Sunyi Di Antara Aku dan Dia
Apakah aku tak cukup bagimu? Setelah aku mendampingi mu waktu ke waktu. Memelukmu demi bangkit kembali dari satu masalah ke masalah baru. Apakah aku tak cukup? Apakah yang ku curahkan masih jauh dari kata cukup?
Aku hanya ingin merasa menjadi seseorang yang cukup untuk orang lain, terutama untukmu. Ya. Aku ingin hadirku cukup membuatmu tenang. Cukup membuatmu bahagia. Cukup memberikan alasan untukmu merasa harus semangat dan hidup lagi setiap harinya. Aku ingin hadirku cukup untuk kamu menemukan alasan bahwa duniamu akan selalu baik-baik saja.
Namun realitanya tidak! Aku tidak pernah cukup untuk kamu yang selalu mencari sempurna.
Setiap usahaku terasa seperti tetesan air di samudra tak bertepi. Aku berikan waktu, kasih, dan kekuatan, tapi matamu selalu mencari sesuatu yang lebih, sesuatu yang tak pernah kumiliki. Aku berdiri di tepi harapan, menatapmu yang terus berlari mengejar bayangan sempurna itu, meninggalkanku dengan pertanyaan yang menggantung. Apakah cinta yang kuberikan tak cukup manis? Apakah pelukan yang kuberikan tak cukup hangat?
Aku pernah menangis di malam yang sunyi, merasa kecil di bawah beban “tidak cukup” yang kau letakkan di pundakku. Tapi di tengah air mata itu, ada percikan cahaya—suara kecil dalam diriku yang mulai berani bicara. “Mengapa aku harus membuktikan cukup untuk seseorang yang tak melihat usahaku?”
Aku memilih mundur selangkah, memberi ruang untuk diriku sendiri. Aku belajar mendengarkan detak jantungku yang berbisik, “Kau sudah cukup, bahkan jika dia tak melihatnya.” Aku mulai menuai ketenangan dari dalam, dari setiap napas yang kuhirup di pagi hari, dari setiap senyum yang kujaga untuk diriku sendiri.
Kini, aku tak lagi memohon untuk dianggap cukup olehmu. Aku cukup untuk diriku sendiri. Cukup untuk bangkit setiap kali jatuh, cukup untuk mencintai hidup ini dengan caraku. Dan suatu hari, aku harap, aku akan menemukan seseorang yang melihat “cukup” itu—bukan sempurna, tetapi cukup—seperti yang kuperjuangkan untukmu dulu.
Langkahku terhenti di ujung jalan yang asing. Di sekitarku, dunia berputar dengan hingar bingar yang memekakkan. Suara-suara itu—tuntutan, harapan, dan bisikan dunia yang memaksaku menjadi seseorang yang bukan aku—menggema, mengikatku pada peran yang ku mainkan dengan terpaksa. Aku telah lama mengenakan topeng, tersenyum di baliknya, berbicara dengan kata-kata yang bukan milikku, dan berjalan di jalur yang ditentukan orang lain. Topeng itu kini terasa berat, menekan wajahku hingga napasku tersengal, hingga aku lupa bagaimana rasanya bernapas dengan bebas.
Di malam yang sunyi, ketika dunia akhirnya terdiam, aku duduk di sudut ruang yang kelam, menatap bayanganku di cermin. Wajah itu... apakah itu aku? Matanya lelah, penuh keraguan, penuh penyesalan. Aku mencoba mencari diriku yang dulu—seseorang yang tertawa tanpa beban, yang bermimpi dengan penuh harap, yang mencintai dunia dengan hati terbuka, yang selalu berjalan pada koridor yang semestinya. Tapi bayangan itu hanya menatapku kosong, seolah berkata, “Kau telah pergi terlalu jauh.”
Namun, di dalam dada, ada sesuatu yang masih berdenyut pelan. Sekecil apa pun, itu adalah sisa-sisa diriku yang lama, berbisik lirih, memanggilku untuk kembali. Aku ingin mendengarnya. Aku ingin memeluknya. Aku ingin pulang.
Aku mulai melepaskan satu per satu beban yang ku genggam erat. Harapan orang lain, mimpi yang bukan milikku, harapan untuk memiliki apa yang tak semestinya, dan rasa takut akan penilaian dunia—aku letakkan mereka di tepi jalan. Aku berjalan perlahan, menelusuri jejak-jejak yang dulu ku tinggalkan.
Setiap langkah membawaku lebih dekat pada diriku yang sejati. Aku belajar mendengar lagi—bukan suara dunia, tetapi suara hatiku. Aku belajar melihat lagi—bukan apa yang diinginkan orang lain, tetapi apa yang membuat jiwaku hidup. Aku belajar merasakan lagi—bukan luka yang ku ciptakan sendiri, tetapi damai yang selalu ada di dalam diriku, menanti untuk ku temukan.
Aku belum sampai. Mungkin perjalanan ini masih panjang. Tapi aku tahu, di ujung sana, ada rumah. Rumah yang terbuat dari kejujuran, dari keberanian untuk menjadi diriku sendiri, dari cinta yang tulus pada hidup ini. Aku ingin pulang. Dan kali ini, perlahan langkahku membawa kembali pulang. Pada diriku. Pada hidup yang ku pilih dengan hati. Perlahan aku kembali pulang, pada tenang yang melahirkan kebahagiaan paripurna.
Aku tahu, dalam hidup ini, siklus datang dan pergi adalah hal yang pasti. Entah siapa yang lebih dulu memilih untuk pergi—meninggalkan atau ditinggalkan—semuanya selalu jadi rahasia yang hanya semesta tahu jawabannya.
Aku terus belajar… belajar bagaimana cara melepaskan seseorang dengan baik, tanpa harus berhadapan langsung dengan ruang sakit, baik lahir maupun batin. Tapi sialnya, aku selalu gagal dalam pelajaran itu.
Aku tetap harus merasakan sakit. Sakit yang tak terlihat, tapi terasa begitu nyata. Butuh waktu, butuh hening, hingga akhirnya aku bisa berdamai dengan kehilangan yang tak pernah aku minta.
Tapi tak apa. Selama sakitnya belum membuatku harus menyapa dinding rumah sakit, artinya aku masih punya daya untuk menanggungnya sendiri.
Mungkin kali ini aku harus kembali belajar. Belajar untuk tidak berisik, tidak manja, tidak menahan siapa pun yang ingin pergi dari hidupku. Belajar untuk tidak cengeng, tidak lemah, dan tidak egois. Karena ternyata… yang benar-benar mencintai, tahu kapan harus merelakan—bahkan ketika hati belum siap kehilangan.
Aku belajar diam saat ingin bicara.
Belajar tegar saat ingin meminta tetap tinggal.
Belajar menjadi rumah, meski pintunya terus kau buka untuk pergi.
Tapi mungkin memang ada yang tak ditakdirkan untuk bertahan.
Bukan karena kurang cinta, tapi karena semesta tak pernah memberi kesempatan.
Dan kalau suatu hari kamu rindu, jangan biarkan aku tau bahwa kamu datang untuk melepas rindu secara diam-diam. Karena bisa jadi, aku sedang belajar lupa—dan itu butuh waktu yang sangat panjang.
Entah kenapa, rasanya sakit saat aku harus tahu dia sedang asik berbincang dengan yang lain.
Sedangkan aku di sini… menunggunya dengan penuh rindu.
Aku ingin pergi, sungguh. Tapi yang lebih menyakitkan dari bertahan adalah menyadari: aku bahkan tak pernah diminta untuk datang.
Mengapa aku harus melewati malam-malam panjang yang dingin tanpa pelukan, dan mengapa aku begitu lama merasa sendiri. Karena rupanya, semesta sedang mempersiapkan cara paling lembut untuk mempertemukanku dengan dirimu..
Aku tak lagi ingin bertanya siapa yang akan menggengamku saat aku rapuh, karena setiap detik bersama mu menjawab tanya itu dengan cara paling indah, dengan tatapan mu yang tenang dengan cara mu diam-diam menjaga, dengan hadir yang tak pernah memaksa tapi selalu ada.
Bayangkan, pagi hari yang biasanya biasa, berubah menjadi syair hanya karena ada suaramu yang menyapaku lebih dulu. Dan malam, yang dulu terasa kosong kini jadi surga kecil hanya karena kita saling bercerita meski hanya tentang hal-hal sederhana.
Jika kamu adalah takdirku, maka aku tak perlu banyak berjanji atau rencana yang berlebihan, cukup hatimu menetap di sisiku, cukup tanganmu tak melepasku di tengah badai, cukup kamu menjadi tempat ku pulang saat dunia terasa asing dan aku mulai goyah.
Dan jika benar kamu adalah takdirku, maka aku ingin mencintaimu seperti anugrah yang di jaga sepenuh jiwa bukan dengan tergesa, tapi dengan kesandaran bahwa kehadiranmu adalah sesuatu yang takpernah kupinta, namun selalu aku sykuri dalam setiap helaan nafas dan sujudku yang paling lama.
Karena bersamamu...segalanya terasa seperti puisi yang ahirnya menemukan bait terahirnya penuh makna, dan berahir dengan Damai.
Tuan, aku pernah melewati hari-hari yang begitu menyakitkan. Aku pernah merasa sangat dicintai, merasa bahwa aku akan menjadi satu-satunya wanita yang selamanya diratukan. Saat itu, aku selalu merasa bahwa aku adalah wanita yang paling dicintai di bumi ini. Aku merasa, bahwa aku adalah satu-satunya wanita paling beruntung karena bisa bersanding dengannya.
Tapi Tuan, semua itu hanya sekejap ku rasakan. Perasaan bahagia dan juga keberuntungan itu, hanya sesaat singgah dalam hidupku.
Setelah aku dibuat melayang terbang tinggi olehnya, aku dihempaskan dengan sangat tidak berharga. Aku seperti terbuang, dan terasingkan. Segala kecewa dan kesakitan terlalu banyak harus aku lalui.
Padahal, aku pernah mencipta tawa dalam hari-harinya. Aku pernah berpura-pura kuat agar ia bisa bersandar saat keberuntungan sedang tak berpihak padanya. Aku pernah menghabiskan waktu dan pikiranku untuk bisa membuatnya merasa nyaman dan aman. Tapi semua itu seolah lenyap begitu saja. Ketika ia menemukan rumah baru yang membuatnya jatuh cinta setiap detik.
Mungkin dulu, aku menghadapi itu dengan rintik air mata. Tapi kini, aku di sini memilih bersamamu. Menikmati pulih yang sebentar lagi terasa sempurna. Setelah ditemani sang waktu, aku tertatih berjalan untuk mengobati luka yang ada.
Saat ini, di sini aku bersamamu, merasa benar-benar sembuh karena hadirmu.
Kamu, yang dengan berani mencintaiku tanpa alasan. Meski kau tau, banyak luka yang masih harus aku sembuhkan. Tapi kamu memilih untuk tetap tinggal bersamaku. Membiarkan aku sembuh bersamamu.
Terimakasih Tuan, kini kau tau bukan? Betapa berharganya kamu untukku.
"Kenapa sekarang?"
"Kenapa tak ada pamit dan salam perpisahan?"
"Bagaimana hari-hariku berikutnya tanpa mu?"
Dan masih banyak sekali pertanyaan kenapa dan bagaimana yang menari di kepalaku.
Semua pertanyaan itu, mendorong kaki ku untuk terus melangkah mencari jawabannya sendirian.
Sekali waktu aku terjatuh. Meringis. Menahan perih sendiri.
Tapi suaramu menggema dalam ingatan. "Kamu bukan anakku yang lemah. Kamu gak boleh menyerah sebelum berperang. Kamu bisa melewati semuanya. Anakku, adalah anak yang tangguh! Yang hebat! Yang selalu aku banggakan!" Semua kalimat itu membuat kakiku kembali kuat berdiri, dan kembali melangkah untuk menemukan jawaban demi jawaban.
Ayah... Tapi sering kali aku merasa tak seperti apa yang kau katakan. Seringkali aku merasa gagal menjadi anak kebanggaanmu.
Sejak kau tak ada... Semua tak lagi sama, Ayah. Aku enggan mengatakan hidup ini kejam sejak kepergianmu. Tapi aku mencoba melihat dan menerima bagaimana dunia begitu keras membentuk diriku untuk menjadi tangguh seperti apa katamu. Aku juga mencoba memahami maksud baik Tuhan atas kepulanganmu.
Ya. Karena pada nyatanya, tak ada takdir dan ketetapan Tuhan yang tak baik untuk setiap hamba. Hanya saja, kita sering lari dari kenyataan dan mengatakan bahwa Tuhan tak adil, atau dunia yang terlalu kejam.
Dan aku yakin kau akan sangat marah jika aku memaki Tuhan atau menyalahkan dunia atas kepulanganmu. Aku juga yakin, kau tahu, bahwa sejak kau tak ada, aku rapuh, aku hancur, tapi aku mampu untuk tetap berdiri dan terus berjalan ditemani lapisan rindu untukmu, serta lapisan percaya kelak kita akan kembali bertemu.
Kau menghibur diri dengan kemungkinan, membangun harapan dari percakapan, tetapi jauh di dalam dada, kau tau bahwa semua itu hanyalah angan. Kau menunggu isyarat, berharap ada jawaban, tetapi waktu terus berjalan tanpa pernah memberikan kepastian. Kau mencoba meyakinkan diri bahwa kesabaran akan membuahkan pertemuan, tetapi bagaimana jika yang kau tunggu bahkan tak pernah menoleh ke belakang?
Hidup bukan tentang seberapa lama kau menunggu, tetapi tentang seberapa berani kau melangkah menuju kepastian. Kau boleh berharap, tetapi jangan biarkan harapan itu mengikatmu dalam penantian yang tak berkesudahan. Sebab ada saatnya menunggu bukan lagi kesabaran, tetapi hanya ketertarikan yang kau ciptakan sendiri dalam ketakutan.
Maka kau memilih kesadaran, bahwa Tuhan tak pernah meminta hambanya bertahan pada sesuatu yang tak mengarah pada kebaikan. Jika memang ditakdirkan, cinta itu akan menemukan jalan, tetapi jika tidak, maka yang lebih baik telah TUHAN siapkan. Kau tak harus terus menunggu, sebab yang baik tak akan membuatmu meragu, dan yang ditulis untukmu tak akan membuat mu menunggu tanpa ahir yang menenangkan hati Mu.