((10/30)) Ditinggalkan oleh seseorang yang paling penting dalam hidup ini adalah hal yang paling menyesakkan. Ditambah ada amanah besar yang harus dijalankan. Sedangkan ilmunya belum banyak diwariskan.
Bingung! Ingin menyerah! Ingin pergi meninggalkan, namun rasnaya sulit. ‘Ah, Abi, aku harus bagaimana?’ pertanyaan itu sering kali terlontar dalam diamku.
Tujuh tahun lalu, Abi kembali ke kampung abadi dengan begitu tenang, dan terlihat bahagia. Terpancar dari wajahnya yang bersih, bercahaya, dan juga tersenyum setelah ruhnya terlepas dari jasad. Ia meninggalkan sebuah pesantren sebagai ladang dakwahnya. Pesantren yang mengutamakan menampung anak-anak yatim dhuafa.
“Pesantren untuk anak-anak yang mampu sudah banyak, tapi pesantren untuk menerima mereka yang kekurangan, memberikan mereka pendidikan yang layak, masih sangat sedikit! Dengan adanya pesantren ini kita bisa membantu para anak yatim, piatu, atau yatim piatu dan dhuafa untuk tetap bisa sekolah dan mendapatkan pendidikan yang layak.” Begitu kata Abi dulu, saat aku tanya kenapa memilih untuk membuka pesantren yatim dan dhuafa seperti ini.
Kepergiannya
memaksaku untuk tetap di sini, melanjutkan perjuangan dakwah ini. Melanjutkan
perjuangan yang telah dirintis oleh Abi dengan tetes keringat dan darah. Namun
rasanya, semakin hari semakin berat. Sosok dan nama Abi yang sudah tersohor
mempengaruhi bagaimana tempat ini dipandang oleh orang banyak. Maka semenjak
tidak adanya beliau di tempat ini, pasang mata yang memandang pun beralih
pergi dan menjauh. Hal ini semakin membuatku merasa bahwa perjuangan ini
sungguh tidak mudah. Penyesalan kenapa semasa ada beliau, aku tidak belajar
banyak bagaimana mengelola lembaga ini sering kali muncul ke relung hati.
Tujuh tahun tanpa
beliau dan harus berjuang untuk kembali membesarkan nama pesantren ini,
berjuang agar lembaga ini tetap hidup, berjalan, dan semoga kelak kembali besar
bukanlah perkara mudah. Sederet doa untuk keberkahan pesantren ini selalu aku
langitkan. Aku yakin Allah Maha Mendengar segala permohonan. Allah mendengar segala
keluh kesahku. Aku pun yakin Allah maha melihat seberapa banyak tangis dan tawa
yang aku lalui untuk tetap bertahan di tempat ini. Aku percaya janji Allah Maha
benar. Ayat ke tiga dalam surat At-Talaq ; “dan Dia memberinya rezeki
dari arah yang tidak disangka-sangkanya. Dan barang siapa yang bertawakal
kepada Allah, niscaya Allah akan mencukupkan (keperluan) nya. Sesungguhnya
Allah melaksanakan urusan-Nya. Sungguh Allah telah mengadakan ketentuan bagi
setiap sesuatu.” Selalu menjadi obat di saat aku mulai merasa ingin putus
asa dan menyerah terhadap keadaan di pesantren ini. Walau tak jarang aku merasa
sedih karena ada barisan do`a ku yang belum terjawab oleh-Nya. Tapi aku yakin,
bahwa Allah Maha Baik, bahwa Allah akan mengabulkan segala permintaan setiap
hamba-Nya, dan bahwa kekuatan doa itu pasti ada.
“Sabar… Bukan Allah yang tak
menjawab do'a kita selama ini, bisa jadi usahanya, ikhtiarnya yang masih kurang
maksimal. Sabar ya... Yuk berjuang lagi!” Kalimat itu yang seringkali kugaungkan dalam pikiran dan hati untuk kembali menguatkanku melangkah dan berjuang
kembali di tempat ini.
Ya! Aku yakin tidak ada doa
yang tidak terjawab. Bukankah Allah pun telah berjanji dalam Al-Quran "Berdoalah kepada-Ku, niscaya akan Kuperkenankan bagimu.
(QS: Al-Mukmin:60)”
Aku yakin, setiap do`a yang dibisikkan kepada-Nya oleh ku
dan mereka yang sama-sama sedang berjuang di sini demi kemajuan pesantren ini, kelak akan Allah jawab di
waktu yang tepat, dengan cara yang terbaik versi-Nya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar