September 2019
Sejak perpisahan itu, Faiz perlahan menghilang dari
hadapanku, dan bahkan dari hidupku. Kami bukan lagi berjarak seperti yang ia
katakan. Tapi kami saling menjauh, mungkin tepatnya dia yang terus melangkah
menjauh dari ku. Karena aku sudah berusaha mencoba mencari tahu tentangnya,
atau paling tidak aku mencoba mendapatkan kabar tentangnya. Aku pun ingin
sekali tahu, apakah dia merindukanku. Sama dengan rindu yang ku rasakan. Rindu
yang terus tersulam indah dalam angan dan harapan perjumpaan dengannya. Namun,
segala usaha yang aku lakukan nihil.
Aku mencoba untuk mulai melupakannya walau nyatanya tak
pernah berhasil. Selalu ada getar rindu yang menyelinap di kala aku teringat
dirinya. Karena Faiz adalah lelaki yang telah memenangkan hatiku. Lelaki yang
telah mencuri hatiku lalu sekarang ia pergi menghilang tanpa jejak. Lelaki yang
sempat ku lukiskan harapan indah dalam kanvas angan masa depan. Mungkin dia
sudah melangkah jauh, merajut masa depan yang indah bersama wanita lain.
Melupakanku yang masih berdiri di depan gerbang pengharapan, menanti
kehadirannya. Mungkin aku terlalu bodoh, terlalu menutup mata kepada lelaki
lain. Tapi sungguh, aku tak mampu untuk mencintai yang lain, selain dirinya.
Aku masih menggantungkan harapan yang sama pada bait doa yang selalu ku
panjatkan, bahwa suatu saat dia kembali. Kembali ke hadapanku, kembali ke
kehidupanku. Kembali untuk menjemputku menjadi wanita yang akan menyempurnakan
setengah agamanya.
Tak terasa hampir tiga tahun sudah sejak kepergiannya. Hampir
tidak ada lagi komunikasi diantara kami. Terakhir ia mengirmkan ku pesan
mengucapkan congratulations atas kelulusan dan acara wisudaku. Aku tahu dari
Reina yang masih rajin stalking media sosial Faiz, bahwa ia sudah lulus
lebih dulu daripada aku. Aku hanya membalas ucapan ia sekadarnya. Setelah itu,
tidak ada lagi basa basi yang terjalin.
Demi menyembuhkan luka kesedihan yang telah digorekan oleh Faiz,
aku semakin menyibukkan diri agar tak terlalu sering mengingatnya. Aku mulai mengikuti jejak Mama dan Reina untuk berhijab dan rutin menghadiri pengajian sejak setahun yang lalu. Hingga suatu ketika, ada salah satu kalimat sang ustadz pengisi ceramah yang menampar hatiku begitu telak.“Pernikahan adalah ibadah seumur hidup, yang sudah semestinya
dijemput dengan cara yang baik. Tidak ada isitilah pacaran islami, atau istilah
pacaran dalam islam. Dalam islam, segala aspek kehidupan kita sudah diatur serapih
dan seindah mungkin. Termasuk bagaimana kita menjemput jodoh kita, menjemput
mahligai pernikahan kita, wadah ibadah seumur hidup.”
Bergetar hatiku mendengar itu. Terbersit rasa syukur karena telah
meninggalkan status itu tiga tahun lalu. Walau rindu masih saja tak bisa
diredam.
Sepulangnya mengikuti pengajian itu, aku bersimpuh kepada
Allah. Menangis dalam sujud. Merasa bodohnya karena terlalu mencintai makhluk
sesama hamba Allah. Lupa bahwa ada Allah yang Maha segalanya. Maha mengatur dan
Maha menetapkan siapa jodoh terbaik untuk kita.
Aku terlalu menikmati kerinduan yang kerap kali menyapa. Tak
sekedar menyapa, bahkan menetap dalam hati hingga menguatkan rasa cinta yang harus
nya sudah ikut pergi tiga tahun lalu bersamanya. Aku merasa telah banyak
waktuku terbuang percuma karena dikuasai oleh kerinduan kepada lelaki yang
belum tentu menjadi milikku. Ah, atau memang ia tak akan pernah menjadi
milikku. Dan sejak saat itu, aku berazzam akan menjadi wanita lebih baik lagi,
untukku dan untuk calon imam masa depanku. Siapapun lelaki yang nanti datang
meminangku, aku yakini ia adalah yang terbaik menurut Allah, bukan menurut
prasangka apalagi nafsuku.
^^^
Juli
2021
Dua tahun sudah
aku memutuskan untuk benar-benar berhijrah. Hijrah dalam segi penampilan, juga
hijrah dari kondisi hati. Itu artinya sudah lima tahun berlalu sejak
perpisahanku dengan Faiz. Ah, ku sebut lagi nama itu. Bagaimana kabarnya dia
saat ini, ya? Kalau dia sudah memiliki keluarga, aku harap ia memiliki keluarga
yang selalu diliputi kebahagiaan.
Sejak aku berdamai
dengan diri, dan hatiku sendiri, memaafkan keputusan Faiz pada sore itu, aku
merasa lebih ringan untuk menjalani kehidupan ku selanjutnya. Aku teringat
nasihat Mama suatu ketika,
“Memaafkan seseroang
sejatinya bukanlah untuk orang itu, Ra. Tapi untuk kamu sendiri. Kamu akan
menjadi lebih lapang setelah kamu mampu memaafkan oang-orang yang telah mengecewakanmu.”
Nasihat Mama
itulah yang akhirnya menguatkanku untuk mampu memaafkan Faiz dan memaafkan
diriku sendiri di masa lalu. Sejak aku mampu berdamai dengan diriku sendiri,
dengan masa laluku, aku tidak lagi memikirkan Faiz. Aku sudah benar-benar rela
melepaskannya untuk bahagia dengan orang lain yang menjadi pilihannya.
Sedangkan aku, akan terus memantaskan diri sambil menunggu yang terbaik versi
Allah datang meminangku.
“Ra, Papa mau
bicara sebentar, bisa?” tanya Papa yang langsung duduk di sampingku yang sedang
asik menyicipi kue buatan Mama di ruang keluarga.
Setiap weekend
menyapa, pasti ada saja yang ingin Papa bicarakan denganku. Entah tak
disengaja, atau memang sudah dirancang oleh Papa untuk meminta waktu kepadaku
yang kebetulan sudah mulai sibuk akhir-akhir ini.
“Ada apa, Pa?
Sepertinya serius?” tanyaku sambil menatap Papa.
“Besok ada waktu?”
tanya Papa sambil mengambil sepotong kue dari atas meja.
“Rencananya sih
mau dateng ke Kajian ustad Amir, bareng Mamah juga. Iya kan, Ma?” tanyaku
kepada Mama yang sedang berjalan dari arah dapur sambil membawa secangkir kopi
untuk Papa.
“Iya.” Jawab Mama
sambil meletakkan cangkir kopi di atas meja yang berada di hadapan kami.
“Setelah kajian,
ada acara?” tanya Papa lagi.
“Enggak ada, sih
kayanya.” Jawabku setelah mencoba mengingat-ingat.
“Memang ada apa,
Pa?” kali ini Mama yang bertanya, mewakili suara ku.
“Itu loh, Ma, yang
semalam Papa ceritakan.” Jawab Papa. Mama membentuk huruf O dengan bibirnya, tanda
sudah tahu apa yang Papa maksud.
Aku menatap Papa
dan Mama bergantian dengan penasaran.
“Kenapa, Pa?”
Tanya ku ingin tahu.
“Papa ada rencana
mau mengajak kamu dan Mama ke restoran kita yang di daerah Sudirman.”
“Ada acara apa,
Pa?” tanya ku memotong penjelasan Papa.
“Tidak ada, hanya
ingin makan bersama di sana.”
“Tidak biasanya.”
ucapku curiga.
“Ya, kan sudah
lama kita enggak makan di sana. Biar sesekali kamu juga lihat bagaimana kondisi
di sana. Jangan Arya terus yang bantu Papa kontrol perkembangan di sana. Kamu
juga perlu tahu.” Jelas Papa.
Bang Arya adalah
Kakak kedua ku. Dia sudah menikah dan memiliki seorang putri yang sangat
menggemaskan. Kakak pertama ku Arsyila, dia sekarang sedang melanjutkan
studinya di Malaysia, setelah menikah dengan salah satu pengusaha sukses, yang
merupakan anak dari partner bisnis Papa.
“Ya aku kan ada
kerjaan juga, Pa.” jawabku membela diri. “Kita sama Bang Arya juga?” tanya ku kemudian.
“Iya, sama Arya,
juga Juna, adikmu. Tapi Papa mau kita bertiga pergi lebih dulu, biar Arya dan
Juna menyusul nanti.”
“Lho kenapa?”
tanyaku semakin heran.
“Biar kita pergi
dulu ke kajian Ustad Amir, pulangnya kita langsung menuju restoran, nanti Arya
dan Juna menyusul saat kita sudah sampai di sana. Karena Arya dan Juna Papa
ajak untuk ikut kajian besok enggak bisa katanya.” jelas Papa. Aku mengangguk
kecil menerima alasan yang Papa berikan.
Aku masih
penasaran dengan tujuan Papa dan Mama yang sebenarnya. Aku yakin ada suatu hal
yang sedang Papa sembunyikan, tapi aku tidak cukup berani untuk bertanya lebih
detil perihal rencana besok. Tapi apapun itu, aku berharap bukan suatu hal yang
buruk.
Keesokan
harinya
Tepat waktu zuhur
tiba, kajian bersama ustadz Amir pun selesai. Selalu merasa beruntung dan
bersyukur setiap kali bisa menghadiri kajian seperti ini. Apalagi, datang
bersama Mama dan Reina. Pagi tadi aku mendadak mengajak Reina. Tentunya atas
persetujuan Mama dan Papa lebih dulu. Bagi keluargaku, Reina seperti saudara.
Mama dan Papa pun sangat terbuka atas kehadiran Reina. Seperti bertambah satu
anak perempuan Papa, seloroh Papa suatu ketika.
Hal yang membuatku
lebih beruntung lagi hari ini adalah, materi kajian yang disampaikan ustadz
Amir tepat sekali dengan apa yang aku butuhkan. Tentang seni memaafkan orang
lain dalam islam. Ini seperti sebuah kebetulan yang sangat indah bagiku.
Bagaimana keputusanku semakin diperkuat dengan materi yang tadi telah
disampaikan. Allah, terimakasih untuk kenikmatan menuntut ilmu ini.
Lepas zuhur, aku
beserta Papa, Mama dan Reina langsung meluncur ke restoran Papa. Menjalankan
rencana seperti yang kemarin Papa bicarakan. Kurang dari dua jam perjalanan
dari masjid tempat kajian tadi menuju restoran Papa. Padahal biasanya di weekend
seperti ini, jalanan Jakarta akan sangat padat sekali.
Kedatangan kami di
restoran disambut dengan sangat baik oleh para pekerja di sini. Papa memilih privat
room yang berada di sisi kiri
restorant. Salah satu pramusaji yang berada di restoran Papa mengantarkan kami
ke meja yang sepertinya sudah dipersiapkan.
“Sesuai
permintaan, Pa. Privat room dengan sepuluh kursi.” Ucap Pramusaji saat
kami tiba di depan meja.
“Ya. Terimakasih.”
Jawab Papa disusul dengan senyumannya.
Papa memilih meja
dengan sepuluh kursi. Ini sungguh membuat ku semakin bingung dengan sikap Papa.
“Pa, kenapa
disini? Kita kan cuma bertiga.” Tanya ku heran setelah pramusaji yang mengantar
kami pergi meninggalkan ruangan setelah kami memesan makanan.
“Nantikan banyak
yang mau datang, biar tidak pisah-pisah meja nantinya.” Jawab Papa. Aku mencoba
menerima alasan Papa.
Papa dan Mama
terlihat sedang membicarakn sesuatu yang sepertinya tidak ingin aku ketahui.
Aku mencoba untuk tidak mempedulikannya. Mungkin urusan bisnis. Bisikku
dalam hati. Aku sibuk membicarakan banyak bersama Reina, dan Papa sesekali
terlihat melihat ke layar ponsel. Dari gesture Papa, aku menangkap bahwa Papa
sedang menunggu seseorang.
“Sekitar lima
menit lagi, Ma, katanya.” Ujar Papa memberitahu Mama.
“Siapa, Pa? Bang
Arya?” tanyku penasaran.
“Oh, bukan… Enggak
tahu ini Arya dimana posisinya. Papa hubungin enggak bisa.” Jawab Papa.
“Coba aku yang
hubungi.” Kataku memberikan tawaran. Papa dan Mama mengiyakan.
“Papa pamit ke
depan sebentar, sepertinya dompet Papa tertinggal di mobil.” Kata Papa
kemudian.
Beberapa kali aku
mencoba menelpon Bang Arya, tidak ada jawaban. Begitu pun dengan nomor Kak
Dita, istri Bang Arya. Berdering, tapi tidak ada jawaban.
“Bang Arya, Kak
Dita aku telepon enggak ada jawaban ini, Ma.” Kataku memberi tahu Mama.
“Coba telepon atau
kirim pesan ke Juna.” Saran Mama.
Aku pun menuruti
saran Mama. Ketika aku sedang mengetik pesan untuk Juna, Reina beberapa kali
menarik lenganku dengan pelan.
“Ra, lo liat deh!
Cepet nengok ke belakang, Ra.” Bisik Reina.
“Sebentar ah,
belum selesai ini ngetiknya.”
“Lama deh ah!
Cepet Ra.” Bisik Reina lagi.
“Iya sebentar, ada
ap…” kalimat ku tergantung saat aku menoleh ke arah yang Reina minta, dan aku
melihat Papa dengan seseorang baru saja memasuki ruangan kami.
Aku nyaris tidak
bisa mempercayai penglihatanku sendiri. Napasku tercekat. Detak jantungku
seolah berhenti beberapa saat, dan kemudian berpacu lebih cepat.
Dia.
Ada di sini?
Belum hilang rasa
terkejutku, dia sudah duduk di bangku samping Papa, tepat di hadapanku. Aku
menoleh ke arah Reina, menatapnya penuh tanya. Reina hanya menggeleng kecil.
Aku yakin dia pun sama herannya dengan ku.
“Assalammualaikum,
Ra.” Sapa dia yang berada di depan ku.
Allah,
tatapan mata itu. Senyuman itu. Semua masih terasa sama seperti dulu. Astaghfirullah! Ada apa aku ini? Aku segera menundukkan
pandanganku. Aku tidak seberani dulu yang bisa dengan leluasa membalas
tatapannya. Aku masih terlalu takut bahwa ini semua adalah nyata.
“Walaikumsalam…”
jawabku gugup.
Kali ini, aku
menoleh ke arah Mama yang berada di samping kiriku, menatapnya dengan penuh
tanya, dan Mama hanya membalas dengan senyum simpulnya.
“Ra, masih ingat
dengan dia?” tanya Papa menghentikan keheningan di antara kami.
Ingat!
Dengan sangat jelas! Dia lelaki yang pernah membuatku merasakan sakit dan terluka,
yang pernah melepasku tanpa alasan yang jelas. Lelaki yang pernah membuatku
sesak karena merindukannya. Ya! Dia Faiz. Mengapa juga Papa mengundangnya ke
sini??
Ingin ku balas
pertanyaan Papa dengan seperti itu, namun yang mampu kuucapkan hanyalah, “Ya,
masih. Pa.”
“Bagaimana dengan
Ayahmu? Beliau sudah membaik?” tanya Ayah kepada Faiz.
What??
Apa ini? Bahkan Papa mengenal Ayah Faiz?
Kepala ku mulai
berdenyut memikirkan apa yang sebenarnya terjadi, dan apa sebenarnya rencana
Papa. Aku merasa dunia mendadak lebih sempit dari normalnya. berbagai
pertanyaan berkecamuk di benakku.
“Rei, temani gue
keluar sebentar yuk!” bisikku kepada Reina, yang dijawab dengan anggukan kecil.
“Pa, Ma, aku ke
luar sebentar. Sepertinya ada sesuatu yang tertinggal di mobil. Boleh pinjam
kuncinya, Pa?” pamitku sambil berdiri dari kursi.
“Tidak lama, ya!”
pesan Papa sambil mengansurkan kunci mobil ke tanganku.
Aku memilih untuk
keluar dari privat room itu, lalu
memesan secangkir coklat panas, dan memilih meja yang sedikit lebih jauh dari
privat room.
“Bisa, sih Ra?”
tanya Reina heran.
“Bisa apa?”
“Iya itu, Papa
sama Faiz?”
“I don`t know,
Rei. Justru gue mau tanya lo, mungkin lo tau sebelumnya. Mungkin Mama atau Papa
pernah cerita soal ini?”
“Demi Allah enggak
pernah.” Jawab Reina tegas. “Gue emang pernah beberapa kali ikut Mama ke sini,
tapi gue enggak pernah melihat Faiz.” Lanjutnya.
Aku menghembuskan
napas berat. Aku tidak tahu haruskah bahagia atau tidak dengan pertemuan yang
mendadak ini. Aku merasa ini semua seperti mimpi yang tiba-tiba menjadi nyata.
Melihat Faiz dengan penampilan yang lebih rapih dan lebih maskulin sekarang
berada di hadapanku bahkan terlihat akrab dengan Papa.
“Udah jauh lebih
tenang?” tanya Reina membuyarkan lamunanku.
“Better sih
dibanding tadi. I`m really shocked, Rei.” Jawabku setelah meneguk setengah
cangkir coklat panas yang sudah berubah menjadi hangat.
“Yes! I knew it!
Yaudah, balik yuk! Enggak enak kalau mereka menunggu terlalu lama.” Saran
Reina. Dan aku menyetujuinya.
Aku meminta
pramusaji untuk memasukkan bill hot chocolate menjadi satu dengan
pesanan makanan kami sebelumnya.
“Darimana? Ko lama
sih?” tanya Mama saat aku sudah duduk kembali di samping Mama.
“Maaf Ma, Pa, tadi
melipir ke toilet sebentar.” Kataku sambil sekilas melirik Faiz.
Mata kami saling
bertemu, walau untuk beberapa detik tapi berhasil membuat jantungku berdetak lebih
cepat.
“Arya sebentar
lagi juga sampai, kita tunggu mereka dulu ya? Biar kita makan bareng-bareng.
Faiz tidak keberatan?” tanya Mama.
“Oh, enggak
apa-apa Tante. Tenang saja.” Jawabnya yang kemudian melanjutkan pembicaraan
dengan Papa.
Kamu
tidak keberata, tapi aku di sini semakin sesak melihatmu lama-lama di hadapanku
ini, Faiz! Dan kenapa juga kamu bisa seakrab ini dengan Papa?
Kesalku dalam
hati. Mama mempersilahkan kami untuk menyicipi menu appetizer sambil
menunggu Bang Arya beserta keluarga kecilnya dan juga Juna.
Tidak lama
kemudian yang ditunggu pun tiba. Aqila, si gadis kecil berusia empat tahun yang
menggemaskan langsung menghambur kedalam pelukanku.
“Miss you onty.”
Ucap Aqila saat berada dipelukanku,
“Miss you too
sayang.” Jawabku disusul dengan mencium pipinya dengan gemas.
“Hai Om Faiz. You look
so nice today.” Puji Aqilla saat melihat Faiz yang berada di hadapanku.
“Oh thank you,
Qila.” Jawab Faiz sambil tersenyum manis kea rah Qila. Ah, senyuman itu. kapan
terakhir kali aku melihatnya? Desis ku dalam hati. Astaghfirullah! Lekas ku
alihkan kembali pandanganku darinya. Bertambah satu lagi yang membuat ku heran,
bahkan Aqilla pun sudah mengenal Faiz! Oh Allah, terlalu banyak misteri-Mu yang
aku tidak tahu selama ini.
Aqila memilih
untuk duduk di antara aku dan Mama. Walhasil aku dan Reina harus pindah ke
kursi samping kami demi memberikan kursi untui Aqila. Ka Dita pun duduk di
samping Reina. Ia terlihat bahagia dan sama sekali tidak keberatan ketika
melihat Aqila yang ingin bermanja denganku dan Mama.
Aku pun bisa
bernapas lebih lega karena harus menggeser posisi duduk ku, setidaknya aku
tidak benar-benar berhadapan dengan Faiz.
“Hai calon adik
ipar, how are you, bro?” tanya Bang Arya kepada Faiz sambil menempati kursi di
samping Faiz, yang itu artinya berhadapan dengan ku. Sedangkan Juna duduk di
samping Bang Arya. Aku mentautkan kedua alisku sambil menatap Bang Arya tajam.
Apa
maksud dari ucapannya tadi?? Ini ada apa sih?? Kenapa juga Bang Arya sama
akrabnya seperti Papa dengan Faiz? Mereka kenal dari kapan sih?
Bang Arya hanya
memberikan cengiran tak berdosa melihat tatapanku. Sedangkan Faiz, terlihat
biasa saja. Tidak ada raut wajahnya yang berubah. Ia tetap penuh senyum dan
gurat kebahagiaan. Berbeda sekali dengan ku yang menjadi lebih banyak diam dan
sibuk dengan pertanyaanku sendiri. Tidak lama kemudain, main course kami
pun tiba.
“Ra, Faiz ini
sengaja Papa undang juga karena dia adalah tim accounting terbaik Papa
di resto ini.” Jelas Papa di tengah aku sedang menikmati sepotong daging yang
baru saja ku masukkan ke dalam mulut.
“Faiz sudah banyak
cerita juga tentang kalian.” Lanjut Papa yang berhasil membuat aku tersedak.
What??
Cerita tentang kita?bukankah kita hanya masa lalu?”
“Hati-hati sayang…”
kata Mama sambil memberikan air minum ke arahku.
“It`s oke, Mam. Thank
you.” kata ku sambil mengambil gelas yang diberikan Mama. “Maksud Papa?”
lanjutku sambil menatap Papa dan Faiz bergantian.
“Selesaikan dulu
makannya. Nanti kesedak lagi.” Jawab Papa disusul tawa kecilnya. Aku melihat
Faiz pun ikut tersenyum menanggapi ucapan Papa.
Aku semakin tidak
sabar untuk mengetahui semua yang terjadi selama ini. Aku segera menyelesaikan
makanku, menyusul Faiz yang sudah lebih dulu selesai.
“Pa, boleh aku
bicara dengan Faiz? Berdua, di luar?” Izinku.
“Sebentar lagi
dessertnya datang lho. Nanti saja dulu.” Cegah Mama.
“Aku perlu
sekarang, Ma.”
“Sabar dikit lah,
Dek. Segitu rindunya sampe buru-buru mau berduaan ama Faiz?” goda Bang Arya
yang langsung aku balas dengan satu injakan keras di kakinya. Ia meringis, dan
aku memberikan tatapan tajam kepadanya.
“Makanya, jangan
ngomong sembarangan, Pap!” kata kak Dita membela ku.
“Kami janji hanya
sebentar Om, Tante. Kami akan segera kembali ke sini.” Kali ini Faiz angkat
bicara. Mama dan Papa pun mengijinkan kami untuk meninggalkan ruangan.
Aku memilih meja
yang masih bisa tertangkap mata dengan privat room. Kami duduk berhadapan.
Setelah hampir lima tahun tanpa kabar, dia, kini berada di depanku lagi.
“Jelaskan
semuanya!” Pintaku tanpa basa basi.
“Kamu lebih cantik
dengan penampilanmu saat ini.” Pujinya. Hatiku kembali berdesir mendengar
pujiannya. Aku yakin, wajahku pasti sebentar lagi akan merona. Aku mengalihkan
tatapanku dari matanya.
“Aku tidak butuh
pujianmu! Aku hanya butuh penjelasan atas semua ini! Kenapa bisa mereka semua
mengenal mu? Kalian bahkan terlihat begitu akrab! Padahal nyaris lima tahun
kita enggak pernah ketemu lagi, Faiz!” suaraku hampir meninggi di kalimat
terakhir, namun aku berhasil meredamnya.
“Terlalu panjang
untuk aku bahas sekarang, kita hanya punya waktu sebentar, mereka pasti sedang
menunggu dan memperhatikan kita di sini.” Ucap Faiz sambil menoleh ke arah privat
room. Aku mengikuti pandangannya, dan aku menangkap tatapan Papa yang
sedang mengawasi kami berdua.
“Aku anggap kamu
berhutang penjelasan denganku. Yuk, kita kembali.” Kata ku yang sudah beranjak
dari kursi.
“Duduk dulu, Ra.” Pintanya.
Aku menghentikan langkahku, dan menatapnya yang berada di kananku. Ia memberi
isyarat meminta ku untuk duduk kembali.
“Ada apa?” tanya
ku kemudian sambil duduk di kursiku tadi.
“Aku harap kamu tidak keberatan dengan
pertemuan hari ini. Banyak sekali yang ingin aku bicarakan, termasuk tentang
kita.” Tuturnya.
“Tentang kita? Bukankah
kita sudah selesai lima tahun yang lalu?”
“Itu bagimu, tidak
buat ku, Ra. I`m still loving you, Ra.” Ucapnya sambil menatapku beberapa saat.
Ucapannya berhasil
membuat jantungku nyaris lompat dari tempatnya. Ini seperti mimpi di tengah
hari bolong!
“Jangan bercanda,
Faiz!” kata ku yang langsung meninggalkannya, dan kembali ke privat room.
Setelah menikmati
dessert dan berbincang-bincang beberapa saat, Bang Arya beserta keluarga
kecilnya, Juna, juga Reina pamit pulang lebih dulu. Reina memilih pulang bareng
Bang Arya karena ada sesuatu mendadak yang harus ia kerjakan katanya. Kebetulan,
arah rumah Reina dan Bang Arya satu arah. Entah mengapa Mama dan Papa memilih
untuk di sini lebih lama bersama aku dan Faiz.
“Ra, Faiz sudah
setahun bekerja di sini, dan dia juga ternyata adalah anak dari salah satu teman
SMA Papa dulu.” Kata Papa memecah sepi di antara kami.
Ah,
dunia sempit sekali!
“Saat dia tahu
bahwa kamu adalah putri Papa, dia cerita kalau ternyata kalian dulu juga
berteman. Bahkan sempat dekat.” Lanjut Papa yang terlihat sedikit hati-hati.
Aku masih terdiam,
mencoba mencerna keadaan ini, sambil menebak arah pembicaraan Papa.
“Dari mana kamu
tahu aku anaknya Papa?” tanyaku heran. Karena dulu, kedekatan kami tidak
diketahui oleh Papa dan Mama. Aku menyimpannya rapat-rapat dari mereka.
“Aku melihat poto
kamu di ruangan Om Arga, saat aku ingin menyerahkan beberapa laporan.” Jelas Faiz.
“Dan alasan kami
mengapa kalian dipertemukan di sini adalah, karena Faiz sudah menyatakan niat
baik dan keseriusannya dengan kamu.” Kali ini Mama angkat bicara.
Aku menoleh kea
rah Mama dengan tatapan tidak percaya.
“Jangan bercanda,
Ma.”
“Kami serius,
sayang…” kata Mama.
Aku menoleh ke
arah Faiz, meminta penjelasannya.
“Apa maksudnya
ini, Iz?”
“Aku tahu dari Om
Arga bahwa belum ada lelaki manapun yang datang untuk meminangmu. Aku tahu ini
mungkin terlalu mendadak dan tiba-tiba buat kamu, tapi bagiku, ini adalah jalan
yang telah Allah berikan. Aku tidak ingin main-main lagi, Ra. Aku ingin
menjalin hubungan yang lebih serius dengan kamu, makanya aku meminta izin
kepada Om Arga untuk meminang kamu.”
Seketika aku
merasa napas ku tercekat. Bibirku kelu. Jantungku berdebar lebih cepat dari
normalnya. Aku benar-benar tidak percaya dengan apa yang baru saja aku dengar
dari mulut Faiz. Aku tidak mampu berkata apapun saat ini.
“Kamu boleh
menjawabnya nanti, Ra. Kamu boleh memikirkannya lebih dulu.” Kata Papa yang
melihatku masih shock dengan pernyataan Faiz. Dan ucapan Papa pun diaminkan
oleh Faiz. Aku memilih untuk memikirkannya lebih dulu. Aku masih butuh waktu
untuk mencerna ini semua. Butuh waktu untuk meyakinkan bahwa dia sedang tidak
bercanda.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar