Selasa, 15 Februari 2022

Coming Back (part 2)



September 2019

Sejak perpisahan itu, Faiz perlahan menghilang dari hadapanku, dan bahkan dari hidupku. Kami bukan lagi berjarak seperti yang ia katakan. Tapi kami saling menjauh, mungkin tepatnya dia yang terus melangkah menjauh dari ku. Karena aku sudah berusaha mencoba mencari tahu tentangnya, atau paling tidak aku mencoba mendapatkan kabar tentangnya. Aku pun ingin sekali tahu, apakah dia merindukanku. Sama dengan rindu yang ku rasakan. Rindu yang terus tersulam indah dalam angan dan harapan perjumpaan dengannya. Namun, segala usaha yang aku lakukan nihil.

Aku mencoba untuk mulai melupakannya walau nyatanya tak pernah berhasil. Selalu ada getar rindu yang menyelinap di kala aku teringat dirinya. Karena Faiz adalah lelaki yang telah memenangkan hatiku. Lelaki yang telah mencuri hatiku lalu sekarang ia pergi menghilang tanpa jejak. Lelaki yang sempat ku lukiskan harapan indah dalam kanvas angan masa depan. Mungkin dia sudah melangkah jauh, merajut masa depan yang indah bersama wanita lain. Melupakanku yang masih berdiri di depan gerbang pengharapan, menanti kehadirannya. Mungkin aku terlalu bodoh, terlalu menutup mata kepada lelaki lain. Tapi sungguh, aku tak mampu untuk mencintai yang lain, selain dirinya. Aku masih menggantungkan harapan yang sama pada bait doa yang selalu ku panjatkan, bahwa suatu saat dia kembali. Kembali ke hadapanku, kembali ke kehidupanku. Kembali untuk menjemputku menjadi wanita yang akan menyempurnakan setengah agamanya.

Tak terasa hampir tiga tahun sudah sejak kepergiannya. Hampir tidak ada lagi komunikasi diantara kami. Terakhir ia mengirmkan ku pesan mengucapkan congratulations atas kelulusan dan acara wisudaku. Aku tahu dari Reina yang masih rajin stalking media sosial Faiz, bahwa ia sudah lulus lebih dulu daripada aku. Aku hanya membalas ucapan ia sekadarnya. Setelah itu, tidak ada lagi basa basi yang terjalin.

Demi menyembuhkan luka kesedihan yang telah digorekan oleh Faiz,

aku semakin menyibukkan diri agar tak terlalu sering mengingatnya. Aku mulai mengikuti jejak Mama dan Reina untuk berhijab dan rutin menghadiri pengajian sejak setahun yang lalu. Hingga suatu ketika, ada salah satu kalimat sang ustadz pengisi ceramah yang menampar hatiku begitu telak.

“Pernikahan adalah ibadah seumur hidup, yang sudah semestinya dijemput dengan cara yang baik. Tidak ada isitilah pacaran islami, atau istilah pacaran dalam islam. Dalam islam, segala aspek kehidupan kita sudah diatur serapih dan seindah mungkin. Termasuk bagaimana kita menjemput jodoh kita, menjemput mahligai pernikahan kita, wadah ibadah seumur hidup.”

Bergetar hatiku mendengar itu. Terbersit rasa syukur karena telah meninggalkan status itu tiga tahun lalu. Walau rindu masih saja tak bisa diredam.

Sepulangnya mengikuti pengajian itu, aku bersimpuh kepada Allah. Menangis dalam sujud. Merasa bodohnya karena terlalu mencintai makhluk sesama hamba Allah. Lupa bahwa ada Allah yang Maha segalanya. Maha mengatur dan Maha menetapkan siapa jodoh terbaik untuk kita.

Aku terlalu menikmati kerinduan yang kerap kali menyapa. Tak sekedar menyapa, bahkan menetap dalam hati hingga menguatkan rasa cinta yang harus nya sudah ikut pergi tiga tahun lalu bersamanya. Aku merasa telah banyak waktuku terbuang percuma karena dikuasai oleh kerinduan kepada lelaki yang belum tentu menjadi milikku. Ah, atau memang ia tak akan pernah menjadi milikku. Dan sejak saat itu, aku berazzam akan menjadi wanita lebih baik lagi, untukku dan untuk calon imam masa depanku. Siapapun lelaki yang nanti datang meminangku, aku yakini ia adalah yang terbaik menurut Allah, bukan menurut prasangka apalagi nafsuku.

^^^

Juli 2021

Dua tahun sudah aku memutuskan untuk benar-benar berhijrah. Hijrah dalam segi penampilan, juga hijrah dari kondisi hati. Itu artinya sudah lima tahun berlalu sejak perpisahanku dengan Faiz. Ah, ku sebut lagi nama itu. Bagaimana kabarnya dia saat ini, ya? Kalau dia sudah memiliki keluarga, aku harap ia memiliki keluarga yang selalu diliputi kebahagiaan.

Sejak aku berdamai dengan diri, dan hatiku sendiri, memaafkan keputusan Faiz pada sore itu, aku merasa lebih ringan untuk menjalani kehidupan ku selanjutnya. Aku teringat nasihat Mama suatu ketika,

“Memaafkan seseroang sejatinya bukanlah untuk orang itu, Ra. Tapi untuk kamu sendiri. Kamu akan menjadi lebih lapang setelah kamu mampu memaafkan oang-orang yang telah mengecewakanmu.”

Nasihat Mama itulah yang akhirnya menguatkanku untuk mampu memaafkan Faiz dan memaafkan diriku sendiri di masa lalu. Sejak aku mampu berdamai dengan diriku sendiri, dengan masa laluku, aku tidak lagi memikirkan Faiz. Aku sudah benar-benar rela melepaskannya untuk bahagia dengan orang lain yang menjadi pilihannya. Sedangkan aku, akan terus memantaskan diri sambil menunggu yang terbaik versi Allah datang meminangku.

“Ra, Papa mau bicara sebentar, bisa?” tanya Papa yang langsung duduk di sampingku yang sedang asik menyicipi kue buatan Mama di ruang keluarga.

Setiap weekend menyapa, pasti ada saja yang ingin Papa bicarakan denganku. Entah tak disengaja, atau memang sudah dirancang oleh Papa untuk meminta waktu kepadaku yang kebetulan sudah mulai sibuk akhir-akhir ini.

“Ada apa, Pa? Sepertinya serius?” tanyaku sambil menatap Papa.

“Besok ada waktu?” tanya Papa sambil mengambil sepotong kue dari atas meja.

“Rencananya sih mau dateng ke Kajian ustad Amir, bareng Mamah juga. Iya kan, Ma?” tanyaku kepada Mama yang sedang berjalan dari arah dapur sambil membawa secangkir kopi untuk Papa.

“Iya.” Jawab Mama sambil meletakkan cangkir kopi di atas meja yang berada di hadapan kami.

“Setelah kajian, ada acara?” tanya Papa lagi.

“Enggak ada, sih kayanya.” Jawabku setelah mencoba mengingat-ingat.

“Memang ada apa, Pa?” kali ini Mama yang bertanya, mewakili suara ku.

“Itu loh, Ma, yang semalam Papa ceritakan.” Jawab Papa. Mama membentuk huruf O dengan bibirnya, tanda sudah tahu apa yang Papa maksud.

Aku menatap Papa dan Mama bergantian dengan penasaran.

“Kenapa, Pa?” Tanya ku ingin tahu.

“Papa ada rencana mau mengajak kamu dan Mama ke restoran kita yang di daerah Sudirman.”

“Ada acara apa, Pa?” tanya ku memotong penjelasan Papa.

“Tidak ada, hanya ingin makan bersama di sana.”

“Tidak biasanya.” ucapku curiga.

“Ya, kan sudah lama kita enggak makan di sana. Biar sesekali kamu juga lihat bagaimana kondisi di sana. Jangan Arya terus yang bantu Papa kontrol perkembangan di sana. Kamu juga perlu tahu.” Jelas Papa.

Bang Arya adalah Kakak kedua ku. Dia sudah menikah dan memiliki seorang putri yang sangat menggemaskan. Kakak pertama ku Arsyila, dia sekarang sedang melanjutkan studinya di Malaysia, setelah menikah dengan salah satu pengusaha sukses, yang merupakan anak dari partner bisnis Papa.

“Ya aku kan ada kerjaan juga, Pa.” jawabku membela diri. “Kita sama Bang Arya juga?” tanya ku kemudian.

“Iya, sama Arya, juga Juna, adikmu. Tapi Papa mau kita bertiga pergi lebih dulu, biar Arya dan Juna menyusul nanti.”

“Lho kenapa?” tanyaku semakin heran.

“Biar kita pergi dulu ke kajian Ustad Amir, pulangnya kita langsung menuju restoran, nanti Arya dan Juna menyusul saat kita sudah sampai di sana. Karena Arya dan Juna Papa ajak untuk ikut kajian besok enggak bisa katanya.” jelas Papa. Aku mengangguk kecil menerima alasan yang Papa berikan.

Aku masih penasaran dengan tujuan Papa dan Mama yang sebenarnya. Aku yakin ada suatu hal yang sedang Papa sembunyikan, tapi aku tidak cukup berani untuk bertanya lebih detil perihal rencana besok. Tapi apapun itu, aku berharap bukan suatu hal yang buruk.

Keesokan harinya

Tepat waktu zuhur tiba, kajian bersama ustadz Amir pun selesai. Selalu merasa beruntung dan bersyukur setiap kali bisa menghadiri kajian seperti ini. Apalagi, datang bersama Mama dan Reina. Pagi tadi aku mendadak mengajak Reina. Tentunya atas persetujuan Mama dan Papa lebih dulu. Bagi keluargaku, Reina seperti saudara. Mama dan Papa pun sangat terbuka atas kehadiran Reina. Seperti bertambah satu anak perempuan Papa, seloroh Papa suatu ketika.

Hal yang membuatku lebih beruntung lagi hari ini adalah, materi kajian yang disampaikan ustadz Amir tepat sekali dengan apa yang aku butuhkan. Tentang seni memaafkan orang lain dalam islam. Ini seperti sebuah kebetulan yang sangat indah bagiku. Bagaimana keputusanku semakin diperkuat dengan materi yang tadi telah disampaikan. Allah, terimakasih untuk kenikmatan menuntut ilmu ini.

Lepas zuhur, aku beserta Papa, Mama dan Reina langsung meluncur ke restoran Papa. Menjalankan rencana seperti yang kemarin Papa bicarakan. Kurang dari dua jam perjalanan dari masjid tempat kajian tadi menuju restoran Papa. Padahal biasanya di weekend seperti ini, jalanan Jakarta akan sangat padat sekali.

Kedatangan kami di restoran disambut dengan sangat baik oleh para pekerja di sini. Papa memilih privat room  yang berada di sisi kiri restorant. Salah satu pramusaji yang berada di restoran Papa mengantarkan kami ke meja yang sepertinya sudah dipersiapkan.

“Sesuai permintaan, Pa. Privat room  dengan sepuluh kursi.” Ucap Pramusaji saat kami tiba di depan meja.

“Ya. Terimakasih.” Jawab Papa disusul dengan senyumannya.

Papa memilih meja dengan sepuluh kursi. Ini sungguh membuat ku semakin bingung dengan sikap Papa.

“Pa, kenapa disini? Kita kan cuma bertiga.” Tanya ku heran setelah pramusaji yang mengantar kami pergi meninggalkan ruangan setelah kami memesan makanan.

“Nantikan banyak yang mau datang, biar tidak pisah-pisah meja nantinya.” Jawab Papa. Aku mencoba menerima alasan Papa.

Papa dan Mama terlihat sedang membicarakn sesuatu yang sepertinya tidak ingin aku ketahui. Aku mencoba untuk tidak mempedulikannya. Mungkin urusan bisnis. Bisikku dalam hati. Aku sibuk membicarakan banyak bersama Reina, dan Papa sesekali terlihat melihat ke layar ponsel. Dari gesture Papa, aku menangkap bahwa Papa sedang menunggu seseorang.

“Sekitar lima menit lagi, Ma, katanya.” Ujar Papa memberitahu Mama.

“Siapa, Pa? Bang Arya?” tanyku penasaran.

“Oh, bukan… Enggak tahu ini Arya dimana posisinya. Papa hubungin enggak bisa.” Jawab Papa.

“Coba aku yang hubungi.” Kataku memberikan tawaran. Papa dan Mama mengiyakan.

“Papa pamit ke depan sebentar, sepertinya dompet Papa tertinggal di mobil.” Kata Papa kemudian.

Beberapa kali aku mencoba menelpon Bang Arya, tidak ada jawaban. Begitu pun dengan nomor Kak Dita, istri Bang Arya. Berdering, tapi tidak ada jawaban.

“Bang Arya, Kak Dita aku telepon enggak ada jawaban ini, Ma.” Kataku memberi tahu Mama.

“Coba telepon atau kirim pesan ke Juna.” Saran Mama.

Aku pun menuruti saran Mama. Ketika aku sedang mengetik pesan untuk Juna, Reina beberapa kali menarik lenganku dengan pelan.

“Ra, lo liat deh! Cepet nengok ke belakang, Ra.” Bisik Reina.

“Sebentar ah, belum selesai ini ngetiknya.”

“Lama deh ah! Cepet Ra.” Bisik Reina lagi.

“Iya sebentar, ada ap…” kalimat ku tergantung saat aku menoleh ke arah yang Reina minta, dan aku melihat Papa dengan seseorang baru saja memasuki ruangan kami.

Aku nyaris tidak bisa mempercayai penglihatanku sendiri. Napasku tercekat. Detak jantungku seolah berhenti beberapa saat, dan kemudian berpacu lebih cepat.

Dia. Ada di sini?

Belum hilang rasa terkejutku, dia sudah duduk di bangku samping Papa, tepat di hadapanku. Aku menoleh ke arah Reina, menatapnya penuh tanya. Reina hanya menggeleng kecil. Aku yakin dia pun sama herannya dengan ku.

“Assalammualaikum, Ra.” Sapa dia yang berada di depan ku.

Allah, tatapan mata itu. Senyuman itu. Semua masih terasa sama seperti dulu. Astaghfirullah! Ada apa aku ini? Aku segera menundukkan pandanganku. Aku tidak seberani dulu yang bisa dengan leluasa membalas tatapannya. Aku masih terlalu takut bahwa ini semua adalah nyata.

“Walaikumsalam…” jawabku gugup.

Kali ini, aku menoleh ke arah Mama yang berada di samping kiriku, menatapnya dengan penuh tanya, dan Mama hanya membalas dengan senyum simpulnya.

“Ra, masih ingat dengan dia?” tanya Papa menghentikan keheningan di antara kami.

Ingat! Dengan sangat jelas! Dia lelaki yang pernah membuatku merasakan sakit dan terluka, yang pernah melepasku tanpa alasan yang jelas. Lelaki yang pernah membuatku sesak karena merindukannya. Ya! Dia Faiz. Mengapa juga Papa mengundangnya ke sini??

Ingin ku balas pertanyaan Papa dengan seperti itu, namun yang mampu kuucapkan hanyalah, “Ya, masih. Pa.”

“Bagaimana dengan Ayahmu? Beliau sudah membaik?” tanya Ayah kepada Faiz.

What?? Apa ini? Bahkan Papa mengenal Ayah Faiz?

Kepala ku mulai berdenyut memikirkan apa yang sebenarnya terjadi, dan apa sebenarnya rencana Papa. Aku merasa dunia mendadak lebih sempit dari normalnya. berbagai pertanyaan berkecamuk di benakku.

“Rei, temani gue keluar sebentar yuk!” bisikku kepada Reina, yang dijawab dengan anggukan kecil.

“Pa, Ma, aku ke luar sebentar. Sepertinya ada sesuatu yang tertinggal di mobil. Boleh pinjam kuncinya, Pa?” pamitku sambil berdiri dari kursi.

“Tidak lama, ya!” pesan Papa sambil mengansurkan kunci mobil ke tanganku.

Aku memilih untuk keluar dari privat room  itu, lalu memesan secangkir coklat panas, dan memilih meja yang sedikit lebih jauh dari privat room.

“Bisa, sih Ra?” tanya Reina heran.

“Bisa apa?”

“Iya itu, Papa sama Faiz?”

“I don`t know, Rei. Justru gue mau tanya lo, mungkin lo tau sebelumnya. Mungkin Mama atau Papa pernah cerita soal ini?”

“Demi Allah enggak pernah.” Jawab Reina tegas. “Gue emang pernah beberapa kali ikut Mama ke sini, tapi gue enggak pernah melihat Faiz.” Lanjutnya.

Aku menghembuskan napas berat. Aku tidak tahu haruskah bahagia atau tidak dengan pertemuan yang mendadak ini. Aku merasa ini semua seperti mimpi yang tiba-tiba menjadi nyata. Melihat Faiz dengan penampilan yang lebih rapih dan lebih maskulin sekarang berada di hadapanku bahkan terlihat akrab dengan Papa.

“Udah jauh lebih tenang?” tanya Reina membuyarkan lamunanku.

“Better sih dibanding tadi. I`m really shocked, Rei.” Jawabku setelah meneguk setengah cangkir coklat panas yang sudah berubah menjadi hangat.

“Yes! I knew it! Yaudah, balik yuk! Enggak enak kalau mereka menunggu terlalu lama.” Saran Reina. Dan aku menyetujuinya.

Aku meminta pramusaji untuk memasukkan bill hot chocolate menjadi satu dengan pesanan makanan kami sebelumnya.

“Darimana? Ko lama sih?” tanya Mama saat aku sudah duduk kembali di samping Mama.

“Maaf Ma, Pa, tadi melipir ke toilet sebentar.” Kataku sambil sekilas melirik Faiz.

Mata kami saling bertemu, walau untuk beberapa detik tapi berhasil membuat jantungku berdetak lebih cepat.

“Arya sebentar lagi juga sampai, kita tunggu mereka dulu ya? Biar kita makan bareng-bareng. Faiz tidak keberatan?” tanya Mama.

“Oh, enggak apa-apa Tante. Tenang saja.” Jawabnya yang kemudian melanjutkan pembicaraan dengan Papa.

Kamu tidak keberata, tapi aku di sini semakin sesak melihatmu lama-lama di hadapanku ini, Faiz! Dan kenapa juga kamu bisa seakrab ini dengan Papa?

Kesalku dalam hati. Mama mempersilahkan kami untuk menyicipi menu appetizer sambil menunggu Bang Arya beserta keluarga kecilnya dan juga Juna.

Tidak lama kemudian yang ditunggu pun tiba. Aqila, si gadis kecil berusia empat tahun yang menggemaskan langsung menghambur kedalam pelukanku.

“Miss you onty.” Ucap Aqila saat berada dipelukanku,

“Miss you too sayang.” Jawabku disusul dengan mencium pipinya dengan gemas.

“Hai Om Faiz. You look so nice today.” Puji Aqilla saat melihat Faiz yang berada di hadapanku.

“Oh thank you, Qila.” Jawab Faiz sambil tersenyum manis kea rah Qila. Ah, senyuman itu. kapan terakhir kali aku melihatnya? Desis ku dalam hati. Astaghfirullah! Lekas ku alihkan kembali pandanganku darinya. Bertambah satu lagi yang membuat ku heran, bahkan Aqilla pun sudah mengenal Faiz! Oh Allah, terlalu banyak misteri-Mu yang aku tidak tahu selama ini.

Aqila memilih untuk duduk di antara aku dan Mama. Walhasil aku dan Reina harus pindah ke kursi samping kami demi memberikan kursi untui Aqila. Ka Dita pun duduk di samping Reina. Ia terlihat bahagia dan sama sekali tidak keberatan ketika melihat Aqila yang ingin bermanja denganku dan Mama.

Aku pun bisa bernapas lebih lega karena harus menggeser posisi duduk ku, setidaknya aku tidak benar-benar berhadapan dengan Faiz.

“Hai calon adik ipar, how are you, bro?” tanya Bang Arya kepada Faiz sambil menempati kursi di samping Faiz, yang itu artinya berhadapan dengan ku. Sedangkan Juna duduk di samping Bang Arya. Aku mentautkan kedua alisku sambil menatap Bang Arya tajam.

Apa maksud dari ucapannya tadi?? Ini ada apa sih?? Kenapa juga Bang Arya sama akrabnya seperti Papa dengan Faiz? Mereka kenal dari kapan sih?

Bang Arya hanya memberikan cengiran tak berdosa melihat tatapanku. Sedangkan Faiz, terlihat biasa saja. Tidak ada raut wajahnya yang berubah. Ia tetap penuh senyum dan gurat kebahagiaan. Berbeda sekali dengan ku yang menjadi lebih banyak diam dan sibuk dengan pertanyaanku sendiri. Tidak lama kemudain, main course kami pun tiba.

“Ra, Faiz ini sengaja Papa undang juga karena dia adalah tim accounting terbaik Papa di resto ini.” Jelas Papa di tengah aku sedang menikmati sepotong daging yang baru saja ku masukkan ke dalam mulut.

“Faiz sudah banyak cerita juga tentang kalian.” Lanjut Papa yang berhasil membuat aku tersedak.

What?? Cerita tentang kita?bukankah kita hanya masa lalu?”

“Hati-hati sayang…” kata Mama sambil memberikan air minum ke arahku.

“It`s oke, Mam. Thank you.” kata ku sambil mengambil gelas yang diberikan Mama. “Maksud Papa?” lanjutku sambil menatap Papa dan Faiz bergantian.

“Selesaikan dulu makannya. Nanti kesedak lagi.” Jawab Papa disusul tawa kecilnya. Aku melihat Faiz pun ikut tersenyum menanggapi ucapan Papa.

Aku semakin tidak sabar untuk mengetahui semua yang terjadi selama ini. Aku segera menyelesaikan makanku, menyusul Faiz yang sudah lebih dulu selesai.

“Pa, boleh aku bicara dengan Faiz? Berdua, di luar?” Izinku.

“Sebentar lagi dessertnya datang lho. Nanti saja dulu.” Cegah Mama.

“Aku perlu sekarang, Ma.”

“Sabar dikit lah, Dek. Segitu rindunya sampe buru-buru mau berduaan ama Faiz?” goda Bang Arya yang langsung aku balas dengan satu injakan keras di kakinya. Ia meringis, dan aku memberikan tatapan tajam kepadanya.

“Makanya, jangan ngomong sembarangan, Pap!” kata kak Dita membela ku.

“Kami janji hanya sebentar Om, Tante. Kami akan segera kembali ke sini.” Kali ini Faiz angkat bicara. Mama dan Papa pun mengijinkan kami untuk meninggalkan ruangan.

Aku memilih meja yang masih bisa tertangkap mata dengan privat room. Kami duduk berhadapan. Setelah hampir lima tahun tanpa kabar, dia, kini berada di depanku lagi.

“Jelaskan semuanya!” Pintaku tanpa basa basi.

“Kamu lebih cantik dengan penampilanmu saat ini.” Pujinya. Hatiku kembali berdesir mendengar pujiannya. Aku yakin, wajahku pasti sebentar lagi akan merona. Aku mengalihkan tatapanku dari matanya.

“Aku tidak butuh pujianmu! Aku hanya butuh penjelasan atas semua ini! Kenapa bisa mereka semua mengenal mu? Kalian bahkan terlihat begitu akrab! Padahal nyaris lima tahun kita enggak pernah ketemu lagi, Faiz!” suaraku hampir meninggi di kalimat terakhir, namun aku berhasil meredamnya.

“Terlalu panjang untuk aku bahas sekarang, kita hanya punya waktu sebentar, mereka pasti sedang menunggu dan memperhatikan kita di sini.” Ucap Faiz sambil menoleh ke arah privat room. Aku mengikuti pandangannya, dan aku menangkap tatapan Papa yang sedang mengawasi kami berdua.

“Aku anggap kamu berhutang penjelasan denganku. Yuk, kita kembali.” Kata ku yang sudah beranjak dari kursi.

“Duduk dulu, Ra.” Pintanya. Aku menghentikan langkahku, dan menatapnya yang berada di kananku. Ia memberi isyarat meminta ku untuk duduk kembali.

“Ada apa?” tanya ku kemudian sambil duduk di kursiku tadi.

 “Aku harap kamu tidak keberatan dengan pertemuan hari ini. Banyak sekali yang ingin aku bicarakan, termasuk tentang kita.” Tuturnya.

“Tentang kita? Bukankah kita sudah selesai lima tahun yang lalu?”

“Itu bagimu, tidak buat ku, Ra. I`m still loving you, Ra.” Ucapnya sambil menatapku beberapa saat.

Ucapannya berhasil membuat jantungku nyaris lompat dari tempatnya. Ini seperti mimpi di tengah hari bolong!

“Jangan bercanda, Faiz!” kata ku yang langsung meninggalkannya, dan kembali ke privat room.

Setelah menikmati dessert dan berbincang-bincang beberapa saat, Bang Arya beserta keluarga kecilnya, Juna, juga Reina pamit pulang lebih dulu. Reina memilih pulang bareng Bang Arya karena ada sesuatu mendadak yang harus ia kerjakan katanya. Kebetulan, arah rumah Reina dan Bang Arya satu arah. Entah mengapa Mama dan Papa memilih untuk di sini lebih lama bersama aku dan Faiz.

“Ra, Faiz sudah setahun bekerja di sini, dan dia juga ternyata adalah anak dari salah satu teman SMA Papa dulu.” Kata Papa memecah sepi di antara kami.

Ah, dunia sempit sekali!

“Saat dia tahu bahwa kamu adalah putri Papa, dia cerita kalau ternyata kalian dulu juga berteman. Bahkan sempat dekat.” Lanjut Papa yang terlihat sedikit hati-hati.

Aku masih terdiam, mencoba mencerna keadaan ini, sambil menebak arah pembicaraan Papa.

“Dari mana kamu tahu aku anaknya Papa?” tanyaku heran. Karena dulu, kedekatan kami tidak diketahui oleh Papa dan Mama. Aku menyimpannya rapat-rapat dari mereka.

“Aku melihat poto kamu di ruangan Om Arga, saat aku ingin menyerahkan beberapa laporan.” Jelas Faiz.

“Dan alasan kami mengapa kalian dipertemukan di sini adalah, karena Faiz sudah menyatakan niat baik dan keseriusannya dengan kamu.” Kali ini Mama angkat bicara.

Aku menoleh kea rah Mama dengan tatapan tidak percaya.

“Jangan bercanda, Ma.”

“Kami serius, sayang…” kata Mama.

Aku menoleh ke arah Faiz, meminta penjelasannya.

“Apa maksudnya ini, Iz?”

“Aku tahu dari Om Arga bahwa belum ada lelaki manapun yang datang untuk meminangmu. Aku tahu ini mungkin terlalu mendadak dan tiba-tiba buat kamu, tapi bagiku, ini adalah jalan yang telah Allah berikan. Aku tidak ingin main-main lagi, Ra. Aku ingin menjalin hubungan yang lebih serius dengan kamu, makanya aku meminta izin kepada Om Arga untuk meminang kamu.”

Seketika aku merasa napas ku tercekat. Bibirku kelu. Jantungku berdebar lebih cepat dari normalnya. Aku benar-benar tidak percaya dengan apa yang baru saja aku dengar dari mulut Faiz. Aku tidak mampu berkata apapun saat ini.

“Kamu boleh menjawabnya nanti, Ra. Kamu boleh memikirkannya lebih dulu.” Kata Papa yang melihatku masih shock dengan pernyataan Faiz. Dan ucapan Papa pun diaminkan oleh Faiz. Aku memilih untuk memikirkannya lebih dulu. Aku masih butuh waktu untuk mencerna ini semua. Butuh waktu untuk meyakinkan bahwa dia sedang tidak bercanda.


~*~*~*~ B E R S A M B U N G ~*~*~*~

Tidak ada komentar:

Posting Komentar