Minggu, 30 Maret 2025

Menyimpan Rindu

3/30/2025 05:17:00 AM 0 Comments


Aku masih bisa menuliskan namamu di layar. Masih bisa menyusun kata demi kata, lalu ku kirimkan sebagai pesan, dan menunggu balasanmu dengan debar yang sama. Kita masih berbicara, masih berbagi cerita—seolah tak ada yang berubah.

Tapi tetap saja, ada sesuatu yang kosong di antara kita.

Sebab, bagaimana mungkin aku mengungkapkan rindu yang tak bisa ditebus oleh waktu? Bagaimana mungkin aku menjelaskan bahwa setiap percakapan kita hanya menambah resah, sebab aku tahu, kau ada di sana, tapi tak mungkin ku datangi? Kau ada untukku, tapi hati dan ragamu seutuhnya tak bisa ku miliki. Dan aku tau, kau ada tapi tak akan pernah berada dalam dekapku secara nyata. 

Aku menahan diri untuk tidak mengatakan bahwa aku ingin bertemu. Bukan karena aku takut kau menolak, tapi karena aku tahu, ada batas yang tak bisa kita langkahi. Ada keadaan yang memaksa kita hanya untuk saling menemukan dalam baris-baris pesan, tanpa pernah benar-benar hadir di hadapan satu sama lain.

Aku menyimpan rindu ini sendirian. Merelakan perasaan yang tak bisa diungkapkan lebih dari sekadar kata. Sebab aku paham, tak semua rindu berhak menemukan jalannya. Tak semua rindu harus berujung pada temu. Ada yang harus bertahan dalam diam, ada yang harus cukup dengan kata-kata, dan ada yang hanya bisa menjadi bayangan samar dalam ruang yang tak lagi bisa dijejaki.

Dan aku? Aku memilih menyimpan rindu ini dalam sunyi. Dalam ruang yang tak bisa terjamah oleh siapapun. Dan aku memilih menyimpan rindu ini dalam rapalan doa di hadapan sang pencipta. 

Mungkin terlihat konyol dan memalukan. Tapi satu-satunya yang paling tahu seberapa besar rindu yang ku simpan adalah Dia, Sang Maha Tahu. Sebab aku tahu, memintamu datang hanya akan menjadi permohonan yang tak seharusnya ku ucapkan. 

Dinding pembatas kita terlalu tinggi berdiri kokoh. Sulit untuk dihancurkan hanya untuk mengumbar rindu yang memang tak semestinya terungkap. Jarak kita terlalu jauh. Antara harapan yang begitu indah dengan realita yang begitu menyesakkan.

Maka, biarkan aku menyimpan rindu ini. Meski sendirian dan entah sampai kapan. Setidaknya, cukup aku yang hancur tanpa harus menghancurkan apapun dan siapapun di antara kita.

Senin, 24 Maret 2025

Mengetuk yang Sia-sia

3/24/2025 04:56:00 AM 0 Comments


Aku pikir, rindu adalah luka yang masih bisa kutoleransi. Setidaknya, selama ini aku masih punya cara untuk mengobatinya—walau hanya dengan cara yang menyedihkan. Aku tak bisa memilikimu, tak bisa hadir di sisimu. Tapi aku masih bisa mengintip duniamu dari jauh, meski hanya lewat layar ponsel yang dingin dan bisu.

Namun kini, semua itu pun tak lagi bisa kulakukan.

Kau mengunci pintu yang selama ini diam-diam kusinggahi. Kau menutup akses bagi mataku untuk sekadar mencari jejak langkahmu. Aku tak lagi bisa membaca cerita harimu, melihat senyummu dalam potret yang kau unggah, atau sekadar menebak-nebak isi hatimu dari kalimat-kalimat yang kau tulis. Aku kehilangan satu-satunya jalan untuk mengobati rinduku, dan kini aku benar-benar terkurung dalam kehampaan.

Rindu ini berubah menjadi luka yang lebih dalam. Bukan hanya karena aku tak bisa melihatmu, tetapi karena aku sadar, aku memang bukan siapa-siapa bagimu. Jika dulu aku hanya sebatas bayangan di kejauhan, kini aku bahkan tak lagi memiliki ruang untuk sekadar mengintip dari balik tirai.

Aku ingin bertanya, ingin menuntut penjelasan, ingin berteriak bahwa ini tidak adil. Tapi untuk siapa aku mengadu? Untuk siapa aku meminta pengertian? Untuk alasan apa aku menuntut penjelasan? Bukankah sejak awal aku tahu di mana seharusnya aku berdiri bagimu?

Aku hanya bisa menelan pahitnya kenyataan. Seperti burung yang kehilangan langitnya, seperti laut yang tak lagi bisa menyentuh pantainya. Aku sendirian, terperangkap dalam rindu yang tak bisa kutuangkan ke mana-mana.

Dan entah sampai kapan aku akan tetap berdiri di sini, mengetuk pintu yang telah kau kunci, berharap suatu saat nanti kau akan membukanya lagi.

Meskipun aku tahu, harapan itu mungkin hanya akan menjadi kesia-siaan lain yang kupelihara dalam diam. Mungkin harapan itu hanya akan menjadi luka baru yang harus ku dambakan. Dan mungkin, harapan itu pula yang akan tetap kupeluk, bahkan saat ragaku abadi bersama bumi.

Minggu, 23 Maret 2025

Ombak Luka yang Tak Surut

3/23/2025 09:38:00 AM 3 Comments


Bantu aku untuk keluar dari labirin cinta ini. Aku tersesat dalam pusaran namamu, semakin berusaha keluar, semakin aku tenggelam. Aku lelah jatuh cinta sendirian, sedangkan kamu sudah melanjutkan perjalanan cintamu dengan orang baru. Langkahku semakin goyah, nyaris ku kehilangan daya karena masih terjebak di labirin cinta yang salah, sedangkan aku sendirian mencari jalan keluarnya. 
Aku tau, ini adalah kesakitan yang telah ku pilih sendiri. Luka yang sengaja kupelihara. Kebodohan yang sengaja ku nikmati. Untuk tetap berada di sisimu, menyaksikan kamu mencari dan menjemput bahagiamu. Sambil berharap, setelah ini akan lahir kebencian yang mendalam dari lubuk hati agar aku mempunyai alasan untuk tak lagi menatapmu meski dari kejauhan. Aku ingin sekali membencimu, benar-benar ingin! Tapi hatiku justru merangkul rasa sakit ini seperti sahabat lama yang enggan pergi. Semakin hari aku semakin sakit. Tapi aku tidak bisa membencimu! Sedikit pun aku tak bisa! 
Justru yang hadir di sudut hatiku adalah marah, kecewa, sedih, dan luka! Namun aku menikmati setiap perihnya. 
Karena berada di sisimu dan menikmati semua rasa itu datang seperti menyaksikan gemuruh ombak yang berkejaran. Terkadang hadir begitu pasang dan keras menghantam karang, dan terkadang datang dengan surut yang hanya membelai bibir pantai. Lalu aku, menikmati setiap desirannya. Aku menikmati setiap debur gemuruhnya. Tak lagi penting seberapa sakit ombak pasang menggulungku, hingga napasku terasa begitu berat. Asal aku, tetap berada di sisimu. 
Aku mungkin seperti kapal kecil yang terus terombang-ambing di laut tak bertepi, kehilangan arah, terjebak dalam arus yang sama. Namun laut pun tak selamanya bergelora. Entah kapan, mungkin suatu saat nanti, angin akan membawaku ke tepian yang tak lagi berbisik namamu. Mungkin juga aku akan kembali dibawa kepada dermaga asalku berada. Tempat di mana gelombang tak lagi mengajakku mengingatmu, dan aku akhirnya benar-benar bebas dari semua tentangmu.

Minggu, 09 Maret 2025

Di Antara Altar dan Mimbar

3/09/2025 05:43:00 AM 0 Comments


Di antara altar dan mimbar. Aku pernah menjadi orang bodoh yang menggantungkan cinta di sana. Melukis harap di atas kanvas semesta, agar kita berada pada titik yang sama. Berjalan merajut cita dan cinta bukan lagi berlandaskan seamin namun tak seiman. Aku pernah menjadi orang yang paling berharap terlalu tinggi, bahwa akan ada masa dimana kita berjalan menuju satu tempat yang sama. Melirihkan permohonan yang sama. Dengan amin dan iman yang sama. Tapi ternyata, aku menjadi orang yang paling dalam terjatuh karena harapanku sendiri.
Kamu tau? Kamu adalah seseorang yang terlalu baik untuk aku yang begitu kacau. Kamu si paling tenang untuk aku yang sering kali berisik menghadapi kenyataan. Kamu si paling tau bagaimana membuat ku harus bisa bernapas lagi di kala aku dihantam oleh badai yang begitu mencekik hidupku dan memilih untuk menyerah dari perjalanan ini. Kamu yang telah memberikan ku harapan bahwa akan ada kebahagiaan setelah sekian banyak luka yang ku derita. Kamu memberikan cinta serta mengisi kekosongan yang sering kali membuatku begitu rapuh. Kamu seperti malaikat penolong yang datang di saat aku sedang begitu hancurnya. 
Namun, sebaik dan sesempurna apapun kamu di mataku, harusnya aku tak pernah menaruh harap apalagi menggantungkan cinta kepadamu. Harusnya aku sadar bahwa aku sedang menciptakan kesakitan ku sendiri, saat ku tahu, aku melirihkan doa dengan lafaz "Ya Allah Ya Rahman" sedangkan kamu dengan kalimat "Dalam nama Bapa, Anak, dan Roh kudus." Tapi bodohnya, aku menikmati kesakitan yang perlahan ku ciptakan sendiri.
Aku pernah berpikir bahwa cinta akan menemukan jalannya sendiri. Bahwa kasih yang tumbuh di antara kita bisa menjembatani semua perbedaan, meruntuhkan dinding-dinding yang menghalangi, dan menyatukan dua hati yang saling memilih. Tapi ternyata, cinta pun punya batasnya. Ada garis yang tak bisa kita langkahi, ada doa yang tak bisa kita satukan, ada jalan yang tak bisa kita tempuh bersama.
Aku pernah memimpikan hari di mana aku menggenggam tanganmu di hadapan-Nya. Tapi di mana? Di depan altar atau di depan mimbar? Siapa yang akan kita panggil dalam doa, kepada siapa kita berserah? Aku mulai sadar bahwa tak peduli seberapa erat kita bertahan, dunia tak akan selalu berpihak pada kita.
Kita mencoba mengingkari kenyataan, berpura-pura bahwa waktu akan melonggarkan genggamannya. Tapi kita lupa, waktu hanya akan memperjelas luka. Cinta yang kita peluk erat, justru perlahan menggoreskan nyeri yang semakin dalam.
Kini, aku berdiri di persimpangan yang tak menawarkan pertemuan. Aku di sini dengan keimananku, dan kamu di sana dengan keyakinanmu. Kita saling memandang, tetapi tak bisa lagi melangkah mendekat. Kita saling mencintai, tetapi tak bisa lagi menggenggam.
Aku mencintaimu, bukan karena kita sama, tetapi karena kita berbeda dan tetap memilih untuk bertahan. Namun, cinta saja tidak cukup. Karena pada akhirnya, kita harus melepaskan—bukan karena berhenti mencinta, tetapi karena harus menghormati apa yang tak bisa disatukan.
Dan di antara altar dan mimbar, aku belajar bahwa perpisahan ini bukan tentang kekalahan, melainkan tentang keikhlasan. Tentang cinta kita yang bertahta di kasta tertingginya—bukan untuk dimiliki, tetapi untuk dimengerti. Dan aku ikhlas, tetap mencintai tanpa harus merebutmu dari Sang Penciptamu.

Selasa, 18 Februari 2025

Bersinar Tanpa Harapan

2/18/2025 01:46:00 PM 0 Comments

 


Katamu, jangan mencintai orang yang tidak mencintai balik. Karena itu sama saja kita telah menciptakan patah hatinya kita sendiri. Seperti kita menciptakan cinta seluas angkasa, tapi kelak akan merasakan luka sedalam samudra.

Tapi, pertanyaanku bukankah kita pernah saling mencintai? Jika pada akhirnya rasa itu kini telah hilang dari hatimu, aku tak peduli! Karena sejak awal aku tahu, di titik mana rasa ini akan berhenti. Di batas apa ia akan menetap atau menghilang.

Mungkin aku tak pernah memilih untuk jatuh cinta kepadamu. Aku tak pernah bisa memilih keadaan seperti apa yang ingin ku hadapi di hari esok. Tapi aku bisa memilih bagaimana aku menyikapi setiap rasa yang hadir dan tercipta secara tiba-tiba. Termasuk perihal rasa cinta dan sayangku untukmu. Jika kamu memilih untuk berhenti, pergi menjauh, lalu menghilang, dan mengubur segala rasa yang tertuju padaku. Maka, aku memilih untuk berhenti mencintaimu, dan memelihara rasa sayangku untukmu. Meskipun rasa sayang itu hanya mampu ku alirkan lewat bisikan permohonan kepada Sang Maha pelindung yang menggenggam jiwa ragamu.

Jika pada akhirnya kau memilih untuk tak pernah melihat dan menganggapku ada, membiarkan aku terus meringis kesakitan karena terus menerus dihujam kerinduan, sambil memikul rasa sayang untukmu, maka aku di sini memilih untuk menikmati kesakitan ini setiap harinya. Sendirian! 

Mungkin terlihat bodoh, tapi beginilah aku dengan kebodohannya. Itu mengapa, hal yang paling ku takutkan sebenarnya adalah perihal jatuh cinta! Sialnya, kamu berhasil membuatku jatuh cinta!

Meskipun kali ini, akan aku biarkan kamu dengan pilihanmu. Bersamanya, seperti sepasang rembulan dan bintang di malam terang. Indah, menyinari semesta dengan kemerlip dan terangnya cahayamu. Membuat malam yang sunyi menjadi kian syahdu dengan pendarmu yang menembus ke bumi.

Dan aku, akan seperti katamu, menjadi matahari yang tetap bersinar meski sendirian. Menatapmu sebagai rembulan dari kejauhan. Aku tidak akan menuntut apapun darimu, pun tak akan iri pada gugusan gemintang yang menemanimu. Bahkan aku tak lagi mengharap satu sentuhan, atau mungkin segaris cahayamu. Aku akan tetap menjadi matahari yang bersinar sendirian. Meski sendiri, ingatlah bahwa pada akhirnya matahari akan selalu menjadi sumber cahaya pada yang lainnya. Meski cahayaku terhalang kabut tebal, namun cahayaku masih bisa terlihat juga dirasakan. 

Harusnya pertemuan kita yang disebut gerhana menjadi sebuah kisah yang manis bukan seperti cerita orang-orang akan menjadi menakutkan, tapi pijarku redup menjadi abu abu. 

Pada akhirnya, cerita kita sudah berakhir, dengan cara kita masing-masing. Biarlah aku, tetap menjadi matahari yang berada diantara bulan, gugusan bintang juga planet lain yang terlihat namun tidak mendekat.

Meskipun akhir dari cerita tentang kita harus melahirkan luka yang tak akan hilang, namun aku belajar untuk menerima. Bahwa tak semua yang kita cintai harus kita miliki. Bahwa tak semua perjalanan kisah cinta harus berakhir dengan kebersamaan.

Aku akan tetap menjadi matahari yang setia menyinari semesta, meskipun hatiku terkulai lelah. Aku memilih untuk tetap bersinar dalam kesunyian, dan akan terus mengalirkan rasa sayangku lewat bisikan yang hanya bisa didengar oleh angin. Mengirimkan rasa cinta lewat cara yang tak tampak. Karena mungkin aku hanya ditakdirkan untuk mencintaimu dari kejauhan. Tanpa sentuhan, atau bahkan sekadar saling pandang.

Dan ketika waktunya tiba, aku harus menyaksikan kamu jauh lebih bahagia tanpa aku, aku akan tetap di sini. Sebagai matahari yang tak pernah berhenti menyinari dunia, meski tak ada yang memandangku, meski aku tak pernah benar-benar dianggap ada, meski kehadiranku hanya terasa sesaat. Aku akan selalu ada, meski tak benar-benar terlihat. Seperti matahari yang terbenam, namun tak pernah benar-benar hilang dari langit. Karena pendar cahayaku ada di antara rembulan dan gugusan gemintang.

 Aku, yang mencintaimu dalam senyap, akan terus hidup di antara cahaya dan bayang-bayang yang tak pernah bisa bersatu.

Minggu, 09 Februari 2025

Perayaan Rasa Rindu

2/09/2025 04:17:00 PM 0 Comments

 

Sudah ribuan langkah ku ayunkan semenjak perginya. Berjalan sendirian dengan membawa rasa yang masih sangat utuh.

Mencoba tak limbung di setiap langkahnya, tapi ternyata sudah beberapa kali ku terjatuh, merasakan sakit dan meringis menahan perih. 

Mencoba untuk selalu tersenyum dan terlihat menjadi manusia paling bahagia, nyatanya entah sudah berapa banyak rintik air mata menghujani wajah yang ku biarkan mengering dengan sendirinya.


Aku mengira, perginya bukanlah suatu masalah besar yang harus ku hadapi dalam perjalananku mengarungi kehidupan ini. 

Aku pikir, pamitnya akan membawa serta rasa yang pernah ia titipkan sementara waktu pada sudut relung kalbu. Nyatanya, apa yang telah ia titipkan kini menjadi beban yang begitu berat dan harus ku pikul setiap waktu. Karena, hati dan logikaku bukan lagi berdialog soal cinta yang pernah ia titipkan. Karena hati dan logika kini pun menanggung beratnya rindu yang selalu menggema tanpa jeda.

Sejak perpisahan dengannya, malam sunyi menjadi kawan setia yang menenamiku menghadiri perayaan rasa rindu.

Menyaksikan setiap memory yang terputar berulang kali. Memandang setiap potret dirinya yang tersusun rapih dalam galery dengan mata yang berkaca menahan agar bulirnya tak pecah dan membasahi wajah. 

Mendengar rekam suaranya yang berkali-kali ku putar bak melodi syahdu di sepinya malam diiringi segaris senyum serta linangan air mata perih kerinduan. 

Di setiap tanggal yang sama, aku menghitung sudah berapa ratus hari ku lewati tanpanya. Sudah berapa ratus kali ku merayakan rasa rindu untuknya.

Tanpa ku bertanya, kapan aku harus menyerah dan berhenti untuk menghadiri perayaan rasa rindu ini. 

Karena pertanyaan yang selalu berlalu lalang dalam benakku adalah;

Mengapa harus dia pemenang dari segala rasa yang tercipta? 

Mengapa aku harus berhenti pada momen perayaan rasa rindu hanya untuknya?

Dan, mengapa malam-malam ku harus selalu ramai dengan cerita perayaan rasa rindu berteman potret dirinya?

Hei, Tuan. Sejujurnya aku lelah harus menghadiri perayaan rasa rindu untukmu di setiap malamku. Tapi... mau bagaimana lagi?

Perayaan rasa rindu untukmu seolah menjadi ritual malamku sebelum aku melepas penatnya sandiwara kehidupan yang harus ku lakoni. 

Selasa, 04 Februari 2025

Luka Yang Kudekap Dalam Doa

2/04/2025 05:32:00 PM 0 Comments


Dari sekian banyak pasang mata yang menatap, sekian banyak senyuman yang menyapa, dan dari sekian banyak yang datang sekadar singgah, entah kenapa hatiku merasa terpikat padanya.

Sejak awal dia datang, aku tahu, mestinya tak ku sambut ia dengan hangat. Mestinya, tak ku bukakan pintu untuknya berlama-lama dalam bilik hatiku yang sedang merasa hampa. Karena ku tau, jika ia ku biarkan terlalu lama, akan datang rasa nyaman memeluk dirinya dan juga aku.

Setiap kali aku ingin berhenti menyapanya, ingin pergi menjauh darinya, ingin mengatakan padanya "keluarlah dari bilik hatiku" aku seolah ditarik oleh magnet yang berada pada setiap celoteh, tawa dan senyumannya. Yang terus menarik hatiku untuk ingin selalu bisa bersamanya.

Logikaku berkata, ini salah!! Ini tak boleh aku biarkan berlarut. logika ku selalu berteriak dengan lantang untuk berhenti pada permainan rasa yang sedang dimainkan olehku dan juga dirinya.

Tapi hati kecilku menolak. Karena selalu ada bunga bermekaran dalam dinding hatiku yang mulai terisi oleh namanya. Bunga-bunga itu semakin mekar, indah menyejukkan hati ketika dengan lugas ia mengirimkan sebuah kalimat "ana uhibbuki..."

 Mestinya, aroma bahagia dan cinta yang berembus dari hati kecilku mampu membuat aku dan dia bertahan dan berjuang untuk bersama.

Tapi, lagi-lagi logika mengalahkan suara hati kecil ku! mungkin juga, logikanya telah mematikan suara hati kecilnya!

Harapku, hadirnya mampu meramaikan kembali hati kecilku yang mulai terasa sepi dan hampa selama ini. Inginku, hadirnya menjadi bunga kebahagiaan yang terus tumbuh terpelihara dari hati kecilku yang mulai memahat namanya begitu indah dan dalam. Mau ku, melangkah menyusuri sisa perjalanan hidup ini bersamanya hingga duniaku atau dunianya berakhir pada waktunya. Dan khayalku, mampu menuliskan takdir tentang aku bersamanya sesuai apa yang kita inginkan.

Tapi ternyata, yang harus dihadapi adalah menyadari bahwa dia tidak akan pernah menetap. Bahwa dia hanya singgah meski telah memberikan cerita serta kesan yang terpahat begitu indah dalam sudut memori dan hati kecil terdalam. Ternyata, ia datang bukan sebagai sumber bahagiaku selamanya hingga akhir. 

Karena ternyata dia adalah luka yang tak pernah kuduga datangnya, ia adalah luka yang ku jaga dan ku pelihara. Meski ku tau, aku akan sakit mempertahankan namanya selalu ada dalam hati kecilku, atau selalu ku sebut dalam setiap doaku. Karena ternyata dia adalah luka yang sengaja ku dekap meski lirih, dan tak bisa ku lepaskan begitu saja untuk pergi. Meski ku tau, dia tak akan selangkahpun kembali kepadaku. Karena ternyata, dia adalah luka yang selalu ku biarkan bertahan adanya. Meski ku tau, ia hanya akan menganggapku angin lalu. 

Karena tentangnya, sudah terukir begitu dalam, di sudut hati kecilku, di dalam memori terindahku. Biarkanlah, ia selamanya menjadi luka yang ku dekap dalam doa. Meski sakit, tapi aku bahagia karena ia selalu ada.

Sabtu, 01 Februari 2025

Masih Kamu Pemenangnya

2/01/2025 02:14:00 PM 1 Comments


Pertemuan kita terlalu cepat dan singkat. Namun entah kenapa, rasa yang tercipta dan tertinggal begitu melekat dengan sangat hebat. 
Aku mengira setelah kata sepakat untuk kita mengakhiri apa yang kita rasa, berhenti mengharapkan segala yang tak mungkin untuk menjadi mungkin, semua akan kembali seperti semula. Seperti saat aku belum mengenalmu. 
Aku berpikir, bahwa rasa yang telah kita cipta pun akan ikut berakhir. Namun nyatanya tidak!
Setelah kita sepakat untuk saling melepaskan, berdamai dengan keadaan, ku biarkan kau berkelana mencari siapa yang mampu membuatmu bahagia dengan begitu paripurna. Ku persilahkan kau singgah dan menetap di hati siapa saja yang kau ingikan. Asal kau bahagia, begitu pikirku.
Lalu aku? 
Aku tetap berjalan, berusaha menjauh darimu, menjauh dari bayang-bayang tentangmu. Aku pun berkelana, mencari bahagia yang ku inginkan. Mencari kata bahagia dengan level yang setara saat aku bersamamu. Aku mencari penggantimu, mungkin dari wajah yang serupa, atau suara yang sama, atau bahkan mungkin dari kebiasaaan, hobi, dan segala kesukaanmu yang persis seperti mu. Tapi aku tidak pernah menemukannya. Dan tentu tidak akan pernah menemukannya!
 Ya. Bodohnya aku, karena aku mencarimu di orang lain.
Dari sekian banyak yang datang bertamu, tak juga ku temukan seseorang sepertimu. Mereka yang datang dan singgah sementara waktu hanya ingin memberi tahuku, bahwa tak ada seorangpun yang memiliki ketulusan rasa seperti yang kau bawa. Atau mungkin mereka membawa ketulusan rasa itu, namun hatiku sudah terkunci rapat hanya karena satu nama yaitu, kamu!
Hingga akhirnya aku tersadar, aku tak pernah benar-benar bisa menjauh darimu. Aku tak pernah benar-benar bisa melepaskanmu. Aku bahkan tak pernah ingin kita menjadi seperti semula, saat kita belum mengenal atau hanya baru sekadar bertegur sapa. Aku tersadar bahwa sampai kapanpun aku tak ingin menjadi orang lain lagi di matamu. Dan aku pun tak mengingkan kamu terlihat layaknya orang yang tak pernah ku kenal sama sekali dalam hidupku. Aku ingin kita tetap saling menjaga, mesti tak harus saling memiliki. Kita tetap saling mendekap, meski hanya dengan lewat barisan doa.
Karena ternyata, dari segala apa yang ku rasakan, dari siapapun yang datang dan mencoba merebut hatiku, dari sekian banyak yang ku perjuangkan dan ku harapkan, ternyata masih kamu lah pemenangnya. Ternyata masih kamu yang menduduki tahta tertinggi rasa sayangku. Masih kamu yang menjadi pemenang dalam hal mencuri rasa dan hatiku. Ya. Masih kamu pemenangnya.

Minggu, 26 Januari 2025

Seiring Waktu Berjalan

1/26/2025 11:49:00 PM 0 Comments



Seiring waktu yang berjalan, aku bertanya dalam diam, apa yang sebenarnya ia rasa untukku? Sekedar kagumkah? Atau memang percikan cinta itu ada di hatinya? Apakah dia merasakan hal yang sama dengan apa yang aku rasakan untuknya?

Rasa ini, berbalas atau hanya bertepuk sebelah tangan?

Entah… .

Hanya dia dan Tuhan yang tau, kan?

Sedangkan yang aku tau, seiring waktu berjalan, rasa yang ku punya semakin melekat erat!

Aku tau ini salah. Dan ini adalah kebodohan paling nyata yang ku pilih dalam perjalanan hidup ini. Tapi apalah daya, untuk benar-benar melepasnya aku tak kuasa!

Segila ini rasa yang ku punya untuknya!

Sebodoh ini aku membiarkan segala perasaan untuknya berkecamuk dalam dada!

Lelah! Tapi ku menyukainya…

Sakit!! Tapi aku menikmatinya..

Seiring berjalannya waktu, doa yang ku rapalkan berubah susunan kalimat permohonannya. Tak ada lagi paksaan. Yang ada adalah aku pasrah pada kehendak-Nya. Akan dibawa sampai ke titik mana segala rasa yang ku simpan ini.

Berujung bahagiakah? Atau akan berakhir mencipta luka yang lebih dalam sayatannya

Namun yang pasti, namanya tidak akan pernah terlewat kusebut dalam doa..

Seiring waktu yang berjalan, aku biarkan semesta yang menjawabnya. Menyatukan atau memisahkan. Menjadikan saling atau membiarkan kembali asing

Seiring waktu berjalan, semua akan menemukan titik akhirnya. Entah bahagia, atau justru berakhir nestapa. 


 

Rabu, 22 Januari 2025

Sabar yang Bagaimana Lagi

1/22/2025 10:26:00 AM 0 Comments

Sebenarnya, sabar versi apa yang harus aku punya untuk sebuah kata tunggu yang selalu kau pinta?

Sabar tingkat apa yang harus ku jejaki untuk sebuah kata “sebentar lagi” yang selalu kau bisikkan padaku?

Setiap kali aku meminta sedikit waktu untuk kita, kamu hanya menjawab dengan kalimat,”sabar,ya. Tunggu sebentar lagi.”

Lantas, sabar dan tunggu sebentar lagi yang bagaimana lagi yang harus ku miliki? Ketika di hari yang mestinya kamu libur dan ada untukku, kamu pun memilih menyibukkan diri. 

Apa yang sebenarnya sedang kamu perjuangkan? Hingga meminta sedikit waktumu saja rasanya sulit.

Sabar yang seperti apa lagi yang harus ku bangun setiap harinya. Di saat kamu bersikap tak peduli ketika aku hanya meminta sebagian kecil dari waktu yang kau habiskan untuk pekerjaaanmu, dunia sosialmu, ataupun juga hobimu. Saat kamu bersikap seolah meniadakan keberadaanku, aku diam. Mencoba untuk tidak memaksa apalagi merengek manja agar kamu menuruti mauku.

Bantu terangkan padaku, sabar yang bagaimana lagi yang harus ku pelihara untuk membuat hubungan ini tetap terasa baik-baik saja. Sedangkan sikapmu membuatku bertanya ragu, masih adakah cinta itu? Cinta yang dulu pernah kita agungkan bersama. Cinta yang mebuat kita merasa betapa dunia ku hanya kamu, pun sebaliknya, bahwa duniamu adalah aku. 

Kau tau? Aku hanya sedang rindu.

Rindu bersama denganmu. Rindu menghabiskan waktu berdua denganmu. Rindu segala tawa yang pernah kita cipta tanpa terhitung banyaknya.

Sekarang, mengapa harus selalu kalimat “Sabar, yaa..."

Sabar yang seperti apa lagi, Tuan?

Sedangkan di sini, tanpa kau tau, aku bersama setianya kata sabar selalu menunggumu. Meski aku harus belajar berkawan dengan air mata di tengah sepinya malam, hanya untuk membunuh rasa rinduku yang tak kunjung berhenti memanggil namamu.

Dalam tujuh hari, begitu sulitkah kamu menyisakan waktu meski hanya setengah jam lamanya?

Harus sampai kapan aku berjuang untuk memahamimu, sambil terus dipeluk oleh kata sabar?

Sabar yang bagaimana lagi yang harus ku pelihara, Tuan? Agar hatiku tak lagi berat menerima kamu yang lebih mencintai kesibukkanmu daripada mencintaiku.

Sabar yang bagaimana lagi yang harus ku genggam sebagai penguat untukku tetap berpijak pada hubungan ini. Tolong, beritahu ku, Sabar yang bagaimana lagi yang harus ku peluk sampai aku menemui kamu yang dulu begitu bahagia saat bersamaku.