Kepergian Yang Tak Diharapkan
Ada perasaan yang tak pernah sepenuhnya milik kita. Ia datang bagai aliran sungai di tengah kemarau, menghadirkan sejuk di hati yang gersang. Ia mengalir lembut, mencipta harapan yang tumbuh seperti kuncup bunga di musim semi. Namun, kehilangannya tetaplah meninggalkan luka.
Kita tidak pernah saling berjanji, tidak pernah saling memiliki. Kita hanya pernah saling mengakui, bahwa ada satu rasa yang sama hadir dalam hati tanpa bisa kita pungkiri. Kita pernah saling menyadari, bahwa kita tak mungkin untuk saling memiliki, tetapi aku tahu… ada ruang kecil dalam diriku yang pernah kau huni. Dan kini, ruang itu sunyi.
Aku mengerti kenapa kau pergi. Karena kita hidup di dua keadaan yang tak bisa dipaksa untuk dipersatukan. Kau, dengan langkah menuju masa depan yang telah ditentukan. Aku, dengan jalanku sendiri yang sudah lama aku pilih. Tapi meski semua itu masuk akal, rasa sakit ini tetap tinggal, mengendap seperti seduhan kopi pahit, meninggalkan getir di setiap tegukan waktu. Aku tak bisa menumpahkannya, tapi juga tak mampu menelannya.
Aku tidak menyalahkanmu, juga tidak menyalahkan diriku. Aku bahkan tak mampu menyalahkan waktu, dan juga keadaan yang telah mempertemukan kita. Mungkin, cinta tak selalu berarti tinggal. Mungkin, cinta tak selalu bermakna bersama. Mungkin, cinta tak harus memiliki. Kadang, cinta berarti pergi. Kadang cinta bermakna melepaskan. Kadang cinta adalah mengikhlaskan.
Tanda-tanda kepergianmu seperti kabut yang perlahan turun, menyelimuti setiap percakapan kita. Kata-katamu semakin datar, seperti langit yang kehilangan warna saat senja berlalu. Meski caramu menghilang meninggalkan pertanyaan yang tidak akan pernah terjawab, aku tahu, itu adalah pilihan yang harus kau ambil.
Tidak ada kalimat penutup untuk apa yang kita rasa. Tidak ada kalimat pamit yang indah untuk kukenang darimu. Hanya hening, yang berubah menjadi jarak. Jarak yang kini menjadi sebuah tembok pembatas, yang bahkan aku tak tahu harus kuhancurkan atau biarkan berdiri.
Pada akhirnya, kita memang harus saling melepaskan. Saling menatap jalan yang terbentang di hadapan masing-masing. Meski kepergianmu adalah hal yang tak pernah kuharapkan. Tapi kepergianmu memberiku pelajaran tentang begini rasanya kehilangan seseorang yang tak pernah sepenuhnya kumiliki. Begini rasa sakitnya melepaskan kalimat "aku menyayangimu" yang sempat melekat dengan begitu hebat. Seperti menyesali mimpi indah yang terlalu cepat berakhir.
Semoga langkahmu selalu ringan untuk menggapai masa depan seperti apa yang pernah kau impikan. Semoga jalanmu penuh cahaya kebahagiaan, meski bukan aku sumber cahaya itu.
Dan aku…
Aku akan belajar mengubur kenangan itu seperti benih yang kutanam dalam-dalam di tanah. Semoga, suatu saat, ia tumbuh menjadi pohon kebijaksanaan, agar aku bisa berdiri tegak meski ranting-rantingnya penuh luka. Aku akan belajar untuk tidak pernah menyesali deklarasi rasa yang pernah saling terlontar di antara kita. Aku akan belajar berdamai dengan keadaan yang cukup menyakitkan ini. Dan aku, mungkin akan belajar untuk tak lelah meminta pada Sang Pemilik rasa untuk menghapus segala rasaku untukmu. Agar inginmu, dan harapku menjadi nyata; bahagia dengan versi kita masing-masing.