Selasa, 14 Februari 2023
Selasa, 29 November 2022
Seolah Nyata
Pertemuan itu terjadi kembali
Wajahmu, senyummu, suaramu, terdengar kembali
Memeluk hati yang merindu
Meredam rindu yang bertalu
Hari yang kian lama telah ku nanti
Tanpa ku pinta ia datang tanpa permisi
Sebuah kejutan yang begitu indah
Meski hanya seolah nyata
Namun ku bahagia, karena akhirnya temu itu terasa jua
Bagaimanapun kau tak akan kembali nyata
Dirimu hanya akan selalu datang
Pada dunia yang seolah nyata
Meski begitu, kuucapkan terimakasih
Hadirmu, yang seolah nyata telah membayar ribuan detik yang berlalu
Dengan berselimut rindu yang tak henti menggebu
Selasa, 19 Juli 2022
Appreciate to myself
Mengapresiasi atau menghargai orang lain itu perlu, bahkan harus. Namun, menghargai diri sendiri pun tidak kalah pentingnya. Aku merasa, bahwa setiap pencapaian yang aku lakukan setiap harinya bukanlah perkara mudah dan ringan. Namun, saat aku mampu melewati itu semua, melewati tantangan yang ada di setiap harinya, selalu ada rasa penuh syukur dan bahagia.
Minggu, 17 April 2022
Allah, Sang Pemberi Rezeki
‘Telur habis, minyak goreng menipis, gula habis. Hhhfff besok harus belanja lagi kalau begitu.’ Desis bu Ratna setelah mengontrol keadaan dapur asrama.
Keadaan pondok pesantren yatim dhuafa yang dikelola bersama mediang
suaminya sedang tidak baik-baik saja. Terutama dalam keadaan pemasukan
finansial. Ia harus benar-benar putar otak untuk mengatur keuangan yang
pemasukannya tak seberapa. Tak jarang ia mengetuk pintu menjalin silaturrahim
kepada orang-orang yang pernah menjadi bagian dari donatur pesantren, dan
meminta sedikit infaknya untuk pesantren. Agar dapur bisa terus ngebul.
“Ya Allah, Ya Rabb… bantu kami. Kirimkanlah rezeki untuk anak-anak
santri kami melalui orang-orang baik yang Engkau gerakkan hatinya. Cukupkanlah
segala kebutuhan mereka ya, Rabb. Dzat yang Maha Pengasih Maha Penyayang.”
Pinta Bu Ratna pada suatu malam seusai tahajudnya. Ia tahu, bahwa hanya ada
satu dzat yang tidak pernah mengecewakan dan akan selalu mengabulkan segala
permintaannya, Allah. Entah bagaimana cara-Nya, seringkali Bu Ratna merasakan
Maha Kuasanya Allah dengan mengirimkan orang-orang baik yang mencukupi
kebutuhan makan sehari-hari untuk anak-anak santri di tempatnya.
Keesokan harinya, ia mendapat kabar bahwa akan ada salah seorang kerabatnya
yang ingin berkunjung. Tentu hal tersebut disambut dengan sangat baik oleh Bu
Ratna. Pukul sembilan pagi, sang kerabat yang ditunggu pun tiba.
“Berdua aja?” tanya Bu Ratna menyapa sang kerabat saat baru tiba.
Kamis, 14 April 2022
Bijak Bermedia Sosial
“Assalammualaikum…” terdengar suara Ayah yang baru pulang kerja. Dhira yang sedang sibuk dengan tugas sekolahnya segera keluar kamar menyambut kedatangan sang Ayah. Tiga hari tidak bertemu dengan Ayahnya merupakan kerinduan terberat bagi Dhira.
“Walaikumsalam… Ayah….” Sapa Dhira yang langsung menghambur kepelukan
Ayah. Ayah yang masih duduk di kursi tamu demi melepas penat sejenak langsung
tersenyum bahagia mendapatkan pelukan hangat dari anak perempuan semata
wayangnya.
“Ibu mana, Nak?” tanya Ayah setelah melepaskan pelukannya dan
mendaratkan kecupan hangat di kening Dhira.
“Lagi ke luar tadi sama abang Faiz.” Jawab Dhira. “Aku kira Ayah akan
pulang selepas Isya.” Lanjut Dhira.
“Enggak, Alhamdulillah kerjaan Ayah selesai lebih cepat dari
perkiraan.”
“Alhamdulillah, soalnya Dhira kangen banget sama Ayah.” Ucap Dhira
sambil menyandarkan kepalanya di lengan Ayah.
“Baru juga tiga hari enggak ketemu Ayah.” Ledek Ayah.
“Tiga hari tuh lama, Ayah!” rajuk Dhira.
“Iya..iya..maaf.” Jawab Ayah sambil mencubit kecil hidung Dhira yang
mungil. “Ayah ke kamar dulu ya, istirhat dulu. Nanti kita buka puasa dan terawih
di rumah aja, ya..” lanjut Ayah.
“Siap ayah! Dimanapun asal sama Ayah, Dhira ikut!” jawab Dhira sambil berlagak
seperti prajurit yang sedang hormat kepada komandannya.
“Tolong kasih tahu Fawwaz dan Farzan, Ayah tunggu buka puasa di rumah.”
Perintah Ayah sebelum benar-benar memasuki kamar.
Tanpa menunda, Dhira langsung menghubungi Fawwaz, kakak pertama, dan
juga Farzan, kakak kedua yang sedang berada di kampus masing-masing. Setelah itu,
Dhira kembali melanjutkan mengerjakan tugas sekolahnya di kamar.
Tidak lama kemudian,
Rabu, 13 April 2022
Tak Ada yang Tertolak
((10/30)) Ditinggalkan oleh seseorang yang paling penting dalam hidup ini adalah hal yang paling menyesakkan. Ditambah ada amanah besar yang harus dijalankan. Sedangkan ilmunya belum banyak diwariskan.
Bingung! Ingin menyerah! Ingin pergi meninggalkan, namun rasnaya sulit. ‘Ah, Abi, aku harus bagaimana?’ pertanyaan itu sering kali terlontar dalam diamku.
Tujuh tahun lalu, Abi kembali ke kampung abadi dengan begitu tenang, dan terlihat bahagia. Terpancar dari wajahnya yang bersih, bercahaya, dan juga tersenyum setelah ruhnya terlepas dari jasad. Ia meninggalkan sebuah pesantren sebagai ladang dakwahnya. Pesantren yang mengutamakan menampung anak-anak yatim dhuafa.
Selasa, 12 April 2022
Bukan Milik Kita
9/30
Beberapa hari lalu, aku membaca berita tentang dua orang anak lelaki
yang ditinggalkan di pinggir jalan oleh orangtunya. Ada juga tayangan berita
yang memberitahukan tentang seorang bayi yang ditemukan di tempat pembuangan
sampah. Yang sempat viral adalah tentang seorang ibu yang tega menggorok
anaknya dengan dalih ia tak ingin anaknya merasakan sakit karena kejamnya hidup
baginya.
Mungkin bagi mereka itu bentuk dari kasih sayang mereka. Mereka tentu berpikir bahwa anak-anak mereka harus tumbuh bahagia dan berkecukupan. Aku yakin mereka tentu juga pedih melakukan itu semua, namun mereka seolah tak memiliki pilihan. Padahal, bagi seorang anak, hidup bersama dengan orangtuanya adalah sebuah kebahagiaan itu sendiri.
Ah, rasanya Miris! Sedih!
Rabu, 16 Maret 2022
Hai, Kenangan!
Jumat, 18 Februari 2022
Coming Back (part 3)
Sudah memasuki
hari Rabu ke tiga di bulan Juli, dan ini artinya sudah tiga hari berlalu sejak
pertemuanku dengan Faiz di resto Papa. Hari ini aku meminta izin ke pihak
kantor karena tidak bisa masuk, karena sejak kemarin sore badanku mendadak
tidak enak. Aku memilih untuk beristirahat lebih dulu dan memulihkan kondisiku.
Mungkin ini ada efek dari pertemuan tempo hari.
Ya. Karena sejak
hari itu sampai malam tadi aku tidak bisa tidur dengan nyenyak. Banyak hal yang
aku pikirkan dan pertimbangkan sebelum aku benar-benar memberikan keputusan
atas pernyataan Faiz.
“Saran Papa, Ra.
Anak sebaik Faiz terlalu sayang untuk ditolak. Selama dia bekerja dengan Papa,
diperhatikan dia itu anaknya baik, sholeh, kerjanya pun jujur. Ditambah Papa
tahu bagaimana latarbelakang keluarganya.” Tutur Papa saat perjalanan pulang
kemarin.
“Iya, Ra. Mama
juga setuju banget sih kalau kamu sama Faiz. Tapi ya keputusan tetap di kamu.
Kami tidak memaksakan, kami hanya memberi saran. Ya kan, Pa?” kata Mama yang
disetujui oleh Papa.
Papa dan Mama
memang tidak memaksa, tapi saran dan pernyataan mereka membuat aku berat untuk
menolak. Menolak? Aku rasa terpikirkan untuk menolakpun tidak. Hanya
saja untuk menyatakan aku menerima lamarannya masih ada ragu menyelimuti.
Aku baru saja
melepas mukena usai salat zuhur saat terdengar notif pesan masuk berbunyi. Aku
kembali ke atas kasur, bersandar di kepala ranjang dan kemudian membuka pesan
yang baru saja masuk. Dari nomor tanpa nama.
Assalammualaikum.
Apa kabar, Ra? Lagi sibuk gak?”
Selasa, 15 Februari 2022
Coming Back (part 2)
September 2019
Sejak perpisahan itu, Faiz perlahan menghilang dari
hadapanku, dan bahkan dari hidupku. Kami bukan lagi berjarak seperti yang ia
katakan. Tapi kami saling menjauh, mungkin tepatnya dia yang terus melangkah
menjauh dari ku. Karena aku sudah berusaha mencoba mencari tahu tentangnya,
atau paling tidak aku mencoba mendapatkan kabar tentangnya. Aku pun ingin
sekali tahu, apakah dia merindukanku. Sama dengan rindu yang ku rasakan. Rindu
yang terus tersulam indah dalam angan dan harapan perjumpaan dengannya. Namun,
segala usaha yang aku lakukan nihil.
Aku mencoba untuk mulai melupakannya walau nyatanya tak
pernah berhasil. Selalu ada getar rindu yang menyelinap di kala aku teringat
dirinya. Karena Faiz adalah lelaki yang telah memenangkan hatiku. Lelaki yang
telah mencuri hatiku lalu sekarang ia pergi menghilang tanpa jejak. Lelaki yang
sempat ku lukiskan harapan indah dalam kanvas angan masa depan. Mungkin dia
sudah melangkah jauh, merajut masa depan yang indah bersama wanita lain.
Melupakanku yang masih berdiri di depan gerbang pengharapan, menanti
kehadirannya. Mungkin aku terlalu bodoh, terlalu menutup mata kepada lelaki
lain. Tapi sungguh, aku tak mampu untuk mencintai yang lain, selain dirinya.
Aku masih menggantungkan harapan yang sama pada bait doa yang selalu ku
panjatkan, bahwa suatu saat dia kembali. Kembali ke hadapanku, kembali ke
kehidupanku. Kembali untuk menjemputku menjadi wanita yang akan menyempurnakan
setengah agamanya.
Tak terasa hampir tiga tahun sudah sejak kepergiannya. Hampir
tidak ada lagi komunikasi diantara kami. Terakhir ia mengirmkan ku pesan
mengucapkan congratulations atas kelulusan dan acara wisudaku. Aku tahu dari
Reina yang masih rajin stalking media sosial Faiz, bahwa ia sudah lulus
lebih dulu daripada aku. Aku hanya membalas ucapan ia sekadarnya. Setelah itu,
tidak ada lagi basa basi yang terjalin.
Demi menyembuhkan luka kesedihan yang telah digorekan oleh Faiz,