Jumat, 18 Februari 2022

Coming Back (part 3)

 


Sudah memasuki hari Rabu ke tiga di bulan Juli, dan ini artinya sudah tiga hari berlalu sejak pertemuanku dengan Faiz di resto Papa. Hari ini aku meminta izin ke pihak kantor karena tidak bisa masuk, karena sejak kemarin sore badanku mendadak tidak enak. Aku memilih untuk beristirahat lebih dulu dan memulihkan kondisiku. Mungkin ini ada efek dari pertemuan tempo hari.

Ya. Karena sejak hari itu sampai malam tadi aku tidak bisa tidur dengan nyenyak. Banyak hal yang aku pikirkan dan pertimbangkan sebelum aku benar-benar memberikan keputusan atas pernyataan Faiz.

“Saran Papa, Ra. Anak sebaik Faiz terlalu sayang untuk ditolak. Selama dia bekerja dengan Papa, diperhatikan dia itu anaknya baik, sholeh, kerjanya pun jujur. Ditambah Papa tahu bagaimana latarbelakang keluarganya.” Tutur Papa saat perjalanan pulang kemarin.

“Iya, Ra. Mama juga setuju banget sih kalau kamu sama Faiz. Tapi ya keputusan tetap di kamu. Kami tidak memaksakan, kami hanya memberi saran. Ya kan, Pa?” kata Mama yang disetujui oleh Papa.

Papa dan Mama memang tidak memaksa, tapi saran dan pernyataan mereka membuat aku berat untuk menolak. Menolak? Aku rasa terpikirkan untuk menolakpun tidak. Hanya saja untuk menyatakan aku menerima lamarannya masih ada ragu menyelimuti.

Aku baru saja melepas mukena usai salat zuhur saat terdengar notif pesan masuk berbunyi. Aku kembali ke atas kasur, bersandar di kepala ranjang dan kemudian membuka pesan yang baru saja masuk. Dari nomor tanpa nama.

Assalammualaikum.

Apa kabar, Ra? Lagi sibuk gak?”

Aku memilih untuk tidak membalasnya. Kepala ku masih terasa berdenyut. Aku kembali merebahkan badan di atas kasur dan menyimpan ponsel di sampingku. Khawatir ada telepon atau pesan penting yang masuk. Tidak lama kemudian pintu kamar ku terbuka. Ternyata Mama sambil membawa nampan berisi makanan dan obat untukku.

“Makan dulu lalu minum obat ya.” Kata Mama sambil meletakkan bawannya di atas meja belajarku. Aku mengangguk lemah.

“Thanks Mam.”

“Its Oke, sayang. Bagaimana kondisinya sekarang? Demamnya sudah turun?” tanya Mama sambil meletakkan telapak tangannya di keningku. “Lho, masih panas, Ra.” Lanjut Mama.

“Enggak apa-apa, Ma. Tenang aja. Besok juga membaik insya Allah.”

“Tapi kalau besok masih panas kita ke dokter, ya?”

“Iya..”

“Makan dulu. Setelah ini minum obat lalu istirahat lagi.” Kata Mama sambil mengambilkan piring yang sudah berisikan nasi, sayur bayam, dan ayam goreng.

Aku menuruti perintah Mama. Sambil ditemani Mama, aku menghabiskan setengah porsi makanan yang Mama bawa. Setelah memastikan aku sudah minum obat, Mama pamit keluar dan menyuruhku beristirhat. Baru saja mataku terpejam, ponsel ku berdering. Tanpa melihat siapa si penelpon, aku menjawab panggilan itu.

“Kamu baik-baik saja?” tanya si penelpon setelah aku memberikan salam, dan dia menjawab salamku. Faiz. Aku mengenal suara itu dengan baik.

“Baik. Ada apa?” tanyaku malas.

“Tapi suara kamu kaya lagi enggak baik. Kamu sakit?” tanyanya kembali, ada nada khawatir yang ku tangkap

“Enggak. Aku baik-baik aja.” Jawabku bohong.

“Oh. Maaf kalau aku ganggu waktu kamu. Aku cuma ingin bertanya kapan aku bisa terima jawabannya?”

“Aku usahakan secepatnya. Aku masih butuh waktu, Iz.”

“Aku ngerti. Aku tunggu kabarnya ya.”

Sambungan telepon kami pun berakhir. Aku kembali memikirkan keputusan yang akan aku ambil. Aku merasa perlu untuk melakukan istikharah lagi. Aku tidak ingin mengambil keputusan ini berlandaskan nafsuku. Aku ingin mendapatkan petunjuk dari Allah atas jawaban apa yang aku berikan nantinya.

Lima tahun berlalu bukanlah waktu yang sebentar. Benar-benar melepasnya dari hatiku butuh perjuangan yang luar biasa. Ku akui, tidak bisa mengeluarkan dia dari pikiranku. Karena bagaimanapun, kami pernah dekat. Pernah mengukir cerita yang sama di masa lalu, maka mengeluarkan ia dari pikiranku adalah hal yang sangat sulit aku lakukan.

Baru berhasil usahaku melepaskannya dari hati, tiba-tiba dia datang kembali. Dengan berjuta kejutan. Mungkinkah ini bagian dari jawaban atas do`a ku dulu? Mungkinkah ini bagian dari jawaban atas harapan-harapanku dulu? Entahlah. Memikirkan semua yang terjadi ini hanya membuat aku semakin sakit kepala. Mungkin lebih baik aku beristirhat dulu, setelah ini biar aku pikirkan kalimat apa yang tepat untuk menyampaikan jawaban untuknya nanti.

Setelah tiga hari bedrest, aku rasa ini waktu yang tepat untuk bertemu dan memberikan jawaban kepada Faiz. Karena dia pun dapat hari libur dari Papa di setiap akhir pekan. Lima menit lalu Mama sudah memberi tahu bahwa Reina sudah datang. Aku yakin, Mama atau Papa sedang asik mengajaknya mengobrol sehingga dia tidak menghampiriku ke kamar.

Aku mematut diriku kembali di depan kaca. Tunik green bottle, dipadukan dengan kulot berwarna milo, dan pashmina panjang menutupi dada berwarna senada dengan kulot yang ku kenakan. Pas! Not bad. Gumamku dalam hati sambil memperhatikan penampilanku sendiri. Tak ada riasan wajah berlebih yang terpoles. Hanya bedak tipis serta lipcream berwarna nude agar wajahku tidak terlihat begitu pucat.

“Berangkat yuk!” ajak ku kepada Reina setelah keluar kamar dan menemukan dia di ruang makan sedang berbincang dengan Mama.

“Udah siap?” tanya Reina memastikan. Aku menjawab dengan sebuah anggukan.

“Jangan terlalu lama, Ra. Kamu baru sehat. jangan terlalu capek dulu.” Pesan Mama sebelum kami berangkat. Ya! Begitulah Mama, walau usiaku sudah diatas angka duapuluh, tetap saja baginya aku adalah putri kecil yang harus selalu diwanti-wanti.

Setelah berpamitan kepada Mama dan Papa, aku ditemani Reina berangkat menuju lokasi tempat aku dan Faiz akan bertemu. Selama perjalanan aku lebih banyak diam, aku terlalu nervous bercampur takut untuk mengutarakan jawaban yang sudah ditunggu oleh Faiz sepekan ini.

“Kenapa, Ra?” tanya Reina sambil menoleh ke arahku.

“Enggak kenapa-kenapa.”

“Lu banyak diem dari tadi.”

“Gue sedikit takut untuk bahas ini ke dia, Rei.” Ucapku. Reina terlihat melirik lampu lalu lintas yang berada di depan.

“Tapi lu udah yakin dengan jawabannya kan?” Reina memastika.

“Bismillah, yakin sih.”

“Yaudah, santai aja kalau begitu, kenapa lo harus takut?” Tanya Reina yang langsung menginjak pedal gas karena lampu lalu lintas sudah berubah menjadi hijau. Aku menggedikkan bahu sebagai jawabannya.

Lima belas menit kemudian kami tiba di tujuan. Setelah Reina memarkirkan mobil, kami menuju sebuah taman. Taman depan area kampusku dulu menjadi tempat yang aku pilih untuk bertemu kembali dengannya. Tempat dimana dulu aku merasa sangat terluka atas perpisahan aku dengan Faiz. Lalu hari ini, here we are. Coming back after all these years. Banyak beberapa area yang berubah, termasuk taman ini.

“Ra, gue beli minum dulu ya ke kantin. Lo tunggu di sini enggak apa-apa, kan?” pamit Reina. Aku me-iya-kan. Faiz belum terlihat sama sekali. Aku memilih menunggu di sebuah gazebo kecil yang terdapat di pojok taman.

“Sudah lama?” tanya seorang lelaki yang tiba-tiba saja berada di hadapanku, setelah tidak lama aku duduk di gazeebo.

“Belum, baru lima menit.” Jawabku sambil beranjak dari tempatku.

“Ngobrol di sana aja, ya.” Lanjutku sambil berjalan ke area rerumputan. Persis di tempat aku dan Faiz dulu berdiri dan dia pergi meninggalkan.

Ah, mengingat kejadian itu tiba-tiba saja hatiku kembali mencelos.

Sambil berjalan aku mengetik pesan ke pada Reina agar lebih cepat datang dan berada bersamaku. Entah, terasa kurang nyaman jika hanya berdua dia saat ini, walau di sini terhitung ramai. Kami tiba di tempat yang ku maksud. Aku memilih tempat ini agar aku dengannya tidak duduk terlalu dekat jika dibandingkan kalau kami berada di gazebo itu.

“Kabarnya, kamu sedang kurang sehat kemarin?” tanya Faiz.

Aku yakin dia tahu dari Papa.

“Hanya kecapekan.” Jawabku singkat.

“Dan makan tidak teratur.” Tuduhnya. Namun tuduhan itu tepat sekali. Aku tidak mampu menampiknya.

“Biasalah.”

“Masih sama seperti dulu.” Komentarnya.

“Apanya?”

“Kebiasaannya. Terlalu asik dengan kesibukkan, lupa jaga kesehatan.”

Aku tersenyum kecut mendengar pernyataannya. Kami pun saling terdiam beberapa saat.

“Iz, sesuai tujuan awal kenapa aku meminta kamu datang ke sini.” Kata ku kemudian dengan begitu gugup. “Aku… aku ingin memberikan jawaban yang kamu minta.” Lanjutku dengan perasaan tak karuan.

“So? The answer is..?” tanyanya tidak sabar.

Aku mengatur napasku sebelum akhirnya,

“Yes.” Jawab ku singkat.

“What?? Aku gak salah dengar?” tanyanya memastikan. "Coba diulangi." Pintanya. 

"Yes."

"Aku gak salah denger kan??" Tidak dapat dipungkiri ia sangat terkejut dengan jawaban yang baru saja aku berikan.

“No.”

“This means, you're willing to be my wife, right?”

“Yap.” Jawabku disusul dengan senyuman. Ah, lega rasanya.

“Besok aku ke rumah bersama orangtuaku untuk secara resmi melamarmu.” ucapnya dengan penuh kebahagian. Dia terlihat benar-benar yakin dengan keputusannya.

“What??! Besok??!” kali ini giliran aku yang dibuatnya sangat terkejut. Dan dia hanya tersenyum sambil mengangkat kedua alisnya sebagai jawaban.

~*~*~*~*~*~

Awal November, 2021

Awal November yang indah dan tidak pernah terlupa sepanjang hidup bagiku. Setelah pertemuan itu, dia benar-benar merealisasikan ucapannya. Keesokannya dia datang untuk melamarku, dan kami langsung menentukan tanggal pernikahan kami. Dua puluh tiga Oktober menjadi tanggal pilihan kami. Hari ini, sudah dua minggu aku menyandang gelar istri sah Faiz Zabyer. Seorang lelaki yang telah memenangkan hatiku, dua kali!

Aku berpikir, setelah perpisahan itu aku tidak akan pernah bertemu lagi dengannya. Luka yang ia torehkan saat itu, berhasil aku sembuhkan dengan perjalanan hijrahku. Semua kenangan tentang dia, tentang kebersamaan kami, aku kubur dalam-dalam di album kenangan pada pojok memoriku. Aku berhasil mengenang namanya sebagai bagaian dari masa lalu.

 Namun kemudian, ia datang kembali setelah lima tahun tanpa ada pertemuan apapun, tanpa kabar sedikitpun. Ia seolah tiba-tiba saja muncul dan memberikan berjuta pertanyaan penuh misteri dalam pikiranku. Dia yang sudah mengenal Papa, berteman baik dengan Bang Arya, merupakan kejutan luar biasa yang tidak pernah terbayangkan olehku. Cerita tentang aku dengannya tiba-tiba saja berputar kembali dalam ingatan.

“Melamun lagi?” tanya Faiz setelah mendaratkan kecupan hangat di pipi kananku. Sontak membuat wajahku merona.

“Enggak.” Jawabku sambil tersenyum malu. Aku yakin Faiz bisa menangkap wajahku yang sudah memerah dari cermin yang berada di depan kami.

“Kalau enggak, mana mungkin aku panggil tigak kali kamu diam aja, sayang.” Katanya sambil memelukku dari belakang.

“Aku cuma masih enggak percaya aja, in the end harapan kita yang dulu tetap menjadi nyata. Walau caranya berbeda.” Kata ku menatap manik matanya dari cermin. Ia melepaskan pelukannya, dan kemudian berdiri di hadapanku. Jarak kami hanya sekitar lima centi.

“Aku pernah bilang, aku ingin menikahimu, tapi tidak dengan begitu caranya. Dan inilah cara yang aku mau. Membiarkan Allah yang berkehendak atas takdir kita. Aku sudah yakin, jika kamu memang yang terbaik, memang jodohku, pasti akan dipertemukan kembali. Dan nyatanya? Here you are. My wife. My lovely wife.” jawabnya sambil mengusap rambutku dengan lembut.

“Jika takdir tidak mempertemukan kita kembali? Apakah kamu akan mencoba mencari dan kemudian mencitai wanita lain?” tanyaku hati-hati. Karena setelah menikah, dia mengakui bahwa dia tidak pernah benar-benar melepasku dari hatinya. Dia selalu meminta kepada Allah agar dipertemukan kembali dengan ku dengan cara-Nya. Jika aku adalah wanita terbaik menurut pandangan Allah.

“Allah dan Rasulnya tidak suka pengandaian, sayang. Terima dan syukurilah takdir kita ini. Jangan memikirkan apa yang tidak pernah terjadi. So, kita jadi dinner di luar?” tanyanya sambil mengeratkan tangannya di pinggangku.

Oh ya. Hampir aku terlupa. Ini adalah malam kedua kami menikmati honeymoon tertunda di Kota Kraton. Karena ada beberapa pekerjaan yang harus ia bereskan lebih dulu sebelum akhirnya ia benar-benar mendapatkan izin dari Papa untuk cuti lebih lama dan mengajak ku honeymoon. Sedangkan aku, sudah resign sejak sebulan lalu. Aku memilih untuk ikut terlibat di dalam bisnis Papa, dan mungkin bisa diawali dengan sedikit membantu pekerjaan Faiz saat ini.

“Jadi dong!”

“Yasudah, ayo siap-siap.” Kata Faiz yang langsung mendaratkan kecupan kilat dikeningku. Lagi! Dia membuatku tersipu.

Aku segera mengenakan jilbab berwarna baby blue yang sudah aku siapkan di lemari kamar hotel. Aku mengenakan longdres denim dengan kombinasi katun bercorak bunga di bagian lengan . Sedangkan Faiz mengenakan kaos berkerah berwarna navy dipadukan celana jins.

Kami memilih berjalan kaki untuk menuju Secret Garden Coffee and Chocolate sebagai destinasi dinner kami malam ini. Hanya butuh waktu tujuh menit dari hotel tempat kami menginap menuju tempat makan dengan tema kebun ini. Warna putih yang mendominasi menyambut kami di pintu masuk. Faiz mengajakku ke meja di bagian outdoor, di sisi kiri kolam air mancur, di bawah atap gazibu kecil. Sepertinya meja kami sudah dipesan secara khusus oleh Faiz sebelumnya. Karena saat kami tiba, meja tersebut sudah tersedia setangkai bunga mawar putih dengan kartu ucapan bertuliskan “For My Lovely Wife”dan dua lilin yang membuat suasana semakin romantis.

“Kamu penuh kejutan ya akhir-akhir ini.” Ucapku sambil tersenyum bahagia. Aku masih menciumi mawar putih yang menyambut kami di atas meja. Sekilas aku mengedarkan pandanganku ke tempat makan ini. Romantic place, bisikku dalam hati.

“Bagaimana tempatnya? Suka?” tanya Faiz merebut perhatian ku dari tempat ini.

“Banget!”

“Alhamdulillah. Aku jadi enggak sia-sia.” Jawabnya sambil memandangku lekat.

“Aku sudah order makanannya, sebentar lagi mungkin dateng. Sabar ya.” Lanjutnya.

“Selagi menunggunya sama kamu, enggak jadi masalah buat aku.”

“Ra, boleh aku tanya sesuatu?”

Of course, you are my husband now.”

Baru saja Faiz ingin melontarkan pertanyaan, seorang pramusaji datang membawakan pesanan kami. Dikarenakan perutku yang sudah tak bisa lagi berdamai, kami memilih untuk menikmati hidangan terlebih dulu sebelum melanjutkan obrolan.

“Mau tanya apa tadi?” tanyaku sebelum memasukkan suapan terakhir.

Faiz meneguk orange juice lebih dulu sebagai penutup makannya sebelum ia menjawab pertanyaanku. Ia mengulurkan tangannya, dan menggenggam jemari tangan kanan ku dengan begitu hangat.

Do you love me?”

“Jujur, aku sempat menghilangkan perasaan itu ke kamu. Karena bagiku, kamu hanya masa lalu yang tidak mungkin untuk aku miliki. Maybe, the last two years. Before you come back. Aku lelah memikirkan kamu yang entah bagaimana kabarnya, aku lelah merindukan kamu yang belum tentu kamu pun merindukan aku. So, aku memilih untuk berhenti mencintai kamu. But now, after you've married me, I love you so much. I really love you.” Jawabku dengan menatap manik matanya.

“Maafkan aku yang sudah membuat kamu terluka dan merasa lelah dengan keadaan itu. And, Terimakasih sudah mau mencintaiku, lagi.” Kecupan hangat darinya di punggung tanganku mendarat dengan mulus.

Aku tidak bisa menggambarkan bagaimana berbunganya aku malam ini. Faiz memperlakukan aku begitu manis, membuat aku merasa menjadi seorang wanita yang terhormat dan teristimewa dalam hidupnya. Dia bahkan lebih sweet dari dia yang dulu aku kenal.

“Kamu hutang cerita sama aku.” Tagihku. Ia mencoba mengingat-ingat.

“Waktu di resto Papa. Pertemuan pertama kita setelah lima tahun.” Aku membantunya untuk mengingat akan janjinya.

“Ah, ya! Panjang banget buat diceritakan sebenarnya, tapi…”

“Garis besarnya aja, gak masalah.” Kataku memotong ucapannya.

“Oke. Intinya, Ayah menyuruhku melamar kerja di resto teman SMA nya, yang ternyata itu adalah resto Papa Arga. Aku tahu kalau beliau adalah Papamu saat aku keruangannya dan aku melihat poto kamu di sana. Saat aku tanya beliau bilang itu putrinya. Kau tanya apakah kamu sudah menikah, Papa Arga bilang belum. Di situ aku merasa seperti do`a ku selama ini mulai Allah jawab. Aku seperti menemukan jalan untuk kembali ke kamu.”

“Terus, kamu kapan cerita tentang kita ke Papa?”

“Sekitar sebulan sebelum pertemuan di resto itu.”

“Lalu dengan Bang Arya?”

“Kalau dengan Arya dulu kami rival di basket. Beberapa kali tim ku melawan tim Bang Arya. Walau rival secara tim, tapi aku dan Bamg Arya berteman baik secara personal. Lama enggak ketemu, dan ketemu lagi saat di resto Papa. Pertemanan kami pun terjalin lagi. Bang Arya sering membawa Aqilla saat bertemu denganku. So, gadis mungil itu pun kenal dan dekat sama aku.”

Aku mendengarkan penjelasannya tanpa mengalihkan sedikitpun pandanganku dari wajahnya.

“Oke, lunas janjinya.” Ucap Faiz menutup ceritanya.

“Thanks untuk penjelasannya.” Kataku disusul dengan senyuman.

“Kamu sadar gak sih? Betapa Allah Maha Baik dengan segala rencana dan cerita-Nya ini. Padahal, aku sudah berjuang dan berhasil mengikhlaskan kamu, kalau kamu sudah menikah. Tapi nyatanya, kamu tetap jadi suami aku. Lucu ya perjalanan ini?” lanjutku kemudian.

“Ya. Unik dan penuh misteri. Kita tidak pernah tahu rahasia di balik waktu yang akan kita temui. Kita tidak pernah tahu cerita apa yang sedang Allah persiapkan untuk kita. Tapi yang pasti, yang selalu aku yakini, Allah selalu menyiapkan cerita terbaik untuk kita. Hanya saja, kita mau menyadari itu atau tidak. By the way, kamu mau kopi?”

“Boleh. Kamu masih inget aja aku pecinta kopi.”

“All about you. I still remember it well.”

Faiz pun memesan Vietnam coffe untukku, dan mango juice untuknya kepada pramusaji yang ia panggil.

“Sayang, aku mau tanya sesuatu.” Ucapku sambil menatap matanya lekat. Dia memberikan tatapan penuh tanya.

“Adakah seseorang yang pernah singgah di hati kamu selama lima tahun kita enggak ketemu?” tanyaku hati-hati. Sebenarnya aku sudah tahu apa jawabannya. Hanya saja, aku ingin mendengarkannya sekali lagi demi untuk meyakinkan dan menguatkan kembali rasa saya dan cinta yang baru kembali ini.

“Aku yakin kamu tahu jawabannya. Nothing at all!”

“Dan kenapa saat itu kamu melepas aku?”

“Karena Ayah gak setuju dengan kita yang berpacaran. Ayah mendesak untuk menikahkan kamu. Tapi aku belum siap untuk itu. Ayah memberikan pilihan, tetap berpacaran tapi Ayah dan Ibu sama sekali tidak meridhoi aku, atau menikah saat itu juga. Pilihan yang sulit bagi aku. Karena aku tahu, keridhoan Allah ada pada keridhoan Ayah dan Ibu. Menikahimu secara tiba-tiba pun aku belum cukup berani. Setelah berperang dengan batin dan pikiranku sendiri, aku mengambil keputusan untuk meninggalkan kamu saat itu. Tapi aku tidak benar-benar melepaskan kamu. Karena nama kamu selalu aku sebut dalam do`a.”

Tiba-tiba saja mataku menghangat teringat kembali ke kejadian dimana aku ditinggalkan olehnya. Ada rasa sesal karena telah berburuk sangka padanya, juga rasa takut akan kehilangannya terselinap ke relung hati.

“Thanks for coming back in my life.” Ucapku diiringi satu bulir air mata yang menetes. “Terimakasih, karena kamu sudah mewujudkan apa yang menjadi mimpiku dulu, walau harus seperti ini jalannya. And please, don’t leave me any more.” Lanjutku disertai bulir-bulir lain yang saling berlomba.

“Hei, kenapa nangis?” tanyanya heran. Ia langsung menggeser kursinya untuk tepat berada di sampingku. Tangan kirinya merangkulku begitu erat, mencoba menenangkan sekaligus meyakinkan bahwa dia tidak akan pergi kemanapun, dan tangan kanannya menggenggam jemariku dengan begitu lembut dan hangat.

“Promise me.” Pintaku sambil berusaha menatap matanya.

“I`m promise. Aku janji untuk tetap di sini, bersama kamu, tetap berada di samping kamu apapun kondisinya, selamanya. Hingga maut yang mampu memisahkan hubungan kita. Kamu jangan takut, ya. Aku janji. Kamu pegang janji aku.” Ucapnya yang kemudian mendaratkan kecupan hangat di puncak kepalaku.

“Jangan nangis lagi. Aku enggak bisa melihat matamu basah begini. Kamu pasti tahu itu kan.” Lanjutnya sambil menghapus bulir air mata yang masih menggantung di wajahku.

“Sekali lagi, thanks for coming back. I love you..”

“I love you more my lovely wife..” jawabnya disusul dengan kecupan hangat di keningku.

Malam ini, tidak ada kata selain beribu syukur kepada Sang Pemilik hati, Sang Pemiliki kehidupan, yang telah menggoreskan takdir untukku dan Faiz seperti ini. Walau sempat aku berduka begitu dalam, namun kini Dia mengirimku bahagia yang begitu merekah. Aku semakin yakin bahwa tidak do`a yang tak terjawab. Hanya soal waktu dan caranya yang kita tak pernah tahu kapan dan bagaimana. Karena itu adalah rahasia dari-Nya. Tugas kita hanyalah bersabar menanti. Karena apa pun yang kita langitkan dalam sujud, kelak akan kembali kepada kita.

****

E N D

Tidak ada komentar:

Posting Komentar