Sabtu, 11 April 2020

Sebuah Jawaban (Part 2)

4/11/2020 02:51:00 PM 2 Comments

Senja mulai menurunkan tirainya, dan aku masih menikmati waktu dengan memandang potret Kenan. Beginilah caraku menikmati waktu tiap akhir pekan. Berdiam diri di kamar, merehatkan pikiran dan badan yang sudah lelah memikirkan kerjaan di butik, sambil memandangi potret Kenan. Lelaki yang tak pernah mampu aku biarkan untuk pergi dari hati dan pikiran.

Tiba-tiba saja ponselku berdering. Nomor tanpa nama tertera di layar ponselku. Aku pun menjawab panggilan itu dengan sedikit keraguan.

“Halo Ta, apa kabar?” Sapa orang di sebarang telepon.

Aku tak percaya dengan suara yang baru saja aku dengar! Aku merasa seperti sedang berhalusinasi bahwa potret yang berada di genggamanku itu bersuara.

“Halo, Ta.” Suara di sebrang telepon memanggilku lagi. Dadaku seketika berdetak lebih cepat dari normalnya. Ada rasa bahagia tak terkira. Setelah dua tahun benar-benar tidak ada komunikasi, tidak lagi mendengar suaranya, dan kini suara itu kembali menyapa. Aku nyaris ingin menjerit bahagia karenanya.

“Hai, Kenan. Aku baik. Kamu?” jawabkku dengan sebisa mungkin menyembunyikan getar suaraku.

“Aku baik. Bisa keluar rumah sebentar?” tanya Kenan. Aku langsung mengintip dari jendela kamarku yang berada di lantai atas, dan melihat ia sedang berdiri di depan rumahku.

“Bisa, tunggu sebentar.” Jawabku yang langsung memutuskan sambungan telepon, dan mengganti baju secepat kilat. Lalu berlari menuruni anak tangga.

Sebuah Jawaban (Part 1)

4/11/2020 02:47:00 PM 0 Comments

“Ta, besok aku tetap harus pergi. Papa minta aku menggantikannya sementara waktu mengurus usahanya yang di Singapur.” Kata dia sore itu, di tempat makan favorit kami, sepulang aku kuliah. Dia menjemputku sore itu sepulang kerja. Aku dan dia terpaut usia empat tahun. Dia sudah sibuk dengan dunia kerjanya, sedang aku, sedang sibuk memikirkan proposal skripsi.

Aku hanya diam mendengar keputusannya. Aku bisa apa? Aku tak ingin menjadi wanita egois, aku tidak ingin merusak hubungan harmonis antara anak dan ayahnya. Maka lebih baik aku mengalah, bukan?

“Ta, kenapa diam? Ngomong lah, Ta. Jangan diam aja.” Pintanya sambil menatapku.

“Pergilah kalau memang kamu harus pergi, jaga dirimu baik-baik selama di sana.” Jawabku sambil mengalihkan pandangan darinya.

“Apa kita enggak bisa coba untuk …”

“Gak perlu. Kamu tau prinsip aku, kan? Aku enggak mau ganggu kamu. Aku mau kamu fokus dengan urusan kamu di sana.”Ucapku memotong kalimatnya. Aku tahu apa yang akan dia minta. Dia pun hanya terdiam mendengar keputusanku.

Sore itu, tempat dan makanan favoritku seolah berubah rasa. Tempat itu menjadi tempat menyimpan cerita bahagiaku dengannya, juga saksi atas perpisahan kami. Makanan kesukaanku pun terasa begitu hambar. Aku benar-benar tidak bias menikmati momen kebersamaan dengannya sore itu. Tidak seperti hari-hari sebelumnya.

“Aku mau pulang.” Pinta ku tak lama kemudian.

Jumat, 10 April 2020

Sepertinya!

4/10/2020 12:38:00 PM 0 Comments
Saat mata memandang potret dirinya
Saat telinga mendengar kisah demi kisahnya
Kala hati mencoba ikut merasakannya
Di saat ia tak lagi ada
Alam pikiran membawa memori memori masa lalu saat bersamanya
Kehadapanku dengan begitu nyata.
Aku mulai berbisik dalam diam

Aku ingin sepertinya.

Sanggup merasakan lelah, yg mungkin bisa beratus kali lipat dari rasa lelah yang orang lain rasakan
Memberikan kasih sayang juga perhatian yang tulus untuk ummat
‎ Menjadikan ladang dakwah dimanapun ia berdiri sebagai bekal untuk berpulang
‎ Memberikan karya terbaik sebelum berjalan menuju negri abadi
‎ Meninggalkan jejak yang indah di ingatan siapa saja

Aku ingin sepertinya

Seperti ia yang tak peduli peluh hingga darah yg menetes
Demi memberikan yang terbaik bagi ummat dan agama ini
‎ Mencintai anak-anak yang tak ada ikatan darah dengannya
namun ia mencintai juga menyayanginya layak anak sendiri
‎Seperti ia yang amarahnya adalah bentuk cinta dan kasih sayang

‎Namun tanya dalam benak
mampukah aku?

Melawan Lelah hingga rasa lelah itu menjadi lelah melekat padaku
Melakukan kebaikan demi kebaikan
Hingga aku lupa sudahkah aku melakukan kebaikan-kebaikan itu?
Bekerja dan berkorban dengan tetesan peluh hingga darah yang ku punya
Tanpa ada hitungan matematika duniawi


Mampukah aku?

Entah. Jawab dari penjuru hati kecil

Aku hanya tahu, bahwa diri ini ingin sepertinya

Seperti ia sang lelaki cinta pertamaku
Lelaki yang darahnya mengalir dalam tubuhku
Lelaki yang selalu mencintaiku tanpa syarat dan tanpa pamrih
Sosok pejuang paling nyata dan paling dekat dihadapanku

Aku ingin sepertinya

Seperti ia yang menutup usianya dengan senyuman abadi
Senyuman penuh kedamaian, yang memancarkan makna
"Aku pulang. Waktu ku sudah selesai di sini. Lanjtkanlah estafet dakwah ini. Aku yakin, kamu bisa."

Ah, aku tak begitu yakin. Namun aku ingin sekali sepertinya.

Seperti ia, lelakiku, yang ku panggil Abi.

Rabu, 01 April 2020

Cinta Dalam Netra

4/01/2020 02:53:00 PM 1 Comments

 

 

Sudah dua tahun perpisahan itu terjadi. Tapi bagi Aksa kejadian itu seperti baru kemarin. Semua masih terlihat begitu jelas dan nyata. Tatapan mata, raut wajah, serta rasa kecewa dari gadis itu masih bisa ia lihat dengan jelas. Seandainya saja kesalahan itu tidak pernah terjadi, pasti dia masih bersama gue di sini. Bisik hati Aksa begitu lirih sambil menatap langit-langit kamarnya.

Fany, gadis cantik nan mungil serta pintar. Dialah yang tidak pernah bisa menghilang dari pikirannya, ataukah memang Aksa yang tidak berani menghilangkannya? Entahlah, yang pasti Aksa masih merasa begitu kehilangan sejak perpisahan itu. 

Perempuan yang ia kira tidak akan pernah membawa pengaruh besar dalam hidupnya itu ternyata telah menyihirnya tanpa sadar. Perempuan yang ia pikir sama dengan perempuan-perempuan lainnya, ternyata berbeda. Aksa pun baru menyadarinya sejak malam itu, malam perpisahan yang tidak pernah ia duga sebelumnya.