Sudah memasuki
hari Rabu ke tiga di bulan Juli, dan ini artinya sudah tiga hari berlalu sejak
pertemuanku dengan Faiz di resto Papa. Hari ini aku meminta izin ke pihak
kantor karena tidak bisa masuk, karena sejak kemarin sore badanku mendadak
tidak enak. Aku memilih untuk beristirahat lebih dulu dan memulihkan kondisiku.
Mungkin ini ada efek dari pertemuan tempo hari.
Ya. Karena sejak
hari itu sampai malam tadi aku tidak bisa tidur dengan nyenyak. Banyak hal yang
aku pikirkan dan pertimbangkan sebelum aku benar-benar memberikan keputusan
atas pernyataan Faiz.
“Saran Papa, Ra.
Anak sebaik Faiz terlalu sayang untuk ditolak. Selama dia bekerja dengan Papa,
diperhatikan dia itu anaknya baik, sholeh, kerjanya pun jujur. Ditambah Papa
tahu bagaimana latarbelakang keluarganya.” Tutur Papa saat perjalanan pulang
kemarin.
“Iya, Ra. Mama
juga setuju banget sih kalau kamu sama Faiz. Tapi ya keputusan tetap di kamu.
Kami tidak memaksakan, kami hanya memberi saran. Ya kan, Pa?” kata Mama yang
disetujui oleh Papa.
Papa dan Mama
memang tidak memaksa, tapi saran dan pernyataan mereka membuat aku berat untuk
menolak. Menolak? Aku rasa terpikirkan untuk menolakpun tidak. Hanya
saja untuk menyatakan aku menerima lamarannya masih ada ragu menyelimuti.
Aku baru saja
melepas mukena usai salat zuhur saat terdengar notif pesan masuk berbunyi. Aku
kembali ke atas kasur, bersandar di kepala ranjang dan kemudian membuka pesan
yang baru saja masuk. Dari nomor tanpa nama.
Assalammualaikum.
Apa kabar, Ra? Lagi sibuk gak?”
Aku memilih untuk
tidak membalasnya. Kepala ku masih terasa berdenyut. Aku kembali merebahkan
badan di atas kasur dan menyimpan ponsel di sampingku. Khawatir ada telepon
atau pesan penting yang masuk. Tidak lama kemudian pintu kamar ku terbuka.
Ternyata Mama sambil membawa nampan berisi makanan dan obat untukku.
“Makan dulu lalu
minum obat ya.” Kata Mama sambil meletakkan bawannya di atas meja belajarku.
Aku mengangguk lemah.
“Thanks Mam.”
“Its Oke, sayang.
Bagaimana kondisinya sekarang? Demamnya sudah turun?” tanya Mama sambil
meletakkan telapak tangannya di keningku. “Lho, masih panas, Ra.” Lanjut Mama.
“Enggak apa-apa,
Ma. Tenang aja. Besok juga membaik insya Allah.”
“Tapi kalau besok
masih panas kita ke dokter, ya?”
“Iya..”
“Makan dulu.
Setelah ini minum obat lalu istirahat lagi.” Kata Mama sambil mengambilkan
piring yang sudah berisikan nasi, sayur bayam, dan ayam goreng.
Aku menuruti
perintah Mama. Sambil ditemani Mama, aku menghabiskan setengah porsi makanan
yang Mama bawa. Setelah memastikan aku sudah minum obat, Mama pamit keluar dan
menyuruhku beristirhat. Baru saja mataku terpejam, ponsel ku berdering. Tanpa
melihat siapa si penelpon, aku menjawab panggilan itu.
“Kamu baik-baik
saja?” tanya si penelpon setelah aku memberikan salam, dan dia menjawab
salamku. Faiz. Aku mengenal suara itu dengan baik.
“Baik. Ada apa?”
tanyaku malas.
“Tapi suara kamu
kaya lagi enggak baik. Kamu sakit?” tanyanya kembali, ada nada khawatir yang ku
tangkap
“Enggak. Aku
baik-baik aja.” Jawabku bohong.
“Oh. Maaf kalau
aku ganggu waktu kamu. Aku cuma ingin bertanya kapan aku bisa terima
jawabannya?”
“Aku usahakan
secepatnya. Aku masih butuh waktu, Iz.”
“Aku ngerti. Aku
tunggu kabarnya ya.”
Sambungan telepon
kami pun berakhir. Aku kembali memikirkan keputusan yang akan aku ambil. Aku
merasa perlu untuk melakukan istikharah lagi. Aku tidak ingin mengambil
keputusan ini berlandaskan nafsuku. Aku ingin mendapatkan petunjuk dari Allah
atas jawaban apa yang aku berikan nantinya.
Lima tahun berlalu
bukanlah waktu yang sebentar. Benar-benar melepasnya dari hatiku butuh
perjuangan yang luar biasa. Ku akui, tidak bisa mengeluarkan dia dari
pikiranku. Karena bagaimanapun, kami pernah dekat. Pernah mengukir cerita yang
sama di masa lalu, maka mengeluarkan ia dari pikiranku adalah hal yang sangat
sulit aku lakukan.
Baru berhasil
usahaku melepaskannya dari hati, tiba-tiba dia datang kembali. Dengan berjuta
kejutan. Mungkinkah ini bagian dari jawaban atas do`a ku dulu? Mungkinkah ini
bagian dari jawaban atas harapan-harapanku dulu? Entahlah. Memikirkan semua
yang terjadi ini hanya membuat aku semakin sakit kepala. Mungkin lebih baik aku
beristirhat dulu, setelah ini biar aku pikirkan kalimat apa yang tepat untuk
menyampaikan jawaban untuknya nanti.
Setelah tiga hari bedrest,
aku rasa ini waktu yang tepat untuk bertemu dan memberikan jawaban kepada
Faiz. Karena dia pun dapat hari libur dari Papa di setiap akhir pekan. Lima menit
lalu Mama sudah memberi tahu bahwa Reina sudah datang. Aku yakin, Mama atau
Papa sedang asik mengajaknya mengobrol sehingga dia tidak menghampiriku ke
kamar.
Aku mematut diriku
kembali di depan kaca. Tunik green bottle, dipadukan dengan kulot berwarna milo,
dan pashmina panjang menutupi dada berwarna senada dengan kulot yang ku
kenakan. Pas! Not bad. Gumamku dalam hati sambil memperhatikan
penampilanku sendiri. Tak ada riasan wajah berlebih yang terpoles. Hanya bedak
tipis serta lipcream berwarna nude agar wajahku tidak terlihat begitu pucat.
“Berangkat yuk!”
ajak ku kepada Reina setelah keluar kamar dan menemukan dia di ruang makan
sedang berbincang dengan Mama.
“Udah siap?” tanya
Reina memastikan. Aku menjawab dengan sebuah anggukan.
“Jangan terlalu
lama, Ra. Kamu baru sehat. jangan terlalu capek dulu.” Pesan Mama sebelum kami
berangkat. Ya! Begitulah Mama, walau usiaku sudah diatas angka duapuluh, tetap
saja baginya aku adalah putri kecil yang harus selalu diwanti-wanti.
Setelah berpamitan
kepada Mama dan Papa, aku ditemani Reina berangkat menuju lokasi tempat aku dan
Faiz akan bertemu. Selama perjalanan aku lebih banyak diam, aku terlalu nervous
bercampur takut untuk mengutarakan jawaban yang sudah ditunggu oleh
Faiz sepekan ini.
“Kenapa, Ra?”
tanya Reina sambil menoleh ke arahku.
“Enggak
kenapa-kenapa.”
“Lu banyak diem
dari tadi.”
“Gue sedikit takut
untuk bahas ini ke dia, Rei.” Ucapku. Reina terlihat melirik lampu lalu lintas
yang berada di depan.
“Tapi lu udah
yakin dengan jawabannya kan?” Reina memastika.
“Bismillah, yakin
sih.”
“Yaudah, santai
aja kalau begitu, kenapa lo harus takut?” Tanya Reina yang langsung menginjak
pedal gas karena lampu lalu lintas sudah berubah menjadi hijau. Aku
menggedikkan bahu sebagai jawabannya.
Lima belas menit
kemudian kami tiba di tujuan. Setelah Reina memarkirkan mobil, kami menuju
sebuah taman. Taman depan area kampusku dulu menjadi tempat yang aku pilih untuk bertemu kembali dengannya. Tempat dimana dulu aku merasa
sangat terluka atas perpisahan aku dengan Faiz. Lalu hari ini, here we are. Coming
back after all these years. Banyak beberapa area yang berubah, termasuk taman
ini.
“Ra, gue beli
minum dulu ya ke kantin. Lo tunggu di sini enggak apa-apa, kan?” pamit Reina.
Aku me-iya-kan. Faiz belum terlihat sama sekali. Aku memilih menunggu di sebuah
gazebo kecil yang terdapat di pojok taman.
“Sudah lama?”
tanya seorang lelaki yang tiba-tiba saja berada di hadapanku, setelah tidak lama aku duduk di gazeebo.
“Belum, baru lima
menit.” Jawabku sambil beranjak dari tempatku.
“Ngobrol di sana
aja, ya.” Lanjutku sambil berjalan ke area rerumputan. Persis di tempat aku dan
Faiz dulu berdiri dan dia pergi meninggalkan.
Ah, mengingat
kejadian itu tiba-tiba saja hatiku kembali mencelos.
Sambil berjalan
aku mengetik pesan ke pada Reina agar lebih cepat datang dan berada bersamaku.
Entah, terasa kurang nyaman jika hanya berdua dia saat ini, walau di sini
terhitung ramai. Kami tiba di tempat yang ku maksud. Aku memilih tempat ini
agar aku dengannya tidak duduk terlalu dekat jika dibandingkan kalau kami
berada di gazebo itu.
“Kabarnya, kamu
sedang kurang sehat kemarin?” tanya Faiz.
Aku yakin dia tahu
dari Papa.
“Hanya kecapekan.”
Jawabku singkat.
“Dan makan tidak
teratur.” Tuduhnya. Namun tuduhan itu tepat sekali. Aku tidak mampu
menampiknya.
“Biasalah.”
“Masih sama
seperti dulu.” Komentarnya.
“Apanya?”
“Kebiasaannya.
Terlalu asik dengan kesibukkan, lupa jaga kesehatan.”
Aku tersenyum
kecut mendengar pernyataannya. Kami pun saling terdiam beberapa saat.
“Iz, sesuai tujuan
awal kenapa aku meminta kamu datang ke sini.” Kata ku kemudian dengan begitu gugup. “Aku… aku ingin
memberikan jawaban yang kamu minta.” Lanjutku dengan perasaan tak karuan.
“So? The answer
is..?” tanyanya tidak sabar.
Aku mengatur
napasku sebelum akhirnya,
“Yes.” Jawab ku
singkat.
“What?? Aku gak salah dengar?” tanyanya memastikan. "Coba diulangi." Pintanya.
"Yes."
"Aku gak salah denger kan??" Tidak dapat dipungkiri ia sangat terkejut
dengan jawaban yang baru saja aku berikan.
“No.”
“This means, you're
willing to be my wife, right?”
“Yap.” Jawabku
disusul dengan senyuman. Ah, lega rasanya.
“Besok aku ke
rumah bersama orangtuaku untuk secara resmi melamarmu.” ucapnya dengan penuh kebahagian. Dia terlihat benar-benar yakin dengan keputusannya.
“What??! Besok??!”
kali ini giliran aku yang dibuatnya sangat terkejut. Dan dia hanya tersenyum sambil mengangkat kedua alisnya sebagai jawaban.
~*~*~*~*~*~
Awal
November, 2021
Awal November yang
indah dan tidak pernah terlupa sepanjang hidup bagiku. Setelah pertemuan itu,
dia benar-benar merealisasikan ucapannya. Keesokannya dia datang untuk
melamarku, dan kami langsung menentukan tanggal pernikahan kami. Dua puluh tiga
Oktober menjadi tanggal pilihan kami. Hari ini, sudah dua minggu aku menyandang
gelar istri sah Faiz Zabyer. Seorang lelaki yang telah memenangkan hatiku, dua
kali!
Aku berpikir,
setelah perpisahan itu aku tidak akan pernah bertemu lagi dengannya. Luka yang
ia torehkan saat itu, berhasil aku sembuhkan dengan perjalanan hijrahku. Semua
kenangan tentang dia, tentang kebersamaan kami, aku kubur dalam-dalam di album
kenangan pada pojok memoriku. Aku berhasil mengenang namanya sebagai bagaian dari
masa lalu.
Namun kemudian, ia datang kembali setelah lima
tahun tanpa ada pertemuan apapun, tanpa kabar sedikitpun. Ia seolah tiba-tiba
saja muncul dan memberikan berjuta pertanyaan penuh misteri dalam pikiranku.
Dia yang sudah mengenal Papa, berteman baik dengan Bang Arya, merupakan kejutan
luar biasa yang tidak pernah terbayangkan olehku. Cerita tentang aku dengannya
tiba-tiba saja berputar kembali dalam ingatan.
“Melamun lagi?”
tanya Faiz setelah mendaratkan kecupan hangat di pipi kananku. Sontak membuat
wajahku merona.
“Enggak.” Jawabku
sambil tersenyum malu. Aku yakin Faiz bisa menangkap wajahku yang sudah memerah
dari cermin yang berada di depan kami.
“Kalau enggak,
mana mungkin aku panggil tigak kali kamu diam aja, sayang.” Katanya sambil
memelukku dari belakang.
“Aku cuma masih
enggak percaya aja, in the end harapan kita yang dulu tetap menjadi nyata.
Walau caranya berbeda.” Kata ku menatap manik matanya dari cermin. Ia
melepaskan pelukannya, dan kemudian berdiri di hadapanku. Jarak kami hanya
sekitar lima centi.
“Aku pernah
bilang, aku ingin menikahimu, tapi tidak dengan begitu caranya. Dan inilah cara
yang aku mau. Membiarkan Allah yang berkehendak atas takdir kita. Aku sudah
yakin, jika kamu memang yang terbaik, memang jodohku, pasti akan dipertemukan
kembali. Dan nyatanya? Here you are. My wife. My lovely wife.” jawabnya sambil mengusap rambutku dengan lembut.
“Jika takdir tidak
mempertemukan kita kembali? Apakah kamu akan mencoba mencari dan kemudian
mencitai wanita lain?” tanyaku hati-hati. Karena setelah menikah, dia mengakui
bahwa dia tidak pernah benar-benar melepasku dari hatinya. Dia selalu meminta
kepada Allah agar dipertemukan kembali dengan ku dengan cara-Nya. Jika aku
adalah wanita terbaik menurut pandangan Allah.
“Allah dan
Rasulnya tidak suka pengandaian, sayang. Terima dan syukurilah takdir kita ini.
Jangan memikirkan apa yang tidak pernah terjadi. So, kita jadi dinner di luar?” tanyanya sambil mengeratkan tangannya di pinggangku.
Oh ya. Hampir aku
terlupa. Ini adalah malam kedua kami menikmati honeymoon tertunda
di Kota Kraton. Karena ada beberapa pekerjaan yang harus ia bereskan lebih dulu
sebelum akhirnya ia benar-benar mendapatkan izin dari Papa untuk cuti lebih
lama dan mengajak ku honeymoon. Sedangkan aku, sudah resign sejak
sebulan lalu. Aku memilih untuk ikut terlibat di dalam bisnis Papa, dan mungkin
bisa diawali dengan sedikit membantu pekerjaan Faiz saat ini.
“Jadi dong!”
“Yasudah, ayo
siap-siap.” Kata Faiz yang langsung mendaratkan kecupan kilat dikeningku. Lagi!
Dia membuatku tersipu.
Aku segera
mengenakan jilbab berwarna baby blue yang sudah aku siapkan di lemari
kamar hotel. Aku mengenakan longdres denim dengan kombinasi katun bercorak
bunga di bagian lengan . Sedangkan Faiz mengenakan kaos berkerah berwarna navy
dipadukan celana jins.
Kami memilih
berjalan kaki untuk menuju Secret Garden Coffee and Chocolate sebagai destinasi
dinner kami malam ini. Hanya butuh waktu tujuh menit dari hotel tempat kami
menginap menuju tempat makan dengan tema kebun ini. Warna putih yang
mendominasi menyambut kami di pintu masuk. Faiz mengajakku ke meja di bagian
outdoor, di sisi kiri kolam air mancur, di bawah atap gazibu kecil. Sepertinya
meja kami sudah dipesan secara khusus oleh Faiz sebelumnya. Karena saat kami
tiba, meja tersebut sudah tersedia setangkai bunga mawar putih dengan kartu ucapan
bertuliskan “For My Lovely Wife”dan dua lilin yang membuat suasana
semakin romantis.
“Kamu penuh kejutan ya akhir-akhir ini.” Ucapku sambil tersenyum bahagia. Aku masih menciumi mawar putih yang menyambut kami di atas meja. Sekilas aku mengedarkan pandanganku ke tempat makan ini. Romantic place, bisikku dalam hati.
“Bagaimana
tempatnya? Suka?” tanya Faiz merebut perhatian ku dari tempat ini.
“Banget!”
“Alhamdulillah.
Aku jadi enggak sia-sia.” Jawabnya sambil memandangku lekat.
“Aku sudah order
makanannya, sebentar lagi mungkin dateng. Sabar ya.” Lanjutnya.
“Selagi
menunggunya sama kamu, enggak jadi masalah buat aku.”
“Ra, boleh aku
tanya sesuatu?”
“Of course, you
are my husband now.”
Baru saja Faiz
ingin melontarkan pertanyaan, seorang pramusaji datang membawakan pesanan kami.
Dikarenakan perutku yang sudah tak bisa lagi berdamai, kami memilih untuk
menikmati hidangan terlebih dulu sebelum melanjutkan obrolan.
“Mau tanya apa
tadi?” tanyaku sebelum memasukkan suapan terakhir.
Faiz meneguk
orange juice lebih dulu sebagai penutup makannya sebelum ia menjawab
pertanyaanku. Ia mengulurkan tangannya, dan menggenggam jemari tangan kanan ku
dengan begitu hangat.
“Do you love
me?”
“Jujur, aku sempat
menghilangkan perasaan itu ke kamu. Karena bagiku, kamu hanya masa lalu yang
tidak mungkin untuk aku miliki. Maybe, the last two years. Before you come
back. Aku lelah memikirkan kamu yang entah bagaimana kabarnya, aku lelah merindukan kamu yang belum tentu kamu pun merindukan aku. So, aku memilih untuk berhenti mencintai kamu. But now, after you've married me, I love you so much. I really love you.” Jawabku dengan
menatap manik matanya.
“Maafkan aku yang sudah membuat kamu terluka dan merasa lelah dengan keadaan itu. And, Terimakasih sudah
mau mencintaiku, lagi.” Kecupan hangat darinya di punggung tanganku mendarat
dengan mulus.
Aku tidak bisa
menggambarkan bagaimana berbunganya aku malam ini. Faiz memperlakukan aku
begitu manis, membuat aku merasa menjadi seorang wanita yang terhormat dan
teristimewa dalam hidupnya. Dia bahkan lebih sweet dari dia yang dulu aku
kenal.
“Kamu hutang
cerita sama aku.” Tagihku. Ia mencoba mengingat-ingat.
“Waktu di resto
Papa. Pertemuan pertama kita setelah lima tahun.” Aku membantunya untuk
mengingat akan janjinya.
“Ah, ya! Panjang
banget buat diceritakan sebenarnya, tapi…”
“Garis besarnya
aja, gak masalah.” Kataku memotong ucapannya.
“Oke. Intinya,
Ayah menyuruhku melamar kerja di resto teman SMA nya, yang ternyata itu adalah
resto Papa Arga. Aku tahu kalau beliau adalah Papamu saat aku keruangannya dan
aku melihat poto kamu di sana. Saat aku tanya beliau bilang itu putrinya. Kau tanya apakah kamu sudah menikah, Papa Arga bilang belum. Di situ aku
merasa seperti do`a ku selama ini mulai Allah jawab. Aku seperti menemukan jalan untuk kembali ke kamu.”
“Terus, kamu kapan
cerita tentang kita ke Papa?”
“Sekitar sebulan sebelum
pertemuan di resto itu.”
“Lalu dengan Bang
Arya?”
“Kalau dengan Arya
dulu kami rival di basket. Beberapa kali tim ku melawan tim Bang Arya. Walau rival secara tim, tapi aku dan Bamg Arya berteman baik secara personal. Lama enggak
ketemu, dan ketemu lagi saat di resto Papa. Pertemanan kami pun terjalin lagi. Bang Arya sering membawa Aqilla saat bertemu denganku. So, gadis
mungil itu pun kenal dan dekat sama aku.”
Aku mendengarkan
penjelasannya tanpa mengalihkan sedikitpun pandanganku dari wajahnya.
“Oke, lunas
janjinya.” Ucap Faiz menutup ceritanya.
“Thanks untuk
penjelasannya.” Kataku disusul dengan senyuman.
“Kamu sadar gak
sih? Betapa Allah Maha Baik dengan segala rencana dan cerita-Nya ini. Padahal,
aku sudah berjuang dan berhasil mengikhlaskan kamu, kalau kamu sudah menikah. Tapi
nyatanya, kamu tetap jadi suami aku. Lucu ya perjalanan ini?” lanjutku
kemudian.
“Ya. Unik dan
penuh misteri. Kita tidak pernah tahu rahasia di balik waktu yang akan kita
temui. Kita tidak pernah tahu cerita apa yang sedang Allah persiapkan untuk
kita. Tapi yang pasti, yang selalu aku yakini, Allah selalu menyiapkan cerita
terbaik untuk kita. Hanya saja, kita mau menyadari itu atau tidak. By the way,
kamu mau kopi?”
“Boleh. Kamu masih
inget aja aku pecinta kopi.”
“All about you. I
still remember it well.”
Faiz pun memesan Vietnam
coffe untukku, dan mango juice untuknya kepada pramusaji yang ia panggil.
“Sayang, aku mau
tanya sesuatu.” Ucapku sambil menatap matanya lekat. Dia memberikan tatapan
penuh tanya.
“Adakah seseorang
yang pernah singgah di hati kamu selama lima tahun kita enggak ketemu?” tanyaku
hati-hati. Sebenarnya aku sudah tahu apa jawabannya. Hanya saja, aku ingin mendengarkannya sekali lagi demi untuk meyakinkan dan menguatkan kembali rasa saya dan cinta yang baru kembali ini.
“Aku yakin kamu
tahu jawabannya. Nothing at all!”
“Dan kenapa saat
itu kamu melepas aku?”
“Karena Ayah gak
setuju dengan kita yang berpacaran. Ayah mendesak untuk menikahkan kamu. Tapi aku
belum siap untuk itu. Ayah memberikan pilihan, tetap berpacaran tapi Ayah dan
Ibu sama sekali tidak meridhoi aku, atau menikah saat itu juga. Pilihan yang
sulit bagi aku. Karena aku tahu, keridhoan Allah ada pada keridhoan Ayah dan
Ibu. Menikahimu secara tiba-tiba pun aku belum cukup berani. Setelah berperang dengan batin dan pikiranku sendiri, aku mengambil
keputusan untuk meninggalkan kamu saat itu. Tapi aku tidak benar-benar
melepaskan kamu. Karena nama kamu selalu aku sebut dalam do`a.”
Tiba-tiba saja
mataku menghangat teringat kembali ke kejadian dimana aku ditinggalkan olehnya.
Ada rasa sesal karena telah berburuk sangka padanya, juga rasa takut akan kehilangannya terselinap ke relung hati.
“Thanks for coming
back in my life.” Ucapku diiringi satu bulir air mata yang menetes. “Terimakasih,
karena kamu sudah mewujudkan apa yang menjadi mimpiku dulu, walau harus seperti
ini jalannya. And please, don’t leave me any more.” Lanjutku disertai
bulir-bulir lain yang saling berlomba.
“Hei, kenapa
nangis?” tanyanya heran. Ia langsung menggeser kursinya untuk tepat berada di
sampingku. Tangan kirinya merangkulku begitu erat, mencoba menenangkan sekaligus meyakinkan bahwa dia tidak akan pergi kemanapun, dan tangan kanannya
menggenggam jemariku dengan begitu lembut dan hangat.
“Promise me.” Pintaku sambil berusaha menatap matanya.
“I`m promise. Aku janji
untuk tetap di sini, bersama kamu, tetap berada di samping kamu apapun kondisinya, selamanya. Hingga maut yang mampu memisahkan
hubungan kita. Kamu jangan takut, ya. Aku janji. Kamu pegang janji aku.” Ucapnya
yang kemudian mendaratkan kecupan hangat di puncak kepalaku.
“Jangan nangis
lagi. Aku enggak bisa melihat matamu basah begini. Kamu pasti tahu itu kan.” Lanjutnya
sambil menghapus bulir air mata yang masih menggantung di wajahku.
“Sekali lagi,
thanks for coming back. I love you..”
“I love you more
my lovely wife..” jawabnya disusul dengan kecupan hangat di keningku.
Malam ini, tidak ada kata selain beribu syukur kepada Sang Pemilik hati, Sang Pemiliki kehidupan, yang telah menggoreskan takdir untukku dan Faiz seperti ini. Walau sempat aku berduka begitu dalam, namun kini Dia mengirimku bahagia yang begitu merekah. Aku semakin yakin bahwa tidak do`a yang tak terjawab. Hanya soal waktu dan caranya yang kita tak pernah tahu kapan dan bagaimana. Karena itu adalah rahasia dari-Nya. Tugas kita hanyalah bersabar menanti. Karena apa pun yang kita langitkan dalam sujud, kelak akan kembali kepada kita.
****
E N D
Tidak ada komentar:
Posting Komentar