“Kakak jawab dulu pertanyaan Rei, ada apa Kak Radit ke sini?”
“Cuma mau memastikan enggak ada sesuatu yang buruk terjadi sama kamu.” Jawab Radit yang tanpa ia sadari, sedari tadi tangannya terus menggenggam tangan Reina. Seperti seseorang yang takut kehilangan.
“Selain itu?” pancing Reina.
"Enggak ada, cuma itu." jawab Radit yang langsung melepaskan genggaman tangannya.
"Bohong. Ada apa, Ka sebenarnya?" desak Reina.
Radit pun langsung terlihat salah tingkah.
“Cuma mau memastikan enggak ada sesuatu yang buruk terjadi sama kamu.” Jawab Radit yang tanpa ia sadari, sedari tadi tangannya terus menggenggam tangan Reina. Seperti seseorang yang takut kehilangan.
“Selain itu?” pancing Reina.
"Enggak ada, cuma itu." jawab Radit yang langsung melepaskan genggaman tangannya.
"Bohong. Ada apa, Ka sebenarnya?" desak Reina.
Radit pun langsung terlihat salah tingkah.
“Jangan bercanda, Kak!” kata Reina yang masih saja mengalihkan pandangannya. Raditpun segera memegang wajah Reina dengan kedua telapak tangannya, dan menatap mata Reina dalam–dalam.
“Look at me! Apa Kakak terlihat sedang berbohong?” tanya Radit.
Reina yakin Radit memang jujur. Tapi Reina tidak ingin Radit jatuh cinta kepadanya.
“Enggak boleh, Kak! Please, jangan sama aku!” kata Reina tegas.
“Kenapa Rei? Apa harus ada larangan dan aturan untuk orang mencintai seseorang?” tanya Radit yang kembali menggenggam tangan Reina.
“Bagiku ada! Larangan untuk Kak Radit mencintai aku!” Reina bersikeras.
Radit pun tetap mendesak Reina untuk memberikan alasan mengapa Reina begitu takut dan menarik diri.
“Aku punya penyakit kanker, Ka.” Jawab Reina akhirnya air matanya mulai mengambang di pelupuk mata.
“Aku enggak peduli, Rei."
"Tapi aku peduli, Ka. Aku enggak mau kakak nanti sakit karena kehilangan aku. Please, jangan mencintai aku, Ka." Minta Reina. Air matanya sudah menetes satu persaru.
"Enggak bisa, Rei. Semua yang terjadi dengan kamu pun tidak bisa dijadikan alasan untuk menghalangi rasa sayang aku!” Radit masih berusaha meyakinkan Reina. Reina membetulkan posisi duduknya dan kemudian menjawab,
“Tapi aku benar-benar peduli, Ka. Aku peduli sama Kak Radit! Aku enggak mau Kakak merasakan sakit dan kecewa karena harus kehilangan aku! Lihat, Ka, penyakit aku bukan penyakit biasa, aku terkena kanker, Ka. Kanker paru–paru! Dokter bilang kecil kemungkinan aku akan bertahan lama.” Kata Reina mencoba meyakinkan Radit bahwa apa yang Radit rasakan itu tidak tepat. Air matanya semakin deras mengalir. Radit langsung menghapus air mata Reina yang membasahi pipinya yang lembut itu, dan langsung memeluknya.
“Radit enggak mau mendengar apapun lagi dari kamu, De. Radit cuma mau kamu tahu aku sayang kamu, aku cinta kamu, dan aku siap menerima apapun resikonya. Radit mau bantu kamu untuk sembuh. Kamu percaya, kan?” kata Radit yang masih memeluk Reina. Reina mengangguk memberikan jawaban.
“Mulai saat ini Radit siap menjadi seseorang yang selalu ada di samping Rei untuk menemani Rei dalam keadaan apapun. Radit mau menemani Rei hingga akhir waktu yang kita punya. Rei mau kan?” tanya Radit lagi.
Reina hanya menjawab dengan anggukan kepala.
****
Selama Reina dirawat, Radit tidak pernah hilang dari hadapannya. Hampir sepanjang pagi hingga malam Radit berada di sampingnya. Menemani, menghibur, dan meyakinkan dirinya jika ia akan segera sembuh. Walau pada nyatanya Reina belum melihat ciri-ciri bahwa ia akan segera sembuh. Bahkan, yang ia rasakan keadaan tubuhnya semakin hari semakin memburuk.
Hari ini, di penghujung bulan Desember 2011, Reina kembali harus merasakan sakitnya jarum infus yang menusuk tangannya. Reina harus diinapkan lagi. Karena kondisinya yang belum kunjung memberikan tanda kemajuan. Ini sudah hari ke tiga Reina di Rumah sakit. Malam ini, Reina ditemani sementara oleh Radit. Papa sedang pergi keluar membeli makanan, dan Mama sedang pulang untuk mengambil baju.
“Kak, Rei pulang aja, ya? Rei capek, Ka.” kata Reina dengan tatapannya yang begitu sendu.
“Sabar sayang, Radit yakin kamu pasti sembuh. Kamu harus kuat, ya? Kamu harus yakin kamu akan sembuh!” jawab Radit.
Reina mengangguk. Pasrah. Walau Reina tahu sesuatu hal terburuk akan menimpanya. Karena akhir-akhir ini Reina selalu mengalami mimpi buruk yang tidak seperti biasanya. Ia merasa waktu kepulangannya tak akan lama lagi. Tapi Reina sengaja tidak mengatakan itu kepada Radit karena ia takut akan menambahkan beban pikiran Radit.
“Ka, aku mau melihat bintang, boleh?” Tanya Reina. Tanpa mendebat, Radit langsung mengambilkan kursi roda yang memang sudah disediakan, dan membantu Reina untuk duduk di atas kursi roda, lalu membawa Reina ke depan jendela kamar. Radit membuka tirai kamar. Langit cerah pun terpampang indah di hadapan mereka.
“Kak, seandainya Tuhan memberikan Kak Radit kesempatan terakhir untuk meminta, apa yang mau Kak Radit minta?” tanya Reina.
Pertanyaan yang cukup membuat Radit merasa kaget dan bingung.
“Kok permintaan terakhir?” tanya Radit akhirnya.
“Ini hanya misalnya, Kak.”
“Hmm ... oke, Radit mau minta sama Tuhan agar pacar Radit ini panjang umur dan sehat seperti dulu.” jawab Radit sambil merangkul Reina yang berada di sampingnya.
Reina tersenyum dan berharap Tuhan mengabulkannya, walau rasanya tidak mungkin.
“Kalau kamu mau minta apa?” tanya Radit.
“Reina mau minta agar Tuhan selalu memberikan kebahagiaan dan kesehatan untuk Kak Radit. Apapun yang terjadi nantinya sama aku.” Jawab Reina yang disusul dengan senyuman kepada Radit.
Mereka pun kemudian menikmati keindahan taburan bintang dengan saling diam. Kemudian Reina meminta izin kepada Radit untuk meletakkan kepalanya di pundak Radit.
“Boleh, sayang.” Jawab Radit.
Dengan sigap Radit langsung merubah posisi berdirinya menjadi setengah berdiri. Hanya bertopang dengan kedua lututnya. Reina pun langsung meletakkan kepalanya di pundak Radit.
“Kak, Rei sayang dan cinta banget sama Kak Radit. Rei mau, Kakak janji untuk selalu bahagia, apapun yang terjadi sama Rei.” Kata Rei yang langsung mengecup pelan pipi Radit.
“Iya, sayang. Tadi kan sudah mengatakan itu. Radit juga sayang banget sama kamu.”
Mereka pun kembali terdiam untuk beberapa saat.
"Rei, kenapa diam?" tanya Radit dengan sedikit rasa khawatir.
"Enggak apa-apa, Ka. Aku ngantuk."
"Kalau gitu Kaka bantu kamu kembali ke kasur ya? Kamu istirahat."
"Enggak, Ka. Aku mau tidur di samping kak Radit, boleh?"
"Boleh sayang."
“Ka, kalau Rei tertidur nanti, sampaikan salam sayang dan cinta Rei untuk Mama, Papa dan Seila saat mereka datang nanti.” Kata Reina sambil menutup matanya perlahan.
Radit mengangguk memberikan jawaban.
Tidak lama kemudian Radit merasakan tubuh Reina semakin lemas. Ia berpikir Reina sudah tertidur pulas. Namun Radit baru menyadari bahwa napas Reina semakin tidak terasa. Genggaman tangannya pun semakin mengendur. Seketika keadaan terasa sangat sepi dan mencekam bagi Radit. Tidak ada suara sedikit pun yang terdengar. Kecuali degup jantungnya sendiri.
“Rei, sayang. Kamu tidur kah?” tanya Radit untuk meyakinkan apakah Reina masih dapat mendengarkannya.
Perlahan Radit mencoba mengangkat kepala Reina dari pundaknya. Menatap Reina. Mencoba membangunkannya. Tapi tidak ada jawaban sedikit pun. Dengan tangan yang sedikit bergemetar, Radit menyentuh lengan Reina. Mencoba mencari denyut nadi di sana. Tapi hasilnya nihil. Tak ada lagi denyut nadi, suara detak jantung, juga embusan napas dari Reina.
Reina telah tertidur panjang di dalam dekapannya. Sudah saatnya ia beristirahat panjang dari perjuangan melawan sakit selama ini.
Mata Radit memanas oleh air mata. Ia tahu, cepat atau lambat ini akan terjadi. Namun ia belum menyiapkan hati untuk menerima rasa sakitnya kehilangan Reina.
‘I love you, Rei’ bisik Radit sambil memeluk tubuh Reina dan membiarkan air matanya mengalir deras melepaskan kepergian Reina. Walau sakit dan terluka, namun ia lega karena telah menepati janjinya untuk mendampingi Reina hingga akhir waktu.
Ih selalu bikin mewek klo baca tulisan Bu tuh..
BalasHapusMakasih say krna selalu baca tulisan ambu..🥰😊🤗
BalasHapus