Pernah Ada
Aku pernah begitu kagum pada sosokmu yang tampak begitu tangguh menghadapi lika-liku kehidupan yang, katamu, sering kali menyakitkan.
Aku pernah begitu candu mendengar setiap cerita tentangmu—tentang sakit, lelah, air mata, juga bahagiamu. Dan aku bahagia bisa menjadi saksi atas setiap perjalanan juga pencapaianmu itu.
Aku pernah mencintaimu dengan luar biasa.
Mengabaikan logika yang berteriak, memintaku berhenti melangkah lebih jauh. Tapi aku tetap memilih masuk ke taman cinta yang sebenarnya banyak bunga berduri yang menyakitiku.
Aku pernah begitu bahagia ketika hanya aku yang kau cari—meski sekadar menjadi tempat membuang keluh kesah dan protesmu pada hidup yang kau jalani.
Aku pernah... sebahagia dan sejatuh cinta itu padamu.
Pernah?
Entahlah.. Mungkin sampai detik ku goreskan barisan kata ini, semua rasa itu msih utuh.
Namun mungkin, bahagia dan cintaku hanyalah angin lalu bagimu.
Mungkin, getaran cinta yang kurasa tak pernah benar-benar sampai ke dadamu.
Mungkin, semua yang kuperjuangkan, tak pernah menjadi sesuatu yang berharga untukmu.
Jadi, jika suatu hari aku pergi diam-diam dan menghilang, rasanya itu bukanlah hal yang sulit bagimu, bukan?
Karena, sejak awal, aku hanyalah pelengkap.
Yang dibutuhkan hanya sekali waktu.
Yang tak pernah masuk dalam daftar prioritasmu.
Yang tak akan pernah bisa memenangkan hatimu.
Maka jika aku benar-benar pergi dan ketika kamu menyadarinya, jangan pernah tanya aku ke mana.
Jangan pernah tanya kenapa aku tak lagi ada.
Karena aku pernah ada.
Namun kamu... tak pernah benar-benar melihatku. Tak pernah benar-benar menyadari bahwa kamu adalah alasan mengapa bahagiaku terasa begitu sempurna.