“Tujuh tahun yang lalu??” Tanya Ayah, Ibu, dan juga kedua orangtuanya secara berbarengan.
Ya, tujuh tahun yang lalu, aku bertemu dan mengenal dia saat kami masih berseragam abu-abu. Ia teman sekelas ku sejak kelas satu semester dua. Sejak aku pindah ke sekolah Pelita Nusantara dari sekolah favoritku di Bandung.
Setelah nyaris sepuluh tahun kami di Bandung, Ayah harus kembali lagi ke Jakarta dan fokus mengurus bisnisnya di Jakarta. Oleh sebab itu aku mau tidak mau harus rela meninggalkan kota kembang menuju ibu kota.
Di Pelita Nusantara itulah aku mengenal Jay, begitu aku memanggilnya atas permintaan ia saat kami pertama kali berkenalan. Jay satu-satunya teman lelaki yang akrab dengan ku. Aku sendiri pun heran dengan diriku sendiri yang bisa begitu dekat dan akrab dengan Jay hanya dalam waktu kurang dari dua bulan keberadaanku di Pelita Nusantara.
Bagiku Jay sosok yang begitu hangat kepada siapapun. Ia termasuk seorang lelaki yang begitu supel kepada siapa saja. Aku nyaris tak pernah melihat ia memiliki musuh, atau sekedar mendengar omongan miring tentang dirinya. Bukan saja hangat, ramah, dan supel. Ia juga sosok yang cerdas, secara fisik bisa diaktakan dia tampan, tinggi, belum lagi ia adalah kapten basket di sekolah. Tak heran jika cewek-cewek di sekolah saat itu banyak yang mencari perhatiannya dan berusaha mendekatinya. Herannya, dari sekian banyak teman wanita di sekolah, tidak ada satu pun di antara mereka yang menarik perhatiannya Jay.
Aku seolah kembali ke masa itu. Masa di saat kami masih bisa bersama-sama. Saling bercerita dan berdiskusi tentang banyak hal di sekolah. Jay dan aku seperti dua orang yang selalu ditakdirkan untuk berada di kelas yang sama sejak pertama kali aku datang di Pelita Nusantara hingga hari perpisahan sekolah kami tiba.
*~*~*~*
Lima tahun yang lalu.
Bel tanda jam istirahat tiba baru saja berbunyi, seperti biasa Jay langsung meninggalkan kursinya dan menghampiri meja ku, lalu duduk di kursi sampingku yang sudah kosong. Saat kami sedang sedikit mengobrol tiba-tiba salah satu teman sekelas kami menghampiri.
“Jay, nanti boleh gak ajarin gue tugas matematika yang tadi Pak Angga jelasin? Gue masih bingung nih Jay.” Kata Ratih, salah seorang teman sekelas kami ketika jam istirahat tiba.
“Minta ajarin sama Keira aja nih! Pinter tuh dia kalau urusan matematika. Gue aja mau minta ajarin sama dia nih. Ya kan, Kei?” tanyanya sambil memberikan kode agar aku menjawab “iya.”
Aku pun mengangguk sambil tersenyum.
“Yaudah, nanti gue tanya sama lo ya, Kei?”
Ucap Ratih yang kemudian pergi setelah aku menyanggupi permintaannya. Aku tahu, Ratih hanya sekadar basa-basi dan mencoba mencari cari alasan agar bisa dekat dengan Jay.
“Yah, dia pergi. Cuma basa basi doang itu dia. Dikira gue gak tau kali!” sungut Jay pelan.
“Hush!! Gak boleh gitu ih! Kalaupun dia basa basi dan cuma cari cara biar bisa deket sama lo, emang kenapa sih? Gak dosa juga kan?” jawabku memprotes sikap Jay.
“Ya gak dosa, tapi gue risih!”
“Lha kenapa? Nih ya, gue kasih tau, elu tuh jangan terlalu begitu sikapnya sama cewek-cewek. Gimana mau dapet cewek kalau lu begitu? Lagi juga nih, mereka-mereka bakal ngira kita nih beneran pacaran tau!”
“Lha, lu sendiri juga enggak dapet-dapet cowok! Kenapa tuh? Padahal kan lu cantik pinter pula! Mustahilkan cowok-cowok pada gak suka sama lu. Hahaha.”
“Dih, rese lu!Harus berapa kali sih gue bilang, gue ini enggak mau pacaran, Jay!” sungutku kesal.
“Bawel lu. Ke kantin yuk! Temenin gue makan.” Ajaknya sambil menarik tangan kananku. Ia selalu begitu. Menghindari pembahasan ke arah sana sejak kami memasuki kelas sebelas.
“Jay, kita kan udah kelas duabelas nih, lu udah punya rencana bakal lanjut kuliah kemana?” tanyaku sambil mengaduk sambel dan kecap yang baru saja aku tuang ke dalam mangkuk baksoku.
“Belum. Masih lama juga, Kei. Santai ajalah!” jawabnya disusul dengan suapan pertama ketoprak kesukaannya.
“Jay, waktu tuh cepat berlalu. Walau masih semester satu gini, lu harusnya udah punya tujuan mau kemana.”
“Emang lu udah?”
“Udah lah!”
“Kemana?”
“Belom tau pasti sih kemananya. Gue masih mencari-cari tempat terbaik, yang pasti gue mau ambil manajemen bisnis.”
Jay mengangguk kecil mendengar jawabanku.
“Kenapa lo gak ambil arsitek aja nanti? Lu kan pinter banget matematikanya, Jay.” Tanyaku kemudian.
“Hmm.. bisa dipertimbangkan.” Jawabnya singkat.
“Jay, sumpah deh gue heran kenapa lu betah banget ngejomblo dan tega banget menolak mereka-mereka yang udah rela ngeruntuhin rasa malunya buat nyatain cinta ke elu?” Tanya ku setelah makanan kami habis.
“Gue gak tertarik dan cinta sama mereka masa harus gue paksain? Kasian mereka, kan?” jawab Jay sambil menatapku.
“Iya sih! Terus, lu cintanya sama siapa?” tanyaku penasaran.
“Sama … hm… sama…” ucapnya menggangtung.
“Sama siapa?” desakku. Tiba-tiba ia menatapku begitu dalam dengan wajah yang sangat serius.
Ayo smngat buat cerpen slanjutnya... Jangan bikin penasaran ambu, hihi
BalasHapusSemangat terus ambu kuu. Lav pokonha mah 🤗😍