Perlahan Kembali Pulang
Aku ingin pulang. Pulang pada damai yang benar-benar aku impikan. Pulang pada diriku yang telah lama ku hilangkan. Aku telah terlalu jauh melangkah pada apa yang tak seharusnya. Menorehkan tinta hitam di setiap langkahnya, menorehkan garis pekat pada kanvas suci kehidupan yang seharusnya aku jaga. Terlalu banyak noda yang ku biarkan merusak keindahan hari yang semestinya mampu mendatangkan bahagia lebih dari yang sekadar ku ingin.
Langkahku terhenti di ujung jalan yang asing. Di sekitarku, dunia berputar dengan hingar bingar yang memekakkan. Suara-suara itu—tuntutan, harapan, dan bisikan dunia yang memaksaku menjadi seseorang yang bukan aku—menggema, mengikatku pada peran yang ku mainkan dengan terpaksa. Aku telah lama mengenakan topeng, tersenyum di baliknya, berbicara dengan kata-kata yang bukan milikku, dan berjalan di jalur yang ditentukan orang lain. Topeng itu kini terasa berat, menekan wajahku hingga napasku tersengal, hingga aku lupa bagaimana rasanya bernapas dengan bebas.
Di malam yang sunyi, ketika dunia akhirnya terdiam, aku duduk di sudut ruang yang kelam, menatap bayanganku di cermin. Wajah itu... apakah itu aku? Matanya lelah, penuh keraguan, penuh penyesalan. Aku mencoba mencari diriku yang dulu—seseorang yang tertawa tanpa beban, yang bermimpi dengan penuh harap, yang mencintai dunia dengan hati terbuka, yang selalu berjalan pada koridor yang semestinya. Tapi bayangan itu hanya menatapku kosong, seolah berkata, “Kau telah pergi terlalu jauh.”
Namun, di dalam dada, ada sesuatu yang masih berdenyut pelan. Sekecil apa pun, itu adalah sisa-sisa diriku yang lama, berbisik lirih, memanggilku untuk kembali. Aku ingin mendengarnya. Aku ingin memeluknya. Aku ingin pulang.
Aku mulai melepaskan satu per satu beban yang ku genggam erat. Harapan orang lain, mimpi yang bukan milikku, harapan untuk memiliki apa yang tak semestinya, dan rasa takut akan penilaian dunia—aku letakkan mereka di tepi jalan. Aku berjalan perlahan, menelusuri jejak-jejak yang dulu ku tinggalkan.
Setiap langkah membawaku lebih dekat pada diriku yang sejati. Aku belajar mendengar lagi—bukan suara dunia, tetapi suara hatiku. Aku belajar melihat lagi—bukan apa yang diinginkan orang lain, tetapi apa yang membuat jiwaku hidup. Aku belajar merasakan lagi—bukan luka yang ku ciptakan sendiri, tetapi damai yang selalu ada di dalam diriku, menanti untuk ku temukan.
Aku belum sampai. Mungkin perjalanan ini masih panjang. Tapi aku tahu, di ujung sana, ada rumah. Rumah yang terbuat dari kejujuran, dari keberanian untuk menjadi diriku sendiri, dari cinta yang tulus pada hidup ini. Aku ingin pulang. Dan kali ini, perlahan langkahku membawa kembali pulang. Pada diriku. Pada hidup yang ku pilih dengan hati. Perlahan aku kembali pulang, pada tenang yang melahirkan kebahagiaan paripurna.
.png)
.png)
.png)
.png)



.png)
.png)
