Minggu, 20 April 2025

Pernah Ada

4/20/2025 10:02:00 AM 0 Comments


Aku pernah begitu kagum pada sosokmu yang tampak begitu tangguh menghadapi lika-liku kehidupan yang, katamu, sering kali menyakitkan.  

Aku pernah begitu candu mendengar setiap cerita tentangmu—tentang sakit, lelah, air mata, juga bahagiamu. Dan aku bahagia bisa menjadi saksi atas setiap perjalanan juga pencapaianmu itu. 

Aku pernah mencintaimu dengan luar biasa.  

Mengabaikan logika yang berteriak, memintaku berhenti melangkah lebih jauh. Tapi aku tetap memilih masuk ke taman cinta yang sebenarnya banyak bunga berduri yang menyakitiku. 

Aku pernah begitu bahagia ketika hanya aku yang kau cari—meski sekadar menjadi tempat membuang keluh kesah dan protesmu pada hidup yang kau jalani.  

Aku pernah... sebahagia dan sejatuh cinta itu padamu.  

Pernah? 

Entahlah.. Mungkin sampai detik ku goreskan barisan kata ini, semua rasa itu msih utuh. 


Namun mungkin, bahagia dan cintaku hanyalah angin lalu bagimu.  

Mungkin, getaran cinta yang kurasa tak pernah benar-benar sampai ke dadamu.  

Mungkin, semua yang kuperjuangkan, tak pernah menjadi sesuatu yang berharga untukmu.

Jadi, jika suatu hari aku pergi diam-diam dan menghilang, rasanya itu bukanlah hal yang sulit bagimu, bukan?

Karena, sejak awal, aku hanyalah pelengkap.  

Yang dibutuhkan hanya sekali waktu.  

Yang tak pernah masuk dalam daftar prioritasmu.  

Yang tak akan pernah bisa memenangkan hatimu.

Maka jika aku benar-benar pergi dan ketika kamu menyadarinya, jangan pernah tanya aku ke mana.  

Jangan pernah tanya kenapa aku tak lagi ada.  

Karena aku pernah ada.  

Namun kamu... tak pernah benar-benar melihatku. Tak pernah benar-benar menyadari bahwa kamu adalah alasan mengapa bahagiaku terasa begitu sempurna. 

Jumat, 11 April 2025

Titik Kesia-siaan

4/11/2025 04:02:00 PM 0 Comments



Aku pernah mengatakan padamu, bahwa aku tak akan pernah berhenti mencintaimu. Bagaimanapun keadaannya. Aku jua pernah meyakinkan diriku sendiri bahwa kamu, akan menjadi orang terakhir yang aku cinta.

Tapi, entah kenapa, perlahan aku merasa cintaku berhenti. Tak ada lagi secercah harapan yang bisa kugenggam. Tidak ada lagi gemuruh semangat untuk mempertahankanmu tetap ada dalam perjalanan ku.

Jika hari ini cintaku berhenti, lalu perlahan aku melangkah menjauh, bukan karena aku membencimu, membenci keadaan, apalagi membenci takdir Tuhan. Bukan.

Ini hanya karena aku mulai sadar, bahwa aku sedang berdiri pada titik kesia-siaan. Tak ada harapan indah untuk kita merajut kisah bersama. Tak ada tanda-tanda bahwa takdir Tuhan berpihak untuk menyatukan kita. Maka, jika aku terus berdiri di sini, aku hanya sedang terus melukai diriku sendiri.

Aku memang pernah berkata, bahagiaku adalah melihat bahagiamu. Meski bahagiaku tak pernah benar-benar sempurna. Karena harus menyaksikan senyummu yang begitu tulus dan jujur … tapi untuk orang lain.

Tapi semakin hari, entah kenapa rasanya aku semakin lelah. Lelah menyaksikan bahagiamu yang tidak berasal dari aku.

Terlalu naif jika aku terus menerus mengatakan baik-baik saja dengan berada di tempatku saat ini, tempat dimana aku harus melepasmu, tapi aku tak sanggup membiarkanmu hilang. Tempat dimana aku ikut tersenyum melihatmu bahagia, tapi diam-diam hatiku meringis kesakitan. Tempat dimana aku hanya menjadi bayangan … pengisi kekosonganmu saja.

Mungkin mulai saat ini, aku memilih keluar dari titik kesia-siaan yang selama ini ku pijak. Mengayunkan langkah ku menuju ruang yang memberiku tenang dan bahagia yang jauh dari kata pura-pura.

Meskipun aku tak benar-benar ingin kehilanganmu dari pandangan, tapi setidaknya, kali ini, pijakanku bukan lagi tentang menunggu suatu hal yang sia-sia.

Setidaknya kali ini, aku akan belajar memulai menciptakan kebahagiaanku sendiri. Bahagia yang sempurna, tanpa bayanganmu. Tanpa keinginan untuk selalu bersanding denganmu.

Sabtu, 05 April 2025

Kau, Aku, dan Luka yang Tak Terlihat

4/05/2025 03:39:00 PM 0 Comments

 


Sejak awal, Ketika kau hadir memberikan nada baru dalam detak kehidupanku yang bertalu, aku sudah tau dimana seharusnya aku berdiri. Aku sudah membatasi siapa aku untukmu, pun sebaliknya. 

Berulang kali, aku membangun benteng agar langkahku tak  semakin jauh. Karena ku tau, semakin jauh dan dalam aku melangkah, semakin dekat aku dengan luka yang tak bisa diraba. 

Tapi nyatanya, benteng yang kubangun berulang kali ku hancurkan sendiri. Ku biarkan langkahku terayun mengikuti alur waktu. Semakin hari semakin jauh. Semakin hari, semakin dalam aku dibawa ke dalam labirin rasa yang menciptakan sayatan luka di setiap sisinya. Aku sakit, anehnya aku enggan pergi. Menjauh selangkah pun aku tak mampu. Membayangkan, kembali menjalani hari-hari tanpamu, hatiku remuk! 

Namun  jika bertahan pun, aku terluka. Anehnya, aku menikmati luka ini. Gila memang! 

Semenjak ku sadar belum terlalu jauh melangkah bersamamu, aku tau, kita adalah sebuah kesalahan yang enggan menjadi benar. Kita adalah sebuah kesakitan yang selalu saling menikmati perihnya sayatan luka yang tak dapat tersentuh. 

Entah, sudah berapa banyak bulir air mata menjadi kawan dalam pertempuran isi kepala dan hati kecilku, menjadi saksi perdebatan antara melepas atau bertahan di antara lereng-lereng kesunyian malam. 

Aku tau, aku sedang berdiri pada titik kesalahan. Tak semestinya aku ada. Tak semestinya aku biarkan langkahku sejauh dan sedalam ini untuk mengenal, atau  mungkin jatuh cinta padamu. Ya. Aku salah! Hingga ada di titik ini adalah salahku! 

Ingin ku pergi, membawa serta kesakitan yang harus ku sembuhkan sendiri, membawa bayang kerinduan yang kapanpun akan hadir memeluk jiwa. Tapi, langkahku tertahan. Oleh dua ego yang ingin kita selalu ada.

Aku harus apa sekarang? 

Bertahan di sisimu hanya memperpanjang durasi kesakitan yang bahkan tak menemukan obatnya. Melepas dan meninggalkan mu pun hanya akan mencipta kerinduan dan kehampaan yang abadi.

Diantara kebingunganku saat ini, satu hal yang paling ku tau adalah, aku ingin kamu bahagia. Bahagiamu adalah hal paling utama bagiku. Aku tak lagi peduli tentang rasa yang hadir dalam hatimu, atau yang tercipta dalam hatiku. Yang aku mau, dan cukup bagiku saat ini, kamu bahagia. Meski aku hanya akan menjadi bayangan dalam hari-hari yang terlewati.

Untuk kali ini, aku biarkan sang waktu menggulung kau, aku beserta luka yang tak terlihat. Hingga kelak, aku mampu keluar dari jeratan sang waktu dan temukan kata sembuh dari luka ini, meski sendiri. 

Minggu, 30 Maret 2025

Menyimpan Rindu

3/30/2025 05:17:00 AM 0 Comments


Aku masih bisa menuliskan namamu di layar. Masih bisa menyusun kata demi kata, lalu ku kirimkan sebagai pesan, dan menunggu balasanmu dengan debar yang sama. Kita masih berbicara, masih berbagi cerita—seolah tak ada yang berubah.

Tapi tetap saja, ada sesuatu yang kosong di antara kita.

Sebab, bagaimana mungkin aku mengungkapkan rindu yang tak bisa ditebus oleh waktu? Bagaimana mungkin aku menjelaskan bahwa setiap percakapan kita hanya menambah resah, sebab aku tahu, kau ada di sana, tapi tak mungkin ku datangi? Kau ada untukku, tapi hati dan ragamu seutuhnya tak bisa ku miliki. Dan aku tau, kau ada tapi tak akan pernah berada dalam dekapku secara nyata. 

Aku menahan diri untuk tidak mengatakan bahwa aku ingin bertemu. Bukan karena aku takut kau menolak, tapi karena aku tahu, ada batas yang tak bisa kita langkahi. Ada keadaan yang memaksa kita hanya untuk saling menemukan dalam baris-baris pesan, tanpa pernah benar-benar hadir di hadapan satu sama lain.

Aku menyimpan rindu ini sendirian. Merelakan perasaan yang tak bisa diungkapkan lebih dari sekadar kata. Sebab aku paham, tak semua rindu berhak menemukan jalannya. Tak semua rindu harus berujung pada temu. Ada yang harus bertahan dalam diam, ada yang harus cukup dengan kata-kata, dan ada yang hanya bisa menjadi bayangan samar dalam ruang yang tak lagi bisa dijejaki.

Dan aku? Aku memilih menyimpan rindu ini dalam sunyi. Dalam ruang yang tak bisa terjamah oleh siapapun. Dan aku memilih menyimpan rindu ini dalam rapalan doa di hadapan sang pencipta. 

Mungkin terlihat konyol dan memalukan. Tapi satu-satunya yang paling tahu seberapa besar rindu yang ku simpan adalah Dia, Sang Maha Tahu. Sebab aku tahu, memintamu datang hanya akan menjadi permohonan yang tak seharusnya ku ucapkan. 

Dinding pembatas kita terlalu tinggi berdiri kokoh. Sulit untuk dihancurkan hanya untuk mengumbar rindu yang memang tak semestinya terungkap. Jarak kita terlalu jauh. Antara harapan yang begitu indah dengan realita yang begitu menyesakkan.

Maka, biarkan aku menyimpan rindu ini. Meski sendirian dan entah sampai kapan. Setidaknya, cukup aku yang hancur tanpa harus menghancurkan apapun dan siapapun di antara kita.

Senin, 24 Maret 2025

Mengetuk yang Sia-sia

3/24/2025 04:56:00 AM 0 Comments


Aku pikir, rindu adalah luka yang masih bisa kutoleransi. Setidaknya, selama ini aku masih punya cara untuk mengobatinya—walau hanya dengan cara yang menyedihkan. Aku tak bisa memilikimu, tak bisa hadir di sisimu. Tapi aku masih bisa mengintip duniamu dari jauh, meski hanya lewat layar ponsel yang dingin dan bisu.

Namun kini, semua itu pun tak lagi bisa kulakukan.

Kau mengunci pintu yang selama ini diam-diam kusinggahi. Kau menutup akses bagi mataku untuk sekadar mencari jejak langkahmu. Aku tak lagi bisa membaca cerita harimu, melihat senyummu dalam potret yang kau unggah, atau sekadar menebak-nebak isi hatimu dari kalimat-kalimat yang kau tulis. Aku kehilangan satu-satunya jalan untuk mengobati rinduku, dan kini aku benar-benar terkurung dalam kehampaan.

Rindu ini berubah menjadi luka yang lebih dalam. Bukan hanya karena aku tak bisa melihatmu, tetapi karena aku sadar, aku memang bukan siapa-siapa bagimu. Jika dulu aku hanya sebatas bayangan di kejauhan, kini aku bahkan tak lagi memiliki ruang untuk sekadar mengintip dari balik tirai.

Aku ingin bertanya, ingin menuntut penjelasan, ingin berteriak bahwa ini tidak adil. Tapi untuk siapa aku mengadu? Untuk siapa aku meminta pengertian? Untuk alasan apa aku menuntut penjelasan? Bukankah sejak awal aku tahu di mana seharusnya aku berdiri bagimu?

Aku hanya bisa menelan pahitnya kenyataan. Seperti burung yang kehilangan langitnya, seperti laut yang tak lagi bisa menyentuh pantainya. Aku sendirian, terperangkap dalam rindu yang tak bisa kutuangkan ke mana-mana.

Dan entah sampai kapan aku akan tetap berdiri di sini, mengetuk pintu yang telah kau kunci, berharap suatu saat nanti kau akan membukanya lagi.

Meskipun aku tahu, harapan itu mungkin hanya akan menjadi kesia-siaan lain yang kupelihara dalam diam. Mungkin harapan itu hanya akan menjadi luka baru yang harus ku dambakan. Dan mungkin, harapan itu pula yang akan tetap kupeluk, bahkan saat ragaku abadi bersama bumi.

Minggu, 23 Maret 2025

Ombak Luka yang Tak Surut

3/23/2025 09:38:00 AM 3 Comments


Bantu aku untuk keluar dari labirin cinta ini. Aku tersesat dalam pusaran namamu, semakin berusaha keluar, semakin aku tenggelam. Aku lelah jatuh cinta sendirian, sedangkan kamu sudah melanjutkan perjalanan cintamu dengan orang baru. Langkahku semakin goyah, nyaris ku kehilangan daya karena masih terjebak di labirin cinta yang salah, sedangkan aku sendirian mencari jalan keluarnya. 
Aku tau, ini adalah kesakitan yang telah ku pilih sendiri. Luka yang sengaja kupelihara. Kebodohan yang sengaja ku nikmati. Untuk tetap berada di sisimu, menyaksikan kamu mencari dan menjemput bahagiamu. Sambil berharap, setelah ini akan lahir kebencian yang mendalam dari lubuk hati agar aku mempunyai alasan untuk tak lagi menatapmu meski dari kejauhan. Aku ingin sekali membencimu, benar-benar ingin! Tapi hatiku justru merangkul rasa sakit ini seperti sahabat lama yang enggan pergi. Semakin hari aku semakin sakit. Tapi aku tidak bisa membencimu! Sedikit pun aku tak bisa! 
Justru yang hadir di sudut hatiku adalah marah, kecewa, sedih, dan luka! Namun aku menikmati setiap perihnya. 
Karena berada di sisimu dan menikmati semua rasa itu datang seperti menyaksikan gemuruh ombak yang berkejaran. Terkadang hadir begitu pasang dan keras menghantam karang, dan terkadang datang dengan surut yang hanya membelai bibir pantai. Lalu aku, menikmati setiap desirannya. Aku menikmati setiap debur gemuruhnya. Tak lagi penting seberapa sakit ombak pasang menggulungku, hingga napasku terasa begitu berat. Asal aku, tetap berada di sisimu. 
Aku mungkin seperti kapal kecil yang terus terombang-ambing di laut tak bertepi, kehilangan arah, terjebak dalam arus yang sama. Namun laut pun tak selamanya bergelora. Entah kapan, mungkin suatu saat nanti, angin akan membawaku ke tepian yang tak lagi berbisik namamu. Mungkin juga aku akan kembali dibawa kepada dermaga asalku berada. Tempat di mana gelombang tak lagi mengajakku mengingatmu, dan aku akhirnya benar-benar bebas dari semua tentangmu.

Minggu, 09 Maret 2025

Di Antara Altar dan Mimbar

3/09/2025 05:43:00 AM 0 Comments


Di antara altar dan mimbar. Aku pernah menjadi orang bodoh yang menggantungkan cinta di sana. Melukis harap di atas kanvas semesta, agar kita berada pada titik yang sama. Berjalan merajut cita dan cinta bukan lagi berlandaskan seamin namun tak seiman. Aku pernah menjadi orang yang paling berharap terlalu tinggi, bahwa akan ada masa dimana kita berjalan menuju satu tempat yang sama. Melirihkan permohonan yang sama. Dengan amin dan iman yang sama. Tapi ternyata, aku menjadi orang yang paling dalam terjatuh karena harapanku sendiri.
Kamu tau? Kamu adalah seseorang yang terlalu baik untuk aku yang begitu kacau. Kamu si paling tenang untuk aku yang sering kali berisik menghadapi kenyataan. Kamu si paling tau bagaimana membuat ku harus bisa bernapas lagi di kala aku dihantam oleh badai yang begitu mencekik hidupku dan memilih untuk menyerah dari perjalanan ini. Kamu yang telah memberikan ku harapan bahwa akan ada kebahagiaan setelah sekian banyak luka yang ku derita. Kamu memberikan cinta serta mengisi kekosongan yang sering kali membuatku begitu rapuh. Kamu seperti malaikat penolong yang datang di saat aku sedang begitu hancurnya. 
Namun, sebaik dan sesempurna apapun kamu di mataku, harusnya aku tak pernah menaruh harap apalagi menggantungkan cinta kepadamu. Harusnya aku sadar bahwa aku sedang menciptakan kesakitan ku sendiri, saat ku tahu, aku melirihkan doa dengan lafaz "Ya Allah Ya Rahman" sedangkan kamu dengan kalimat "Dalam nama Bapa, Anak, dan Roh kudus." Tapi bodohnya, aku menikmati kesakitan yang perlahan ku ciptakan sendiri.
Aku pernah berpikir bahwa cinta akan menemukan jalannya sendiri. Bahwa kasih yang tumbuh di antara kita bisa menjembatani semua perbedaan, meruntuhkan dinding-dinding yang menghalangi, dan menyatukan dua hati yang saling memilih. Tapi ternyata, cinta pun punya batasnya. Ada garis yang tak bisa kita langkahi, ada doa yang tak bisa kita satukan, ada jalan yang tak bisa kita tempuh bersama.
Aku pernah memimpikan hari di mana aku menggenggam tanganmu di hadapan-Nya. Tapi di mana? Di depan altar atau di depan mimbar? Siapa yang akan kita panggil dalam doa, kepada siapa kita berserah? Aku mulai sadar bahwa tak peduli seberapa erat kita bertahan, dunia tak akan selalu berpihak pada kita.
Kita mencoba mengingkari kenyataan, berpura-pura bahwa waktu akan melonggarkan genggamannya. Tapi kita lupa, waktu hanya akan memperjelas luka. Cinta yang kita peluk erat, justru perlahan menggoreskan nyeri yang semakin dalam.
Kini, aku berdiri di persimpangan yang tak menawarkan pertemuan. Aku di sini dengan keimananku, dan kamu di sana dengan keyakinanmu. Kita saling memandang, tetapi tak bisa lagi melangkah mendekat. Kita saling mencintai, tetapi tak bisa lagi menggenggam.
Aku mencintaimu, bukan karena kita sama, tetapi karena kita berbeda dan tetap memilih untuk bertahan. Namun, cinta saja tidak cukup. Karena pada akhirnya, kita harus melepaskan—bukan karena berhenti mencinta, tetapi karena harus menghormati apa yang tak bisa disatukan.
Dan di antara altar dan mimbar, aku belajar bahwa perpisahan ini bukan tentang kekalahan, melainkan tentang keikhlasan. Tentang cinta kita yang bertahta di kasta tertingginya—bukan untuk dimiliki, tetapi untuk dimengerti. Dan aku ikhlas, tetap mencintai tanpa harus merebutmu dari Sang Penciptamu.

Selasa, 18 Februari 2025

Bersinar Tanpa Harapan

2/18/2025 01:46:00 PM 0 Comments

 


Katamu, jangan mencintai orang yang tidak mencintai balik. Karena itu sama saja kita telah menciptakan patah hatinya kita sendiri. Seperti kita menciptakan cinta seluas angkasa, tapi kelak akan merasakan luka sedalam samudra.

Tapi, pertanyaanku bukankah kita pernah saling mencintai? Jika pada akhirnya rasa itu kini telah hilang dari hatimu, aku tak peduli! Karena sejak awal aku tahu, di titik mana rasa ini akan berhenti. Di batas apa ia akan menetap atau menghilang.

Mungkin aku tak pernah memilih untuk jatuh cinta kepadamu. Aku tak pernah bisa memilih keadaan seperti apa yang ingin ku hadapi di hari esok. Tapi aku bisa memilih bagaimana aku menyikapi setiap rasa yang hadir dan tercipta secara tiba-tiba. Termasuk perihal rasa cinta dan sayangku untukmu. Jika kamu memilih untuk berhenti, pergi menjauh, lalu menghilang, dan mengubur segala rasa yang tertuju padaku. Maka, aku memilih untuk berhenti mencintaimu, dan memelihara rasa sayangku untukmu. Meskipun rasa sayang itu hanya mampu ku alirkan lewat bisikan permohonan kepada Sang Maha pelindung yang menggenggam jiwa ragamu.

Jika pada akhirnya kau memilih untuk tak pernah melihat dan menganggapku ada, membiarkan aku terus meringis kesakitan karena terus menerus dihujam kerinduan, sambil memikul rasa sayang untukmu, maka aku di sini memilih untuk menikmati kesakitan ini setiap harinya. Sendirian! 

Mungkin terlihat bodoh, tapi beginilah aku dengan kebodohannya. Itu mengapa, hal yang paling ku takutkan sebenarnya adalah perihal jatuh cinta! Sialnya, kamu berhasil membuatku jatuh cinta!

Meskipun kali ini, akan aku biarkan kamu dengan pilihanmu. Bersamanya, seperti sepasang rembulan dan bintang di malam terang. Indah, menyinari semesta dengan kemerlip dan terangnya cahayamu. Membuat malam yang sunyi menjadi kian syahdu dengan pendarmu yang menembus ke bumi.

Dan aku, akan seperti katamu, menjadi matahari yang tetap bersinar meski sendirian. Menatapmu sebagai rembulan dari kejauhan. Aku tidak akan menuntut apapun darimu, pun tak akan iri pada gugusan gemintang yang menemanimu. Bahkan aku tak lagi mengharap satu sentuhan, atau mungkin segaris cahayamu. Aku akan tetap menjadi matahari yang bersinar sendirian. Meski sendiri, ingatlah bahwa pada akhirnya matahari akan selalu menjadi sumber cahaya pada yang lainnya. Meski cahayaku terhalang kabut tebal, namun cahayaku masih bisa terlihat juga dirasakan. 

Harusnya pertemuan kita yang disebut gerhana menjadi sebuah kisah yang manis bukan seperti cerita orang-orang akan menjadi menakutkan, tapi pijarku redup menjadi abu abu. 

Pada akhirnya, cerita kita sudah berakhir, dengan cara kita masing-masing. Biarlah aku, tetap menjadi matahari yang berada diantara bulan, gugusan bintang juga planet lain yang terlihat namun tidak mendekat.

Meskipun akhir dari cerita tentang kita harus melahirkan luka yang tak akan hilang, namun aku belajar untuk menerima. Bahwa tak semua yang kita cintai harus kita miliki. Bahwa tak semua perjalanan kisah cinta harus berakhir dengan kebersamaan.

Aku akan tetap menjadi matahari yang setia menyinari semesta, meskipun hatiku terkulai lelah. Aku memilih untuk tetap bersinar dalam kesunyian, dan akan terus mengalirkan rasa sayangku lewat bisikan yang hanya bisa didengar oleh angin. Mengirimkan rasa cinta lewat cara yang tak tampak. Karena mungkin aku hanya ditakdirkan untuk mencintaimu dari kejauhan. Tanpa sentuhan, atau bahkan sekadar saling pandang.

Dan ketika waktunya tiba, aku harus menyaksikan kamu jauh lebih bahagia tanpa aku, aku akan tetap di sini. Sebagai matahari yang tak pernah berhenti menyinari dunia, meski tak ada yang memandangku, meski aku tak pernah benar-benar dianggap ada, meski kehadiranku hanya terasa sesaat. Aku akan selalu ada, meski tak benar-benar terlihat. Seperti matahari yang terbenam, namun tak pernah benar-benar hilang dari langit. Karena pendar cahayaku ada di antara rembulan dan gugusan gemintang.

 Aku, yang mencintaimu dalam senyap, akan terus hidup di antara cahaya dan bayang-bayang yang tak pernah bisa bersatu.

Minggu, 09 Februari 2025

Perayaan Rasa Rindu

2/09/2025 04:17:00 PM 0 Comments

 

Sudah ribuan langkah ku ayunkan semenjak perginya. Berjalan sendirian dengan membawa rasa yang masih sangat utuh.

Mencoba tak limbung di setiap langkahnya, tapi ternyata sudah beberapa kali ku terjatuh, merasakan sakit dan meringis menahan perih. 

Mencoba untuk selalu tersenyum dan terlihat menjadi manusia paling bahagia, nyatanya entah sudah berapa banyak rintik air mata menghujani wajah yang ku biarkan mengering dengan sendirinya.


Aku mengira, perginya bukanlah suatu masalah besar yang harus ku hadapi dalam perjalananku mengarungi kehidupan ini. 

Aku pikir, pamitnya akan membawa serta rasa yang pernah ia titipkan sementara waktu pada sudut relung kalbu. Nyatanya, apa yang telah ia titipkan kini menjadi beban yang begitu berat dan harus ku pikul setiap waktu. Karena, hati dan logikaku bukan lagi berdialog soal cinta yang pernah ia titipkan. Karena hati dan logika kini pun menanggung beratnya rindu yang selalu menggema tanpa jeda.

Sejak perpisahan dengannya, malam sunyi menjadi kawan setia yang menenamiku menghadiri perayaan rasa rindu.

Menyaksikan setiap memory yang terputar berulang kali. Memandang setiap potret dirinya yang tersusun rapih dalam galery dengan mata yang berkaca menahan agar bulirnya tak pecah dan membasahi wajah. 

Mendengar rekam suaranya yang berkali-kali ku putar bak melodi syahdu di sepinya malam diiringi segaris senyum serta linangan air mata perih kerinduan. 

Di setiap tanggal yang sama, aku menghitung sudah berapa ratus hari ku lewati tanpanya. Sudah berapa ratus kali ku merayakan rasa rindu untuknya.

Tanpa ku bertanya, kapan aku harus menyerah dan berhenti untuk menghadiri perayaan rasa rindu ini. 

Karena pertanyaan yang selalu berlalu lalang dalam benakku adalah;

Mengapa harus dia pemenang dari segala rasa yang tercipta? 

Mengapa aku harus berhenti pada momen perayaan rasa rindu hanya untuknya?

Dan, mengapa malam-malam ku harus selalu ramai dengan cerita perayaan rasa rindu berteman potret dirinya?

Hei, Tuan. Sejujurnya aku lelah harus menghadiri perayaan rasa rindu untukmu di setiap malamku. Tapi... mau bagaimana lagi?

Perayaan rasa rindu untukmu seolah menjadi ritual malamku sebelum aku melepas penatnya sandiwara kehidupan yang harus ku lakoni. 

Selasa, 04 Februari 2025

Luka Yang Kudekap Dalam Doa

2/04/2025 05:32:00 PM 0 Comments


Dari sekian banyak pasang mata yang menatap, sekian banyak senyuman yang menyapa, dan dari sekian banyak yang datang sekadar singgah, entah kenapa hatiku merasa terpikat padanya.

Sejak awal dia datang, aku tahu, mestinya tak ku sambut ia dengan hangat. Mestinya, tak ku bukakan pintu untuknya berlama-lama dalam bilik hatiku yang sedang merasa hampa. Karena ku tau, jika ia ku biarkan terlalu lama, akan datang rasa nyaman memeluk dirinya dan juga aku.

Setiap kali aku ingin berhenti menyapanya, ingin pergi menjauh darinya, ingin mengatakan padanya "keluarlah dari bilik hatiku" aku seolah ditarik oleh magnet yang berada pada setiap celoteh, tawa dan senyumannya. Yang terus menarik hatiku untuk ingin selalu bisa bersamanya.

Logikaku berkata, ini salah!! Ini tak boleh aku biarkan berlarut. logika ku selalu berteriak dengan lantang untuk berhenti pada permainan rasa yang sedang dimainkan olehku dan juga dirinya.

Tapi hati kecilku menolak. Karena selalu ada bunga bermekaran dalam dinding hatiku yang mulai terisi oleh namanya. Bunga-bunga itu semakin mekar, indah menyejukkan hati ketika dengan lugas ia mengirimkan sebuah kalimat "ana uhibbuki..."

 Mestinya, aroma bahagia dan cinta yang berembus dari hati kecilku mampu membuat aku dan dia bertahan dan berjuang untuk bersama.

Tapi, lagi-lagi logika mengalahkan suara hati kecil ku! mungkin juga, logikanya telah mematikan suara hati kecilnya!

Harapku, hadirnya mampu meramaikan kembali hati kecilku yang mulai terasa sepi dan hampa selama ini. Inginku, hadirnya menjadi bunga kebahagiaan yang terus tumbuh terpelihara dari hati kecilku yang mulai memahat namanya begitu indah dan dalam. Mau ku, melangkah menyusuri sisa perjalanan hidup ini bersamanya hingga duniaku atau dunianya berakhir pada waktunya. Dan khayalku, mampu menuliskan takdir tentang aku bersamanya sesuai apa yang kita inginkan.

Tapi ternyata, yang harus dihadapi adalah menyadari bahwa dia tidak akan pernah menetap. Bahwa dia hanya singgah meski telah memberikan cerita serta kesan yang terpahat begitu indah dalam sudut memori dan hati kecil terdalam. Ternyata, ia datang bukan sebagai sumber bahagiaku selamanya hingga akhir. 

Karena ternyata dia adalah luka yang tak pernah kuduga datangnya, ia adalah luka yang ku jaga dan ku pelihara. Meski ku tau, aku akan sakit mempertahankan namanya selalu ada dalam hati kecilku, atau selalu ku sebut dalam setiap doaku. Karena ternyata dia adalah luka yang sengaja ku dekap meski lirih, dan tak bisa ku lepaskan begitu saja untuk pergi. Meski ku tau, dia tak akan selangkahpun kembali kepadaku. Karena ternyata, dia adalah luka yang selalu ku biarkan bertahan adanya. Meski ku tau, ia hanya akan menganggapku angin lalu. 

Karena tentangnya, sudah terukir begitu dalam, di sudut hati kecilku, di dalam memori terindahku. Biarkanlah, ia selamanya menjadi luka yang ku dekap dalam doa. Meski sakit, tapi aku bahagia karena ia selalu ada.