Senin, 14 Februari 2022

Coming Back (part 1)

 

Oktober, 2016.

Sejak hari itu, aku ingin membuktikan kepadanya, bahwa tanpanya aku akan baik-baik saja. Ya! Setidaknya aku tidak ingin terlihat lemah didepannya. Aku tidak ingin dia melihat air mata menetas dari sudut mataku. Walau hanya setetes! Tidak akan ku biarkan dia melihatnya. Aku tidak ingin dia merasa bahwa lelaki baik di bumi ini hanya dia saja. Masih banyak lelaki baik yang akan datang dan menggantikan posisi mu kelak di hatiku. Itu yang aku katakan dan aku tancapkan dalam hatiku yang basah karna menangisi perpisahan itu. Tentu saja aku katakan itu demi menguatkan hati dan diriku atas keputusannya yang begitu tiba-tiba. Walau nyatanya aku nyaris tak bisa bernapas dan berdiri saat dia katakan perpisahan itu dengan begitu tegas.

Setelah nyaris dua bulan aku tak lagi bertemu dengannya, dengan alasan ia sibuk oleh berbagai tugas kuliah dan juga persiapan turnamen di klub basket, tiba-tiba saja ia datang, menemuiku dan memberikan keputusan untuk berpisah yang tidak pernah aku kira sebelumnya.

"Perjalanan kita selama empat tahun, harus berakhir seperti ini? Semua yang aku impikan tentang kita, harus berujung seperti ini?" tanyaku dengan nada tidak percaya. Dia menghela napas berat. Lalu kemudian berkata,

"Ya! Ini yang terbaik untukku, juga untukmu. Aku gak mau mengikat mu dengan hubungan seperti ini."

"Kalau begitu, temui orangtuaku, kita menikah. Kenapa harus seperti ini caranya?" kataku memotong ucapannya saat itu.

"Pernikahan tidak semudah itu bagiku, Rania." jawabnya tenang. Setenang angin semilir yang berhembus yang mengibarkan rambutku yang terurai. 'Mungkin ia sudah benar-benar tidak mencintaiku. Maka untuk apa aku masih memintanya untuk mempertahankan hubungan ini.' bisikku sendu dalam hati saat itu. Dan segala praduga buruk tentangnya terbersit begitu saja dalam benakku.

"Aku enggak mau mengawali hubungan yang sakral dengan cara seperti ini." Lanjutnya membuyarkan dugaan-dugaanku.

“Kamu kenapa sih? Kamu berubah, kamu seperti Faiz yang tidak aku kenal. Kamu udah gak cinta lagi sama aku?” tanyaku akhirnya. Dia langsung menggeleng memberikan jawaban. “Lalu kenapa?” desakku.

“Aku mencintaimu, karena itu aku ingin kita melepas status ini. Aku ingin bahagia bersamamu, Ra. Selamanya. Tapi tidak diawali dengan hubungan seperti ini. Aku sangat mencintaimu, tapi bukan berarti aku harus mempertahankan apa yang sudah kita jalani selama ini.” Jawabnya kemudian

“Bohong!! Pasti ada perempuan lainkan? Nyaris dua bulan tanpa kabar darimu, dan sekarang kamu datang untuk meninggalkan aku??” kataku dengan nada sedikit lebih tinggi.

“Aku enggak benar-benar meninggalkan kamu. Aku hanya ingin kita berjarak, dan memperbaiki diri kita masing-masing dulu. Aku hanya ingin kita meninggalkan status pacaran kita itu aja.” Jawab Faiz yang membuat ku semakin bingung dengan jalan pikirannya.

"Kalau kata mu  kamu hanya ingin berjarak dari ku dan kita memperbaiki diri masing-masing, lalu mau sampai kapan semua ini?"

"Aku tidak tahu. Aku tidak bisa menjanjikan apapun kepadamu sata ini, termasuk soal waktu." Jawabnya membuatku semakin sesak!

“Suatu saat kamu pasti mengerti apa yang aku maksud. Aku harap kamu tidak pernah membenciku atas keputusan hari ini. Jaga dirimu baik-baik.” Lanjut Faiz.

Aku pun hanya bisa diam. Diam seribu bahasa hingga akhirnya dia pergi meninggalkanku yang masih terpaku di tempat ku berdiri tanpa berkata apapun lagi. Tanpa memelukku seperti biasanya. Bahkan, mencoba untuk menangkap tatapan mataku saja dia terlihat enggan.

Aku masih menatap punggungnya yang mulai menjauh. Berharap ia menghentikan langkahnya, lalu kembali kepadaku, dan kemudian memelukku. Walau untuk terakhir kali, dan walau hanya untuk membisikkan “selamat tinggal.” Namun ternyata, ia terus melangkah, menjauh, hingga hilang dari penglihatan. Kakiku seperti tak kuat lagi menopang badan. Aku segera terduduk di atas rumput, tempatku berdiri tadi. Aku pun kemudian mengambil ponsel, dan menghubungi sahabatku.

“Rei, dimana?” tanyaku dengan suara tangis tertahan.

“Masih di kampus, Ra. Ada apa?”

“Gue di taman depan, pulang bareng ya. Gue tunggu lo di sini.” Jawabku dan langsung memutuskan sambungan telepon dengan Reina setelah mendengar jawaban darinya.

Setengah jam kemudian, Reina datang menghampiriku. Aku pun langsung mengajaknya pulang. Bersyukur hari itu Reina membawa nissan hitam kesayangannya.

“Ada apa, Ra? Lo terlihat gak biasanya.” Tanya Reina memecah sepi saat di perjalanan pulang. Aku menjawab dengan gelengan kepala.

“Bohong. Gue kenal lo udah lama, Ra. Ceritalah kalau ada masalah. Gue siap jadi pendengar lo.”

“Gue putus sama Faiz.” Jawabku diiringi tetesan pertama air mataku, yang dua detik kemudian berubah menjadi anak sungai di wajah. Tangan kiri Reina langsung mengusap pundakku. Mencoba menenangkan.

“Yaudah, nangis dulu deh sampe lo tenang, nanti kalau udah tenang, lo cerita sama gue.” Kata Reina kemudian. Aku pun menumpahkan airmataku yang sejak tadi tertahan. Berharap sakit yang aku rasa karena perpisahan dengan Faiz sedikit berkurang. Sejam berlalu, kami pun sampai di rumahku.

“Mampir dulu ya, Rei.” Kataku memintanya untuk menemaniku. Reina me-iyakan. Bersyukur rumah kami tak terlalu jauh, jadi tak akan menjadi masalah bagi Reina untuk menemaniku hingga jam berapapun. Reina memarkir sedannya di depan rumahku.

“Assalammualaikum, Tante.” kata Reina setelah memasuki gerbang rumah dan mendapati Mama sedang duduk santai di teras.

“Walaikumsalam. Kemana aja Rei? Baru kelihatan lagi.” Kata Mama basa basi. Padahal baru seminggu yang lalu Reina menginap di rumah.

“Gak kemana-mana, tante. Baru juga seminggu gak kesini. Hehehe.” Jawab Reina yang kemudian mencium tangan Mama, diikuti olehku.

“Lho, ini kenapa mukanya Ra? Ko matanya mau saingan gitu sama bola golf?” kata Mama saat menangkap muka ku yang sembab.

“Apaan sih, Ma! Ngeledek aja deh!” Kata ku disusul dengan tawa khasnya Mama yang memang hobi guyon. Kemudian kamip pamit ke Mama untuk masuk lebih dulu.

Aku dan Reina langsung menuju kamarku. Setibanya di kamar, aku menutup dan mengunci pintu agar tak ada yang bisa masuk ke kamar tiba-tiba. Sekalipun Mama. Aku hanya butuh bersama Reina. Untuk menjadi tempatku membagi kesedihan. Berharap Reina bisa menenangkan dan sedikit mengobati luka yang begitu menyakitkan ini.

 Ya! Berpisah dengan Faiz adalah hal yang sangat menyakitkan bagiku. Seolah setiap ucapannya tadi bagai belati yang menggores relung hatiku begitu dalam. Aku mencintainya sejak kami masih duduk di bangku SMA. Melewati masa putih abu-abu dengan cerita tentang kita. Sedih, bahagia selalu saling berbagi. Dua bulan terakhir aku jarang bertemu dan berkomunikasi dengannya. Memendam rindu dalam kesetian. Berharap Faiz mengerti walau tak terungkap dariku. Bahagiaku saat ia mengajak bertemu. Namun kebahagiaan yang aku rasakan berubah menjadi torehan luka yang begitu dalam saat ia menyatakan untuk mengakhiri hubungan ini.

“Gue putus sama Faiz, Rei.” Kataku mengawali cerita.

“Serius?? Gimana ceritanya? Ko tiba-tiba banget!” kata Reina tak percaya.

Reina paling tahu kisahku dengan Faiz sejak dulu. Dia tahu bagaimana aku begitu menyayangi Faiz, begitupun sebaliknya. Maka kabar perpisahan kami sudah pasti membuat dia sangat terkejut.

“Masa iya gue bercanda sih, Rei. Gue serius.. Faiz mutusin gue tadi…” jawabku yang sudah siap menumpahkan rintikan air mata untuk kedua kalinya. Kemudian, akupun mulai menceritakan kepada Reina apa yang terjadi sore tadi di taman kampus. Aku ceritakan semua apa yang dikatakan Faiz kepada ku. Reina mendengarkan cerita ku tanpa banyak bertanya.

“Gue masih sayang Faiz, Rei. Gue gak mau dia pergi kaya gini…” kataku menutup ceritaku, dan kembali membiarkan derai air mata menutup ceritaku. Reina langsung memelukku. Mencoba memberikan ketenangan dan kekuatan walau tak seberapa.

“Udah dong, jangan nangis lagi. Sabar, kuat dong! Kan masih ada gue di sini yang bakal temenin. Elo gak akan sendirian, Ra.” Kata Reina sambil memelukku. Aku mengangguk. Reinapun melepaskan pelukannya. 

Hari ini, Reina menemaniku sampai selepas isya. Perasaan ku sudah sedikit lebih baik di bandingkan sore tadi. Walau akhirnya setelah Reina pulang, dan sepi kembali menemani, bayangan Faiz kembali menari di pelupuk mata.

Aku mengambil ponsel yang berada di atas meja belajar. Berharap ada sebaris kalimat sapaan dari Faiz yang masuk ke inbox WhatsApp. Terakhir obrolan kami yang aku baca adalah ungkapan rasa sayangnya kepadaku tiga hari yang lalu. Sayang tapi ko ninggalin begini sih..Gumamku dalam hati. Terbersit untuk menyapanya lebih dulu namun ku urungkan. Baru saja aku ingin menyimpan kembali ponsel ke atas meja belajar, tiba-tiba notif satu pesan masuk ke WA membuat ku segera membukanya. Aku kira Faiz. Ternyata Reina.

Gimana perasaannya malem ini Ra? Jauh lebih tenangkan?”

Tenang. Tapi kehilangan.. :( 

Kirim.

            Diterima.

Dibaca.

Sabar, ikhlas, dan ambil sisi positifnya ya.. mungkin ini cara Allah menyayangi lo, Ra.

Aku hanya membaca balasan Reina. Me-iya-kan perkataannya dalam hati dan pikiran.  Jika ku renungkan lebih dalam lagi, apa yang Reina katakan ada benarnya. Harusnya aku bisa lebih berpikir positif  dengan apa yang terjadi. Bahwa apa yang terjadi ini adalah bagian dari kasih sayang Allah terhadapku.  Dan juga rasa yang ada ini, sakit dan kekecewaan ku adalah bagian dari salahku, karena terlalu berharap besar kepadanya, bermimpi terlalu indah tentang masa depan bersamanya, hingga aku lupa bahwa akan ada kenyataan tak terduga dan tak sesuai harapan yang harus aku persiapkan juga.

 Aku terlalu asik merajut harapan masa depan bersamanya saat itu. Aku terlena hingga terlupa bahwa ia pun hanyalah manusia biasa, yang tidak mampu memastikan masa depan. Hingga akhirnya, saat aku dihadapkan oleh sebuah kenyataan yang tak sesuai mimpi dan harapanku, yang terjadi adalah aku merasakan goresan luka yang begitu dalam dan menyakitkan.

Baru saja aku ingin memejamkan mata, mencoba menenangkan pikiran, ponselku kembali bergetar. Ada satu pesan masuk. Aku terlonjak saat aku melihat nama si pengirim pesan.

Faiz.

Maafkan keputusan aku yang sepihak ini, Ra. Aku tahu kamu kecewa dan sangat terluka. Awalnya, berat bagiku mengambil keputusan ini, namun setelah aku pikirkan baik-baik, aku rasa ini yang terbaik. Untuk kita, untuk masa depan kita. Jaga kesehatan kamu, Ra. Aku enggak mau setelah ini kamu jatuh sakit. Akan sangat merasa berdosa aku jika tahu kamu kenapa-napa setelah ini. Sekali lagi aku minta maaf. Kita masih tetap bisa berteman setelah ini, jika kamu mengijinkan.

Mataku kembali berembun membaca pesannya. Ada sesak yang kembali memeluk.

Aku tidak tahu apa alasan kamu mengambil keputusan ini. Aku akan coba menerima keputusan kamu, dan keadaan ini. Jangan khawatir, aku akan berusaha untuk tetap baik-baik saja. Berteman? Mungkin bisa, walau tidak lagi sama seperti dulu. Maaf…

Balas ku dengan berderai air mata. Sungguh perpisahan ini adalah hal terberat yang tidak pernah aku bayangkan sebelumnya. Karena yang hadir dalam harapan dan bayanganku dulu ketika bersamanya adalah, hubungan ini akan berakhir serta belanjut dalam mahligai pernikahan. Namun ternyata tidak. Aku harus mulai melepaskannya, walau sangat berat dan menyakitkan. Karena sungguh, luka kasat mata yang paling menyakitkan bagiku adalah sebuah perpisahan.

~~*~~*~~*~~

1 komentar: