Coming Back (part 3)
Sudah memasuki
hari Rabu ke tiga di bulan Juli, dan ini artinya sudah tiga hari berlalu sejak
pertemuanku dengan Faiz di resto Papa. Hari ini aku meminta izin ke pihak
kantor karena tidak bisa masuk, karena sejak kemarin sore badanku mendadak
tidak enak. Aku memilih untuk beristirahat lebih dulu dan memulihkan kondisiku.
Mungkin ini ada efek dari pertemuan tempo hari.
Ya. Karena sejak
hari itu sampai malam tadi aku tidak bisa tidur dengan nyenyak. Banyak hal yang
aku pikirkan dan pertimbangkan sebelum aku benar-benar memberikan keputusan
atas pernyataan Faiz.
“Saran Papa, Ra.
Anak sebaik Faiz terlalu sayang untuk ditolak. Selama dia bekerja dengan Papa,
diperhatikan dia itu anaknya baik, sholeh, kerjanya pun jujur. Ditambah Papa
tahu bagaimana latarbelakang keluarganya.” Tutur Papa saat perjalanan pulang
kemarin.
“Iya, Ra. Mama
juga setuju banget sih kalau kamu sama Faiz. Tapi ya keputusan tetap di kamu.
Kami tidak memaksakan, kami hanya memberi saran. Ya kan, Pa?” kata Mama yang
disetujui oleh Papa.
Papa dan Mama
memang tidak memaksa, tapi saran dan pernyataan mereka membuat aku berat untuk
menolak. Menolak? Aku rasa terpikirkan untuk menolakpun tidak. Hanya
saja untuk menyatakan aku menerima lamarannya masih ada ragu menyelimuti.
Aku baru saja
melepas mukena usai salat zuhur saat terdengar notif pesan masuk berbunyi. Aku
kembali ke atas kasur, bersandar di kepala ranjang dan kemudian membuka pesan
yang baru saja masuk. Dari nomor tanpa nama.
Assalammualaikum.
Apa kabar, Ra? Lagi sibuk gak?”