Kamis, 22 Mei 2025

Untukmu Tanpa Suara

5/22/2025 07:41:00 AM 0 Comments


Hai, kamu. Apa kabar?

Kalimat itu, ingin sekali rasanya ku kirimkan padamu. Agar kamu tahu, bahwa setiap harinya masih ada seseorang yang selalu menunggu kabar darimu. Memastikan kamu baik-baik saja. Tapi rasanya, sudah tak patut aku mengirimkan pesan itu lagi.

Hai, apa kamu bahagia bersamanya?
Pertanyaan itu terus menggema dalam dada. Membutuhkan jawaban yang langsung terucap dari bibirmu. Namun sayangnya, itu tak lagi mungkin terjadi. Ada jarak teramat jauh yang telah kamu bentangkan di antara kita. Meski kita pernah melalui hari-hari penuh tawa bersama, saling menghapus air mata dan menguatkan, atau bahkan hanya sekadar menikmati gugusan bintang yang seolah tersenyum menyaksikan betapa bahagianya kita malam itu.

Masih banyak pertanyaan yang ingin ku layangkan padamu. Mengubah keasingan ini kembali menjadi suatu hal yang saling. Tapi, menyedihkannya, aku tak punya kuasa untuk itu. Hari-hari yang telah kulalui tanpamu telah mengajariku banyak hal: untuk kuat menanggung rindu yang tak usai, untuk mampu menekan ego agar tak lagi melangkah mendekat padamu, dan untuk menyadari, bahwa apa yang kita ingin tak selalu bisa menjadi milik.

Dan harus kuakui, pembelajaran hidup yang datang karena hadirmu sungguh tak mudah bagiku. Meski aku menjalaninya dalam ruang diam dan perenungan, tapi semuanya terasa menyakitkan.

Tapi begitulah hidup—tidak semua yang datang ditakdirkan untuk tinggal, tidak semua yang mengisi hati akan menetap selamanya. Kadang, pertemuan hanya sebatas pengingat bahwa rasa pun bisa salah alamat.

Dan malam ini, aku kembali memeluk sepi yang setia.
Bukan karena aku belum bisa melupakan, tapi karena aku sedang belajar menerima. Bahwa mencintai juga bisa berarti merelakan. Bahwa peduli tak selalu harus menyapa.

Jadi, jika suatu hari kamu membaca ini—entah sengaja atau tidak—ketahuilah, aku pernah ada di sana.
Menunggu, mendoakan, juga mencintaimu, dalam diam yang tak sempat berpulang.


Jumat, 16 Mei 2025

Karena Aku Pernah Berjuang

5/16/2025 02:01:00 PM 0 Comments


 Saat kamu masih berada di sisiku, duniaku seolah berhenti berputar dan hanya berpusat padamu. Dalam benakku, masa depan tampak begitu sempurna selama kamu yang mendampingiku. Aku membayangkan, betapa banyak bahagia yang akan kupetik jika seluruh waktuku hanya bersamamu.


Tapi ternyata, semua itu hanya hidup di ruang khayalku.

Kenyataan memaksa kita saling melepaskan. Restu dan perbedaan menjadi tembok tinggi yang tak mampu kita robohkan bersama. Aku sempat ingin melawan semuanya, menembus batas itu sendirian. Tapi kamu memilih menyerah—dan membiarkanku berjuang tanpa arah.


Hingga aku menyadari, mungkin memang aku harus berhenti.

Bukan karena aku berhenti mencintaimu. Bukan karena aku lelah mencintai, tapi karena aku tak ingin terus terluka atas cinta yang tak diperjuangkan dua arah.


Melepaskanmu... adalah keputusan paling berat yang harus kupilih dalam keadaan masih mencintaimu. Sama beratnya dengan menahan air mata tiap kali rindu itu datang tiba-tiba, lalu menyiksa diam-diam.


Tapi aku harus melakukannya.

Karena bertahan hanya akan meluluhlantakkan diriku sendiri. Aku berdiri di titik lelah, di mana cinta tak bisa dilanjutkan jika hanya aku yang terus menggenggam.


Jadi hari ini, aku pamit.

Aku mundur dari langkah yang pernah kita mulai. Bukan untuk melupakan, tapi untuk menjaga diriku agar tetap utuh.


Jangan khawatir, aku masih mencintaimu—dengan caraku sendiri.

Aku masih menyimpan namamu dalam rindu yang tak pernah meminta kembali.


Dan jika suatu hari nanti rindu ini lelah, biarlah ia bersemayam dalam sunyi dan sepi yang tak pernah lagi terlihat olehmu. Tapi cintaku... akan tetap ada, meski tak lagi ingin dimenangkan. Karena setidaknya, aku oernah berjuang atas nama cinta kita. 

Jumat, 11 April 2025

Titik Kesia-siaan

4/11/2025 04:02:00 PM 0 Comments



Aku pernah mengatakan padamu, bahwa aku tak akan pernah berhenti mencintaimu. Bagaimanapun keadaannya. Aku jua pernah meyakinkan diriku sendiri bahwa kamu, akan menjadi orang terakhir yang aku cinta.

Tapi, entah kenapa, perlahan aku merasa cintaku berhenti. Tak ada lagi secercah harapan yang bisa kugenggam. Tidak ada lagi gemuruh semangat untuk mempertahankanmu tetap ada dalam perjalanan ku.

Jika hari ini cintaku berhenti, lalu perlahan aku melangkah menjauh, bukan karena aku membencimu, membenci keadaan, apalagi membenci takdir Tuhan. Bukan.

Ini hanya karena aku mulai sadar, bahwa aku sedang berdiri pada titik kesia-siaan. Tak ada harapan indah untuk kita merajut kisah bersama. Tak ada tanda-tanda bahwa takdir Tuhan berpihak untuk menyatukan kita. Maka, jika aku terus berdiri di sini, aku hanya sedang terus melukai diriku sendiri.

Aku memang pernah berkata, bahagiaku adalah melihat bahagiamu. Meski bahagiaku tak pernah benar-benar sempurna. Karena harus menyaksikan senyummu yang begitu tulus dan jujur … tapi untuk orang lain.

Tapi semakin hari, entah kenapa rasanya aku semakin lelah. Lelah menyaksikan bahagiamu yang tidak berasal dari aku.

Terlalu naif jika aku terus menerus mengatakan baik-baik saja dengan berada di tempatku saat ini, tempat dimana aku harus melepasmu, tapi aku tak sanggup membiarkanmu hilang. Tempat dimana aku ikut tersenyum melihatmu bahagia, tapi diam-diam hatiku meringis kesakitan. Tempat dimana aku hanya menjadi bayangan … pengisi kekosonganmu saja.

Mungkin mulai saat ini, aku memilih keluar dari titik kesia-siaan yang selama ini ku pijak. Mengayunkan langkah ku menuju ruang yang memberiku tenang dan bahagia yang jauh dari kata pura-pura.

Meskipun aku tak benar-benar ingin kehilanganmu dari pandangan, tapi setidaknya, kali ini, pijakanku bukan lagi tentang menunggu suatu hal yang sia-sia.

Setidaknya kali ini, aku akan belajar memulai menciptakan kebahagiaanku sendiri. Bahagia yang sempurna, tanpa bayanganmu. Tanpa keinginan untuk selalu bersanding denganmu.

Sabtu, 01 Februari 2025

Masih Kamu Pemenangnya

2/01/2025 02:14:00 PM 1 Comments


Pertemuan kita terlalu cepat dan singkat. Namun entah kenapa, rasa yang tercipta dan tertinggal begitu melekat dengan sangat hebat. 
Aku mengira setelah kata sepakat untuk kita mengakhiri apa yang kita rasa, berhenti mengharapkan segala yang tak mungkin untuk menjadi mungkin, semua akan kembali seperti semula. Seperti saat aku belum mengenalmu. 
Aku berpikir, bahwa rasa yang telah kita cipta pun akan ikut berakhir. Namun nyatanya tidak!
Setelah kita sepakat untuk saling melepaskan, berdamai dengan keadaan, ku biarkan kau berkelana mencari siapa yang mampu membuatmu bahagia dengan begitu paripurna. Ku persilahkan kau singgah dan menetap di hati siapa saja yang kau ingikan. Asal kau bahagia, begitu pikirku.
Lalu aku? 
Aku tetap berjalan, berusaha menjauh darimu, menjauh dari bayang-bayang tentangmu. Aku pun berkelana, mencari bahagia yang ku inginkan. Mencari kata bahagia dengan level yang setara saat aku bersamamu. Aku mencari penggantimu, mungkin dari wajah yang serupa, atau suara yang sama, atau bahkan mungkin dari kebiasaaan, hobi, dan segala kesukaanmu yang persis seperti mu. Tapi aku tidak pernah menemukannya. Dan tentu tidak akan pernah menemukannya!
 Ya. Bodohnya aku, karena aku mencarimu di orang lain.
Dari sekian banyak yang datang bertamu, tak juga ku temukan seseorang sepertimu. Mereka yang datang dan singgah sementara waktu hanya ingin memberi tahuku, bahwa tak ada seorangpun yang memiliki ketulusan rasa seperti yang kau bawa. Atau mungkin mereka membawa ketulusan rasa itu, namun hatiku sudah terkunci rapat hanya karena satu nama yaitu, kamu!
Hingga akhirnya aku tersadar, aku tak pernah benar-benar bisa menjauh darimu. Aku tak pernah benar-benar bisa melepaskanmu. Aku bahkan tak pernah ingin kita menjadi seperti semula, saat kita belum mengenal atau hanya baru sekadar bertegur sapa. Aku tersadar bahwa sampai kapanpun aku tak ingin menjadi orang lain lagi di matamu. Dan aku pun tak mengingkan kamu terlihat layaknya orang yang tak pernah ku kenal sama sekali dalam hidupku. Aku ingin kita tetap saling menjaga, mesti tak harus saling memiliki. Kita tetap saling mendekap, meski hanya dengan lewat barisan doa.
Karena ternyata, dari segala apa yang ku rasakan, dari siapapun yang datang dan mencoba merebut hatiku, dari sekian banyak yang ku perjuangkan dan ku harapkan, ternyata masih kamu lah pemenangnya. Ternyata masih kamu yang menduduki tahta tertinggi rasa sayangku. Masih kamu yang menjadi pemenang dalam hal mencuri rasa dan hatiku. Ya. Masih kamu pemenangnya.

Selasa, 21 Januari 2025

Dua Mata Air

1/21/2025 12:56:00 PM 0 Comments

Aku, sebuah gelas kristal, berdiri di antara dua sumber yang bermuara pada rindu. Yang satu, airnya bening bagai sepi menyusup sunyi, murni tanpa dusta, dingin namun meneduhkan. Yang lain, derasnya gemuruh, menyala bagai api yang menari di dalam cairan membakar namun memeluk. Kedua mata air itu melintas jauh, namun menemukan muaranya padaku.


Air pertama mengisi setengah ruangku dengan kepastian. Rasanya seperti embun yang jatuh pada dedaunan pagi tak pernah bertanya, hanya hadir dan menggenapi. Tapi air kedua, oh, ia adalah badai yang menjelma tetes. Rasanya asing, namun dalam ketidaktahuannya, aku menjadi candu.


Kini tubuhku penuh, dua rasa saling bertaut, bertabrak, tetapi tak menyatu. Aku gelas yang rapuh, terancam retak oleh berat paradoks ini. Kadang aku merasa ada retakan halus di pinggirku, sebuah peringatan bahwa cinta yang membelah tidak pernah berakhir tanpa luka.


Tetapi, apakah salah mencintai dua rasa yang tak sama? Yang satu memberiku kedamaian, yang lain memberiku hidup. Aku tidak memilih untuk menjadi gelas di antara mereka; aku hanya menjadi wadah bagi keberadaan mereka.


Mungkin suatu hari salah satu akan mengering, dan aku, gelas ini, akan lebih ringan. Atau mungkin aku akan pecah, dan dua air itu akan kembali ke asalnya, membawa sebagian kecil diriku dalam setiap alirannya.


Namun, sebelum saat itu tiba, aku hanya ingin meneguk keberadaan ini. Aku ingin menjadi saksi bahwa tidak semua yang berbeda harus saling menghapus. Kadang, mereka hanya butuh ruang untuk mengisi, meski hanya untuk sesaat.

~~Created By: Opet~~

Kamis, 26 Desember 2024

Warna Di Musimku

12/26/2024 07:55:00 PM 0 Comments

Created by: Irull

~~~~

Hai Nona

Yang sudah membuat ku jatuh hati

Membuatku banyak berpikir dan belajar mengerti

Membiarkan hatiku merapalkan doa dan  ingin

Perihal hari ini, esok dan jutaan hari nanti

Hai, Nona

Terimakasih sudah menggegam jariku

Membuatku percaya bahwa kau akan menjaga cinta yang ku berikan dengan baik

Terimakasih sudah menjadi warna untuk semua musim di hidup ku

Terimakasih sudah memilih ku di antara banyak kemungkinan yang bisa kau dapatkan

Nona,

Barangkali langkah kita tidak akan mudah,

Barangkali yang hari ini kita percayai ialah apa-apa yang menjelma ragu di kemudian hari

Barang kali 'selamanya' hanyalah kata yang terangkum dalam kamus bahasa

yang nyatanya tak pernah ada.

Namun nona, apapun yang terjadi, tetaplah tinggal di sisi

Mempertahankan rasa sampai kita melupa untuk pergi

Mempertahan kata kita hingga tak ada lagi waktu untuk tinggal di dunia

Kamis, 07 November 2024

Zona Mati Kata

11/07/2024 09:39:00 AM 0 Comments


Lama telah ku kehilangan kata-kata penyembuh luka, atau sekedar pelepas kesakitan yang mendera. Setiap kata yang sering kali terangkai karena apapun dan siapapun penyebabnya, seketika buntu. Tak mampu terangkai sempurna. Diksi-diksi yang sering kali menemani seolah lari menjauhi diri dan hati.

Lama ku terjebak dalam zona mati kata yang membuatku bahkan tak mampu mengenal diriku sendiri. Bahkan aku tak mampu memaksa kemampuanku untuk melahirkan kembali diksi-diksi terindah yang pernah terangkai begitu nyata. Aku terkurung dalam ruang mati kata. Berkali ku teriak ingin keluar darinya, namun ku tak bisa! Langkahku seolah terpaku pada ruang itu. Berkali ku mencoba menghadirkan rangkaian kata menjadi kalimat yang kelak menjelma menjadi obat dari berbagai kesakitan karena sebuah rasa,aku pun tak mampu. Zona mati kata membuatku harus menelan sendiri kesakitakan yang kerap kali menyapa bahkan memeluk jiwa. Membuatku bekerja keras mengolah berbagai perasaan yang sering kali hadir tak sesuai harapku. Zona mati kata, membuatku kehilangan separuh aku yang selama ini menjadi kawan di setiap keadaan. Tak ada lagi rangkaian air mata berteman kata-kata yang mengalir melalui ujung pena yang ku goreskan. Tak ada lagi cerita suka maupun duka cita yang ku abadikan dalam kota memori kata. Semua yang terjadi ku biarkan terjadi dan berlalu begitu saja. sedangkan ku, menikmati kesendirian, kesakitan maupun kebahagiaan semu dalam zona mati kata yang membelenggu entah sampai kapan.

Senin, 16 September 2024

Rasa Bersalah

9/16/2024 08:14:00 PM 0 Comments

Sebelum sampai di angka dua tahun untuk saling mengenal, aku dan dia sepakat akan melanjutkan kisah kita hingga ke mahligai pernikahan.
Satu minggu menjelang hari pernikahan mestinya menjadi hari yang membahagiakan. Menjadi hari-hari yang mendebarkan menanti momen paling sakral yang akan terjadi dalam hidupku. Satu minggu menjelang hari pernikahan, mestinya sudah ku selesaikankan segala urusan, sehingga tak ada lagi alasan aku dan dia untuk pergi menyelesaikan urusan yang belum tuntas. Ya. Semestinya... dan seandainya...
Namun siapa kira? Seminggu menjelang hari pernikahan kami, menjadi hari yang paling menyakitkan bagiku! Menjadi hari dimana aku terlempar dan terkurung dalam ruang rasa bersalah yang menyakitkan dan tak berkesudahan!
Ratusan, atau bahkan ribuan hari aku terkurung dalam rasa bersalah, tersebab kejadian di hari itu. Hari dimana aku bersamanya terlempar dari motor kesayangan kami tersebab sebuah mobil yang menghantam kami dari arah berlawanan. Ia seketika tak sadarkan diri. Meregang nyawa di tempat kejadian. Aku yang masih setengah sadar harus menyaksikan calon pedamping hidupku menghembuskan napas terakhirnya. Padahal, sesaat sebelum kejadian itu, kami masih menikmati perjalanan dengan sangat bahagia. Aku masih bisa mendengar tawanya. Melihat wajah bahagianya. Rasanya, kami sudah tak sabar menunggu waktu seminggu lagi untuk segera mengikat hubungan kami dengan sebuah akad.
Setelah kejadian itu, aku tak sadarkan diri berhari-hari lamanya, membuatku tak bisa mengantarkan ia kerumah barunya, dan hal itu, mencipta ruang rasa bersalahku semakin besar!
Entah, apa yang sedang Tuhan persiapkan untuk masa depanku, hingga sesakit ini ujian yang harus ku hadapi. 
Kehilangan cinta pertama, membuatku merasa akulah penyebab utama atas kepergiannya, hancur segala harapan dan impian untuk dapat hidup bersamanya. 
Akad itu tak pernah terucap. Aku kalah cepat dengan kematian yang menjemputnya lebih dulu. Dan kepergiannya membuatku selalu dipeluk rasa bersalah.
Aku hanya berharap, kelak Tuhan hadirkan aku kebahagiaan yang begitu paripurna. Meski bukan bersamanya. Namun satu hal yang pasti, seiring rasa bersalah ini pergi, ia akan tetap abadi dalam memori juga sanubari. Raganya boleh terkubur bersama rasa bersalahku, namun jiwanya akan selalu hidup dan abadi dalam kisah perjalan hidupku.

Rabu, 21 Agustus 2024

Berdamai Dengan Kenyataan

8/21/2024 10:46:00 AM 0 Comments

Amarahku sudah mereda sejak lama. Bahkan saat namamu ku dengar disebut oleh siapapun, aku tak lagi merasakan getar amarah dan kebencian yang sempat memelukku dengan begitu hebatnya.
Jika kini kau melihat aku bisa tersenyum atau bahkan tertawa lepas, percayalah bahwa aku pernah berada di hari-hari bagaimana ku lupa caranya tersenyum. Aku pernah berada  di masa tak tau bagimana menghentikan rintik air mataku.
Tenanglah, kini amarahku telah mereda, tangisku tak lagi bercucuran air mata. Tapi maaf, luka yang kau cipta perihnya masih terasa begitu nyata. 
Tak usah khawatir, aku akan berjuang untuk berdamai dengan kenyataan yang tak pernah ku rencanakan ini. Aku akan berdamai dengan realita bahwa kini kau tak lagi milikku. Karena ku sadar, untuk melupakanmu adalah hal yang teramat sulit bagiku. Kenangan bersamamu terlalu banyak terekam dalam memori. Maka berdamai dengan kenyataan menjadi jalan terbaik yang ku pilih.
Aku yakin, saat ku telah sangat berhasil berdamai dengan kenyataan yang ada, bukan saja amarah dan tangisku yang mereda, namun juga tak ada lagi sakit yang tersisa. 

Selasa, 02 Juli 2024

Tanpa Status

7/02/2024 05:25:00 PM 0 Comments

 

Pernah terlintas dalam pikiran, kenapa ya? Aku harus ketemu dan kenal sama kamu? Kenapa kamu, seseorang yang awalnya begitu aku benci, sekarang bisa menjadi seseorang nomor satu di hati? Apapun dan bagaimanapun kondisiku, cuma kamu orang pertama yang ingin aku beri tau. Kemanapun aku akan pergi, atau darimanapun aku tiba, selalu kamu yang akan ku beri kabar pertama kali. Entah, segala cerita tentang apa yang aku lalui hanya ingin ku bagi denganmu. Tidak ada yang lain! Bahkan, perihal seseorang dari masa laluku yang tiba-tiba saja hadir kembali, aku pun ingin kamu mengetahui ceritanya.


Setiap respon yang kamu berikan, selalu menjadi perhatianku. Hingga tak jarang, selalu ada tanya, kita ini sebagai apa? Sebenarnya, kamu ini siapa bagiku? Atau siapa aku bagimu? Jika ku sebut kita hanyalah teman, tapi aku merasakan kita lebih dari itu. Jika dikatakan bahwa kita lebih dari teman, tak pernah ada perjanjian atau pernyataan serius baik dari kamu ataupun aku. Namun, entah kenapa selalu ada rasa takut yang tiba-tiba menghantui hatiku. Rasa takut kehilangan kamu, takut kamu jatuh cinta dengan orang lain, takut tiba-tiba kamu pergi dan tak meninggalkan jejak sedikitpun. Intinya, aku takut jika suatu hari nanti kamu bahagia dengan orang lain. Aneh, ya? hhhfff. Aku pun gak ngerti dengan apa yang hadir dalam hati dan pikiran ini.


Kamu ingat? Saat tempo hari kamu bercerita tentang seseorang yang membuatmu begitu merasa kagum, hingga hadir rasa nyaman dalam hatimu, meski hanya menatap orang itu dari jauh. Saat kamu bercerita bagaimana khawatirnya kamu saat hilang kabar dari si dia yang kau kagumi itu. Dan rangkaian cerita lainnya tentang si dia yang kini singgah dalam hatimu. Kamu tau bagaimana perasaanku saat mendengar itu?


Ada perih yang seketika aku rasakan. Ada air mata yang ku sembunyikan. Serta ada rasa takut yang memelukku kian erat! Tapi aku harus sadar diri, bukan? Bahwa kita sedang berjalan di koridor tanpa status. Ya. Kedekatan kita, bahagianya aku saat bersamamu, rinduku saat jauh darimu, khawatirku saat kau tak ada kabar, semua berjalan pada koridor tanpa status. Maka, sudah semestinya aku mempersiapkan hati sejak saat ini, bukan? Jika suatu hari kamu pamit pergi untuk mencipta kebahagiaan yang lebih sempurna bersama dia.

Namun, sebelum kata pamit itu terlontar darimu, aku masih di sini, pada koridor tanpa status yang kita jalani, sambil menunggu kepastian darimu. Dan biarkan aku bahagia dengan kita yang seperti ini, paling tidak untuk saat ini saja.