Oktober,
2016.
Sejak hari itu,
aku ingin membuktikan kepadanya, bahwa tanpanya aku akan baik-baik saja. Ya!
Setidaknya aku tidak ingin terlihat lemah didepannya. Aku tidak ingin dia
melihat air mata menetas dari sudut mataku. Walau hanya setetes! Tidak akan ku
biarkan dia melihatnya. Aku tidak ingin dia merasa bahwa lelaki baik di bumi
ini hanya dia saja. Masih banyak lelaki
baik yang akan datang dan menggantikan posisi mu kelak di hatiku. Itu yang
aku katakan dan aku tancapkan dalam hatiku yang basah karna menangisi perpisahan itu. Tentu saja aku
katakan itu demi menguatkan hati dan diriku atas keputusannya yang begitu
tiba-tiba. Walau nyatanya aku nyaris tak bisa bernapas dan berdiri saat dia
katakan perpisahan itu dengan begitu tegas.
Setelah nyaris dua bulan aku tak lagi bertemu dengannya, dengan alasan ia sibuk oleh berbagai tugas kuliah dan juga persiapan turnamen di klub basket, tiba-tiba saja ia datang, menemuiku dan memberikan keputusan untuk berpisah yang tidak pernah aku kira sebelumnya.
"Perjalanan kita selama empat tahun, harus berakhir
seperti ini? Semua yang aku impikan tentang kita, harus berujung seperti
ini?" tanyaku dengan nada tidak percaya. Dia menghela napas berat. Lalu
kemudian berkata,
"Ya! Ini yang terbaik untukku, juga untukmu. Aku gak mau
mengikat mu dengan hubungan seperti ini."
"Kalau begitu, temui orangtuaku, kita menikah. Kenapa
harus seperti ini caranya?" kataku memotong ucapannya saat itu.
"Pernikahan tidak semudah itu bagiku, Rania."
jawabnya tenang. Setenang angin semilir yang berhembus yang mengibarkan
rambutku yang terurai. 'Mungkin ia sudah benar-benar
tidak mencintaiku. Maka untuk apa aku masih memintanya untuk mempertahankan
hubungan ini.' bisikku sendu dalam hati saat itu. Dan segala praduga buruk
tentangnya terbersit begitu saja dalam benakku.
"Aku enggak mau mengawali hubungan yang sakral dengan
cara seperti ini." Lanjutnya membuyarkan dugaan-dugaanku.
“Kamu kenapa sih? Kamu berubah, kamu seperti Faiz yang tidak aku kenal. Kamu udah gak cinta lagi sama aku?” tanyaku akhirnya. Dia langsung
menggeleng memberikan jawaban. “Lalu kenapa?” desakku.
“Aku mencintaimu, karena itu aku ingin kita melepas status
ini. Aku ingin bahagia bersamamu, Ra. Selamanya. Tapi tidak diawali dengan
hubungan seperti ini. Aku sangat mencintaimu, tapi bukan berarti aku harus
mempertahankan apa yang sudah kita jalani selama ini.” Jawabnya kemudian
“Bohong!! Pasti ada perempuan lainkan? Nyaris dua bulan tanpa
kabar darimu, dan sekarang kamu datang untuk meninggalkan aku??” kataku dengan
nada sedikit lebih tinggi.
“Aku enggak benar-benar meninggalkan kamu. Aku hanya ingin
kita berjarak, dan memperbaiki diri kita masing-masing dulu. Aku hanya ingin
kita meninggalkan status pacaran kita itu aja.” Jawab Faiz yang membuat ku
semakin bingung dengan jalan pikirannya.
"Kalau kata mu kamu hanya ingin berjarak dari ku dan kita memperbaiki diri masing-masing, lalu mau sampai kapan semua ini?"
"Aku tidak tahu. Aku tidak bisa menjanjikan apapun kepadamu sata ini, termasuk soal waktu." Jawabnya membuatku semakin sesak!
“Suatu saat kamu pasti mengerti apa yang aku maksud. Aku
harap kamu tidak pernah membenciku atas keputusan hari ini. Jaga dirimu
baik-baik.” Lanjut Faiz.
Aku pun hanya bisa diam. Diam seribu bahasa hingga akhirnya dia
pergi meninggalkanku yang masih terpaku di tempat ku berdiri tanpa berkata
apapun lagi. Tanpa memelukku seperti biasanya. Bahkan, mencoba untuk menangkap
tatapan mataku saja dia terlihat enggan.
Aku masih menatap punggungnya yang mulai menjauh. Berharap ia
menghentikan langkahnya, lalu kembali kepadaku, dan kemudian memelukku. Walau
untuk terakhir kali, dan walau hanya untuk membisikkan “selamat tinggal.” Namun
ternyata, ia terus melangkah, menjauh, hingga hilang dari penglihatan. Kakiku
seperti tak kuat lagi menopang badan. Aku segera terduduk di atas rumput,
tempatku berdiri tadi. Aku pun kemudian mengambil ponsel, dan menghubungi
sahabatku.
“Rei, dimana?” tanyaku dengan suara tangis tertahan.
“Masih di kampus, Ra. Ada apa?”
“Gue di taman depan, pulang bareng ya. Gue tunggu lo di sini.”
Jawabku dan langsung memutuskan sambungan telepon dengan Reina setelah mendengar jawaban
darinya.
Setengah jam kemudian, Reina datang menghampiriku. Aku pun
langsung mengajaknya pulang. Bersyukur hari itu Reina membawa nissan hitam kesayangannya.
“Ada apa, Ra? Lo terlihat gak biasanya.” Tanya Reina memecah
sepi saat di perjalanan pulang. Aku menjawab dengan gelengan kepala.
“Bohong. Gue kenal lo udah lama, Ra. Ceritalah kalau ada masalah. Gue
siap jadi pendengar lo.”
“Gue putus sama Faiz.” Jawabku diiringi tetesan pertama air
mataku, yang dua detik kemudian berubah menjadi anak sungai di wajah. Tangan
kiri Reina langsung mengusap pundakku. Mencoba menenangkan.
“Yaudah, nangis dulu deh sampe lo tenang, nanti kalau udah
tenang, lo cerita sama gue.” Kata Reina kemudian. Aku pun menumpahkan airmataku
yang sejak tadi tertahan. Berharap sakit yang aku rasa karena perpisahan
dengan Faiz sedikit berkurang. Sejam berlalu, kami pun sampai di rumahku.
“Mampir dulu ya, Rei.” Kataku memintanya untuk menemaniku.
Reina me-iyakan. Bersyukur rumah kami tak terlalu jauh, jadi tak akan menjadi
masalah bagi Reina untuk menemaniku hingga jam berapapun. Reina memarkir
sedannya di depan rumahku.
“Assalammualaikum, Tante.” kata Reina setelah memasuki
gerbang rumah dan mendapati Mama sedang duduk santai di teras.
“Walaikumsalam. Kemana aja Rei? Baru kelihatan lagi.” Kata
Mama basa basi. Padahal baru seminggu yang lalu Reina menginap di rumah.
“Gak kemana-mana, tante. Baru juga seminggu gak kesini.
Hehehe.” Jawab Reina yang kemudian mencium tangan Mama, diikuti olehku.
“Lho, ini kenapa mukanya Ra? Ko matanya mau saingan gitu sama
bola golf?” kata Mama saat menangkap muka ku yang sembab.
“Apaan sih, Ma! Ngeledek aja deh!” Kata ku disusul dengan tawa
khasnya Mama yang memang hobi guyon. Kemudian kamip pamit ke Mama untuk masuk
lebih dulu.
Aku dan Reina langsung menuju kamarku. Setibanya di kamar, aku menutup dan mengunci pintu agar tak ada yang bisa masuk ke kamar
tiba-tiba. Sekalipun Mama. Aku hanya butuh bersama Reina. Untuk menjadi
tempatku membagi kesedihan. Berharap Reina bisa menenangkan dan sedikit
mengobati luka yang begitu menyakitkan ini.
Ya! Berpisah dengan
Faiz adalah hal yang sangat menyakitkan bagiku. Seolah setiap ucapannya tadi bagai
belati yang menggores relung hatiku begitu dalam. Aku mencintainya sejak kami
masih duduk di bangku SMA. Melewati masa putih abu-abu dengan cerita tentang
kita. Sedih, bahagia selalu saling berbagi. Dua bulan terakhir aku jarang bertemu
dan berkomunikasi dengannya. Memendam rindu dalam kesetian. Berharap Faiz
mengerti walau tak terungkap dariku. Bahagiaku saat ia mengajak bertemu. Namun
kebahagiaan yang aku rasakan berubah menjadi torehan luka yang begitu dalam saat
ia menyatakan untuk mengakhiri hubungan ini.
“Gue putus sama Faiz, Rei.” Kataku mengawali cerita.
“Serius?? Gimana ceritanya? Ko tiba-tiba banget!” kata Reina
tak percaya.
Reina paling tahu kisahku dengan Faiz sejak dulu. Dia tahu
bagaimana aku begitu menyayangi Faiz, begitupun sebaliknya. Maka kabar
perpisahan kami sudah pasti membuat dia sangat terkejut.
“Masa iya gue bercanda sih, Rei. Gue serius.. Faiz mutusin
gue tadi…” jawabku yang sudah siap menumpahkan rintikan air mata untuk kedua
kalinya. Kemudian, akupun mulai menceritakan kepada Reina apa yang terjadi sore
tadi di taman kampus. Aku ceritakan semua apa yang dikatakan Faiz kepada ku.
Reina mendengarkan cerita ku tanpa banyak bertanya.
“Gue masih sayang Faiz, Rei. Gue gak mau dia pergi kaya
gini…” kataku menutup ceritaku, dan kembali membiarkan derai air mata menutup
ceritaku. Reina langsung memelukku. Mencoba memberikan ketenangan dan kekuatan walau tak seberapa.
“Udah dong, jangan nangis lagi. Sabar, kuat dong! Kan masih ada gue di sini yang bakal temenin. Elo gak akan sendirian, Ra.” Kata Reina sambil memelukku. Aku mengangguk. Reinapun melepaskan pelukannya.
Hari ini, Reina
menemaniku sampai selepas isya. Perasaan ku sudah sedikit lebih baik di
bandingkan sore tadi. Walau akhirnya setelah Reina pulang, dan sepi kembali
menemani, bayangan Faiz kembali menari di pelupuk mata.
Aku mengambil ponsel yang berada di atas meja belajar. Berharap
ada sebaris kalimat sapaan dari Faiz yang masuk ke inbox WhatsApp. Terakhir
obrolan kami yang aku baca adalah ungkapan rasa sayangnya kepadaku tiga hari
yang lalu. Sayang tapi ko ninggalin
begini sih..Gumamku dalam hati. Terbersit untuk menyapanya lebih dulu namun
ku urungkan. Baru saja aku ingin menyimpan kembali ponsel ke atas meja belajar,
tiba-tiba notif satu pesan masuk ke WA membuat ku segera membukanya. Aku kira
Faiz. Ternyata Reina.
Gimana perasaannya
malem ini Ra? Jauh lebih tenangkan?”
Tenang. Tapi kehilangan.. :(
Kirim.
Diterima.
Dibaca.
Sabar, ikhlas, dan
ambil sisi positifnya ya.. mungkin ini cara Allah menyayangi lo, Ra.
Aku hanya membaca balasan Reina. Me-iya-kan perkataannya
dalam hati dan pikiran. Jika ku
renungkan lebih dalam lagi, apa yang Reina katakan ada benarnya. Harusnya aku
bisa lebih berpikir positif dengan apa
yang terjadi. Bahwa apa yang terjadi ini adalah bagian dari kasih sayang Allah
terhadapku. Dan juga rasa yang ada ini, sakit
dan kekecewaan ku adalah bagian dari salahku, karena terlalu berharap besar
kepadanya, bermimpi terlalu indah tentang masa depan bersamanya, hingga aku
lupa bahwa akan ada kenyataan tak terduga dan tak sesuai harapan yang harus aku
persiapkan juga.
Aku terlalu asik merajut
harapan masa depan bersamanya saat itu. Aku terlena hingga terlupa bahwa ia pun
hanyalah manusia biasa, yang tidak mampu memastikan masa depan. Hingga
akhirnya, saat aku dihadapkan oleh sebuah kenyataan yang tak sesuai mimpi dan
harapanku, yang terjadi adalah aku merasakan goresan luka yang begitu dalam dan
menyakitkan.
Baru saja aku ingin memejamkan mata, mencoba menenangkan
pikiran, ponselku kembali bergetar. Ada satu pesan masuk. Aku terlonjak saat
aku melihat nama si pengirim pesan.
Faiz.
Maafkan keputusan aku yang sepihak ini, Ra. Aku tahu kamu
kecewa dan sangat terluka. Awalnya, berat bagiku mengambil keputusan ini, namun
setelah aku pikirkan baik-baik, aku rasa ini yang terbaik. Untuk kita, untuk
masa depan kita. Jaga kesehatan kamu, Ra. Aku enggak mau setelah ini kamu jatuh
sakit. Akan sangat merasa berdosa aku jika tahu kamu kenapa-napa setelah ini.
Sekali lagi aku minta maaf. Kita masih tetap bisa berteman setelah ini, jika
kamu mengijinkan.
Mataku kembali berembun membaca pesannya. Ada sesak yang
kembali memeluk.
Aku tidak tahu apa alasan kamu mengambil keputusan ini. Aku
akan coba menerima keputusan kamu, dan keadaan ini. Jangan khawatir, aku akan
berusaha untuk tetap baik-baik saja. Berteman? Mungkin bisa, walau tidak lagi
sama seperti dulu. Maaf…
Balas ku dengan berderai air mata. Sungguh perpisahan ini
adalah hal terberat yang tidak pernah aku bayangkan sebelumnya. Karena yang
hadir dalam harapan dan bayanganku dulu ketika bersamanya adalah, hubungan ini
akan berakhir serta belanjut dalam mahligai pernikahan. Namun ternyata tidak.
Aku harus mulai melepaskannya, walau sangat berat dan menyakitkan. Karena sungguh,
luka kasat mata yang paling menyakitkan bagiku adalah sebuah perpisahan.
mantap, ditunggu lanjutan nya sukses bu
BalasHapus