Jumat, 05 Maret 2021

Hai Ayah, Aku Rindu

Hai Ayah, pada malam ku bisikkan rindu. Rindu yang tak pernah kunjung temu. Aku rindu, Ayah. Rindu akan hadirmu di sini. Dengan segala tawa candamu. Cerita dukamu. Keluh perjuanganmu. Peluk hangatmu. Aku rindu, Ayah.

 

Hai Ayah, pada mimpi ku ucap terimakasih. Karena temu itu akhirnya nyata. Nyata yang sesaat. Nyata pada dunia mimpi. Membuat ku tersenyum saat membuka mata. Dan menangis saat ku beranjak. Karena temu pada dunia nyata, tak akan kunjung tiba.

 

Hai Ayah,

dalam sujud, ku titip salam rindu untukmu melalui-Nya. Melalui baita-bait do'a yang ku langitkan, ku selipkan permohanan untuk bertemu dengan mu lagi, kelak di tanah abadi penuh keindahan, yang tak ada lagi perpisahan setelah itu. Ayah, aku Rindu.

Hai Ayah, kau tahu?

Saat diri ini begitu lelah menghadapi kehidupan, saat hati ini begitu goyah untuk bertahan pada keadaan, hanya bayangmu, namamu, yang bersanding dengan wajah Ibu yang membuat ku kembali kuat berdiri. Membuat ku mampu menghalau segala lelah ini.

Pelukan ibu sungguh menjadi tidak sempurna saat pelukanmu tak lagi ada, Ayah.

Hai Ayah, aku butuh suaramu. Aku butuh rangkulanmu. Aku butuh genggaman jemari mu. Untuk sekedar mengatakan "kamu bukan anakku yang lemah! Kamu kuat. Kamu bisa menghadapi semuanya. Anak ayah, bukan anak yang mudah menyerah!"

Ah Ayah, aku rindu.

Hai Ayah, datanglah lagi. Ke bunga tidurku. Sebentar saja, peluk aku. Walau ku tau itu tak nyata, namun saat temu yang semu itu terjadi, aku sungguh merasa kau benar-benar memelukku. Sebentar saja, Ayah. Aku rindu, melihat senyummu, merasakan pelukanmu. Beri sedikit kekuatan untukku menghadapi hari esok, Ayah.

Hai Ayah, Aku Rindu.

-------

Rania menutup buku catatan hariannya, tempat menumpahkan segala keluh kesah dan juga kerinduan kepada sang ayah yang sudah hampir empat tahun pergi meninggalkannya. Esok akan menjadi hari paling berharga baginya, sidang skripsi sebagai salah satu syarat mendapatkan gelar sarjana akan ia hadapi esok. Padahal, melihat aku lulus dan mendapatkan gelar sarjana adalah salah satu impian Ayah. Ah, Ayah, andai Ayah masih di sini, orang pertama yang akan memberikan aku semangat pastilah engkau. Bisik hati Rania. Matanya kembali berkaca. Tiap kali kerinduan itu menggebu dalam hatinya hanya doa, dan mengandai yang bisa ia lakukan. Walau ia tahu, semua itu tidak akan mengembalikan sang Ayah, cinta pertamanya.

***

Rania menghela napas lega. Karena akhirnya, perjuangan untuk mendapatkan gelar sarjana selesai sudah. Saat dewan penguji dan dosen pembimbing menyatakan kelulusan baginya, ia benar-benar merasa tenang dan bahagia.

"Hai, gimana hasilnya?" Tanya Ardi, calon tunangan Rania ketika Rania tiba di salah satu pendopo belakang fakultas tempat Ardi menunggunya.

"Aku luluuuus ..." Jawab Rania dengan ekspresi wajah bahagianya.

"Revisi gimana? Banyak?"

"Alhamdulillah, enggak begitu banyak."

"Terus sekarang mau kemana nih kita? Mau jalan makan-makan dulu untuk merayakan kelulusan kamu, atau mau langsung pulang?" Tanya Ardi sambil menatap Rania penuh dengan semburat kebahagiaan.

"Langsung pulang aja deh. Aku gak sabar mau kasih tau ibu." Jawab Rania setelah berpikir beberapa saat.

"Oke, kalo gtu. Yuk langsung aja biar cepet sampe rumah." Ajak Ardi yang langsung berdiri dari tempatnya. Rania pun mengikuti langkah Ardi.

“Ran, sesuai rencana yang aku bicarakan tempo hari, minggu depan aku beserta Ayah Ibu akan datang ke rumahmu. Aku mau kita seriuskan hubungan ini.” Kata Ardi yang berada di balik kemudi. Sesekali ia melirik Rania yang berada di kursi sampingnya. Corolla Altis yang membawa mereka berhenti saat lampu rambu lalu lintas berubah merah. Ardi kembali menoleh ke arah Rania.

“Bagaimana? Kamu siap kan?” Tanya Ardi.

“Kalau kamu sudah yakin, insya Allah aku pun yakin.” Jawab Rania dengan tersipu malu. Ardi tersenyum mendengar jawaban Rania.

Tidak lama kemudian, lampu rambu lalu lintas pun berubah hijau. Ardi kembali melajukan mobilnya, dan fokus pada jalanan. Satu jam berlalu, mereka pun akhirnya tiba di depan rumah Rania.

“Mampir dulu?” Tanya Rania sebelum turun meninggalkan Ardi.

“Enggak, aku titip salam aja untuk Ibu. Sekali lagi, selamat untuk kelulusan kamu, aku turut bahagia.”

“Kamu mau ke kantor?” Tanya Rania lagi.

“Iya sepertinya. Aku harus ambil beberapa berkas dulu.”

“Ya sudah, kalau gitu hati-hati ya. Terimakasih untuk hari ini.” Ucap Rania yang kemudian turun dari mobil dan meninggalkan Ardi. Sedangkan Ardi masih terus memandang Rania, hingga gadis berkerudung hitam itu menghilang di balik pagar.

“Assalammualaikum, Ibu.” Sapa Rania saat memasuki rumah. Ia melihat sang Ibu sedang duduk santai di ruang keluarga dengan buku bacaanya.

“Walaikumsalam, Nak. Bagaimana tadi sidangnya? Lulus?” Tanya Ibu sambil meletakkan buku yang sedang dibacanya ke atas meja.

“Rania lulus, Bu. Alhamdulillah. Nilainya belum keluar, tapi tadi sudah diumumkan kalau Rania lulus.” Jawab Rania dengan penuh kebahagiaan.

“Alhamdulillah. Berapapun hasilnya nanti harus disyukuri. Karena itulah hasil perjuangan kamu. Selamat ya sayang, semoga berkah ilmunya.” Ucap ibu sambil mengusap kepala Rania.

Rania pun kemudian menyandarkan kepalanya ke pundak sang ibu, dan memeluk tangan ibu.

“Rania bahagia dan merasa beruntung banget karena bisa membawa berita kelulusan ini ke Ibu.” Ucap Rania sambil memandang potret sang Ayah yang terpajang di ruang itu.

“Andai Ayah masih ada. Pasti Ayah sebahagia Ibu sekarang.” Lanjutnya dengan mata yang berkaca. Ibu tidak menjawab. Hanya senyuman getir dan mata berkaca dari Ibu yang menjawab ucapan Rania.

“Kamu rindu Ayah?” Tanya Ibu yang ikut menatap potret Ayah. Rania tidak mampu menjawab. Suaranya mendadak tercekat di tenggorokan. Tapi rintik air matanya mampu menjawab pertanyaan ibu.

“Jangan menangis sayang, Ayahmu paling tidak suka melihat kamu menangis.” Kata Ibu sambil menghapus air mata Rania. Namun Rania langsung memeluk Ibu begitu erat. Menumpahkan kesedihan juga kerinduannya kepada sang ayah dalam pelukan Ibu.

“Rani kangen banget sama Ayah, Bu. Kangen banget.” Kata Rani disela tangisnya.

Ibu yang dapat merasakan bagaimana perasaan putri bungsunya pun akhirnya ikut menitikkan air mata. Ibu pun sangat merindukan ayahmu, Ran. Bisik hati ibu.

“Tenang ya sayang, kamu masih punya Ibu di sini. Jangan menangis sayang.” Kata Ibu sambil menatap Rania dan menghapus sisa air matanya. Rania mengangguk lemah menjawab ucapan Ibu.

“Bu, mas Ardi tadi titip salam untuk Ibu. Ada pesan dari dia, kalau minggu depan dia dan orangtuanya akan datang ke sini, untuk melamar Rani.” Ucap Rania setelah sudah jauh lebih tenang.

“Alhamdulillah ya Allah. Kebahagiaan kamu sempurna sekali hari ini, Nak.” Jawab Ibu yang menatap Rania penuh kebahagiaan.

Setelah itu, Rania pun pamit untuk ke kamarnya. Mengistirahatkan badannya yang mulai terasa sangat lelah. Sementara Rania istirahat sejenak dan mengganti pakaian, Ibu bersiap untuk membuat masakan kesukaan Rania sebagai tanda syukur atas kelulusan Rania hari ini.

Setelah bebersih dan mengganti pakaian, Rania terduduk di pinggir tempat tidur. Menatap potret sang ayah yang sedang tersenyum. Potret dalam bingkai coklat yang sengaja ia simpan di di atas nakas samping tempat tidurnya. Rania pun mengambil potret itu. demi menatapnya lebih dekat. Rania menatap potret itu dengan mata berkaca dan bibir tersenyum.

Hai Ayah, Aku rindu.

Aku yakin Ayah tahu itu. Hari ini aku sudah lulus Ayah. Aku sudah menyelesaikan pendidikan sarjanaku. Ini impian ayah, bukan? Ingin aku menjadi seorang sarjana. Aku sudah menggapainya, Ayah.

Hari ini aku bahagia, Ayah. Kelulusan sudah ku raih. Lalu minggu depan, Mas Ardi akan datang melamarku. Memintaku menjadi istrinya. Anak gadis mu sebentar lagi akan menjadi istri orang, Ayah. Harapku dulu, Ayah yang menjadi wali nikahku. Tapi harapan ku hanya sebatas harapan. Karena Ayah harus pulang lebih dulu ke sisi Allah. Dan harus ku akui bahwa kebahagiaanku hari ini, tidak sempurna, Ayah. Karena tidak ada dirimu di sini.

Ayah, jika kau disini, apa yang akan kau katakan kepadaku?

Ah, aku yakin, engkau akan memelukku, mencium keningku, dan berkata “Ayah bangga padamu. Inilah anak Ayah, yang tidak pernah menyerah berjuang.” Aku juga yakin, ayah akan memberi wasiat panjang lebar kepada mas Ardi, yang intinya “Jangan sakiti anakku, atau kamu akan berhadapoan denganku!” Ah, Ayah. Aku rindu menjadi putri kecilmu yang selalu kau lindungi.

Ayah, kau tahu? Setiap waktu yang bergulir, jantung yang berdetak, adalah nadi kerinduan yang tertuju untukmu. Maafkan aku yang telah berubah menjadi anak gadis kesayanganmu yang mudah menangis.

Aku tahu, Ayah tidak suka melihatku menangis seperti ini. Sekali lagi, maafkan aku, Ayah. Karena hanya ini satu-satuya cara untukku mengurangi beban kerinduan kepada mu.

Ayah, Aku kangen banget. Semoga kelak Allah mengizinkan kita bertemu lagi. Aku akan bersabar sampai waktu itu tiba. Ayah juga sering bilang bahwa Allah bersama orang-orang yang sabar. Dan akan ada kabar gembira bagi orang-orang yang sabar. Semoga kelak, salah satu kabar gembira yang aku dapatkan adalah bisa bertemu dan berkumpul lagi dengan Ayah di syurganya Allah. Amiiiin.

Begitu erat Rania memeluk potret yang berada dalam genggamannya. Membayangkan bahwa sang Ayah pun ikut memeluk dirinya. Tangisnya kembali pecah sejak tadi. Sejak ia dengan lirih mengungkapkan isi hatinya di depan potret sang ayah.

Hai Ayah, aku rindu…

 

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar