Sabtu, 03 Oktober 2020

Menanti Senja


Dua bulan sudah berlalu, dan Rina masih setia pada tempat dan waktu yang sama selama dua bulan ini.

Lepas waktu asar, hingga maghrib menjelang, ia dengan setia menanti semburat senja hadir sambil menikmati es kelapa muda di tempat langganannya, di pesisir pantai.

Ia seperti mendapati kekuatan dan semangat baru untuk menghadapi hari esok ketika guratan senja menyapanya di penghujung hari. Menatap matahari terbenam dengan perlahan seolah menjadi candu baginya.

Walau pada akhirnya, ketika malam menyapa, ia akan tetap merasakan hal yang sama. Rindu, sakit, juga kehilangan.

Bagaimana tidak? Ketika cinta bersama Senja-nya mulai tumbuh dan semakin berbunga, justru ia harus dihadapi oleh kenyataan untuk selalu menanti Senja yang tak akan pernah kembali dalam pelukannya.


Malam itu ....
Rina dikejutkan oleh suara di sebrang telepon sana. Badannya mendadak gemetar, kakinya lemas seperti tak bertulang, matanya pun panas oleh lahar yang siap meleleh mengguyur wajahnya.

Ia hanya mampu mendengar kalimat "Maaf Rin, gue harus memberi tahu lo lewat telepon. Senja gak akan pernah pulang lagi ke Jakarta. Dia sudah lebih dulu pulang kepada Sang Pencipta ..."
Selebihnya, Rina tak mampu mendengar apa-apa lagi dari sahabat Senja yang juga sahabatnya itu.

Aldi, sahabat Senja dan juga sahabatnya yang bekerja dalam satu proyek bersama Senja menjadi arsitektur di salah satu proyek besar di luar kota Jakarta mengabarkan bahwa Senja ditemukan sudah tak bernyawa di kamar mandi menjelang salat Jum'at. Entah apa dan bagaimana yang terjadi sebenarnya, Aldi pun tak bisa bercerita pasti. Tapi kabar kepergian Senja benar-benar membuat Rina terpukul dan merasa kehilangan separuh jiwanya.

Karena Senja baru saja resmi menjadi suaminya sekitar tiga minggu. Dan mereka baru saja tinggal bersama sebagai suami istri hanya dalam hitungan dua minggu. Masih wangi aroma pengantin. Masih diselimuti kebahagiaan tiada tara sebagai pasangan suami istri. Masih terlalu berbunga-bunga hubungan mereka. Dan baru saja Rina berbahagia menjalankan perannya sebagai seorang istri untuk Senja, lelaki yang dikaguminya sejak bertahun lamanya, kini ia harus dihadapkan dengan kenyataan yang begitu pahit.

Dua bulan sudah berlalu sejak kepulangan Senja. Rina selalu menghabiskan waktu sorenya untuk menatap semburat cahaya senja di langit petang.

"Dek, pulang yuk! Udah mulai gelap nih!" Ajak Sisy, kakak ipar Rina yang selalu setia mendampingi Rina sejak kabar duka itu datang.

"Ka, aku kangen banget sama Senja. Dia sering banget ngajak aku ke sini buat sekedar ngobrol ngalor ngidul, makan es kelapa, sambil menikmati sunset." Cerita- yang lebih mirip keluhan- yang entah sudah berapa kali Sisy dengar dari mulut Rina.

"Aku bahkan udah janji sama dia, Ka. Untuk selalu menanti dia pulang di pantai ini dengan menikmati sunset seperti ini. Dan suatu hari nanti, kita akan sama-sama menikmati sunset yang begitu indah ini." Lanjut Rina dengan tatap matanya yang sedang membayangkan Senja-nya akan benar-benar pulang dan mereka akan berbagi cerita di pesisir pantai sambil menikmati semburat senja yang begitu indah.

"Rin, udah ya, Dek. Cukup sedihnya. Kasihan Senja. Kasihan dirimu juga." Kata Sisy mengingatkan dengan mata yang mulai berkaca-kaca.

Ia tahu betapa berat beban rindu yang kini Rina pikul.

"Aku kangen Senja, Ka. Rasanya, kalau aku harus diminta menanti ia pulang bertahun-tahun lagi, aku siap. Asal dia benar-benar pulang. Pulang ke pelukan aku, Ka." Jawab Rina dengan matanya yang mulai basah. 

Sisy pun merangkul Rina dan menariknya dalam pelukan.

"Kakak tau, ini berat banget buat kamu. Tapi kamu harus kuat. Harus ikhlas. Terkadang, Tuhan menguji kita dengan sesuatu yang sangat menyakitkan demi mendatangkan sebuah kebahagiaan yang gak pernah kita tahu, dan gak pernah kita bayangkan sebelumnya. Tugas kita saat ini adalah ikhlas dengan segala ketentuan-Nya. Kakak yakin kamu pasti bisa." Kata Sisy mencoba menguatkan Rina.

Dan ucapan Sisy hanya dijawab dengan anggukan kecil diiringi tetesan air mata oleh Rina.

Setelah Rina merasa lebih tenang, ia pun mengiyakan ajakan Sisy untuk kembali ke rumah. Rina tahu, rutinitasnya setiap sore selama dua bulan terakhir ini tak akan pernah mendatangkan Senja kembali untuknya. Tapi paling tidak, dengan menatap semburat senja, ia merasa Senja-nya ada di dekatnya, bersamanya, memberikan kekuatan baru untuknya menghadapi hari esok yang tentunya tetap sepi, juga tetap berat dengan beban rindu yang bersemayam dalam hatinya. Namun, Rina tetap bertekad untuk selalu menanti senja. Sampai kondisi hati dan pikirannya benar-benar stabil dan bisa menerima kepergian Senja.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar