Denial
Sudah ribuan kilometer ku melangkah, menjauh dari tanah kelahiran. Meninggalkan dua orang teristimewa nan berharga dalam hidupku. Dengan dalih, aku ingin berjuang menggapai impian demi membuat mereka tersenyum bangga. Serta terangkat martabatnya. Aku tahu pergi menjauh dari rumah yang begitu hangat adalah langkah yang paling berat ku ayunkan. Tapi mereka mendorongku untuk tetap pergi, dengan alasan, agar aku mendapatkan segala hal terbaik di tanah rantau. Demi melihat senyum bangga terukir di wajah mereka, ku sapa tanah rantau dengan suka cita. Ku katakana pada mereka aku telah sampai dengan selamat dan bahagia.
Mungkin
Tuhan mendengar inginku. Sebuah keinginan untuk menjauh dari apa yang sedang begitu
dicintai. Meski ragu, hati dan pikiran begitu menolak inginnya, pada
kenyatannya aku memang harus menerima keadaan dimana inginku
diwujudkan oleh-Nya perlahan. Segala rasa yang telah terucap begitu indahnya
kemarin, hilang tak meninggalkan jejak.
Mungkin Tuhan mendengar inginku, agar aku tersadarkan pada kenyataan bahwa sejatuh apapun perasaanku saat ini,
pada akhirnya aku harus mulai bangkit dan belajar melepaskan.
Sebab itu, mulai hari ini aku mencoba untuk tidak banyak mencarimu. Tidak terlalu lama menunggumu. Tidak sering hadir memanggilmu.
Apa yang kau cari? Apa yang kau tuju?
Tanya itu berulang menyapa gendang telingaku. Menggelitik pikiran serta hatiku. Berharap aku segera tersadar, bahwa langkah yang aku jejaki adalah keliru. Aku sedang berjalan menjauh dari menggapai impian tertinggi. Padahal, di setiap waktu saat aku bercengkrama dengan sang Pencipta, impian itu menjadi nomor satu yang terucap dengan lirih. Namun, ternyata langkah yang diayun justru membuatku semakin jauh dari gerbang tercapainya impian.
Aku sama tersiksanya. Atau bahkan lebih tersiksa darimu. Karena aku, harus menjalankan sebuah pernikahan yang tak ada cinta di dalamnya. Jangan tanya kenapa, karena kamu pasti tau, bahwa cintaku telah habis di kamu. Keadaan ini bukan kita yang mau, kan?
Sudah puluhan tahun dirimu berjalan mengarungi kehidupan yang fana ini. Langkahmu semakin dekat dengan gerbang akhir perjalanan hidup.
Lalu, bekal apa yang telah kau persiapkan sampai hari ini?
Mengenang tanggal lahir bukanlah tentang pesta meriah berlimpah hadiah. Namun hakikat pertemuan dengan tanggal lahirmu adalah perenungan, sebanyak apa bekal yang telah kau persiapkan untuk pulang? Sebesar apa dirimu bermanfaat untuk orang banyak?
Bukankah sebaik-baiknya manusia adalah yang bermanfaat untuk manusia lainnya?
Hai, diriku.
Jangan berhenti berterimakasih pada Tuhan, ya. Karena DIA masih memberimu kesempatan untuk memperbaiki diri, berproses menjadi lebih baik lagi, belajar untuk terus menebar kebaikan sepanjang hari, dan mengasah ilmu ikhlas juga sabar yang harus terus terisi.
Saat ini kamu paham, kan? Seberapa pentingnya kamu dalam hidupku?
Aku tak pernah mengatakan bahwa kamu sempurna. Karena dirimu hanyalah manusia biasa sepertiku. Namun adanya ikatan antara kita, menyempurnakan setiap kurangnya diri. Aku menutupi setiap kurangmu, begitupun sebaliknya. Aku tak pernah bercerita pada siapapun bahwa kehidupan kita hanya terisi bahagia yang penuh cinta. Namun kupastikan, setiap mata yang menatap kita, tak akan mampu menangkap sisi kesedihan penuh duka dan air mata. Tak akan pernah ku ijinkan mereka menangkap sisi kecewaku padamu, atau amarahku yang tersulut olehmu. Hingga mereka berkata, bahwa kita adalah dua insan yang senantiasa ceria.
Jika kamu bertanya, aku kenapa, maka dengan tenang aku akan menjawab, aku baik-baik saja. Jika kamu bertanya, kenapa aku banyak diam, maka dengan santai akan kujawab, aku sedang memikirkan di mulai dari mana langkahku diayun untuk menjauh darimu.
membawaku pada kekecewaan bertubi
Dan merayakan ego yang silih berganti
Pastikan jiwamu punya mental yang cukup untuk terus menghiasi
Lelah terikat akan bayangan semu yang tak ada akhir
Kepahitan ini mulai merajai kedengkian yang berakar
Angkara mengambil kendali tubuhku
Merajut amarah dalam setiap ragaku
Aku tidak sedikitpun membencimu
Aku tidak mengutuk semua kalimat indah yang pernah kau ucap padaku
Mari kita menjadi sepasang asing
Setelah rasa dan sakit yang selalu bersanding
Hilangkan pedih yang berkeping – keping
Rasanya, ingin ku gantungkan tentang mimpi – mimpi yang mulai membentang
Pada setiap keinginan yang kian menghilang