Mengetuk yang Sia-sia
Namun kini, semua itu pun tak lagi bisa kulakukan.
Kau mengunci pintu yang selama ini diam-diam kusinggahi. Kau menutup akses bagi mataku untuk sekadar mencari jejak langkahmu. Aku tak lagi bisa membaca cerita harimu, melihat senyummu dalam potret yang kau unggah, atau sekadar menebak-nebak isi hatimu dari kalimat-kalimat yang kau tulis. Aku kehilangan satu-satunya jalan untuk mengobati rinduku, dan kini aku benar-benar terkurung dalam kehampaan.
Rindu ini berubah menjadi luka yang lebih dalam. Bukan hanya karena aku tak bisa melihatmu, tetapi karena aku sadar, aku memang bukan siapa-siapa bagimu. Jika dulu aku hanya sebatas bayangan di kejauhan, kini aku bahkan tak lagi memiliki ruang untuk sekadar mengintip dari balik tirai.
Aku ingin bertanya, ingin menuntut penjelasan, ingin berteriak bahwa ini tidak adil. Tapi untuk siapa aku mengadu? Untuk siapa aku meminta pengertian? Untuk alasan apa aku menuntut penjelasan? Bukankah sejak awal aku tahu di mana seharusnya aku berdiri bagimu?
Aku hanya bisa menelan pahitnya kenyataan. Seperti burung yang kehilangan langitnya, seperti laut yang tak lagi bisa menyentuh pantainya. Aku sendirian, terperangkap dalam rindu yang tak bisa kutuangkan ke mana-mana.
Dan entah sampai kapan aku akan tetap berdiri di sini, mengetuk pintu yang telah kau kunci, berharap suatu saat nanti kau akan membukanya lagi.
Meskipun aku tahu, harapan itu mungkin hanya akan menjadi kesia-siaan lain yang kupelihara dalam diam. Mungkin harapan itu hanya akan menjadi luka baru yang harus ku dambakan. Dan mungkin, harapan itu pula yang akan tetap kupeluk, bahkan saat ragaku abadi bersama bumi.