Jumat, 27 Desember 2024
Kamis, 26 Desember 2024
Warna Di Musimku
Created by: Irull
~~~~
Hai Nona
Yang sudah membuat ku jatuh hati
Membuatku banyak berpikir dan belajar mengerti
Membiarkan hatiku merapalkan doa dan ingin
Perihal hari ini, esok dan jutaan hari nanti
Hai, Nona
Terimakasih sudah menggegam jariku
Membuatku percaya bahwa kau akan menjaga cinta yang ku berikan dengan baik
Terimakasih sudah menjadi warna untuk semua musim di hidup ku
Terimakasih sudah memilih ku di antara banyak kemungkinan yang bisa kau dapatkan
Nona,
Barangkali langkah kita tidak akan mudah,
Barangkali yang hari ini kita percayai ialah apa-apa yang menjelma ragu di kemudian hari
Barang kali 'selamanya' hanyalah kata yang terangkum dalam kamus bahasa
yang nyatanya tak pernah ada.
Namun nona, apapun yang terjadi, tetaplah tinggal di sisi
Mempertahankan rasa sampai kita melupa untuk pergi
Mempertahan kata kita hingga tak ada lagi waktu untuk tinggal di dunia
Berhenti Menujumu
Ketika kamu melihat ku terdiam, tak lagi mengejar dan menunggu mu, itu bukan berarti aku berhenti mengirimkan doa terbaik untukmu, bukan pula berhenti melukiskan ingin agar Tuhan selalu mengirimkan kebahagian berlimpah untukmu. Aku hanya berhenti berjalan menujumu lagi. Karena pada akhirnya aku sadar, bahwa secepat apapun aku mendekat padamu, kamu akan lebih cepat menghindariku. Seingin apapun aku menjadikan kamu tujuan, pada nyatanya tetaplah bukan aku yang kamu inginkan menjadi rumah ternyaman.
Aku berhenti?
Ya. Aku berhenti melukis impian tentang masa depan bersamamu. Aku berhenti melangitkan harap akan datang sang waktu yang menyatukan kita. Aku berhenti memaksa takdir untuk menjadikanmu milikku. Aku berhenti mencari tau siapa sumber bahagiamu kali ini. Pergi dan berjalanlah tanpa rasa ragu dan takut untuk menjemput bahagia yang kamu inginkan. Karena aku sudah berhenti mengejarmu. Aku sudah berhenti menghalangi langkahmu.
Tapi maaf, aku tak bisa berhenti mengingatmu. Aku tak bisa berhenti mengantarkan langkahmu dengan tatap mataku. Aku tak bisa berhenti untuk menyayangimu. Aku tak bisa berhenti untuk melepaskan satu janjiku, yaitu: menyebut namamu dalam kemesraanku bersama Tuhan.
Kamu terlalu istimewa dalam buku ceritaku. Ceritamu terlalu sulit untuk ku hapuskan begitu saja. Maka, biarlah seperti ini keadaan berjalan. Aku berteduh di bawah payung rindu, kau menikmati hangat kebahagiaan di rumah impian dan ternyamanmu.
Sekali lagi, maaf jika namamu abadi dalam ceritaku, dalam bisik rayuku kepada Tuhan, dan dalam album kenangan tentang kita. Aku rasa, kamu akan menjadi bagian dari cinta terakhir dalam cerita panjang kehidupan yang harus ku lalui. Karena hadirmu, telah mencipta rasa yang begitu indah.
Senin, 23 Desember 2024
Habis Sudah Tentangmu
Jika katamu aku adalah wanita yang kuat diantara wanita-wanita lain yang pernah kau sakiti, maka kali ini dengan tegas aku katakan, tidak!! Aku tidak sekuat yang kau kira!
Pergimu kemarin, sikap dan segala ucapanmu kala itu, bukanlah hal yang paling menyakitkan bagiku. Karena entah mengapa, aku memiliki keyakinan bahwa kau akan datang kembali. Entah karena apa dan bagaimana caranya, aku yakin suatu hari kau akan datang kembali mengobati segala rindu yang ku simpan hanya untukmu.
Aku masih berada pada tempatku berdiri melepasmu pergi. Meski berkali-kali kau pun memintaku untuk melangkan menjauh, dan sikapu tak henti mengabaikanku, adalah karena tak mudah bagiku untuk menyingkirkan segala rasa yang telah bertahta begitu megah setelah apa yang ku rasa padamu diperkuat dengan pernyataan kejujuran darimu malam itu. Malam dimana aku tahu bahwa rasa cinta ku untukmu tak bertepuk sebelah tangan. Dengan lugas kau menyatakan semua isi hatimu. Mengaminkan apa yang menjadi inginku kala itu.
Aku masih bertahan dengan segala kesakitanku saat kau pergi, bukan karena aku kuat seperti apa yang kau kira. Aku hanya mencoba tegar di setiap celah rasa sakit semenjak kau mengatakan pamit lalu pergi. Aku hanya sedang mencoba kuat berdiri di bawah lapisan rindu untuk mu yang menekanku tanpa henti setiap hari. Aku hanya ingin mengatakan padamu, bahwa sejauh apapun kamu melangkah pergi, pulanglah kapanpun kau mau, kembalilah lagi kapanpun kamu butuh aku, karena aku masih di sini. Menunggu segala cerita perjalananmu. Menantimu pulang, siap menyambutmu lagi, meski dengan membawa hati yang baru. Meski sudah tak ada lagi aku di hatimu.
Dan kamu sungguh pulang! Kamu kembali lagi! Bersama dengan potongan hati yang baru, yang kemudian kau perkenalkan kepadaku.
Kau tanya apakah ku sakit? Lisanku menjawab tidak, namun hatiku mengalirkan darah dari luka yang tak teraba. Ada perih yang tak mampu ku katakan padamu. Saat itu aku menyadari, bahwa ternyata aku begitu rapuh, dan kamu tak tau itu. Yang kau lihat adalah aku yang kuat, dan tetap berdiri tegar meski berkali-kali kau sakiti.
Kau hanya tak melihat lukaku, Tuan!
Setelah banyak hal kau ceritakan, tentang perjalanan mu semenjak pergi dariku, kini kau pergi lagi. Namun kali ini pergimu tanpa pamit. Pergi mu dengan membentang jarak yang begitu dingin untuk kembali ku pijak. Setiap tanya dan kecemasan ku tak lagi kau beri tenang. Kau biarkan aku menunggu dengan pikiran serta perasaan yang begitu gaduh.
Hingga akhirnya, kini aku lelah. Lelah dengan segala sikap pengabaianmu. Aku lelah dengan kata tunggu berselimut kepura-puraan bahwa aku baik-baik saja tanpamu. Aku lelah dengan segala kerinduan dan kecemasanku yang tak akan lagi terbalas.
Pernah kau bertanya, kapan aku berhenti menunggumu. Lalu ku jawab, aku akan berhenti di saat aku sudah benar-benar lelah.
Dan selamat! Kamu berhasil mengantarkan ku pada titik lelah itu. Maka kali ini, dengan lugas ku katakan, aku berhenti! Aku berhenti dari segala perasaan dan pikiranku yang selalu tertuju padamu. Aku berhenti untuk menunggu dan mencarimu.
Lanjutkanlah langkahmu, dan jemput bahagiamu yang paripurna. Begitu pun dengan ku. Akan ku cipta bahagiaku tanpa cerita tentang mu lagi. Habis sudah segala cerita tentangmu. Buku ceritamu, sudah ku tutup rapat dan ku simpan pada satu ruang yang tak mudah untuk ku sentuh lagi.
Terimakasih sudah pernah hadir dan singgah pada cerita perjalanan seorang aku. Terimakasih untuk segala pembelajaran menuju proses pendewasaan diri dengan segala keputusan yang kau beri. Percayalah, apapun cara yang kau pilih untuk menyakitiku, bagaimanapun caramu pergi, aku tak akan pernah bisa membencimu, meskipun segala ceritmu sudah ku habiskan.
Selasa, 10 Desember 2024
Menata, Lalu Lenyap
Dia, si paling setia dan sabar menemani hari-hariku yang begitu berantakan. Tersebab seseorang yang tega memporakporandakan! Mendampingi langkah perjalananku menuju sembuh dari luka yang bukan dia penciptanya.
Padahal dia bukan sumber atas kehancuran dan rapuhnya aku. Tapi dia, rela berjuang agar aku sembuh! Agar aku mampu mencipta harapan dan membangun impian kembali setelah merasa tak layak memiliki harapan apapun dalam hidup ini.
Tapi dia tau, bagaimana caranya membuatku membangun kembali rasa percaya. Ia tau bagaimana meyakinkanku bahwa dunia tak sejahat yang aku pikir. Bahwa dunia masih memiliki kehangatan, dan bahwa hati ini masih layak untuk kembali merasa apa itu, hidup? dan apa itu cinta?
Di tengah hatiku yang terasa begitu remuk, dia dengan penuh kesungguhan mengatakan. "Lukamu gak akan hilang dalam semalam, tapi aku ada di sini menemani sampai kamu kuat dan melupakan kesakitanmu saat ini."
Kalimatnya sederhana, namun sangat berarti untukku. Dia menata ulang puing-puing kepercayaanku yang telah hancur berserakan. Dia menyusun harapan yang sudah cukup lama ku abaikan. Dia terus menguatkanku dari waktu ke waktu, agar ku mampu meraih apa yang menjadi impianku selama ini. Tutur kata serta sikapnya seolah saling bekerja sama mendorong hatiku jatuh padanya. Perlahan namun pasti, ia menjadi pusat dari segalanya bagiku.
Aku pikir, dia memanglah seseorang yang dikirimkan Tuhan untuk menjadi obat sekaligus pengganti bagi dia yang telah pergi. Aku kira, dia akan selamanya berada di sisi. Namun segala yang aku pikirkan dan aku kira tak pernah terjadi.
Dia hadir bukan untuk benar-benar tinggal, ia hanya singgah. Singgahnya membangun apapun yang telah runtuh dari diriku. Dia datang hanya untuk menata, bukan untuk menetap. Dia hadir hanya untuk membangun kembali duniaku yang telah runtuh, hancur berantakan. membuatku berani untuk kembali mencinta. Namun setelah ia memastikan bahwa kakiku telah kembali kuat berdiri, luka ku sudah nyaris sempurna terobati, ia pamit pergi.
Kepergiannya menyisakan jejak tanya, "Apakah hati ini harus kembali hancur?"
Tapi menyedihkannya kali ini ia harus hancur oleh seseorang yang sempat membantu untuk pulih dan utuh lagi.
Apakah luka ini harus terbuka lagi? Padahal dia yang telah menutupnya dengan sangat rapat.
Aku tak tahu apa yang lebih menyakitkan: kehilangan seseorang yang menghancurkan segalanya, atau kehilangan seseorang yang membangun segalanya lalu ditinggal pergi.
Aku tak tau, haruskah berterimakasih kepadanya karena pernah membantuku menata segala hal yang hancur, ataukah marah dan membenci karena dia memilih untuk pergi dan lenyap.
Karena harapku, dia hadir untuk menjadi yang terakhir. Inginku, dia singgah untuk sebuah kata sungguh. Namun ternyata, takdir Tuhan ternyata tak sejalan dengan harap dan inginku. Dia datang hanya untuk menata, bukan menetap.
Minggu, 01 Desember 2024
Lembaran Kenangan
Harusnya aku sudah benar-benar selesai untuk membaca buku baru yang dengan sengaja ku pinjam dari orang lain. Mestinya, buku itu lekas ku kembalikan, di saat aku sudah membaca semua isi pada prolog dan juga bab pertamanya. Namun, aku terlalu penasaran untuk membaca alur cerita berikutnya. Dan sialnya aku mulai jatuh hati pada setiap rangakaian diksi yang disajikannya
Setiap alur ceritnya membuatku berdecak kagum pada si tokoh utama.
Aku terus membuka setiap babnya. Membacanya setiap hari. Menikmati barisan diksi yang membuat ku semakin jatuh cinta.
Hingga suatu ketika, sang waktu menyuruhku berhenti untuk membacanya. Sang waktu memintaku untuk kembalikan buku itu pada yang semestinya.
Tapi ku menolak!
Ku teriakan pada sang waktu "aku tak bisa melepasnya!"
Lalu dengan tegas sang waktu mengingatkan, "itu bukan bukumu! Kembalikanlah!"
Aku masih pada inginku. Ku peluk erat buku itu. Ku memohon pada waktu untuk tidak mengambilnya dari ku.
Tapi permohonanku tak dihiraukan. Tangis mengibaku tak didengarkan. Sang waktu menarik paksa buku yang sedang berada dalam dekapanku. Membuatnya robek terbagi menjadi beberapa bagian. Meninggalkan beberapa bagian cerita dalam genggaman. Ia mengembalikan sebagian besar yang telah terambil pada si pemiliknya. Lalu aku, menyimpan lembaran sobekan yang tertinggal pada tanganku.
Lembaran itu yang kini ku baca berulang kali. Meski aku tak pernah tau akhir pada ceritanya seperti apa.
Lembaran itu yang kini ku simpan dan jaga dengan begitu baik. Agar ketika ku rindu, cukup ku temukan ia pada tempat penyimpanan teristimewa ku.
Aku tau, buku itu tak akan pernah lagi kembali pada ku.
Tapi setidaknya, aku merasa sangat bahagia karena pernah membacanya, dan jatuh cinta pada setiap diksinya. Dan ternyata, meski yang tersisa hanyalah lembaran potongan ceritanya, aku masih mencintai buku itu, dan aku masih menunggu sang waktu menceritakan kepadaku bagaimana akhir dari cerita dari buku yang telah membuatku merasa jatuh cinta sedalam ini.
~~~~
Tapi.... Ini bukan tentang buku. Ku yakin kau paham itu. 😊
Senin, 25 November 2024
Tuhan Tolong Jaga Dia
Ada sakit yang tak mampu ku lukiskan seperti apa. Saat berulang kali kau mengatakan, "aku pamit, ya?" sedangkan kau tau, betapa aku ingin kau selalu ada bersamaku. Aku tau, bukan aku saja yang terluka pada keadaan ini. Kamu pun sama sakitnya! Namun hebatnya, logikamu menjadi kompas yang selalu mengarahkanmu dengan tegas, sementara aku tersesat dalam labirin emosiku sendiri. Realita, dan perasaanku menjadi pukulan untuk hatiku sendiri. Sehingga aku hanya merasa semakin terluka karena pamit serta pergimu.
Aku tau ini salah. Berkali-kali kamu pun mengatakan ini adalah kesalahan. Kamu tak menyalahkanku memang, tapi aku pun tak ingin kamu terus menyalahkan dirimu. Agar adil, katakanlah bahwa ini adalah kesalahan kita bersama.
Karena kau datang hanya sekadar mengetuk pintu, namun aku memilih membuka pintu dan mempersilahkan kau masuk dalam rumah yang mestinya ku kunci serapat mungkin dari orang asing. Sayangnya, aku menaruh harap bahwa kau akan menetap. Padahal aku tau, kau tak akan pernah bisa menetap dalam rumahku.
Berkali kau pamit, berkali-kali itu pula aku menahanmu untuk menetap lebih lama. Dan pada akhirnya, sang waktu membawa keadaan dimana pamitmu menjadi nyata. Tak ada lagi iba yang kau hiraukan. Tak ada lagi permintaanku yang kau jadikan nyata. Kamu pergi dengan suka cita. Kamu melangkah tanpa beban apapun yang tersisa. Meski kamu tau, salam kepergianmu pasti menorehkan luka untukku yang masih ingin bersama.
Langkahmu tegap sekali tanpa aba-aba. Menoleh sekali lagi untuk mengucapakan selamat tinggal pun tidak ada. Kau menjauh dari rumahku dengan membawa sepotong hati yang sempat ku berikan pada mu. Setelah sekian jauh langkahmu pergi, Jangan berharap kalimat "semoga kau bahagia bersama pilihanmu" mengalun dari lisanku, atau tertulis dalam kotak pesan yang tertuju pada mu. Karena menghadapi kepergianmu dengan cara seperti ini sangat menyakitkan bagiku.
Bahkan, aku pun sekarang tak tau, apa yang akan ku pinta pada Tuhan perihal dirimu selain, "Tuhan, tolong jaga dia sebaik mungkin." Karena sekarang tak penting bagiku kau bahagia dengan siapa, karena hal terpenting saat ini adalah kau selalu dalam penjagaan Tuhan.
Kamis, 21 November 2024
Kepergian Yang Tak Diharapkan
Ada perasaan yang tak pernah sepenuhnya milik kita. Ia datang bagai aliran sungai di tengah kemarau, menghadirkan sejuk di hati yang gersang. Ia mengalir lembut, mencipta harapan yang tumbuh seperti kuncup bunga di musim semi. Namun, kehilangannya tetaplah meninggalkan luka.
Kita tidak pernah saling berjanji, tidak pernah saling memiliki. Kita hanya pernah saling mengakui, bahwa ada satu rasa yang sama hadir dalam hati tanpa bisa kita pungkiri. Kita pernah saling menyadari, bahwa kita tak mungkin untuk saling memiliki, tetapi aku tahu… ada ruang kecil dalam diriku yang pernah kau huni. Dan kini, ruang itu sunyi.
Aku mengerti kenapa kau pergi. Karena kita hidup di dua keadaan yang tak bisa dipaksa untuk dipersatukan. Kau, dengan langkah menuju masa depan yang telah ditentukan. Aku, dengan jalanku sendiri yang sudah lama aku pilih. Tapi meski semua itu masuk akal, rasa sakit ini tetap tinggal, mengendap seperti seduhan kopi pahit, meninggalkan getir di setiap tegukan waktu. Aku tak bisa menumpahkannya, tapi juga tak mampu menelannya.
Aku tidak menyalahkanmu, juga tidak menyalahkan diriku. Aku bahkan tak mampu menyalahkan waktu, dan juga keadaan yang telah mempertemukan kita. Mungkin, cinta tak selalu berarti tinggal. Mungkin, cinta tak selalu bermakna bersama. Mungkin, cinta tak harus memiliki. Kadang, cinta berarti pergi. Kadang cinta bermakna melepaskan. Kadang cinta adalah mengikhlaskan.
Tanda-tanda kepergianmu seperti kabut yang perlahan turun, menyelimuti setiap percakapan kita. Kata-katamu semakin datar, seperti langit yang kehilangan warna saat senja berlalu. Meski caramu menghilang meninggalkan pertanyaan yang tidak akan pernah terjawab, aku tahu, itu adalah pilihan yang harus kau ambil.
Tidak ada kalimat penutup untuk apa yang kita rasa. Tidak ada kalimat pamit yang indah untuk kukenang darimu. Hanya hening, yang berubah menjadi jarak. Jarak yang kini menjadi sebuah tembok pembatas, yang bahkan aku tak tahu harus kuhancurkan atau biarkan berdiri.
Pada akhirnya, kita memang harus saling melepaskan. Saling menatap jalan yang terbentang di hadapan masing-masing. Meski kepergianmu adalah hal yang tak pernah kuharapkan. Tapi kepergianmu memberiku pelajaran tentang begini rasanya kehilangan seseorang yang tak pernah sepenuhnya kumiliki. Begini rasa sakitnya melepaskan kalimat "aku menyayangimu" yang sempat melekat dengan begitu hebat. Seperti menyesali mimpi indah yang terlalu cepat berakhir.
Semoga langkahmu selalu ringan untuk menggapai masa depan seperti apa yang pernah kau impikan. Semoga jalanmu penuh cahaya kebahagiaan, meski bukan aku sumber cahaya itu.
Dan aku…
Aku akan belajar mengubur kenangan itu seperti benih yang kutanam dalam-dalam di tanah. Semoga, suatu saat, ia tumbuh menjadi pohon kebijaksanaan, agar aku bisa berdiri tegak meski ranting-rantingnya penuh luka. Aku akan belajar untuk tidak pernah menyesali deklarasi rasa yang pernah saling terlontar di antara kita. Aku akan belajar berdamai dengan keadaan yang cukup menyakitkan ini. Dan aku, mungkin akan belajar untuk tak lelah meminta pada Sang Pemilik rasa untuk menghapus segala rasaku untukmu. Agar inginmu, dan harapku menjadi nyata; bahagia dengan versi kita masing-masing.
Rabu, 13 November 2024
Datang dan Pergi Pada Waktunya
Seseorang pernah mengingatkan ku, bahwa "setiap orang ada masanya, dan setiap masa ada orangnya. Beberapa orang datang ke dalam hidup kita hanya untuk mengajari bagaimana cara melepaskannya." Aku menyadari hal itu. Bahwa memang siklus kehidupan ini begitu, bukan? Akan ada yang datang dan juga pergi tanpa kita tau kapan semua itu terjadi.
Namun, meski ku menyadari hal itu, kehilanganmu bukanlah suatu hal yang pernah ku harapkan. Jangankan mengharapkan, membayangkannya saja aku tak mampu! Tapi menyedihkannya hal ini adalah kenyataan terpahit yang harus ku hadapi.
Kamu datang di waktu aku begitu butuh sandaran dan pegangan untuk bisa tetap berdiri dan melanjutkan perjalanan hidupku. Kamu hadir di saat aku butuh tempat berbagi keluh kesah, suka duka saat aku melalui hari-hari yang begitu sepi. Kamu seolah anugerah yang Tuhan kirimkan agar aku memiliki semangat untuk tetap hidup dan menikmati indahnya dunia ini.
Namun, di saat aku baru saja menikmati hadirmu. Di saat baru saja ku ukir harap untuk dapat bersamamu hingga akhir detak nadi, justru kau pergi tanpa menunggu persetujuanku. Kamu pergi tanpa aba-aba. Bahkan tanpa memberiku penjelasan yang mampu ku terima dengan logika. Kamu pergi tanpa sedikitpun peduli bagaimana rapuh dan hancurnya aku tanpa kamu. Karena kakiku belum sempurna kuat berdiri sendiri tanpamu!
Kau tau, mengapa aku sampai pada titik sehancur ini?
Karena bersamamu ku temukan diriku. Karena bersamamu, aku bisa menjadi aku yang apa adanya. Karena denganmu aku tak perlu menggunakan topeng kepura-puraan. Aku bisa tertawa atau menangis kapanpun ku butuhkan.
Tapi, pada akhirnya aku harus menyadari bahwa inilah hidup. Akan ada yang datang, dan pergi. Ada yang meninggalkan dan juga ditinggalkan. Ada yang harus melepaskan dengan ikhlas, ada yang dipaksa untuk ikhlas melepaskan. Pada akhirnya aku dipaksa mengerti bahwa tidak pernah ada yang abadi di dunia ini. Termasuk kamu, yang pernah singgah dalam hidupku. Boleh ya, aku minta, dalam kepergianmu ini tolong ikut sertakan kenangan yang pernah kamu lukiskan untukku. Agar kepergianmu bisa ku nikmati dengan begitu paripurna. Karena bagaimanapun aku harus menerima keadaan bahwa setiap manusia itu datang dan pergi pada waktunya.
Ya. Setiap orang ada masanya, dan setiap masa ada orangnya.
Kamis, 07 November 2024
Zona Mati Kata
Lama telah ku kehilangan kata-kata penyembuh luka, atau sekedar pelepas kesakitan yang mendera. Setiap kata yang sering kali terangkai karena apapun dan siapapun penyebabnya, seketika buntu. Tak mampu terangkai sempurna. Diksi-diksi yang sering kali menemani seolah lari menjauhi diri dan hati.
Lama ku terjebak dalam zona mati
kata yang membuatku bahkan tak mampu mengenal diriku sendiri. Bahkan aku tak
mampu memaksa kemampuanku untuk melahirkan kembali diksi-diksi terindah yang
pernah terangkai begitu nyata. Aku terkurung dalam ruang mati kata. Berkali ku
teriak ingin keluar darinya, namun ku tak bisa! Langkahku seolah terpaku pada
ruang itu. Berkali ku mencoba menghadirkan rangkaian kata menjadi kalimat yang
kelak menjelma menjadi obat dari berbagai kesakitan karena sebuah rasa,aku pun
tak mampu. Zona mati kata membuatku harus menelan sendiri kesakitakan yang
kerap kali menyapa bahkan memeluk jiwa. Membuatku bekerja keras mengolah
berbagai perasaan yang sering kali hadir tak sesuai harapku. Zona mati kata,
membuatku kehilangan separuh aku yang selama ini menjadi kawan di setiap
keadaan. Tak ada lagi rangkaian air mata berteman kata-kata yang mengalir
melalui ujung pena yang ku goreskan. Tak ada lagi cerita suka maupun duka cita
yang ku abadikan dalam kota memori kata. Semua yang terjadi ku biarkan terjadi
dan berlalu begitu saja. sedangkan ku, menikmati kesendirian, kesakitan maupun
kebahagiaan semu dalam zona mati kata yang membelenggu entah sampai kapan.
Minggu, 22 September 2024
Labirin Rasa
Kita berjalan dan tersesat bersama di dalamnya.
Herannya, kita tak mencari jalan untuk keluar dari labirin ini.
Mungkin karena aku yang begitu menikmti kehadirannya. Larut dalam setiap cerita yang mengalir dari lisannya. Hingga yang hadiir dalam logikaku adalah bagaimana kebersamaan ini tak berkahir? Bagaiman caranya agar aku ataupun dia tak bertemu pintu keluar dari labirin ini.
Entah, mengapa bisa aku sebahagia ini saat bersamanya. Bersama terjebak dalam labirin rasa. Dan entah mengapa, ia pun seolah menikmati kebersamaan ini.
Setiap detik yang ku lalui bersamanya, mengasah rasa candu akan hadirnya menjadi rasa sayang yang mungkin sesaat lagi akan dipertajam dengan rasa cinta.
Konyol! Bodoh!! Jahat!!
Teriak logikaku mencoba mengehentikan langkah dan mengakhiri kebersamaan dengannya.
Namun hati kecilku tak mampu menjauh darinya meski selangkah.
Untuk saat ini, biarkan aku menikmati ketersesatan dalam labirin rasa ini.
Karena ku yakin, suatu hari nanti, labirin rasa ini akan hancur dengan sendirinya. Entah karena apa dan siapa penyebabnya.
Hei kamu, maaf ya.. Jika aku harus menahanmu dalam labiri rasa ini. Sungguh aku bahagia, di atas kebodohan dan ketersesatan ku dalam labiriin rasa ini. Aku bahagia menghabiskan banyak waktu bersamamu. Jika kelak kita berhasil keluar dari labirin ini, entah mengapa, aku hanya ingin kamu menjadi orang terakhir yang menemaniku melangkah menghabiskan sisa waktu yang ada.
Senin, 16 September 2024
Rasa Bersalah
Sebelum sampai di angka dua tahun untuk saling mengenal, aku dan dia sepakat akan melanjutkan kisah kita hingga ke mahligai pernikahan.
Selasa, 10 September 2024
Perpisahan
Berpisah darimu adalah awal dimana kehancuranku tercipta. Derai air mataku berlomba mengurai sesak dalam dada. Sepi dan sendiri adalah kawan yang senantiasa menyelimutiku, yang mencoba membuatku tenang meski ternyata selalu saja kegaduhan dalam isi kepala yang menjadi pemenangnya. Sesakit ini aku, Tuan! Berpisah darimu bukanlah suatu hal yang kutunggu. Jangankan menunggu, ku harapkan pun tidak! Sakit rasanya. Harus ada salam perpisahan diantara kita. Segala harapan, cita-cita dan cinta harus ku kubur pada tanah realita yang ku pijak.
Hai, Tuan... Kenapa harus perpisahan yang menjadi pilihan setelah kita pernah mencipta bahagia bersama? Kenapa harus kamu mencipta bahagia di orang lain, setelah kau pernah dengan sungguh menyatakan bahwa aku adalah kebahagian untukmu. Kenapa harus kau begitu meyakinkan hati ini, jika pada akhirnya kau pergi juga.
Hari-hari yang ku lalui tanpamu terasa begitu meyakitkan, Tuan! Setiap hari yang kulalui hanya menunggu kau kembali. Dan di saat ku sadar bahwa kau tak akan pernah datang lagi, maka aku mulai mencarimu di orang baru yang datang dalam hidupku. Terkesan jahat dan egois memang, tapi sesulit itu aku melupakanmu. Seberat itu hatiku untuk benar-benar melepasmu.
Aku tau, mencarimu pada orang lain hanya akan membuatku lelah dan membuang-buang waktu. Tapi, biarlah aku membunuh rasa yang kau tinggalkan dengan seperti ini caranya. Biarkan aku lelah hingga berjumpa titik putus asa hanya karena terus mencarimu pada setiap orang baru yang singgah dalam hidupku.
Kesakitanku, kehilanganmu, pada akhirnya menyadarkan tentang kata perpisahann bagiku.
Ya, perpisahan bagiku adalah satu kata yang membuatku mengerti makna dari sebuah menghargai perjumpaan dan kebersamaan. Tentang satu kata yang memahmkan diri dan hati bahwa ternyata, tak pernah ada yang abadi dalam hidup ini.
Rabu, 04 September 2024
Pergilah! Aku Tak Apa Sendiri
Rabu, 21 Agustus 2024
Berdamai Dengan Kenyataan
Amarahku sudah mereda sejak lama. Bahkan saat namamu ku dengar disebut oleh siapapun, aku tak lagi merasakan getar amarah dan kebencian yang sempat memelukku dengan begitu hebatnya.
Jumat, 02 Agustus 2024
Hanya Perlu Terbiasa
Siapa kira, jika dia yang dulu pernah membuatku merasa betapa indahnya rasa jatuh cinta, kini mencipta kehancuranku yang begitu paripurna? Cermin cinta yang ku punya dan ku jaga dengan begitu baiknya, dijatuhkan hingga hancur berkeping. Hingga akhirnya tak ada lagi daya ku untuk memperbaikinya.
Siapa bisa mengira, bahwa ceritaku dengannya akan seperti
ini sekarang? Kembali ke titik awal, seperti tak pernah saling kenal. Kembali saling
diam, tak pernah lagi ada sapa. Kami layaknya dua orang asing yang tak sengaja
berpapasan di jalan. Hanya sekilas bersitatap, namun tak ada satu kata pun
terucap. Kami berjalan menuju tujuan masing-masing.
Aku yang begitu pernah berharap bahwa ia akan menjadi rumah
terakhirku, yang akan selalu menjadi tempatku berteduh dari panasnya ujian
hidup, atau tempatku mencari kehangatan dari dinginnya sikap manusia-manusia
tak bersahabat, justru kini menjelma menjadi orang asing yang tak lagi ku kenal!
Aku pernah membayangkan betapa rapuhnya aku jika harus
kembali berjalan sendirian menghadapi kehidupan yang penuh kejutan ini. Aku
pernah merasa dan berpikir, bahwa dia adalah satu-satunya yang mampu menjadi
pegangan untuk membimbing langkahku. Namun nyatanya tidak!
Keadaan kini memaksaku untuk tetap melangkah, berjalan
bahkan berlari kencang meski tanpa dia di sisi. Aku hanya perlu untuk terbiasa
menjalani hari-hari tanpanya. Segala hal yang ku takutkan hanya perlu untuk
dihadapi. Bahkan berulang kali aku mencoba untuk melupakannya pun aku selalu
gagal! Hingga akhirnya aku disadarkan dengan sebuah ucapan, bahwa perihal
melupakan adalah suatu hal yang tidak mungkin bisa ku lakukan. Karena sejatinya,
aku hanya perlu untuk terbiasa. Terbiasa tanpanya. terbiasa untuk tidak
mencarinya. Terbiasa agar tidak mencemaskan keadaannya. Terbiasa untuk tidak
mengingat segala cerita bersamanya. Bahkan mungkin, terbiasa untuk tidak
menyebut namanya dalam barisan doa yang ku bisikkan pada Tuhan.
Aku hanya perlu terbiasa … hidup tanpanya!
Jika Aku Pergi
Jujur, aku sudah lelah. Dengan keadaan yang seolah menyudutkan ku. Seolah aku penjahat utama atas duka yang tercipta di antara kita. Padahal, aku pun korban dari keadaan yang sering kali tak berpihak pada kita.
Di sela waktu kesendirian, aku bertanya pada keadaan, di manakah cinta yang dulu selalu kau puja? Kapan ku dapati lagi peluk hangat yang menenangkan? Dan Mengapa harus ego diri menjadi pemenang yang menghancurkan ketenangan?
Semua tanya itu hanya menggema dalam pikiran. Mendorong langkah untuk terus berjalan ketepian.
Ya. Ku rasa sudah saatnya aku menepi dari hadapan atau bahkan dari kehidupanmu. Namun, tiap kali langkahku semakin tegap untuk terus menjauh darimu, hati serta pikiranku semakin berperang.
Jika aku pergi, apakah kau akan sebahagia yang aku pikirkan? Apakah penyesalan tak akan datang menghampirimu ataupun aku? Dan jika aku pergi, akankah kamu merasa sepi seperti yang kurasakan saat ini?
Logikaku menjawab tetaplah pergi, karena apapun yang terjadi padamu bukan lagi menjadi urusanku. Tapi hati ku terus berbisik, bertahanlah sebentar, barangkali sebenarnya dirimu masih butuh aku. Meski sangat kecil kemungkinannya.
Namun yang pasti, kemanapun takdir membawa langkah kita, aku hanya bisa berharap, jika tiba waktunya untukku pergi, aku mampu terbiasa tanpamu, dan kamu, mampu mencipta kebahagiaan yang sempurna tanpa ada lagi bayang-bayangku di hidupmu.
Jumat, 19 Juli 2024
Manusia Dengan Segala Sakitnya
Aku, seseorang yang tumbuh dengan cerita masa lalu yang tak menyenangkan, yang berjalan dengan menahan sakit dan perihnya luka yang terus datang bergantian. Melangkah mencari rumah untuk merasakan pulang. Namun tak juga kutemukan.
Tak lelah ku menyeret langkah sendirian. Menjejaki jalan-jalan panjang yang berselimut kelamnya kesunyian. Aku hanya sedang mencari rumah untukku pulang. Untuk mengobati segala luka yang ku simpan dalam diam. Karena rumah yang selalu menyambut dengan hangatnya pelukan saat ku datang, telah terkubur menyatu dengan tanah yang kini menjadi pijakan.
Aku, si manusia dengan segala sakitnya! Menelan beribu kesakitan sendiri. Tanpa tau harus mulai mencari penawarnya dari mana.
Ketika langkah ku mengantarkan pada titik pertemuan denganmu, seketika tercipta harapan terbesarku, yaitu; kau mampu menemaniku menyembuhkan luka-luka yang masih tergores dan basah dalam dada. Karena sungguh, aku butuh teman. Aku butuh kawan untuk menjadikanku kuat dalam proses penyembuhan luka ini. Dan aku ingin kamu yang membantuku agar kuat menjalani setiap proses penyembuhanku.
Ku pikir harapanku akan menjadi nyata! Ternyata tidak! Luka ku justru semakin banyak! Perih yang ku rasa semakin menyakitkan! Salahku memang, harus berharap pada manusia. Terlebih manusia tak berprikemanusiaan sepertimu! Yang hanya bisa menyalahkan, menuding, bahkan menuduhku tanpa ampun! Sedangkan kau tau, betapa hancur dan babak belurnya aku saat ditemukan olehmu nyaris tak berdaya, di persimpangan jalan yang penuh teka teki dan sandiwara kehidupan.
Kau yang ku pikir mampu menjadi rumah, justru hanya menjadi neraka yang baru dalam perjalanan hidupku. Tak ada sedikitpun lukaku yang terobati oleh hadirmu. Yang ada hanyalah luka yang kian terbakar dan sangat menyakitkan!
Tak apa, ya... Jika kali ini ku gagal menjalankan segala peranku. Jika kali ini aku menyerah pada jalan yang ku tapaki. Karena sungguh, kakiku sudah tak sanggup melangkah beriringan denganmu. Luka yang kau tambahkan sudah terlalu banyak. Lebam membiru yang tercipta dalam tubuh kehidupan belum juga memudar. Maka ku tak ingin mencipta lebam yang baru dengan terus bersamamu.
Tak apa, jika kau masih ingin menggunakan topeng wajah polos tak berdosamu. Dan biarkan mereka terus menghakimiku karena hasil dari keegoisan hatimu. Karena mungkin, saat ini aku tercipta sebagai manusia dengan segala sakitnya. Jika aku menanggalkan pakaianku dan meperlihatkan setiap sayatan, lebam, dan luka yang tercipta bahkan melekat pada pakaianku, lalu ku katakan diantara luka-luka ini ada andilmu di dalamnya, mereka pun belum tentu percaya. Maka, diam kembali menjadi pilihanku.
Untukmu, yang sedang sibuk mengejar validasi dan tak henti menggunakan topeng mengibamu, Berbahagialah! Agar segala luka dan kesakitan yang ku tanggung sendirian ini tak berujung sia-sia. Jangan khawatir, ditengah kesakitan yang ku rasakan saat ini, akan ku datangkn kata maaf untukmu. Agar kau tenang dengan hidupmu, dan aku, tenang menikmati segala kesakitan dari luka yang entah kapan akan memudar. Jika ada yng bertanya tentangku, cukuplah kau jawab, bahwa aku hanyalah manusia dengan segala sakitnya!
Selasa, 02 Juli 2024
Tanpa Status
Pernah terlintas dalam pikiran, kenapa ya? Aku harus ketemu dan kenal sama kamu? Kenapa kamu, seseorang yang awalnya begitu aku benci, sekarang bisa menjadi seseorang nomor satu di hati? Apapun dan bagaimanapun kondisiku, cuma kamu orang pertama yang ingin aku beri tau. Kemanapun aku akan pergi, atau darimanapun aku tiba, selalu kamu yang akan ku beri kabar pertama kali. Entah, segala cerita tentang apa yang aku lalui hanya ingin ku bagi denganmu. Tidak ada yang lain! Bahkan, perihal seseorang dari masa laluku yang tiba-tiba saja hadir kembali, aku pun ingin kamu mengetahui ceritanya.
Setiap respon yang kamu berikan, selalu menjadi perhatianku. Hingga tak jarang, selalu ada tanya, kita ini sebagai apa? Sebenarnya, kamu ini siapa bagiku? Atau siapa aku bagimu? Jika ku sebut kita hanyalah teman, tapi aku merasakan kita lebih dari itu. Jika dikatakan bahwa kita lebih dari teman, tak pernah ada perjanjian atau pernyataan serius baik dari kamu ataupun aku. Namun, entah kenapa selalu ada rasa takut yang tiba-tiba menghantui hatiku. Rasa takut kehilangan kamu, takut kamu jatuh cinta dengan orang lain, takut tiba-tiba kamu pergi dan tak meninggalkan jejak sedikitpun. Intinya, aku takut jika suatu hari nanti kamu bahagia dengan orang lain. Aneh, ya? hhhfff. Aku pun gak ngerti dengan apa yang hadir dalam hati dan pikiran ini.
Kamu ingat? Saat tempo hari kamu bercerita tentang seseorang yang membuatmu begitu merasa kagum, hingga hadir rasa nyaman dalam hatimu, meski hanya menatap orang itu dari jauh. Saat kamu bercerita bagaimana khawatirnya kamu saat hilang kabar dari si dia yang kau kagumi itu. Dan rangkaian cerita lainnya tentang si dia yang kini singgah dalam hatimu. Kamu tau bagaimana perasaanku saat mendengar itu?
Ada perih yang seketika aku rasakan. Ada air mata yang ku sembunyikan. Serta ada rasa takut yang memelukku kian erat! Tapi aku harus sadar diri, bukan? Bahwa kita sedang berjalan di koridor tanpa status. Ya. Kedekatan kita, bahagianya aku saat bersamamu, rinduku saat jauh darimu, khawatirku saat kau tak ada kabar, semua berjalan pada koridor tanpa status. Maka, sudah semestinya aku mempersiapkan hati sejak saat ini, bukan? Jika suatu hari kamu pamit pergi untuk mencipta kebahagiaan yang lebih sempurna bersama dia.
Namun, sebelum kata pamit itu terlontar darimu, aku masih di sini, pada koridor tanpa status yang kita jalani, sambil menunggu kepastian darimu. Dan biarkan aku bahagia dengan kita yang seperti ini, paling tidak untuk saat ini saja.
Kamis, 20 Juni 2024
Tolong, Jangan Menyerah
Aku mungkin hanya orang lain yang tiba-tiba aja ditakdirkan Tuhan untuk bertemu denganmu. Tanpa sengaja dititipkan rasa sayang begitu dalam kepadamu. Lalu, gak pernah ku duga, hari-hariku semakin rame dengan hadirmu. Cinta dan sayang untukku pun semakin berlimpah karena hadirmu. Hingga akhirnya, namamu masuk dalam daftar yang selalu disebut saat ku sedang berdua dengan-Nya.
Kamu, yang kini menjadi seseorang yang begitu berarti dalam hidupku. Aku memang orang asing yang Tuhan pertemukan denganmu. Aku tak pernah tau bagaimana latar belakang kehidupanmu sebelum bertemu denganku. Aku tidak pernah tau bagaimana rekam jejak perjalananmu hingga berada di titik ini. Bahkan, hari ini pun, aku gak tau sudah berapa banyak badai yang kau hadapi, sudah seberat apa beban yang kau pikul hingga detik ini, sudah berapa banyak derasnya air mata yang diam-diam harus kau hapus dank au sembunyikan di balik topengmu yang penuh canda tawa. Aku memang tak pernah tau semua lika liku yang harus kau jalani hingga akhirnya kau bertahan sampai di titik ini.
Yang ku tau, saat kau sudah merasa tidak sanggup, kau akan bicara dan cerita. Di saat kau butuh pegangan, kau akan memanggil. Meski setiap detik aku ada untukmu, aku ada di sisimu.
Hei, aku cuma mau bilang, tolong jangan menyerah, ya. Tolong jangan berputus asa dengan segala ujian yang sedang kau hadapi kali ini. Meski ku tak tau, seberat apa ujian yang kini kau hadapi, tapi aku tau, kau adalah orang yang kuat. Kau adalah orang terpilih untuk bisa menghadapi dan melewati ujian ini. Bukankah Tuhan tak akan memberikan beban ujian di luar batas kemampuan hamba-Nya? Meski kini kau harus berderai air mata lagi, artinya, kau kuat, kau mampu untuk menghadpinya lagi.
Aku mohon, tolong jangan menyerah, ya. Jangan pula melarangku untuk selalu menyebut namamu dalam barisan doaku. Kau harus tau, aku tak ingin kehilanganmu. Tak akan pernah! Jika salah satu dari kita ada yang harus menghilang dari bumi ini, maka biarkan aku yang lebih dulu menghilang, ya. Karena sungguh, setakut ini aku kehilanganmu. Jadi, sekali lagi ku mohon, jangan menyerah. Teruslah berjuang. Dan ku tau, kau mampu melewati ini semua.
Minggu, 16 Juni 2024
Sebatas Imaji
Putaran waktu, telah membawaku pada titik keadaan yang tak pernah aku duga sebelumnya, yaitu kedatangan kamu dalam hidupku. Kamu, orang asing yang tak sengaja ku temui pada dunia maya. Momen perkenalan singkat antara kita, berlanjut dengan keakraban dan kedekatan yang mengundang rasa nyaman. Entah siapa yang memulainya, namun yang aku tau, sejak kehadiranmu aku bisa merasakan kenyamanan serta kebahagiaan yang tak pernah aku dapatkan sebelumnya.
Hadirmu mencipta bahagiaku kian sempurna. Segala perhatianmu membuat aku merasa betapa berharganya di sisimu. Senyum manis mu yang mampu ku tatap dari kejauhan selalu berhasil menjadi pelipur laraku. Berbagi cerita denganmu menjadi candu bagiku. Hingga diam-diam menyebut namamu di antara senyapnya malam yang menyelimuti menjadi kebiasaanku, ketika sedang bercengkrama dengan Dia yang telah menciptakanmu.
Tanpa ku sadari, rasa nyamanku kini telah berkawan dengan rasa sayang dan juga takut kehilangan. Setiap kali sepi menghampiri, bayang wajah serta senyummu selalu berhasil menjadi pengusirnya. Setiap kali kegundahan menyapa, suaramu mampu menjadi penenangnya. Dan semakin hari, aku semakin candu dengan hadirmu.
Kau tau? Tangan ini rasanya ingin sekali mendekapmu. Ingin sekali aku merengkuhmu, merasakan hangat peluk dan kecupmu pada realita hidup yang ku jalani. Namun ku sadar, kita hanya dekat pada sebatas imaji. Segala rasaku hanya bermain pada dunia ilusi. Karena kita adalah dua jiwa yang terpisah oleh dinding realita. Meski segenap rasa yang hadir ini begitu nyata adanya.
Terkadang ada masa dimana aku ingin sekali melepas segala perasaan yang tertuju padamu, lalu menguburnya dalam-dalam. Namun bayanganmu selalu saja menari dalam benak. Membuatku merasa sesak, ketika membayangkan jika aku harus menghilangkan atau mungkin kehilanganmu. Jika aku harus kembali pada kubang sepi setelah hadirmu meramaikan hari-hari yang ku lalui. Meski ku tau, kau hanya akan hidup pada batas imajiku. Kau memberikan kebahagiaan pada dunia ilusi yang ku cipta. Karena kata bersama untuk kita, tak akan pernah lahir pada dunia realita.
Biarlah, jika aku harus lelah merawat rasa ini sendirian. Jika aku tak mampu berhenti menyayangimu dengan begitu tulus dan hebatnya. Jika sekali waktu aku harus merasakan getar rindu yang menyapa bagaikan badai yang mengacaukan dunia realitaku. Biarlah, jika rasa bahagia, sedih, takut kehilangan, bahkan sakitnya merindu karena hadirmu begitu nyata ku rasakan, dan harus ku tanggung sendirian. Karena akan kubiarkan dirimu terus hidup dan abadi pada batas imaji yang ku cipta dalam dunia ilusi.
Rabu, 12 Juni 2024
Menjadi Penggantinya
Sejak kepergian Ayah, segala beban dan tanggung jawabnya jatuh di pundakku. Aku, sebagai anak lelaki pertama, harus menjadi pelindung bagi ibu dan adik-adik perempuanku. Tugas Ayah sebagai tulang punggung keluarga, kini menjadi tanggung jawabku. Bahkan aku harus menggantikan Ayah dalam memberikan kebahagiaan, rasa aman, dan kenyamanan yang dulu selalu dia hadirkan.
Ayah, betapa beratnya peran ini. Bolehkah aku meminjam ketegaran hatimu yang sekuat baja? Bolehkah aku meminjam pundakmu yang kokoh untuk menanggung semua ini? Setiap hari aku berusaha sekuat tenaga untuk menjadi sepertimu, meski sering kali terasa mustahil.
Aku sadar, tak mungkin sepenuhnya menggantikanmu untuk Ibu dan adik-adikku. Namun, aku berusaha sekuat tenaga untuk melakukan yang terbaik bagi mereka, menciptakan kebahagiaan meski tak sempurna, karena ketiadaanmu, Ayah.
Aku yang tak pernah bisa memahami dengan baik bagaimana karakter adik-adikku, kini seiring waktu bergulir aku harus belajar untuk selalu bisa memahami mereka. Meski lelah, dan tak mudah namun harus ku lakukan. Walau sering kali tergores kecewa dan amarah, tapi aku harus menutup rasa itu begitu rapat saat berhadapan dengan mereka.
Teruntuk adikku sayang, ingatlah bahwa aku selalu ada untukmu. Walaupun langkahku kadang goyah, hatiku tetap teguh melindungimu. Walau terkadang jarak memisahkan, percayalah bahwa kasih sayang dan cintaku sangat dekat denganmu. Dan meskipun sering kali kau melihatku marah, kecewa, akan sikap tingkah lakumu, ketahuilah itu caraku menjagamu dari orang-orang yang tak bertanggung jawab. Karena aku tak ingin kau terasakiti oleh siapapun! Karena menjagamu kini menjadi tanggung jawabku.
Aku berharap dengan segala usahaku, meskipun kecil, bisa mengurangi rasa kehilangan yang kau rasakan. Kenangan tentang Ayah akan selalu menjadi cahaya yang menerangi jalan kita. Kita akan melaluinya bersama, dengan saling menguatkan.
Meski Ayah tidak lagi hadir secara fisik, kasih sayangnya akan selalu menjadi pelita bagi kita. Aku akan terus berusaha, untuk Ibu, untukmu, dan untuk mengenang Ayah.
Biarkanlah aku menjadi peganti Ayah, dalam mencurahkan kasih sayang, serta kebahagiaan untukmu. Sampai kelak kau bertemu seseorang yang bisa menjaga dan membahagiakanmu dengan sepenuh jiwa.
Minggu, 09 Juni 2024
Cukup Bersamamu
Di tengah hiruk pikuk dunia yang begitu gaduh dengan segala cerita dan sandiwaranya, aku menemukan kedamaian saat bertemu denganmu. Di saat segala hal terlihat begitu rumit, penuh teka teki yang tak mampu ku selesaikan, kamu hadir seolah menjadi jawaban yang tak pernah ku duga sebelumnya. Ketika hati terasa begitu hampa dan kosong tentang makna cinta, kau datang menyiramiku dengan kasih sayang dan cinta yang begtu derasnya.
Dalam diam dan sendiri, aku seringkali bertanya apa yang sebenarnya aku cari? Apa yang sebenarnya aku butuhkan? Di pencarian yang mendalam, seringkali langkahku terasa berat. Pikiranku tak jarang terasa kacau dan menemukan titik keraguan. Namun setiap kali kau datang menemani, segala tanyaku terjawab, semua kekhawatiran dan keraguanku pun lenyap. Semua terasa begitu lebih ringan bagiku, karena ternyata aku cukup bersamamu untuk menghadapi semua itu.
Masih ingatkah kamu? Bagaimana kita saat pertama kali bertemu? Saat itu, dunia seakan berhenti sejenak, memberikan ruang bagi dua jiwa yang akhirnya menemukan rumah mereka. Kamu adalah detak jantung yang menjaga irama hidupku tetap tenang, senyummu adalah sinar yang menerangi jalan gelap yang pernah kulalui. Bahkan di setiap tatapan matamu, aku menemukan kehangatan yang tak pernah kudapatkan di tempat lain.
Kamu, adalah pelukan hangat di hari yang dingin, kekuatan di saat aku merasa begitu rapuh dan hancur, ketenangan di saat hati dan pikiran begitu gaduh berperang. Ketika banyak orang sibuk mengejar gemerlap dunia sebagai sumber bahagianya, aku cukup bertemu denganmu, merasakan hangat genggaman tanganmu untuk bisa merasakan kebahagiaan yang begitu sempurna. Cukup bersamamu, aku mendapatkan pelukan yang membuatku merasa aman, merasa hidup saat ku tenggelam dalam senyum serta tatapan teduhmu.
Cukup bersamamu, aku tidak butuh apa-apa lagi. Segala impian dan harapan terasa lengkap hanya dengan kehadiranmu di sisiku. Aku bisa menjadi diriku sendiri, menggapai segala impianku, merasa dicintai dengan sepenuh hati dan jiwa, hanya saat aku bersamamu. Maka, cukup bersamamu ku habiskan sisa usiaku. Sampai kita bertemu pada titik, aku atau kamu yang lebih dulu dipanggil oleh-Nya.
Sabtu, 08 Juni 2024
Tenggelam Di Badai Sunyi
Sejak dia datang dalam hidupku, aku nyaris tak pernah berkawan dengan sepi yang menikam di balik sunyi. Hadirnya selalu berhasil mengundang tawa bahagia, senyum ceria, juga air mata haru karena cinta.
Setiap bersamanya, selalu ada cerita yang mengalir begitu saja. Segala sesuatu yang telah terlewati, menjadi bahan untuk kukisahkan padanya. Aku ingin dia selalu menjadi orang pertama yang tahu tentang apa yang telah kulalui. Pun sebaliknya. Kita tak pernah kehabisan bahan untuk dibicarakan. Andai kita bertemu pada titik keadaan yang sama-sama sedang lelah, kita seolah sudah sepakat bahwa kita tetap bersama, hanya saja kita saling memberikan ruang dan waktu untuk saling beristirahat sejenak. Kita pernah sepakat, untuk tidak pernah saling meninggalkan.
Namun kini, kesepakatan hanyalah sebuah wacana yang hancur diterjang badai huru-hara keegoisan diri. Dia pergi menjauh, sedangkan aku berpaling dengan ego yang enggan meluruh. Aku pikir kita hanya butuh waktu untuk saling berkaca pada diri sendiri, mengenang semua yang telah terlewati, lalu kemudian kembali bersama melanjutkan merajut kisah masa depan. Tapi ternyata tidak!
Aku yang sempat berpikir akan baik-baik saja tanpanya, ternyata kini mulai merasakan kesepian yang mengoyak hari-hariku yang biasa ramai olehnya. Perlahan, kutenggelam di balik badai sunyi yang menerjang di setiap detik yang kulalui. Aku tersadar, bahwa hadirnya dia telah banyak mengubah kehidupanku. Paling tidak, kehadirannya pernah membawaku keluar dari dalamnya kesunyian, dan memberikan bahagia yang tak pernah kuduga.
Namun kini, semua cerita bersamanya tinggal kenangan, dan aku kembali tenggelam di badai sunyi yang tak tahu kapan akan berakhir.
Jumat, 07 Juni 2024
Maaf, Bu
Bu, lihatlah anak mu yang kau besarkan dengan keringat dan air mata, sekarang ia sudah beranjak dewasa, Bu. Ia sudah merasakan kerasnya dunia menghantam perjalanannya. Ia telah merasakan beratnya sebuah tanggung jawab.
Bu, sekarang aku mengerti mengapa dulu engkau sering bilang, "tidak boleh nakal," atau "kamu harus menjadi orang yang kuat." Karena memang, dunia yang ku hadapi saat beranjak dewasa begitu keras ya, Bu. Dirimu juga pernah berpesa, "jadilah orang baik dimanapun kamu berada." Karena jika kita tidak baik maka orang tidak akan baik sama kita kan? Semesta akan memperlakukan kita seperti apa kita memperlakukan mereka kan, Bu?
Lantas mengapa sekarang banyak orang yang jahat, Bu? Padahal aku sudah menuruti semua nasehatmu. Namun mengapa mereka tetap jahat? Mengapa sekarang aku merasa begitu lemah, padahal aku selalu berusaha untuk menjadi anakmu yang kuat, Bu.
Maaf, Bu ... aku tidak bisa menjadi kuat seperti yang engkau harap. Aku sering menangis dan bersedih di kala kesendirian menemaniku. Tapi tenang, Bu. Aku tidak akan meneteskan air mata di depan mu. Aku akan tetap menjadi anakmu yang kau lihat sudah besar dan kuat mengahadapi terpaan badai kehidupan. Aku akan tetap tersenyum. Karena aku tidak mau melihat air mata kesedihan jatuh meluruh di wajahmu, Ibu.
Jujur aku butuh pelukan mu, Bu. Tapi aku terlalu malu untuk mengatakan bahwa aku ingin dimanja lagi olehmu, ingin menangis di pelukmu. Karena sekarang aku merasa sudah dewasa dan tidak pantas untuk bermanja serta menangis lagi di depan mu, Bu. Meski nyatanya, kini aku begitu rapuh dan butuh dirimu.
Bu, anak yang engkau lihat penuh senyum di hadapan mu kini sedang hancur. Aku tak tau bagaimana caranya untuk mengatakan bahwa aku butuh pelukanmu, Bu. Agar aku merasa bahwa hidupku setelah ini akan tetap baik-baik aja.
Maaf Ibu, anak yang sudah engkau besarkan ini belum bisa membahagiakan mu. Aku takut, Bu. Aku takut tak mampu melukis senyum haru kebahagiaan di wajahmu. Sedangkan usiamu sudah semakin menua. Aku takut tak mampu memberikan kebahagian yang paripurna untukmu, Bu.
Maafkan aku, Bu. Tunggu aku memberikan segenap bahagia untukmu. Dan terimakasih, atas semua yang telah engkau beri untukku selama ini. Percayalah Bu, anakmu sedang berjuang untuk selalu memberikan kebahagiaan untukmu.
~~~•••~~~•••~~~
Song instrumen muara kasih bunda violin
Dia dan Secangkir Kopi
Secangkir kopi hangat pada dinginnya pagi yang menyapa
selalu menjadi cerita indah di awal hari saat aku bertemu dengannya. Cerita
suka duka yang telah dilalui, akan menjadi teman yang mengubur sepi di antara
kami. Selalu ada tawa bahagia terekam di kala waktu membiarkan kita saling
berbagi cerita. Dan saat salam perpisahan memanggil di awal senja, akan hadir
setitik rindu untuk kembali bertemu. Menjelma menjadi bait pengharapan pada
malam yang mengabadikan cerita tentang perjalanan hari itu bersamanya.
Secangkir kopi hangat selalu
menjadi kawan setia di setiap pertemuan. Menjadi saksi bisu yang menangkap rasa
berbeda yang perlahan hadir dari relung hati. Ada candu saat ku tatap mata
hazel juga manis senyumnya. Pahat wajahnya yang tak begitu tampan namun
meneduhkan, berhasil menciptakan nyaman dalam hati. Ku yakin, ia telah berhasil
mencuri sebagian hatiku. Karena sebentar saja jarak memisahkan, ada rindu yang
bertalu.
Apakah ia menaruh sebuah
mantra dalam secangkir kopi yang telah dibawanya?
Ah, rasanya terlalu
jahat jika ku biarkan pikiran itu terus menjelma. Bukankah cukup ku syukuri
kehadirannya, dan nikmati kebahagiaan ini bersama? Jika ada rasa serta
getar yang berbeda mulai tercipta, biarkan ia berjalan dengan sewajarnya.
Biarkan ia saling menyapa di saat tiba waktunya. Aku tak ingin memaksa. Karena
aku mulai takut kehilangannya.
Takut kehilangan? Atau
mungkin takut kembali terkukung dalam sepi?
Entah, yang ku tahu, aku hanya ingin selalu berada di dekatnya. Yang aku tau bahwa aku mulai menyayanginya tanpa ragu.
Selasa, 04 Juni 2024
Bukan Untukku
Jalan panjang yang ku tempuh menjadi saksi seberapa jauh usahaku untuk bisa bertemu dengannya. Banyaknya detak waktu yang ku lalui menjadi bukti, betapa sungguh dalam rasa sayang juga cinta yang selama ini kupendam dalam lubuk hati.
Namun, ketika tiba pada titik perjumpaan dengannya, seketika langkahku terpaku, kakiku seolah membatu, lidahku kelu membeku, bahkan hadiah yang kupersiapkan dalam genggaman pun terjatuh, meluruhkan senyum yang sempat terlukis diwajahku.
Ada sepasang tangan yang sedang mendekapnya dengan begitu erat, tapi itu bukan tanganku. Ada sepasang mata yang menatapnya penuh cinta, namun itu bukanlah mataku. Ada kecupan yang mendarat pada keningnya, membuat wajahnya tersenyum bahagia, dan sayangnya itu bukan dariku.
Ia telah berbahagia dengan yang lain!
Dan aku, berbalik arah meninggalkannya. Membiarkan ia bahagia dengan apa yang kini menjadi pilihannya. Kembali ku susuri jalan sendirian, hingga malam kembali datang. Ku biarkan lampu di sisi jalan menjadi saksi betapa hancur pengharapanku. Dan Ku biarkan sepinya malam menjadi kawan atas rasa sakitku.
Semoga ia berbahagia bersama pilihannya, dan biarlah aku di sini, terkubur di balik reruntuhan rasa cintaku yang hancur berkeping, dalam sendiri dan kesunyian, mencoba menerima kenyataan bahwa dia bukan untukku.
Jumat, 31 Mei 2024
Ayah, Bisakah Kita Bertemu?
Apakah yang mereka ceritakan
benar? Sebahagia itukah kau memiliki aku? Setakut itukah kau kehilangan ku? Di
saat dokter memvonis ku mengidap salah satu penyakit yang tak akan bisa sembuh.
Serapuh itukah kau menghadapi kenyataan bahwa gadis kecilmu tak baik-baik saja?
Kenapa kau tak pernah memperlihatkan air mata lukamu di hadapanku? Bahkan, kau
pun tak pernah membantah saat aku membawa seseorang yang menjadi pilihanku,
sedangkan kau sebenarnya sudah menyiapkan pilihan untukku.
Ayah, bisakah kita ketemu?
Sebentar saja. Kita bicara banyak hal. Tentang aku, tentang dirimu, juga
tentang perasaanmu yang tak pernah terungkap selama ini. Aku hanya ingin
mendengar semua cerita itu langsung dari mulutmu, Ayah. Karena aku sedang
merindukan momen kebersamaan kita. Jika dulu kau selalu mencipta momen bahagia
penuh tawa saat bersamaku, kenapa kau tak juga meninggalkan momen dimana kau
membagi dukamu kepadaku. Kenapa tak kau tunjukkan sedih dan rapuhnya dirimu
saat melihatku jatuh sakit tak berdaya? Kenapa aku harus selalu kau pandang
sebagai gadis kecilmu yang tak boleh merasakan kerasnya dunia, serta sedikit
mengetahui beratnya beban perasaan yang kau pikul. Oh ya, aku lupa. Kau pantang
dilihat lemah, apalagi di depanku yang sedang butuh kekuatan darimu. Kau pantang
menyeka air mata, apalagi di hadapanku yang selalu ingin melihat senyummu.
Kau tau, Ayah? Kini keadaan yang
membentur serta mendidikku untuk menjadi kuat. Untuk menjadi putrimu yang tak lagi mudah rapuh. Menjadi seseorang yang
terlihat setegar batu karang. Walau pada kenyataannya, kali ini aku sangatlah
lemah tanpamu.
Ayah, bisakah bertemu? Sebentar saja.
Banyak sekali hal yang ingin ku dengar darimu. Yang ingin ku ceritakan serta yang
ingin ku pastikan padamu. Aku bingung, Yah. Kali ini aku tak punya tempat untuk
bercerita atau sekadar mendapatkan pelukan hangat.
Inikah makna air matamu di saat dulu
kau melepasku kepada orang lain? Adakah ketakutan yang kau rasa juga kau
pikirkan tentang kebahagiaanku? Jika memang benar, Ayah tenang aja, aku
bahagia. Hanya saja, kali ini aku sedang merasa tidak baik-baik saja. dan aku
hanya butuh pelukmu, Ayah.
Ayah, datanglah sebentar. Beritahu
aku segala hal yang selama ini aku tak tau. Beri aku penjelasan tentang segala
hal yang selama ini aku tak paham. Bisakah kita bertemu, Ayah? Walau hanya
melalui dunia mimpi. Aku butuh dirimu, Ayah.
~~~~
Bogor, 31 Mei 2024
Selasa, 28 Mei 2024
Lelaki Bermental Baja
Lelaki bermental baja. Ku sebut dirinya seperti itu. Karena telah banyak cerita perjuangan yang ku yakini bahwa akupun tak akan pernah sanggup menjalani hari-hari seperti apa yang telah dilewatinya; kehilangan ayah di usia yang masih sangat belia, membantu ibu yang harus menghidupi keluarga, di saat yang sama pula dirinya harus berjuang untuk tetap melanjutkan pendidikan demi menggapai impiannya. Impiannya tergapai, namun perjuangannya tak berhenti di sana. Dirinya terus berjalan di atas koridor yang menyuarakan kebaikan. Hari-harinya selalu bising dengan rencana, target, juga aksi penyiaran kebaikan. Detak waktunya selalu sibuk memikirkan orang lain, memikirkan pendidikan anak-anak negeri yang tak mampu melanjutkan karena terhimpit ekonomi. Hingga pernah aku begitu cemburu dengan sikapnya. Dan ia hanya berkata, "kamu belum paham. Akan tiba waktunya kau mengerti kenapa semua ini harus dilakukan." Lalu aku hanya bisa terbungkam mendengar kalimat yang meluncur darinya.