Minggu, 09 Maret 2025

Di Antara Altar dan Mimbar



Di antara altar dan mimbar. Aku pernah menjadi orang bodoh yang menggantungkan cinta di sana. Melukis harap di atas kanvas semesta, agar kita berada pada titik yang sama. Berjalan merajut cita dan cinta bukan lagi berlandaskan seamin namun tak seiman. Aku pernah menjadi orang yang paling berharap terlalu tinggi, bahwa akan ada masa dimana kita berjalan menuju satu tempat yang sama. Melirihkan permohonan yang sama. Dengan amin dan iman yang sama. Tapi ternyata, aku menjadi orang yang paling dalam terjatuh karena harapanku sendiri.
Kamu tau? Kamu adalah seseorang yang terlalu baik untuk aku yang begitu kacau. Kamu si paling tenang untuk aku yang sering kali berisik menghadapi kenyataan. Kamu si paling tau bagaimana membuat ku harus bisa bernapas lagi di kala aku dihantam oleh badai yang begitu mencekik hidupku dan memilih untuk menyerah dari perjalanan ini. Kamu yang telah memberikan ku harapan bahwa akan ada kebahagiaan setelah sekian banyak luka yang ku derita. Kamu memberikan cinta serta mengisi kekosongan yang sering kali membuatku begitu rapuh. Kamu seperti malaikat penolong yang datang di saat aku sedang begitu hancurnya. 
Namun, sebaik dan sesempurna apapun kamu di mataku, harusnya aku tak pernah menaruh harap apalagi menggantungkan cinta kepadamu. Harusnya aku sadar bahwa aku sedang menciptakan kesakitan ku sendiri, saat ku tahu, aku melirihkan doa dengan lafaz "Ya Allah Ya Rahman" sedangkan kamu dengan kalimat "Dalam nama Bapa, Anak, dan Roh kudus." Tapi bodohnya, aku menikmati kesakitan yang perlahan ku ciptakan sendiri.
Aku pernah berpikir bahwa cinta akan menemukan jalannya sendiri. Bahwa kasih yang tumbuh di antara kita bisa menjembatani semua perbedaan, meruntuhkan dinding-dinding yang menghalangi, dan menyatukan dua hati yang saling memilih. Tapi ternyata, cinta pun punya batasnya. Ada garis yang tak bisa kita langkahi, ada doa yang tak bisa kita satukan, ada jalan yang tak bisa kita tempuh bersama.
Aku pernah memimpikan hari di mana aku menggenggam tanganmu di hadapan-Nya. Tapi di mana? Di depan altar atau di depan mimbar? Siapa yang akan kita panggil dalam doa, kepada siapa kita berserah? Aku mulai sadar bahwa tak peduli seberapa erat kita bertahan, dunia tak akan selalu berpihak pada kita.
Kita mencoba mengingkari kenyataan, berpura-pura bahwa waktu akan melonggarkan genggamannya. Tapi kita lupa, waktu hanya akan memperjelas luka. Cinta yang kita peluk erat, justru perlahan menggoreskan nyeri yang semakin dalam.
Kini, aku berdiri di persimpangan yang tak menawarkan pertemuan. Aku di sini dengan keimananku, dan kamu di sana dengan keyakinanmu. Kita saling memandang, tetapi tak bisa lagi melangkah mendekat. Kita saling mencintai, tetapi tak bisa lagi menggenggam.
Aku mencintaimu, bukan karena kita sama, tetapi karena kita berbeda dan tetap memilih untuk bertahan. Namun, cinta saja tidak cukup. Karena pada akhirnya, kita harus melepaskan—bukan karena berhenti mencinta, tetapi karena harus menghormati apa yang tak bisa disatukan.
Dan di antara altar dan mimbar, aku belajar bahwa perpisahan ini bukan tentang kekalahan, melainkan tentang keikhlasan. Tentang cinta kita yang bertahta di kasta tertingginya—bukan untuk dimiliki, tetapi untuk dimengerti. Dan aku ikhlas, tetap mencintai tanpa harus merebutmu dari Sang Penciptamu.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar