Aku nyaris tak percaya dengan apa yang berada di hadapanku saat ini. Biodata seorang laki-laki dalam sebuah map, yang kini di tangan membuat aku tak bisa berkedip beberapa saat. Ia adalah lelaki yang ingin Ayah kenalkan kepadaku.
“Dia anak dari sahabat Ayah yang udah lama ingin sekali Ayah kenalkan sama kamu. Ayah dan sahabat ayah berharap kalian bisa berjodoh suatu hari nanti, dan kami ingin kalian bisa saling berkenalan saja dulu.” Terang Ayah saat aku membaca biodata di hadapanku.
“Bagaimana, Key? Kamu mau?” tanya Ayah membuyarkan lamunanku.
Aku mengangguk memberi jawaban kepada Ayah.
“Kamu tidak keberatan kan, Nak?” tanya ibu sekedar meyakinkan.
“Tidak Ibu. Tidak sama sekali.” Jawabku untuk meyakinkan Ayah dan Ibu. Terlihat senyum lega dan bahgaia di wajah mereka yang mulai nampak keriput halus. Tanda mereka sudah mulai menua.
“Ibu dan Ayah tidak akan memaksa menjodohkan kamu dengan dia. Kami hanya berusaha untuk memperkenalkan kamu dengan dia dulu. Ya, syukur-syukur memang kamu setuju dengan perjodohan ini dan cocok dengan dia. Kalaupun tidak, ya sudah, tidak masalah.” Kata Ayah. Aku hanya tersenyum mendengar ucapan Ayah. Jikalau saja Ayah tahu yang sebenarnya. Ah, biarlah waktu yang akan memberitahu Ayah yang sebenarnya, bisikku dalam hati.
“Lalu, kapan kita akan ketemu sahabat ayah dan anaknya itu?” Tanyaku akhirnya.
“Besok sore mereka ke sini, sambil makan malam bersama kita.” Jawab Ayah.
Deg. Hatiku mencelos mendengar jawaban Ayah. Tak mengira secepat ini Ayah akan mempertemukan aku dengannya. Rasanya tak sabar ingin segera esok sore. Aku ingin segera melihat ia yang sekarang. Seperti apa rupanya sekarang. Ya Tuhan, putarlah waktu lebih cepat.
~~~
“Kei, sekitar sepuluh menit lagi sahabat ayah sampai. Keluar yuk, siap-siap di depan.” Kata Ibu yang tiba-tiba masuk ke kamarku memberi tahu.
“Bu, penampilan Keira gimana? Sudah oke kan?” Tanya ku sambil memutar badan di depan Ibu.
“Bagus, Nak. Cantik sekali. Tapi Ibu heran, kenapa gayamu seperti ingin menyambut tamu spesial?” Tanya Ibu dengan tatapan penuh selidik.
Aku tersenyum malu. Hanya Ka Hana, kakak pertamaku yang tahu ceritaku dengan dia yang akan datang sore ini. Maka tak heran jika Ibu bingung melihat aku seperti saat ini.
Tak lama terdengar pintu pagar terbuka, dan suara mobil memasuki perkarangan rumah kami. Aku yakin itu dia bersama keluarganya.
“Ibu duluan saja ya, nanti aku menyusul. Sebentar sajaa.” Pinta ku. Ibu pun menyetujui permintaanku.
Aku butuh mengatur rasa nervous yang tiba-tiba saja hadir. Aku juga ingin memberi tahu Ka Hana tentang berita bahagia ini.
“Ka, bisa gak dateng ke sini? Aku mau cerita banyak nih!” tanyaku saat sambungan telepon sudah terjawab olehnya.
“Ada apa de? Penting banget gak? Kalau gak terlalu penting kakak males ah!” jawab Ka Hana disusul tawanya yang renyah.
“Ih gitu dia sih! Pokoknya Keira tunggu! Cepetan ke sini!”
“Kakak izin dulu sama Mas Ilham ya.” Jawabnya.
Oh ya, aku lupa, dia kan sudah menjadi istri orang. Mau tidak mau setiap langkah kakinya harus atas izin suaminya.
“Yasudah, kalau begitu. Sudah dulu ya, Ka. Bye.” Pamitku yang berbarengan dengan suara Ayah yang memanggilku dari luar kamar.
“Ngapain dulu sih? Kata Ibu sebentar lagi keluar, tapi enggak dateng-dateng. Itu temen Ayah dan Anaknya sudah menunggu.” Kata Ayah saat aku sudah berada di hadapannya.
“Maaf Ayah. Tadi Keira menelpon kak Hana sebentar.”
“Yasudah, ayo ke ruang tamu.” Ajak Ayah. Aku pun kemudian mengikuti langkah Ayah menuju ruang tamu. Degup jantungku makin tak karuan rasanya. Aku mencoba mengatur napasku dengan baik. Agar degup jantung yang begitu berdebar ini tak begitu mengganggu.
Tenang Keira, tenang Keira, ini hanya sekedar perkenalan. Ingat, per-ke-na-lan. Belum tentu kamu menikah dengan dia. Belum tentu dia mau sama kamu sekarang, sudahlah. Jangan terlalu geer! Hatiku berucap demi menenangkan hatiku yang tak karuan ini.
Aku dan Ayah pun tiba di ruang tamu. Sudah ada sahabat ayah beserta anak istrinya.
“Maaf sudah menunggu. Ini dia putri kami.” Kata Ayah setelah kami duduk di kursi yang berhadapan dengan sahabat Ayah.
“Hai cantik, siapa namamu, Nak?” Tanya istri sahabat ayah yang aku tahu dari Ibu ia bernama tante Novi.
“Keira, Tante.” Jawabku disusul senyuman.
Dia yang sejak tadi sibuk menunduk sambil dengan ponselnya, seketika itu langsung menegakkan kepalanya dan menatapku tak percaya.
“Ka… kamu?”
“Iya, ini aku. Hai, kita ketemu lagi.” Jawabku menyapanya.
Dia masih menatapku tak percaya. Lebih lagi orang tua kami. Mereka menatap kami bergantian dengan tatapan heran.
“Kamu kenal dengan Keysa, Daf” Tanya om Rizal, sahabat Ayah kepada putranya itu.
“Sangat mengenalnya, Pa.” jawab ia sambil menatapku.
“Kenapa kamu tidak bilang kalau kamu sudah saling kenal, Kei?” kali ini Ibu yang bertanya kepada ku.
“Agar menjadi kejutan.” Jawabku dengan membalas tatapannya.
“Sejak kapan?” pertanyaan itu terlontar dari Ayah.
“Tujuh tahun yang lalu.” Jawab kami nyaris berbarengan.
“Tujuh tahun yang lalu??” Tanya Ayah, Ibu, dan juga kedua orangtuanya secara berbarengan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar