Sabtu, 01 Februari 2025

Masih Kamu Pemenangnya

2/01/2025 02:14:00 PM 1 Comments


Pertemuan kita terlalu cepat dan singkat. Namun entah kenapa, rasa yang tercipta dan tertinggal begitu melekat dengan sangat hebat. 
Aku mengira setelah kata sepakat untuk kita mengakhiri apa yang kita rasa, berhenti mengharapkan segala yang tak mungkin untuk menjadi mungkin, semua akan kembali seperti semula. Seperti saat aku belum mengenalmu. 
Aku berpikir, bahwa rasa yang telah kita cipta pun akan ikut berakhir. Namun nyatanya tidak!
Setelah kita sepakat untuk saling melepaskan, berdamai dengan keadaan, ku biarkan kau berkelana mencari siapa yang mampu membuatmu bahagia dengan begitu paripurna. Ku persilahkan kau singgah dan menetap di hati siapa saja yang kau ingikan. Asal kau bahagia, begitu pikirku.
Lalu aku? 
Aku tetap berjalan, berusaha menjauh darimu, menjauh dari bayang-bayang tentangmu. Aku pun berkelana, mencari bahagia yang ku inginkan. Mencari kata bahagia dengan level yang setara saat aku bersamamu. Aku mencari penggantimu, mungkin dari wajah yang serupa, atau suara yang sama, atau bahkan mungkin dari kebiasaaan, hobi, dan segala kesukaanmu yang persis seperti mu. Tapi aku tidak pernah menemukannya. Dan tentu tidak akan pernah menemukannya!
 Ya. Bodohnya aku, karena aku mencarimu di orang lain.
Dari sekian banyak yang datang bertamu, tak juga ku temukan seseorang sepertimu. Mereka yang datang dan singgah sementara waktu hanya ingin memberi tahuku, bahwa tak ada seorangpun yang memiliki ketulusan rasa seperti yang kau bawa. Atau mungkin mereka membawa ketulusan rasa itu, namun hatiku sudah terkunci rapat hanya karena satu nama yaitu, kamu!
Hingga akhirnya aku tersadar, aku tak pernah benar-benar bisa menjauh darimu. Aku tak pernah benar-benar bisa melepaskanmu. Aku bahkan tak pernah ingin kita menjadi seperti semula, saat kita belum mengenal atau hanya baru sekadar bertegur sapa. Aku tersadar bahwa sampai kapanpun aku tak ingin menjadi orang lain lagi di matamu. Dan aku pun tak mengingkan kamu terlihat layaknya orang yang tak pernah ku kenal sama sekali dalam hidupku. Aku ingin kita tetap saling menjaga, mesti tak harus saling memiliki. Kita tetap saling mendekap, meski hanya dengan lewat barisan doa.
Karena ternyata, dari segala apa yang ku rasakan, dari siapapun yang datang dan mencoba merebut hatiku, dari sekian banyak yang ku perjuangkan dan ku harapkan, ternyata masih kamu lah pemenangnya. Ternyata masih kamu yang menduduki tahta tertinggi rasa sayangku. Masih kamu yang menjadi pemenang dalam hal mencuri rasa dan hatiku. Ya. Masih kamu pemenangnya.

Minggu, 26 Januari 2025

Seiring Waktu Berjalan

1/26/2025 11:49:00 PM 0 Comments



Seiring waktu yang berjalan, aku bertanya dalam diam, apa yang sebenarnya ia rasa untukku? Sekedar kagumkah? Atau memang percikan cinta itu ada di hatinya? Apakah dia merasakan hal yang sama dengan apa yang aku rasakan untuknya?

Rasa ini, berbalas atau hanya bertepuk sebelah tangan?

Entah… .

Hanya dia dan Tuhan yang tau, kan?

Sedangkan yang aku tau, seiring waktu berjalan, rasa yang ku punya semakin melekat erat!

Aku tau ini salah. Dan ini adalah kebodohan paling nyata yang ku pilih dalam perjalanan hidup ini. Tapi apalah daya, untuk benar-benar melepasnya aku tak kuasa!

Segila ini rasa yang ku punya untuknya!

Sebodoh ini aku membiarkan segala perasaan untuknya berkecamuk dalam dada!

Lelah! Tapi ku menyukainya…

Sakit!! Tapi aku menikmatinya..

Seiring berjalannya waktu, doa yang ku rapalkan berubah susunan kalimat permohonannya. Tak ada lagi paksaan. Yang ada adalah aku pasrah pada kehendak-Nya. Akan dibawa sampai ke titik mana segala rasa yang ku simpan ini.

Berujung bahagiakah? Atau akan berakhir mencipta luka yang lebih dalam sayatannya

Namun yang pasti, namanya tidak akan pernah terlewat kusebut dalam doa..

Seiring waktu yang berjalan, aku biarkan semesta yang menjawabnya. Menyatukan atau memisahkan. Menjadikan saling atau membiarkan kembali asing

Seiring waktu berjalan, semua akan menemukan titik akhirnya. Entah bahagia, atau justru berakhir nestapa. 


 

Rabu, 22 Januari 2025

Sabar yang Bagaimana Lagi

1/22/2025 10:26:00 AM 0 Comments

Sebenarnya, sabar versi apa yang harus aku punya untuk sebuah kata tunggu yang selalu kau pinta?

Sabar tingkat apa yang harus ku jejaki untuk sebuah kata “sebentar lagi” yang selalu kau bisikkan padaku?

Setiap kali aku meminta sedikit waktu untuk kita, kamu hanya menjawab dengan kalimat,”sabar,ya. Tunggu sebentar lagi.”

Lantas, sabar dan tunggu sebentar lagi yang bagaimana lagi yang harus ku miliki? Ketika di hari yang mestinya kamu libur dan ada untukku, kamu pun memilih menyibukkan diri. 

Apa yang sebenarnya sedang kamu perjuangkan? Hingga meminta sedikit waktumu saja rasanya sulit.

Sabar yang seperti apa lagi yang harus ku bangun setiap harinya. Di saat kamu bersikap tak peduli ketika aku hanya meminta sebagian kecil dari waktu yang kau habiskan untuk pekerjaaanmu, dunia sosialmu, ataupun juga hobimu. Saat kamu bersikap seolah meniadakan keberadaanku, aku diam. Mencoba untuk tidak memaksa apalagi merengek manja agar kamu menuruti mauku.

Bantu terangkan padaku, sabar yang bagaimana lagi yang harus ku pelihara untuk membuat hubungan ini tetap terasa baik-baik saja. Sedangkan sikapmu membuatku bertanya ragu, masih adakah cinta itu? Cinta yang dulu pernah kita agungkan bersama. Cinta yang mebuat kita merasa betapa dunia ku hanya kamu, pun sebaliknya, bahwa duniamu adalah aku. 

Kau tau? Aku hanya sedang rindu.

Rindu bersama denganmu. Rindu menghabiskan waktu berdua denganmu. Rindu segala tawa yang pernah kita cipta tanpa terhitung banyaknya.

Sekarang, mengapa harus selalu kalimat “Sabar, yaa..."

Sabar yang seperti apa lagi, Tuan?

Sedangkan di sini, tanpa kau tau, aku bersama setianya kata sabar selalu menunggumu. Meski aku harus belajar berkawan dengan air mata di tengah sepinya malam, hanya untuk membunuh rasa rinduku yang tak kunjung berhenti memanggil namamu.

Dalam tujuh hari, begitu sulitkah kamu menyisakan waktu meski hanya setengah jam lamanya?

Harus sampai kapan aku berjuang untuk memahamimu, sambil terus dipeluk oleh kata sabar?

Sabar yang bagaimana lagi yang harus ku pelihara, Tuan? Agar hatiku tak lagi berat menerima kamu yang lebih mencintai kesibukkanmu daripada mencintaiku.

Sabar yang bagaimana lagi yang harus ku genggam sebagai penguat untukku tetap berpijak pada hubungan ini. Tolong, beritahu ku, Sabar yang bagaimana lagi yang harus ku peluk sampai aku menemui kamu yang dulu begitu bahagia saat bersamaku. 

 

Selasa, 21 Januari 2025

Dua Mata Air

1/21/2025 12:56:00 PM 0 Comments

Aku, sebuah gelas kristal, berdiri di antara dua sumber yang bermuara pada rindu. Yang satu, airnya bening bagai sepi menyusup sunyi, murni tanpa dusta, dingin namun meneduhkan. Yang lain, derasnya gemuruh, menyala bagai api yang menari di dalam cairan membakar namun memeluk. Kedua mata air itu melintas jauh, namun menemukan muaranya padaku.


Air pertama mengisi setengah ruangku dengan kepastian. Rasanya seperti embun yang jatuh pada dedaunan pagi tak pernah bertanya, hanya hadir dan menggenapi. Tapi air kedua, oh, ia adalah badai yang menjelma tetes. Rasanya asing, namun dalam ketidaktahuannya, aku menjadi candu.


Kini tubuhku penuh, dua rasa saling bertaut, bertabrak, tetapi tak menyatu. Aku gelas yang rapuh, terancam retak oleh berat paradoks ini. Kadang aku merasa ada retakan halus di pinggirku, sebuah peringatan bahwa cinta yang membelah tidak pernah berakhir tanpa luka.


Tetapi, apakah salah mencintai dua rasa yang tak sama? Yang satu memberiku kedamaian, yang lain memberiku hidup. Aku tidak memilih untuk menjadi gelas di antara mereka; aku hanya menjadi wadah bagi keberadaan mereka.


Mungkin suatu hari salah satu akan mengering, dan aku, gelas ini, akan lebih ringan. Atau mungkin aku akan pecah, dan dua air itu akan kembali ke asalnya, membawa sebagian kecil diriku dalam setiap alirannya.


Namun, sebelum saat itu tiba, aku hanya ingin meneguk keberadaan ini. Aku ingin menjadi saksi bahwa tidak semua yang berbeda harus saling menghapus. Kadang, mereka hanya butuh ruang untuk mengisi, meski hanya untuk sesaat.

~~Created By: Opet~~

Rabu, 15 Januari 2025

Jejak yang Tertinggal

1/15/2025 09:37:00 PM 0 Comments

 


~~Created By: Opet~~

Ada luka kecil yang kusembunyikan di lipatan waktu, bukan untuk kulupakan, tetapi untuk kucintai diam diam. Ia bukan bara yang ingin kupadamkan, melainkan api kecil yang menyalakan diriku, mengingatkanku pada perjalanan yang tak selalu lurus, tapi penuh makna.


Kesalahan ini, ia bukan duri yang ingin kucabut. Ia adalah akar yang mencengkeram tanah hatiku, membuatku tetap berdiri meski badai memaksa tumbang. Dalam salahnya, aku belajar mencintai ketidaksempurnaan, seperti malam mencintai gelapnya, tanpa ingin mengubahnya menjadi terang.


Aku tahu, ia melukai. Aku tahu, ia menyakitkan. Tapi bagaimana mungkin aku membencinya, ketika dari setiap goresannya aku menemukan diriku? Ia adalah cermin yang memantulkan sisi rapuhku, mengajarkanku untuk tidak melawan, tetapi merangkul.


Kesalahan yang kucintai ini adalah puisi tak berjudul, sajak tanpa rima. Dunia mungkin menyebutnya cacat, tapi bagiku, ia adalah seni. Di dalamnya ada keberanian, ada kejujuran, ada aku yang sepenuhnya hidup.


Bukan untuk diperbaiki ia hadir, tetapi untuk diterima. Kesalahan ini, dengan segala kelirunya, adalah rumah tempat aku kembali. Di dalamnya, aku belajar bahwa mencintai bukan soal mencari yang sempurna, melainkan menerima yang pecah dengan hati yang utuh.


Jadi biarlah ia tetap ada, mengalir di darahku, berdetak di nadiku. Kesalahan yang kucintai, bukan karena aku tak bisa melepasnya, tetapi karena tanpanya, aku tak akan pernah tahu arti menjadi manusia.


Kamis, 09 Januari 2025

Lelucon Kehidupan

1/09/2025 12:11:00 AM 0 Comments


Kenapa kehidupan ini bercandanya sering banget keterlaluan? Misalnya, mengirimkan sepaket rindu padahal belum pernah ada temu. Menghadirkan rasa kasih sayang penuh cinta, padahal cerita tentang kebersamaannya baru ada di awal kisah. Atau, melahirkan rasa takut kehilangan, padahal memilikinya aja, belum.

Kenapa lelucon kehidupan ini sering kali menghadirkan tawa dibalik tangis menahan perih yang begitu menggigit? Dan kenapa kamu harus hadir menjadi bagian dari candanya kehidupan yang bagiku sama sekali tidak lucu!

Kali ini, bolehkah aku mencaci sang waktu? Yang telah membawa mu masuk terlalu dalam dan jauh di hidupku. Yang tanpa lelah membuatku untuk terus mengenal dan belajar perihal dirimu.

Kali ini, bolehkah ku teriakan amarah pada sang waktu? yang telah begitu kejam menghadirkan mu dalam detak nadi kehidupanku. Entah untuk sebuah kabar bahagia, ataukah justru menjadi duka yang begitu nestapa nantinya.

Mungkin bagimu, aku adalah seseorang yang begitu berarti dan selalu kau inginkan ada dalam setiap cerita kehidupanmu saat ini, bahkan hingga kelak di masa depanmu. Sepenting itu aku bagimu. Begitu menurut pengakuanmu, bukan?

Ketika saat itu kau bertanya, sepenting apa kamu dalam hidupku, maka jawabannya adalah cukup kau lihat sebahagia apa aku saat bersamamu. Bagaimana aku bisa menjadi diriku sendiri di kala aku berada di dekatmu. Bagaimana aku membiarkanmu melihat aku dari berbagai sisi yang tak semua orang memiliki keberuntungan sepertimu. Bahkan di saat banyak orang memandangku sebagai manusia yang memiliki sedikit cacat keburukan, justru kamu yang paling tahu sekacau apa aku sebenarnya.

Meski kau menjadi salah satu orang yang beruntung untuk bisa melihatku dari berbagai sisi yang kau mau, menyedihkannya, kau hanyalah bagian dari impian yang tak akan pernah bisa ku wujudkan menjadi nyata. Namamu hanya akan berhenti pada catatan impian seorang aku yang tak mampu ku gapai. Kamu adalah tawa yang ku dambakan di antara kesedihanku. Kau adalah kisah yang ingin aku tulis ulang dengan akhir bahagia.

Namun, hidup tak selalu memberi pilihan. Kau adalah candaan waktu yang paling aku percayai. Aku tahu, sebagaimana semua candaan, ini hanya selingan sebelum segalanya menjadi nyata—nyata bahwa kita tak pernah benar-benar saling memiliki.

Meski kamu dekat, tapi kamu tak akan pernah bisa untuk ku dekap. Meski kita memiliki satu rasa yang sama, tapi kita tidak akan pernah bertemu pada satu kata hidup bersama. Dan Meski begitu tinggi harapan untuk bisa saling memiliki, pada nyatanya cerita kita hanya akan selalu tersimpan dalam hati.

Kelak, jika perpisahan menjadi pengiring kisah ini, aku harap kita bisa melewatinya tanpa ada sesal. Jika tawa adalah ujung dari tangis, maka biarlah kisah kita berakhir dengan senyum—meski tak lagi bersama. Karena bagiku, candaan kehidupan ini mungkin saja penuh luka, tapi hadirmu adalah satu lelucon yang selalu mencipta bahagia.

Maka, belajarlah menertawakan sebuah kata perpisahan. Ketika kamu atau aku harus bertemu dengan keadaan itu, kita bisa bersahabat dengan tawa, bukan dengan air mata.

Karena memang, candaan kehidupan ini sering kali di luar dugaan bukan?

 ~~~~~

sound

 

Jumat, 27 Desember 2024

Rumah Ilusi

12/27/2024 10:07:00 AM 0 Comments


Aku berjalan pada kesepian dan berjuta harapan. Melangkah sambil terus merapal tanya, kapan aku tiba pada titik kenyataan yang ku damba? Beberapa kali, aku berhenti pada persimpangan, antara memilih pulang, atau terus melanjutkan perjalanan. Sekali waktu, aku kembali ke rumah. Berharap apa yang menjadi mimpi ku bisa ku dapatkan. Namun, mimpi itu menjelma menjadi nyata, sesaat, lalu kembali menguap.
Raga ku menetap pada rumah yang menjaga, memastikan aku aman dan nyaman. Namun jiwaku, berkelana mencari kebahagiaan yang ku impikan.
Lelah. Kecewa. Sakit. Ku hadapi sendiri. Hingga suatu ketika, aku berhenti pada rumah yang terbuka menyambut kehadiranku. Jiwaku merasa nyaman di sana. Ada kehangatan yang membuatku betah untuk berlama-lama. Namun sayangnya, di saat aku nyaman dan jatuh cinta pada rumah yang ku singgahi, aku di paksa pulang oleh si tuan rumah. Aku di minta untuk kembali pada ragaku yang menunggu pada rumah utama. Dengan sangat berat hati, kaki ku melangkah menjauh dari rumah itu. Mencoba kembali pulang pada ragaku yang masih setia dengan perannya. 
Sesaat. Ya! Hanya sesaat. Jiwaku kembali berkelana. Kembali ku jejaki langkah menuju rumah yang membuatku mampu mencipta bahagia. Sedihnya, rumah itu telah menutup pintunya. Ia tak membiarkan ku masuk seperti sebelumnya. Aku berdiri di pekarangan. Berharap pintu itu kembali terbuka dan menyambutku sehangat dulu. Namun, tidak!
Langkahku terus terayun. Mencari kebahagiaan yang sama seperti yang ku dapatkan pada rumah itu. Ku singgahi beberapa rumah yang menyapaku begitu hangat, berharap menemukan yang sama seperti sebelumnya. Tapi sayangnya,  tak ada satu pun yang mampu mencipta nyaman, hangat, dan juga bahagia seperti rumah impian yang pertama ku datangi.
Rumah itu seperti memiliki magnet yang bisa kapanpun menarik kembali langkahku untuk mengunjunginya. Meski ku tau, tak ada lagi pintu terbuka untukku. Namun aku bahagia. Meskipun hanya bisa berdiri di hadapannya dan menatapnya masih berdiri kokoh.
Aku tau, kebahagiaan yang ku dapatkan darinya hanyalah sebuah kebahagiaan ilusi yang hidup pada dunia imaji yang ku cipta. Ilusi yang ku impikan menjadi nyata suatu hari nanti. Ilusi yang ku harapkan mampu mengubah takdir, agar rumah itu menjadi tempatku berteduh mencipta bahagia yang paripurna untuk jiwa dan ragaku. 
Kini, jiwa ku terkunci pada rumah ilusi. Langkah ku terpaku di sana, sedangkan ragaku ada pada rumah yang menjaga, dan merasa memilikiku seutuhnya.

Kamis, 26 Desember 2024

Warna Di Musimku

12/26/2024 07:55:00 PM 0 Comments

Created by: Irull

~~~~

Hai Nona

Yang sudah membuat ku jatuh hati

Membuatku banyak berpikir dan belajar mengerti

Membiarkan hatiku merapalkan doa dan  ingin

Perihal hari ini, esok dan jutaan hari nanti

Hai, Nona

Terimakasih sudah menggegam jariku

Membuatku percaya bahwa kau akan menjaga cinta yang ku berikan dengan baik

Terimakasih sudah menjadi warna untuk semua musim di hidup ku

Terimakasih sudah memilih ku di antara banyak kemungkinan yang bisa kau dapatkan

Nona,

Barangkali langkah kita tidak akan mudah,

Barangkali yang hari ini kita percayai ialah apa-apa yang menjelma ragu di kemudian hari

Barang kali 'selamanya' hanyalah kata yang terangkum dalam kamus bahasa

yang nyatanya tak pernah ada.

Namun nona, apapun yang terjadi, tetaplah tinggal di sisi

Mempertahankan rasa sampai kita melupa untuk pergi

Mempertahan kata kita hingga tak ada lagi waktu untuk tinggal di dunia

Berhenti Menujumu

12/26/2024 07:49:00 PM 0 Comments

Ketika kamu melihat ku terdiam, tak lagi mengejar dan menunggu mu, itu bukan berarti aku berhenti mengirimkan doa terbaik untukmu, bukan pula berhenti melukiskan ingin agar Tuhan selalu mengirimkan kebahagian berlimpah untukmu. Aku hanya berhenti berjalan menujumu lagi. Karena pada akhirnya aku sadar, bahwa secepat apapun aku mendekat padamu, kamu akan lebih cepat menghindariku. Seingin apapun aku menjadikan kamu tujuan, pada nyatanya tetaplah bukan aku yang kamu inginkan menjadi rumah ternyaman. 

Aku berhenti?

Ya. Aku berhenti melukis impian tentang masa depan bersamamu. Aku berhenti melangitkan harap akan datang sang waktu yang menyatukan kita. Aku berhenti memaksa takdir untuk menjadikanmu milikku. Aku berhenti mencari tau siapa sumber bahagiamu kali ini. Pergi dan berjalanlah tanpa rasa ragu dan takut untuk menjemput bahagia yang kamu inginkan. Karena aku sudah berhenti mengejarmu. Aku sudah berhenti menghalangi langkahmu.

Tapi maaf, aku tak bisa berhenti mengingatmu. Aku tak bisa berhenti mengantarkan langkahmu dengan tatap mataku. Aku tak bisa berhenti untuk menyayangimu. Aku tak bisa berhenti untuk melepaskan satu janjiku, yaitu: menyebut namamu dalam kemesraanku bersama Tuhan.

Kamu terlalu istimewa dalam buku ceritaku. Ceritamu terlalu sulit untuk ku hapuskan begitu saja. Maka, biarlah seperti ini keadaan berjalan. Aku berteduh di bawah payung rindu, kau menikmati hangat kebahagiaan di rumah impian dan ternyamanmu. 

Sekali lagi, maaf jika namamu abadi dalam ceritaku, dalam bisik rayuku kepada Tuhan, dan dalam album kenangan tentang kita. Aku rasa, kamu akan menjadi bagian dari cinta terakhir dalam cerita panjang kehidupan yang harus ku lalui. Karena hadirmu, telah mencipta rasa yang begitu indah. 


Senin, 23 Desember 2024

Habis Sudah Tentangmu

12/23/2024 03:19:00 PM 0 Comments


Jika katamu aku adalah wanita yang kuat diantara wanita-wanita lain yang pernah kau sakiti, maka kali ini dengan tegas aku katakan, tidak!! Aku tidak sekuat yang kau kira!

Pergimu kemarin, sikap dan segala ucapanmu kala itu, bukanlah hal yang paling menyakitkan bagiku. Karena entah mengapa, aku memiliki keyakinan bahwa kau akan datang kembali. Entah karena apa dan bagaimana caranya, aku yakin suatu hari kau akan datang kembali mengobati segala rindu yang ku simpan hanya untukmu.

Aku masih berada pada tempatku berdiri melepasmu pergi. Meski berkali-kali kau pun memintaku untuk melangkan menjauh, dan sikapu tak henti mengabaikanku, adalah karena tak mudah bagiku untuk menyingkirkan segala rasa yang telah bertahta begitu megah setelah apa yang ku rasa padamu diperkuat dengan pernyataan kejujuran darimu malam itu. Malam dimana aku tahu bahwa rasa cinta ku untukmu tak bertepuk sebelah tangan. Dengan lugas kau menyatakan semua isi hatimu. Mengaminkan apa yang menjadi inginku kala itu. 

Aku masih bertahan dengan segala kesakitanku saat kau pergi, bukan karena aku kuat seperti apa yang kau kira. Aku hanya mencoba tegar di setiap celah rasa sakit semenjak kau mengatakan pamit lalu pergi. Aku hanya sedang mencoba kuat berdiri di bawah lapisan rindu untuk mu yang menekanku tanpa henti setiap hari. Aku hanya ingin mengatakan padamu, bahwa sejauh apapun kamu melangkah pergi, pulanglah kapanpun kau mau, kembalilah lagi kapanpun kamu butuh aku, karena aku masih di sini. Menunggu segala cerita perjalananmu. Menantimu pulang, siap menyambutmu lagi, meski dengan membawa hati yang baru. Meski sudah tak ada lagi aku di hatimu.

Dan kamu sungguh pulang! Kamu kembali lagi! Bersama dengan potongan hati yang baru, yang kemudian kau perkenalkan kepadaku.

Kau tanya apakah ku sakit? Lisanku menjawab tidak, namun hatiku mengalirkan darah dari luka yang tak teraba. Ada perih yang tak mampu ku katakan padamu. Saat itu aku menyadari, bahwa ternyata aku begitu rapuh, dan kamu tak tau itu. Yang kau lihat adalah aku yang kuat, dan tetap berdiri tegar meski berkali-kali kau sakiti. 
Kau hanya tak melihat lukaku, Tuan!

Setelah banyak hal kau ceritakan, tentang perjalanan mu semenjak pergi dariku, kini kau pergi lagi. Namun kali ini pergimu tanpa pamit. Pergi mu dengan membentang jarak yang begitu dingin untuk kembali ku pijak. Setiap tanya dan kecemasan ku tak lagi kau beri tenang. Kau biarkan aku menunggu dengan pikiran serta perasaan yang begitu gaduh.

Hingga akhirnya, kini aku lelah. Lelah dengan segala sikap pengabaianmu. Aku lelah dengan kata tunggu berselimut kepura-puraan bahwa aku baik-baik saja tanpamu. Aku lelah dengan segala kerinduan dan kecemasanku yang tak akan lagi terbalas. 
Pernah kau bertanya, kapan aku berhenti menunggumu. Lalu ku jawab, aku akan berhenti di saat aku sudah benar-benar lelah.

Dan selamat! Kamu berhasil mengantarkan ku pada titik lelah itu. Maka kali ini, dengan lugas ku katakan, aku berhenti! Aku berhenti dari segala perasaan dan pikiranku yang selalu tertuju padamu. Aku berhenti untuk menunggu dan mencarimu. 

Lanjutkanlah langkahmu, dan jemput bahagiamu yang paripurna. Begitu pun dengan ku. Akan ku cipta bahagiaku tanpa cerita tentang mu lagi. Habis sudah segala cerita tentangmu. Buku ceritamu, sudah ku tutup rapat dan ku simpan pada satu ruang yang tak mudah untuk ku sentuh lagi.

Terimakasih sudah pernah hadir dan singgah pada cerita perjalanan seorang aku. Terimakasih untuk segala pembelajaran menuju proses pendewasaan diri dengan segala keputusan yang kau beri. Percayalah, apapun cara yang kau pilih untuk menyakitiku, bagaimanapun caramu pergi, aku tak akan pernah bisa membencimu, meskipun segala ceritmu sudah ku habiskan.