Pagi ini benar-benar kelabu bagiku. Walau langit begitu cerah dan mentari begitu gagah. Entah, sudah berapa bulir air mata yang jatuh membasahi sajadahku sejak tahajud tadi. Aku begitu sesak. Begitu terluka. Hingga aku tak tau lagi harus bersikap apa selain diam dan menikmati hangatnya setiap tetes air mata yang jatuh membasahi wajah.
"Kamu kenapa, de?" Tanya mas Revan seusai shalat dhuhaku. Dan ini pertanyaan ke sekian yang dilontarkannya sejak subuh tadi.
"Enggak apa-apa. Aku hanya kangen Papa." Selalu begitu jawabku.
Aku mencoba untuk tak berdusta kepadanya. Aku memang merindukan Papa. Lalu hadir sebuah masalah yang kini tanpa sadar membuatku semakin merindukan sosok Papa. Karena bagiku, Papa adalah satu-satunya lelaki terbaik yang aku miliki dan tak akan pernah menyakiti anak perempuan satu-satunya ini.
"Gimana kondisi kamu sekarang? Sudah membaik?" Tanyaku sambil mendekati mas Revan setelah ku letakkan mukena serta sajadahku di kotak dekat meja rias. Ada enggan sebenarnya, tapi ku sadar bagaimanapun ia tetap suamiku. Ayah dari anakku.
"Demamnya Sedikit membaik, Alhamdulillah. Tapi kepalaku masih sakit, De." Jawab mas Revan sambil memindahkan smartphone-nya ketika ku duduk disampingnya.
Sakit mana dengan hatiku sekarang, Mas??
Ingin ku lontarkan pertanyaan itu, tapi hati dan lidahku tak mampu bekerja sama. Hingga akhirnya hanya diam sesaat yang mampu aku lakukan.
"Mungkin karena belum sarapan, dan tidurmu kelamaan. Nanti setelah makan, minum obatnya terus kamu istirahat lagi. Semoga besok sudah jauh lebih baik." Kataku sambil mengecek suhu badannya.
"Rafa mana? Tumben gak ada." Tanya Mas Revan dengan gerak mata mencari Rafa, putra kami yang baru saja berusia delapan bulan.
"Ada di belakang, lagi sama si mbok."
"Kamu kenapa sih? Ada sesuatu yang kamu sembunyikan? Aku yakin kamu bukan cuma sekedar kangen Papa. Ceritalah." Tanya Mas Revan lagi sambil mengusap jemariku.
Cepat ku tepis dan ku palingkan wajah. Aku tak ingin ia melihat mataku yang mulai basah kembali.
"Ran, ada apa sih?" Desak mas Revan.
"Sebentar, aku ambilkan kamu makan dulu, ya." Kataku yang langsung meninggalkan mas Revan sendiri di kamar tanpa menjawab pertanyaannya. Aku biarkan ia sibuk menduga dan terus mencari tahu dalam kebingungannya.
~~~~
12.30pm
Aku baru saja memindahkan Rafa yang sudah terlelap ke kamar samping kamarku, ketika si mbok memberitahuku untuk segera makan siang.
"Terimakasih ya, mbok. Nanti Rani makan. Sekarang gak nafsu banget, mbok." Jawabku kepada si Mbok Inah, yang serasa orangtua ku sendiri.
"Ya sudah, yang penting jangan sampai telat makan ya, Non. Mbok takut nanti non sakit." Katanya dengan logat jawanya yang khas.
"Terimakasih ya, Mbok. Sudah baik dan perhatian banget sama Rani."
"Karena non sudah Mbok anggap seperti anak sendiri." Jawab mbok Inah disusul senyuman hangatnya. Aku pun membalas senyuman si Mbok dan memeluknya sesaat. Ah, ada sedikiti ketenangan mengalir ke dalam hatiku. Tiba-tiba saja aku pun merindukan Mama. Bagaimana kabar Mama sekarang ya? Bisikku sambil melepaskan pelukan si Mbok.
Mbok pun kemudian meninggalkan aku yang masih duduk di pinggir kasur. Tak lama, mas Revan datang menghampiri, bersamaan dengan dering panggilan masuk di ponselku berbunyi. Dari Mama. Ya Allah, ikatan batin ini sungguh erat sekali. Tak berlama, langsung ku jawab panggilan dari Mama dan meninggalkan Mas Revan.
"Assalammualaikum, Ma. Mama bagaimana kabarnya?"
"Walaikumsalam, Mama baik, Nak. Kamu bagaimana di sana? Sejak malam hati dan pikiran Mama enggak enak, Ran. Mama kepikiran kamu terus. Kamu sehat? Kamu baik-baik saja?" Tanya Mama di sebrang telpon. Aku menggeleng lemah. Ada bendungan yang siap pecah kembali di ujung mataku.
"Rani baik, Ma. Rani sehat-sehat saja, Ma." Jawabku dengan suara menahan tangis.
"Itu kunaon suara kamu teh beda? Kamu sakit ya? Revan, Rafa kumaha? Damang?"
"Enggak, Ma. Rani cuma sedikit pilek aja. Rafa sehat, mas Revan yang lagi kurang sehat. Tapi insya Allah besok juga udah sehat, Mama enggak usah khawatir ya." Jawabku menenangkan Mama.
"Syukur atuh kalau gitu mah. Agak tenang jadinya. Kamu baik-baik di sana ya, Nak. Harus selalu ingat pesan Mama dan Papa. Jadilah istri yang baik, yang sholihah untuk suami mu, dan ibu yang penyabar, penyayang, juga yang terbaik untuk anakmu."
"Rani selalu ingat, Ma. Terimakasih ya, Ma sudah menelepon Rani."
"Sami-sami sayang. Kalau nanti Revan sudah sehat dan ada waktu pulang sebentar ke Bandung ya, Nak. Mama kangen." Pinta Mama.
"Insya Allah, Ma. Rani juga kangen Mama." Jawabku sebelum mengakhiri pembicaraan kami. Mata ku pun semakin basah. Rani kangen Mama, kangen Papa. Terpaan badai ini terlalu cepat, Ma. Rani takut gak kuat. Rani takut hanyut terhempas badai ini, Ma. Rani harus gimana, Ma? Ingin rasanya ku curahkan semua itu kepada Mama. Tapi hatiku tidak sanggup mengecewakan Mama. Maka kalimata itu hanya tersimpan rapi dalam hati.
Aku kembali ke kamar tempat Rafa kupindahkan. Masih ada Mas Revan di sana. Ia sedang duduk terdiam sambil memandang Rafa saat aku memasuki kamar.
"Kamu sudah makan?" Tanya Mas Revan saat melihatku masuk.
"Sudah." Jawabku singkat.
"Kamu kenapa? Menangis lagi?" Tanya Mas Revan sambil berjalan ke arahku yang duduk di ujung kasur.
"Enggak, aku enggak apa-apa." Jawabku menghindari tatapannya.
"Ran, tolong jangan menghindari aku terus seperti ini. Ada sesuatu yang kamu sembunyikan, aku tahu! Kamu kenapa? Apa ada yang salah dari aku??" tanyanya ketika berada di hadapanku.
"Aku rasa kamu tau apa salahmu, Mas!" Kataku yang langsung meninggalkannya.
Aku tahu ia mengikuti langkahku. Dan aku memilih kamar kami untuk menyelesaikan masalah di antara kami setelah aku titip Rafa pada si mbok.
"Apa yang sudah kamu tau, Ran?" Tanya mas Revan setelah menutup pintu kamar. Sedangkan aku sudah duduk di kursi ottoman yang berada persis di depan tempat tidur kami.
"Harusnya, aku yang bertanya, apa yang kamu tau tentang apa yang aku rasakan saat ini, Mas??" Aku berbalik bertanya. Mas Revan yang sudah berada di sampingku terdiam sambil menatapku.
"Enggak penting apa yang sudah aku tau, Mas! Yang penting untuk kamu tahu, aku sangat terluka, Mas!!" Lanjutku sambil membalas tatapannya dengan kilatan amarah bercampur perih. Kini aku biarkan ia melihat jelas tetes air mata kepedihan mengalir di wajahku.
"Ran, aku minta maaf." Mas Revan mencoba ingin merangkulku. Dengan cepat aku menghindar.
"Maafmu enggak akan menyelesaikan masalah kita, Mas! Juga enggak akan mengobati luka yang sudah terlanjur kamu goreskan!"
Semakin perih, semakin sakit, semakin sesak aku rasakan saat semua percakapan wanita itu dengan mas Revan yang sempat aku baca di smartphone-nya, juga foto-foto yang aku lihat tadi malam, kembali menari-nari di ingatanku.
Panggilan mesra wanita itu ke mas Revan, juga panggilan mesra mas Revan kepadanya, seolah selalu menggema dalam memoriku. Candaan dalam sebuah percakapan yang aku rasa tak patut mereka lakukan, mengingat mereka bukanlah sepasang kekasih yang halal. Juga foto mesra mereka membuat aku benar-benar terluka dan merasa kebaikan mas Revan akhir-akhir ini adalah palsu!
"Aku benar-benar minta maaf, Ran." Kata mas Revan sambil mencoba meraih jemariku. Dengan cepat aku menepisnya.
"Ceritakan semuanya, Mas! Ceritakan yang aku gak tahu tentang kamu dan wanita itu!" Kataku setelah menyeka air mata yang terus saja mengalir.
"Untuk apa, Ran? Itu hanya akan membuat kamu semakin sakit."
"Terlanjur sakit, Mas!"
Aku lihat Mas Revan menghela napas berat. Ia terlihat seolah mulai merasakan perih dan sesaknya aku saat ini. Walau tentu saja tidak! Mas Revan tidak akan pernah bisa merasakan apa yang aku rasakan saat ini.
"Tanyalah apapun yang ingin kamu tau. Aku akan jawab sejujur mungkin." Pinta mas Revan akhirnya.
"Sejak kapan kamu dengannya seperti ini? Kemana saja kamu dengannya? Apa saja yang sudah kamu berikan untuk dia? Dan terakhir, kenapa kamu lakukan ini, Mas?" Tanyaku sambil mencoba menatap mas Revan. Namun mataku kembali berembun, dengan cepat ku alihkan pandangan dari matanya.
"Sudah enam bulan terakhir, kami hanya sering pergi makan bersama, sesekali kami ke toko buku. Dan paling jauh, kami ke puncak. Sekedar keliling perkebunan teh sambil membicarakan soal kerjaan. Tak ada yang mahal dan istimewa yang aku berikan. Hanya sebatang coklat. Itu pun gak lebih dari tiga kali."
Sudah enam bulan, itu artinya ia mulai dekat sejak Rafa berusia dua bulan! Sebatang coklat, yang katanya tidak istimewa, justru sangat berharga dan istimewa buat wanita itu, kan? Puncak?? Hhhff. Terakhir kali aku ke puncak bersamanya adalah beberapa bulan sebelum aku melahirkan Rafa. Benar yang diakatakan Mas Revan, mengetahui semua ini hanya membuat aku semakin sakit!
Oh Allah... Semua sapaan manis wanita itu ke mas Revan, rayu manjanya, foto mereka di antara pohon-pohon teh semua itu terus saja terpampang jelas di ingatan. Membuat aku semakin sesak dan tak dapat membendung rintikan air mata ini.
Ah, cengeng sekali aku! Tapi sungguh hanya ini yang aku miliki untuk meredakan sakit yang begitu mengigit dan menyiksa ini.
"Oh, terimakasih untuk jawabanmu, Mas. Semoga tak ada kebohongan lagi dalam ucapanmu tadi."
"Demi Allah, aku jujur menjawab semua pertanyaanmu, Ran. Percayalah!"
"Oh ya?? Siapa yang tau, Mas?? Hanya hati kamu, wanita itu juga Allah yang tau semuanya!! Jangan minta aku untuk percaya sama kamu saat ini, setelah kamu hancurkan kepercayaan yang selama ini aku berikan buat kamu!" Kataku nyaris berteriak di depan wajahnya jika saja aku tak ingat ada Rafa juga si mbok di kamar samping.
"Enam bulan, Mas! Enam bulan!! Kamu mengkhianati aku. Kamu membohongi aku. Kamu hancurkan kepercayaan aku! Dan sekarang kamu minta aku untuk percaya sama kamu? Allahu Akbar, hati dan otak kamu dimana, Mas??"
"Aku benar-benar minta maaf ,Ran. Hukum aku sesukamu. Jika itu bisa membuatmu memaafkan aku."
Aku melemparkan senyum sinis ke arahnya.
"Memaafkan perkara mudah, Mas. Tapi kamu tidak akan pernah bisa mengembalikan kepercayaanku seperti dulu! Dan kamu tidak bisa dengan cepat mengobati luka yang kamu goreskan begitu dalam di sini!" Kata ku sambil menunjuk dada penuh dengan amarah.
Mendadak kepalaku terasa sangat berat, tatapan ku mulai berkunang-kunang. Tetapi aku mencoba untuk tetap kuat, karena ada satu hal lagi yang ingin sekali aku lontarkan kepadanya.
"Sekarang jawab pertanyaanku yang terakhir, Mas! Kenapa kamu tega melakukan ini kepadaku? Padahal kamu tau, aku nyaris mati saat melahirkan Rafa!" Ucapku dengan kepala yang semakin berat dan tatapan yang semakin kabur, hinggak tak lama kemudian hanya gelap dan aku rasakan badanku terjatuh, lalu samar ku mendengar Mas Revan berteriak memanggil namaku.
~~~~~
Revan terlihat sangat takut saat ia melihat Rani yang tiba-tiba saja terjatuh tidak sadarkan diri. Ia segera menangkap badan Rani sebelum badan itu benar-benar menyentuh lantai.
"Ran... Bangun, Ran! Aku mohon..." Ucap Revan sambil menepuk wajah Rani pelan. Revan segera memindahkan Rani ke atas tempat tidur, lalu mencari minyak hangat, dan meminta si Mbok untuk membuatkan teh hangat untuk Rani.
"Non Rani kenapa, den?" Tanya si Mbok saat memasuki kamar untuk mengantarkan teh hangat.
"Enggak tahu, Mbok. Tiba-tiba aja pingsan." Jawab Revan, tentu saja sedikit berbohong.
"Non Rani dari tadi memang belum makan, Den. Sepertinya dia kecapean. Semalem enggak tidur, ditambah dari pagi belum makan." Jelas si Mbok.
"Kalau begitu, tolong buatkan makan untuk Rani ya, Mbok." Pinta Revan. Dengan sigap Mbok inah mengiyakan permintaan Revan.
Revan masih berusaha membangunkan Rani dari pingsannya dengan membalurkan minyak hangat ke telapak kaki dan dada Rani.
"Pa... Tunggu Rani... Rani mau ikut Papa..." Rintih Rani pelan.
"Ran... Bangun sayang. Aku mohon sadar, Ran." Ucap Revan sambil terus mengusap wajah istrinya.
"Jahat... Revan jahat, Pa..." Lirih Rani dengan matanya yang masih tertutup. Mendengar itu Revan merasa bersalah luar biasa. Matanya mulai memanas. Ada lahar yang siap tumpah membasai wajahnya.
"Ran.. bangun, Ran. Sadar sayang.. aku mohon. Maafkan aku, Ran." ucap Revan yang kemudian mengecup tangan Rani.
Sepuluh menit berlalu, Rani belum juga sadarkan diri. Mbok Inah datang kembali membawa nampan berisi sepiring nasi, lengkap dengan sayur dan lauk, serta segelas air mineral untuk Rani.
"Terimakasih Mbok, mohon maaf saya titip Rafa dulu ya, Mbok." Kata Revan setelah Mbok Inah meletakan bawaannya di atas meja.
"Iya, Den. Semoga Non Rani segera sadar ya, den." Ucap Mbok Inah penuh rasa khawatir.
Di menit ke lima belas, perlahan mata Rani terbuka. Revan merasa sedikit lega saat melihat Rani sudah sadar.
"Ran, kamu udah sadar sayang? Alhamdulillah Ya Allah..." Pekik Revan pelan yang masih terus menggenggam tangan Rani dan berulang kali mengecupnya.
"Pa... Papa mana, Mas?" Lirih Rani.
"Ran, hanya ada aku di sini." Jawab Revan dengan mata yang semakin panas. Beberapa bulir air mata jatuh di wajahnya. Dengan cepat Revan menghapus buliran itu.
Rani masih merasakan sakit di kepalanya. Ia mencoba mengingat apa yang baru saja terjadi.
"Minum dulu, Ran." Kata Revan sambil memberikan teh hangat setelah ia membantu Rani untuk duduk.
Rani menurut. Hanya dua tegukan. Setelah itu ia kembalikan cangkir tehnya kepada Revan. Ia sudah ingat semua yang terjadi sebelum ia pingsan tadi.
~~~~~
"Jadi, apa alasanmu melakukan itu semua, Mas?" Tanyaku pelan sambil menatapnya setelah ia meletakkan cangkir teh ke atas nakas samping tempat tidur kami.
"Maafkan aku, Ran. Aku benar-benar minta Maaf." Ucap Mas Revan, yang bagiku itu bukanlah jawaban atas tanyaku.
"Perkara memaafkan sangat mudah, Mas. Aku hanya minta alasan kamu kenapa begitu? Sedangkan kamu tau, aku nyaris mati saat melahirkan Raffa kemarin." Kataku pelan, dengan pikiran, hati dan badan yang terasa begitu lelah, dan sakit.
"Aku hanya butuh teman ngobrol soal kerjaan." Jawab Mas Revan mencoba memberikan alasan. Aku tersenyum kecut mendengar jawabannya.
"Teman ngobrol soal kerjaan, hingga akhirnya terlalu nyaman, lalu lupa batasan. Lupa posisi. Lupa status. Iya?" Kata ku sambil menatapnya.
Mas Revan terdiam.
"Makan dulu ya, aku suapin. Kata si Mbok semalem kamu enggak tidur, dan dari tadi pagi belum makan." Kata Mas Revan yang sudah siap beranjak dari sampingku untuk mengambil makanan yang sudah tersedia untukku di atas meja.
"Enggak perlu, Mas. Aku enggak lapar. Kamu duduk aja sini." Pintaku mencegahnya. Entah mengapa Mas Revan menuruti permintaanku.
"Kamu semanis ini juga sama dia?" Tanya ku dengan tatapan penuh selidik.
"Ran, please. Berhenti bertanya tentang aku dan dia! Itu akan terus melukai kamu."
"Terlanjur terluka, Mas. Kenapa kamu peduli? Saat kemarin kamu bermain api sama dia, apa kamu berpikir kalau aku akan terluka dan sesakit ini??"
"Ran, sudahlah, aku tau aku salah, aku..."
"Enam bulan bukan waktu yang sebentar, Mas. banyak waktu yang kamu habiskan bersama dia. Di kantor, bahkan di luar kantor. Akhirnya aku tau kenapa akhir-akhir ini kamu dingin sama aku dan Rafa." Kataku memotong ucapannya.
"Selain yang kamu sebutkan tadi, sudah ngapain aja kamu sama dia, Mas? Sudah kontak fisik sejauh mana sama dia?" Lanjutku.
"Enggak ada kontak fisik apapun selain aku menyentuh tangannya dia. Demi Allah, percaya sama aku, Ran." Jawab Mas Revan sambil merangkulku. Lagi-lagi kalimat mesra dari wanita itu yang dituju kepada Mas Revan, begitu pula sebaliknya, kembali terngiang di hadapanku. Membuat luka yang aku rasakan semakin perih. Bulir air mata kembali berjatuhan di wajahku.
"Maafkan aku, Ran. Aku mohon.." ucap Mas Revan sbil menghapus air mataku. Tanganku terlalu lemas untuk ku angkat dan menghapus air mata ini.
"Pilih aku atau dia, Mas?" Tanya ku kemudian dengan tatapan menerawang entah kemana.
"Maksud kamu apa?" Mas revan berbalik bertanya sambil melepaskan rangkulannya dan mencoba mencari tatapan mataku.
Aku menatapnya dan mengulangi kembali pertanyaanku. Ku lihat, sudut mata Mas revan mulai basah. Aku tahu, ia bukanlah lelaki cengeng yang mudah menitikkan air mata.
"Demi Allah, demi apapun aku gak mau kehilangan kamu dan Rafa, Ran. Aku mohon Jangan tinggalin aku. Aku benar-benar menyesal dan meminta maaf untuk kesalahan terbesarku ini. Tolong maafkan aku, Ran..." Kata mas Revan sambil memelukku. Kali ini ia benar-benar membenamkan badanku dalam pelukannya. Dan aku bisa merasakan mas Revan menangis!
"Kalau begitu, tinggalkan dia mas! Akhiri semuanya saat ini." Pintaku.
Tanpa ku duga, mas Revan langsung melepaskan pelukan, dan segera mengambil smartphone-nya. Ia menelepon wanita itu. Menjelaskan apa yang sebenarnya sudah terjadi antara akmi saat ini.
"Aku mohon maaf, kita tidak bisa lagi seperti kemarin-kemarin. Aku sudah memutuskan untuk kembali kepada Rani. Sekali lagi, aku minta maaf sudah memperlakukan kamu seperti ini." Ucap Mas Revan kepada wanita itu.
Entah apa yang dikatakan oleh wanita itu sebagai jawabannya. Aku tidak ingin mendengar dan tahu lebih bnyak.
"Kamu lihat,kan? Dan aku berjanji akan benar2 meninggalkannya. Aku gak mau kehilangan kamu, Ran. Aku mohon ... maafkan aku." Kata mas Revan setelah menelpon wanita itu dan kembali memelukku.
Aku tau mas Revan sungguh-sungguh dengan ucapannya. Ia bukanlah tipe pria obral janji. Karena salah satu kelebihan mas Revan di antara kelebihan-kelebihannya yang lain adalah seperti ini. Ia berani mengakui kesalahan, serta berani menyelesaikan masalah yang sudah diciptakannya. Bukan lari lalu menghindar. Dan ia lelaki yang berani bertanggung jawab atas segala perbuatannya. Sikapnya seperti ini yang kemudian membuatku bisa benar-benar memaafkan, tetap menyayangi dan mencintai, dan juga sangat menghargainya.
Namun sejujur dan setekad apapun mas Revan, tetap saja ia telah menghancurkan kepercayaan dan meninggalkan luka.
Lima hari berlalu. Luka ini masih begitu basah. Masih begitu perih tiap kali melihat Mas Revan, dan membayangkan ia sedang berjalan dan berbahagia dengan wanita lain di luar rumah.
"Besok kamu ikut aku ya!" Pinta Mas Revan membuyarkan lamunanku.
"Kemana?" Tanyaku yang sedang menyusui Rafa.
"Ke suatu tempat. Aku ingin membuktikan ke kamu kalau aku serius dengan ucapanku kemarin itu."
"Maksud kamu?" Tanyaku tidak mengerti. Mas Revan hanya tersenyum sambil mengelus kepalaku sebagai jawabannya.
Keesokan harinya.
Seusai sarapan pagi, aku tanyakan kembali perihal yang dibicarakan tadi malam.
"Kita pergi nanti sore, ya." Jawab Mas Revan. Aku hanya me-iya-kan dan tidak lagi banyak bertanya. Hingga akhirnya sore menjelang. Mas Revan mengajakku dan Rafa ke sebuah restoran terbilang mewah. Mas Revan mengajakku duduk di kursi dengan posisi agak di dalam. Tidak lama kemudian aku melihat seorang wanita yang tidak asing lagi duduk tepat beberapa kursi di depanku. Di kursi yang tertulis "Reserved" di atas mejanya. Hanya saja dia membelakangi ku dan Mas Revan. Wanita itu adalah wanita yang telah hadir di tengah bahtera rumah tangga kami.
"Maksud kamu apa, Mas?" Tanyaku dengan nada menahan amarah. Aku sudah siap untuk pergi saat itu. Tapi Mas Revan menahan ku.
"Tenang, sayang. Aku minta maaf, aku tidak memberitahu kamu soal ini. Aku sengaja mengundang dia ke restoran ini juga. Aku ingin benar-benar menyelesaikan masalah aku dengan dia langsung disaksikan kamu. Aku ingin kamu bisa percaya lagi sama aku, walau mungkin itu sangat kecil kemungkinannya." Terang Mas Revan yang kemudian pamit untuk ke meja wanita itu setelah memesan beberapa makanan untuk kami.
Aku tak bisa melihat bagaimana raut wajah wanita itu, juga tak bisa mendengar dengan jelas apa yang mereka bicarakan. Tapi aku bisa melihat raut wajah, serta gerak bibir Mas Revan saat berbicara dengan wanita itu.
Mas Revan terlihat benar-benar meminta maaf atas perbuatannya. Beberapa kali Mas Revan menepis tangan si wanita itu yang mencoba meraih tangan Mas Revan. Hatiku yang masih basah dengan luka, hanya bisa melafadzkan dzikir kepada Allah memohon ketenangan agar tak semakin besar rasa sakit yang ku rasa melihat Mas Revan dengan wanita itu di hadapanku.
Tidak lama kemudian, aku melihat wanita itu bangun dari kursinya dengan sedikit menghentak, lalu pergi meninggalkan Mas Revan dengan wajah menahan tangis. Mas Revan pun kembali ke meja kami Dengan senyuman yang terlukis di wajah.
"Kamu lihat kan? Aku sudah mempertanggung jawabkan apa yang sudah aku lakukan. Aku sudah mencoba menjelaskan kepada dia kondisinya, dan aku juga sudah mengatakan kepada dia bahwa mulai malam ini aku memutuskan untuk memilih setia bersama kamu." Kata Mas Revan setelah ia duduk di hadapanku. Wajahku mendadak tersipu mendengar kalimat terakhir yang diucapkan Mas Revan.
"Lalu wanita itu? Apa tanggapan dia?" Tanyaku ingin tahu.
"Kamu tidak lihat bagaimana wajah dia tadi?" Mas Revan balik bertanya sebagai jawabannya.
"Lihat."
"Jadi, apa menurutmu?"
"Dia marah dan keberatan dengan keputusanmu?"
"Yap, bisa disimpulkan demikian." Jawab Mas Revan yang sudah siap menyantap hidangan yang sudah di siapkan di meja kami.
"Dasar wanita aneh! Gak punya hati!" Umpatku penuh kekesalan.
"Hush!! Gak boleh begitu."
"Ooh, jadi mau ngebelain dia nih?"
"Bukan gitu, aku cuma gak mau lisan kamu dikotori dengan umpatan begitu. Sudahlah. Tho semua sudah selesaikan? Yang terpenting sekarang aku memilih kamu, dan aku berjanji untuk selalu setia sama kamu. Aku janji, ini untuk pertama dan terkahir kali terjadi dalam bahtera rumah tangga kita." Ucap Mas Revan sambil menatapku dalam.
Ah! Benar juga yang dikatakan Mas Revan. Peduli apa aku dengan wanita itu? Aku anggap ini adalah akibat yang harus ia terima karena telah melabuhkan kapal cinta pada dermaga yang bukan miliknya. Harusnya kemarin ia melihat bahwa sudah ada kapal cinta berlabuh lebih dulu pada dermaga itu, sebelum ia menjatuhkan jangkar yang kemudian sulit untuknya membawa pergi kapal cintanya menuju dermaga yang lain.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar