalagi kalau ternyata lu emang udah punya seseorang yang udah istimewa di hati lu.”
“Lu tenang aja. Gosip-gosip itu akan menghilang seiring waktu, dan soal seseorang yang istimewa itu, emang ada, tapi lu tenang aja, itu semua Cuma gue dan Tuhan yang tahu.”
“Gue gak boleh tau, nih? Gue kan sahabat lu.” tanyaku sambil menatapnya penuh rasa ingin tahu.
“Hahaha. Jangan. Bisa-bisa lu patah hati nanti.” Jawab Jay di sela tawanya. Hatiku mendadak tak karuan mendengar ia berkata demikian.
“Terus, lu sendiri, kenapa betah ngejomblo? Bohong kan kalau gak ada lelaki satu pun yang ngedeketin lu dan ngajakin pacaran?” Tanya Jay. Aku tertawa mendengar pertanyaanya.
Karena jujur, selama dari kelas sepuluh semester dua sampai hari ini kelas dua belas semester satu, tidak lebih dari lima orang cowok yang mencoba mendekatiku dan memintaku untuk menjadi pacarnya. Tapi selalu aku tolak.
“Ada dong! Nona cantik bin pinter kaya gue masa gak ada yang naksir, mustahil kan?” sombong ku membuat Jay mencibir, dan aku kembali tertawa melihat ekspresi wajahnya.
“Sombong lu!! Emang siapa aja? Trus kenapa gak lu terima?”
“Gak banyak. Gue gak terima karena ada dua alasan.” Jawabku. Jay menaikan kedua alisnya seolah bertanya apa alasannya?
“Alasan pertama, karena Ayah meminta gue untuk tidak pernah pacaran sampai gue mendapatkan gelar sarjana. Entah ya, tapi firasat gue karena Ayah mau jodohin gue dengan seseorang.” Jawabku menjelaskan. Garis muka Jay mendadak berubah.
“Alasan kedua?” tanyanya sambil memainkan sedotan yang berada di gelas, menimbulkan suara es batu yang saling beradu.
“Karena gue tidak mencintai mereka.” Jawabku.
“Kalau nanti lu dijodohin dan ternyata lu gak cinta, gimana?”
“Itu urusan nantilah! Mungkin gue akan belajar menerima dia, lalu mencintai dia. Karena gue yakin orang yang akan dipilihkan Ayah bukan orang yang sembarangan.” Semoga saja keajaiban Tuhan datang dan menjodohkan gue dengan lu, Jay. Lanjutku dalam hati.
“Setelah ini, gue minta jangan menjaga jarak sama gue kaya tadi ya, Kei. Gue mau kita manfaatin waktu kita yang gak lama lagi ini. Belum tentu kan kalau kita udah lulus kita masih bisa seperti ini?” ucap Jay membuyarkan lamunanku.
Aku membenarkan omongannya. Namun aku berjanji pada diriku sendiri, jika sampai perpisahan tiba, tidak ada rasa yang berubah sedikitpun dari hati Jay, aku akan mundur. Menjauh perlahan darinya. Tho rasanya tidak akan sulit menjauh darinya dengan kondisi kita tak pernah lagi saling bertemu. Karena sejauh ini, Jay tidak pernah tahu dimana rumahku.
~*~*~*~*~*~
Sepuluh bulan berlalu perasaan ku kepada Jay semakin hari semakin jauh dari kata menyayangi sebagai sahabat. Ada harapan besar terselip dalam hati. Harapan bahwa Jay juga memiliki perasaan yang sama denganku. Namun seiring waktu berjalan, hingga hari perpisahan akan tiba, tidak ada tanda-tanda itu sedikit pun.
“Kei, setelah lulus nanti bisa gak kita seperti ini?” Tanya Jay seminggu menjelang hari perpisahan. Kami sengaja janjian ketemu di sekolah sambil mengurus beberapa hal mengenai kelulusan nanti. Taman belakang sekolah menjadi tempat pilihan kami untuk saling bertukar cerita sampai akhirnya kemudian Jay melontarkan pertanyaan tersebut.
“Gue gak tau, Jay. Tempat kuliah kita bakal berbeda jauh kan? Sulit kayanya akan tetap seperti ini.” Jawabku sambil mencabut salah satu daun yang ada di dekatku.
“Tapi kita bisa tetap komunikasi lewat whatsapp kan?” Tanya Jay sambil menatapku.
“Gue gak bisa janji, Jay.” Jawabku dengan melemparkan pandangan ke sembarang arah.
“Kei, plis. Bisa ya kita tetap seperti ini? Atau paling gak izinkan gue sekali aja ke rumah lu, Kei.”
“Buat apa, Jay? Dan kenapa juga sih lu segininya banget sama gue?”
“Ya karena gue gak mau kehilangan lu.”
“Maksud lu?” Tanya ku sambil menatapnya bingung.
“Ya gak mau kehilangan lu sebagai sahabat terbaik gue selama tiga tahun ini.” Jawabnya gugup.
“Ah masa? Lu yakin? Atau jangan-jangan selama ini, gue perempuan yang lu maksud itu kan?” tanyaku iseng menggodanya. Jay terlihat sedikit salang tingkah dengan pertanyaanku.
“Apaan sih, Kei? Ngaco lu! Eh, tapi bener juga sih, elu itu emang perempuan yang istimewa buat gue…”
Tuhan! Jantungku berdetak lebih cepat mendengar dia mengatakan itu.
“… istimewa karena lu adalah sahabat terbaik gue.” Lanjut Jay yang membuat aku merasa dibanting setelah diangkat setinggi mungkin. Sakit!!
Oh, sekedar sahabat. Only best friend. No more! Come on Kei, bangun dari mimpi dan mulai lupakan dia. Bisik hati kecilku.
“Dasar lu! Gue kira lu serius!” kata ku sambil menutupi perasaanku yang sebenarnya.
“Hahahha. Ya gak lah! Geer lu! next time kalau gue udah ketemu sama tambatan hati gue, pasti gue kenalin sama lo. Makanya gue minta kita keep contact sampai kapanpun.”
“Iya… iya…” jawabku sedikit malas.
Obrolan kami pun berlanjut tak lama. Setelah itu kami kembali pulang ke rumah masing-masing. Sepanjang jalan aku terus memantapkan hati untuk mulai menjauh perlahan dari Jay. Sebelum perasaan ini kian menjadi, dan nantinya akan semakin sakit saat aku benar-benar tahu Jay telah menemukan tambatan hatinya, dan itu bukan aku.
Hari perpisahan itu pun tiba. Aku mulai menghindarinya perlahan. Sepulang dari acara perpisahan itu pun Jay terus saja mengirimi aku pesan, dan aku menjawabnya hanya sekedarnya. Ia mencoba menelepon namun tak ada satupun yang aku jawab. Aku mencoba memberikan alasan bahwa aku tidak mendengar panggilan masuk darinya.
Sejujurnya berat melakukan hal seperti itu. Aku harus belajar melepaskan di saat aku belum memiliki. Salahku sendiri, mengapa harus memiliki perasaan lebih dari yang ia mau.
Setahun pertama setelah perpisahan sekolah komunikasi kami masih terjaga, walau aku mulai pelan-pelan menjauh darinya. Kabar terakhir yang aku tahu, ia melanjutkan kuliah di salah satu universitas terbaik di daerah Yogyakarta mengambil jurusan arsitektur.
“Dipikir-pikir, saran lu waktu itu ada benernya juga. Jadi, gue coba ikut ujian seleksi ke sana dan mengambil jurusan arsitektur.” Jelasnya waktu ku tanya mengapa mengambil jurusan arsitektur.
Sempat tak percaya awalnya karena dia menerima saranku. Namun demikian aku turut bahagia mengetahui itu. Karena aku tahu dia memiliki bakat dan juga cita-cita untuk menjadi seorang arsitek. Aku berharap dengan saranku waktu itu bisa menjadi jalannya meraih apa yang ia impikan selama ini.
Aku semakin berjalan menjauh darinya. Aku ingin benar-benar pergi darinya. Melupakannya walau terasa sangat sulit. Karena Jay adalah lelaki pertama yang memenuhi ruang hati dan pikiranku. Namun, tiap kali teringat janjiku dengan Ayah, maka perasaan yang bersemayam dalam hatiku untuk Jay aku coba untuk menguburnya secara perlahan. Aku pasrah pada kehendak Tuhan. Biarkan tangan Tuhan yang akan mempertemukan dengan lelaki terbaik sebagai jodohku kelak.
~*~*~*~*~
Empat tahun berlalu. Melupakan Jay bukanlah perkara mudah untuk ku lakukan. Tapi paling tidak aku sudah berhasil untuk benar-benar menghindar bahkan menghilang darinya. Aku mengganti nomor ponselku. Memblokir akun media sosialnya sehingga ia tidak bisa lagi menghubungi ku.
Kemarin, saat aku baru saja pulang dari kantor Ayah memberitahuku bahwa ada hal penting yang ingin beliau bicarakan. Aku segera bebersih dan mengganti bajuku, lalu menghampiri ayah yang sudah menungguku di ruang keluarga. Aku melihat sebuah map hijau di atas meja depan ayah.
“Ada apa, Yah?” tanyaku sambil membawa sepiring nasi lengkap dengan sayur dan lauk menu makan malam, kemudian aku duduk di depan ayah, di samping ibu.
“Kamu makan saja dulu lah. kasihan, keliatannya anak ayah laper.”
“Laper dan capek banget, Yah. Hehehe.”
“Bagaimana di kantor? Baik-baik saja kan, Nak?” Tanya Ibu yang selalu penuh perhatian.
“Baik, Bu. Ibu tenang aja. Sebenarnya ada apa, Bu? Kayanya ayah mau bicara serius.” Tanyaku bisik-bisik kepada Ibu.
“Ayah, anaknya penasaran nih!” kata ibu yang bukan menjawab pertanyaanku.
“Selesaikan dulu makannya.” Jawab Ayah.
“Sekarang aja, Yah. Aku penasaran.” Desakku.
“Ini, bacalah!” kata Ayah sambil memberikan sebuah map hijau yang berada di atas meja. Jantungku berdetak semakin cepat saat aku lihat sebuah foto berukuran 3x4 terselip di pojok kiri kertas putih yang bertuliskan biodata. Daffa ghazzal jaya. Mulutku merapalkan namanya perlahan.
“Lalu, kapan kita akan ketemu sahabat ayah dan anaknya itu?” Tanyaku akhirnya.
“Besok sore mereka ke sini, sambil makan malam bersama kita.” Jawab Ayah.
Deg. Hatiku mencelos mendengar jawaban Ayah. Tak mengira secepat ini Ayah akan mempertemukan aku dengannya. Rasanya tak sabar ingin segera esok sore. Aku ingin segera melihat ia yang sekarang. Seperti apa rupanya sekarang. Ya Tuhan, putarlah waktu lebih cepat.
~*~*~*~*~
“Iya, kita berteman cukup dekat waktu SMA dulu.” Kataku menjawab keheranan kedua orangtua kami.
Ayah, Ibu, serta kedua orangtuanya tertawa bahagia mendengar jawabanku.
“Kalau begitu rasanya tidak terlalu sulit untuk melanjutkan rencana kita nih, Zal.” Kata Ayah kepada om Rizal, ayah Jay.
“Iya benar. Sepertinya mereka memang berjodoh.” Jawab om Rizal yang membuat aku menjadi salah tingkah. Jay pun terlihat sedikit salah tingkah.
“Hai Kei. Bagaimana kabarmu?”
“Baik, seperti yang kamu lihat, Jay.” Jawabku.
Om Rizal dan tante Novi heran saat aku memanggilnya dengan sebutan “Jay.”
“Waktu dulu aku yang meminta dia memanggil seperti itu, Ma. Rasanya terdengar lebih keren aja.” Kata Jay menjawab kebingungan tante Novi da nom Rizal.
“Oh, biar punya panggilan kesayangan?” ledek Om Rizal. Jay semakin terlihat salah tingkah.
“Om, boleh saya bicara dengan Keira berdua?” Tanya Jay kepada Ayah.
“Oh, silahkan. Sambil menunggu Bi Inah selesai menyiapkan makan malam kita, kalian bolehlah bernostalgia dulu.” Jawab Ayah sedikit menggoda kami.
“Di taman belakang aja.” Jawabku sambil beranjak dari kursi. Setelah pamit kepada kedua orangtua kami, aku pun melangkah lebih dulu ke taman belakang.
“Hai Bi, sudah siap?” sapaku kepada Bi Inah yang sedang menghidangkan beberapa makanan di atas meja.
“Dikit lagi, neng.” Jawab Bi Inah disusul senyuman manisnya.
“Oh, santai aja, Bi. Aku juga mau ke taman belakang dulu sebentar. Ada yang ngajakin ngobrol dulu.” Jawabku.
Aku melirik ke arah Jay yang tersenyum mendengar jawabanku. Taman belakang rumahku tidak terlalu besar, tapi cukup nyaman untuk dijadikan tempat kumpul keluarga, bersantai, atau sekedar ingin membuat acara barbegque time.
“Kenapa tiba-tiba pergi dan menghilang dari gue, Kei?” Tanya Jay tanpa basa basi setelah kami duduk di kursi taman. Ia sama sekali tidak menatapku. Ia sibuk menggulung lengan bajunya sampai ke siku.
“Gue enggak pergi, Jay. Gue…”
“Bohong! Kalau lu enggak pergi dari gue kenapa lu sama sekali mendadak gak bisa gue hubungin? Nomor whatsapp lu juga ganti. Semua akukn medsos gue lu blokir. Kenapa? Gue punya salah?” Tanya Jay yang kali ini dengan tatapan tajam ke dalam mataku.
Degup jantungku semakin tak karuan rasanya. Ingin aku pergi, namun tak mampu. Ingin mengungkapkan yang sebenarnya tapi terlalu sulit. Ah! Aku sama sekali tidak tahu apa yang harus aku lakukan saat ini.
“Jawab gue Kei! Apa salah gue?”
Aku menggeleng pelan.
“Lu enggak punya salah apa-apa, Jay.”
“Kalau gitu kenapa lu menghilang?? Lu tau, kan gue selalu butuh lu? Apa lu lupa sama janji kita dulu sebelum perpisahan??” Tanya dia dengan suara yang ditekan agar tak meninggi. Raut wajahnya terlihat sangat kecewa. Aku tahu, ia sedang memendam kecewa, dan menahan amarah.
“Maafin gue, Jay. Tapi sumpah demi apapun ini bukan salah lu. Ini pure karena keegoisan gue, Jay.” Jawabku dengan mata yang mulai panas. Entah mengapa, tiba-tiba saja air mata ini menyeruak keluar. Aku memalingkan wajahku dari tatapannya dan segera menghapus air mata ini.
“Maksud lu apa?”
“Ada rasa yang lebih dari sekedar sahabat, Jay. Gue gak sanggup untuk terus berpura-pura dan menutupi ini dari lu, sedangkan gue masih terus komunikasi sama lu, Jay. Makanya, gue memilih untuk mundur dan pergi dari lu.” Jelasku setelah mengatur napas dan mencoba agar air mata ini tak kembali hadir. Terdengar Jay menghela napas berat.
“Baru kemarin gue tau Ayah mau menjodohkan gue dengan anak sahabatnya, dan ternyata itu elu.” Lanjutku disusul dengan senyuman getir.
“Terus, elu menerima perjodohan ini?” Tanya Jay membuat ku begitu terkejut.
“Keputusan gue, tergantung elu membuat keputusan, Jay.” Jawab ku membalas tatapannya.
Jay mendekat, tangannya meraih tanganku, lalu menggenggamnya erat. Matanya lekat menatap mataku.
“Jangan pergi lagi dari gue, Kei. Gue mohon.”
“Jadi? Perasaan lu ke gue?” tanyaku sedikit ragu.
“Gue sayang sama lu, Kei. Gue butuh lu, gue nyaman saat bareng lu. Gue sepi saat lu jauh, Kei. Baca chat dari lu, dengar suara lu lewat telepon, itu udah bikin gue bahagia banget. Empat tahun kemarin tanpa lu, gue kosong, Kei. Gue kehilangan. Gue bingung harus cari lu kemana.” Jawab Jay dengan mata yang mulai berkaca-kaca.
“Tapi, kenapa lu enggak pernah ngomong?” tanyaku kepadanya.
“Gue sering kasih lu sinyak tentang apa yang gue rasain. Tapi lu enggak pernah bisa menangkap sinyal yang gue kasih ke elu, Kei. Kalau aja lu lebih peka sedikit, mungkin lu akan tau bahwa perasaan itu lebih dulu hadir dalam hati gue sebelum lu yang merasakannya.”
“Gue terlalu takut untuk kehilangan lu saat itu. Gue terlalu pengecut. Sebisa mungkin gue mempertahankan lu agar tetap ada di dekat gue, nyatanya gue tetap kehilangan lu beberapa tahun kemarin.” Ucap Jay sambil menunduk. Menghindari tatapanku. Aku menangkap ujung matanya mulai basah.
“Maafin gue, Jay. Sekali lagi gue minta maaf.” Kataku sambil menggenggam tangannya semakin erat. Air mataku sudah kembali hadir di ujung mata.
“Jangan nangis Kei. Please. Lu enggak salah, gue yang salah, Kei. Kalau aja gue gak sepengecut itu, lu pasti gak akan pergi.” Ucap Jay sambil menghapus air mataku.
“Empat tahun tanpa kabar tentang lu, dan enggak ada satu orangpun yang bisa kasih petunjuk tentang lu dimana, Kei. Satu-satunya cara yang bisa gue lakuin untuk meredam semua perasaan gue yang kacau itu adalah merapalkan nama lu di setiap do`a gue. Gue yakin, Tuhan gak tidur, dan kelak Dia menjawab segala do`a gue. Hari ini, DIA menjawabnya, Kei. So, please, jangan pergi lagi. Gue cinta sama lu, Kei. Gue sayang banget sama lu, lebih dari sekedar sahabat. Lu mau kan lengkapi separuh hidup gue? Menemani gue sampai maut yang bisa memisahkan kita?”
Aku menjawab pertanyaannya dengan anggukan kecil, diiringi senyuman dan rintikan air mata bahagia. Ternyata bukan hanya aku yang merapalkan namanya dalam do`a, ia pun meramalkan namaku dalam barisan do`a nya. Mungkin do`a-do`a kami bertemu sehingga Tuhan berkenan mengabulkannya. Maha Baiknya DIA yang Maha Mendengar setiap permohonan.
“Hei, kalian sudah seakrab ini?” Tanya Om Rizal yang tiba-tiba hadir di hadapan kami.
“Papa? Bikin kaget aja.” Jawab Jay sambil melepaskan genggaman tangan kami.
“Dulu Jay sahabat saya, Om.” Kataku kemudian.
“Oooh, sahabat rasa sayang?” goda Om Rizal. Aku tersipu malu mendengar ucapannya.
“Papa apaan ih! Iseng banget!” Jay memprotes.
“Makan yuk! Sudah pada nunggu di ruang makan tuh.” Ajak Om Rizal sambil membalikkan badan dan bersiap melangkah ke ruang makan.
“Oh ya, Kei Om mau pesan sama kamu, mulai hari ini panggil lelaki ini dengan sebutan Daffa. Jangan Jay. Siap, Kei?” lanjut Om Rizal yang tiba-tiba menoleh ke arah ku. Aku tertawa kecil sambil mengangguk mengiyakan permintaannya.
Malam ini, sungguh makan malam terindah bagiku. Setelah sekian tahun tanpa kabar dan komunikasi darinya, akhirnya malam ini aku dipertemukan kembali dengan keadaan yang jauh dari perkiraanku.
“Jadi bagaimana, Daff? Masih mau menolak?” Tanya om Rizal seusai kami makan malam.
“Kalau dari awal Daffa tau Papa akan menjodohkan aku dengan Keira, aku berani sumpah gak akan ada penolakan seperti kemarin. Aku mau ini dilanjutkan, Pa.” Jawab Daffa penuh Keiakinan.
“Kamu, Kei? Bagaimana?” Tanya Ayah sambil menoleh ke arahku.
“Aku satu jawaban dengan Daffa, Yah.” Jawabku sambil beradu tatap dengan Daffa. Kami saling melemparkan senyum. Senyum kebahagiaan.
“Kalau begitu, bagaimana kalau kita segerakan rencana kita ini?” Tanya om Rizal. Ayah menyetujui, begitu pula Ibu dan tante Novi. Lalu aku pun manut saja.
“Kamu Daff, bagaimana?” Tanya om Rizal.
“Besok langsung akad bisa enggak, Pa?” Tanya Jay sontak membuat kami semua tertawa.
“Kamu udah yakin banget emang? Udah gak ada galau-galau lagi?” Tanya tante Novi menggoda Jay.
“Yakin beribu ribu persen, Ma, dan kalau Mama mau tau, perempuan ini yang udah bikin aku galau setengah mati.” Jawab Jay sambil menatapku.
“Yasudah, yuk kita bahas di ruang tamu saja.” Ajak Ayah akhirnya.
Kami pun kembali ke ruang tamu dan kemudian membicarakan penentuan hari lamaran dan akad. Belum kami menentukan waktu, tiba-tiba saja Kak Hana dan mas Ilham datang. Ia terlihat terkejut ketika melihat Daffa beserta orangtuanya di rumah kami.
“Wah, kebetulan kamu di sudah di sini, Han. Kita lagi membahas hari untuk lamaran dan pernikahan Keira dengan Daffa.” Kata Ayah setelah mempersilahkan mereka duduk.
Ka Hana semakin terkejut dengan pernyataan Ayah.
“Gimana ceritanya dek? Kamu enggak pernah curhat lagi soal dia, tau-tau mau nikah sama dia?” Tanya Ka Hana berbisik kepadaku.
“Panjang ka ceritanya. Nanti ya kalau ini udah beres.” Jawabku kembali berbisik.
“Hei, apa sih ko bisik-bisik gitu?” Tanya ibu menegur kami. Kami hanya tersenyum menjawab ucapan Ibu.
“Hana punya saran kapan kira-kira waktu yang tepat untuk mereka?” Tanya Ayah.
“Akhir bulan depan saja, Yah. Dan jeda dari lamaran sampai ke akad tidak usah terlalu lama. Dua minggu cukup lah. jadi kita tentukan tanggalnya dari sekarang.” Jawab Ka Hana tanpa berpikir panjang.
Aku terkejut mendengar jawaban ka Hana. Aku yakin Ayah akan mengiyakan saran Ka Hana.
Lalu benar saja! Setelah diskusi singkat, para orangtua kami menyetujui saran Ka Hana. Jay pun terlihat bahagia, tidak keberatan sama sekali. Senyum bahagia pun terpancar di wajah Ayah, Ibu, dan juga om Rizal serta tante Novi setelah kami menentukan tanggal pelaksanaan kedua hari besar bagi aku dan Daffa.
Sekitar pukul 21.00 Jay beserta om Rizal dan tante Novi pamit pulang. Malam ini benar-benar indah bagiku. Perjodohan ini adalah perjodohan terindah yang terjadi sekali seumur hidupku. Dengan telah disepakatinya dua hari penting untukku dan Daffa, dan jaraknya hanya sebulan, itu artinya mulai besok aku dan Daffa ditemani Ibu, ka Hana dan tante Novi sudah mulai mempersiapkan segalanya.
“Selamat istirahat calon istri, tidur yang nyeyak, besok aku jemput. Ingat, jangan pergi dan menghilang lagi dari aku.” Ucap Daffa sebelum memasuki mobilnya.
“Siap bos!”
“Bos?? Hei, aku ini calon suamimu nona.” Protesnya.
“Siap calon suami, hati-hati dijalan. Ditunggu besok.” Kataku disusul senyuman.
“Oke, bye..” kata Daffa yang langsung melajukan mobilnya setelah melemparkan kiss bye ke arahku. Aku tersipu malu karena perlakuannya. Senyum ku semakin merekah. Tindakan kecil itu telah menyempurnakan kebahagiaanku malam ini.
_SELESAI_
Tidak ada komentar:
Posting Komentar