Menata, Lalu Lenyap
Dia, si paling setia dan sabar menemani hari-hariku yang begitu berantakan. Tersebab seseorang yang tega memporakporandakan! Mendampingi langkah perjalananku menuju sembuh dari luka yang bukan dia penciptanya.
Padahal dia bukan sumber atas kehancuran dan rapuhnya aku. Tapi dia, rela berjuang agar aku sembuh! Agar aku mampu mencipta harapan dan membangun impian kembali setelah merasa tak layak memiliki harapan apapun dalam hidup ini.
Tapi dia tau, bagaimana caranya membuatku membangun kembali rasa percaya. Ia tau bagaimana meyakinkanku bahwa dunia tak sejahat yang aku pikir. Bahwa dunia masih memiliki kehangatan, dan bahwa hati ini masih layak untuk kembali merasa apa itu, hidup? dan apa itu cinta?
Di tengah hatiku yang terasa begitu remuk, dia dengan penuh kesungguhan mengatakan. "Lukamu gak akan hilang dalam semalam, tapi aku ada di sini menemani sampai kamu kuat dan melupakan kesakitanmu saat ini."
Kalimatnya sederhana, namun sangat berarti untukku. Dia menata ulang puing-puing kepercayaanku yang telah hancur berserakan. Dia menyusun harapan yang sudah cukup lama ku abaikan. Dia terus menguatkanku dari waktu ke waktu, agar ku mampu meraih apa yang menjadi impianku selama ini. Tutur kata serta sikapnya seolah saling bekerja sama mendorong hatiku jatuh padanya. Perlahan namun pasti, ia menjadi pusat dari segalanya bagiku.
Aku pikir, dia memanglah seseorang yang dikirimkan Tuhan untuk menjadi obat sekaligus pengganti bagi dia yang telah pergi. Aku kira, dia akan selamanya berada di sisi. Namun segala yang aku pikirkan dan aku kira tak pernah terjadi.
Dia hadir bukan untuk benar-benar tinggal, ia hanya singgah. Singgahnya membangun apapun yang telah runtuh dari diriku. Dia datang hanya untuk menata, bukan untuk menetap. Dia hadir hanya untuk membangun kembali duniaku yang telah runtuh, hancur berantakan. membuatku berani untuk kembali mencinta. Namun setelah ia memastikan bahwa kakiku telah kembali kuat berdiri, luka ku sudah nyaris sempurna terobati, ia pamit pergi.
Kepergiannya menyisakan jejak tanya, "Apakah hati ini harus kembali hancur?"
Tapi menyedihkannya kali ini ia harus hancur oleh seseorang yang sempat membantu untuk pulih dan utuh lagi.
Apakah luka ini harus terbuka lagi? Padahal dia yang telah menutupnya dengan sangat rapat.
Aku tak tahu apa yang lebih menyakitkan: kehilangan seseorang yang menghancurkan segalanya, atau kehilangan seseorang yang membangun segalanya lalu ditinggal pergi.
Aku tak tau, haruskah berterimakasih kepadanya karena pernah membantuku menata segala hal yang hancur, ataukah marah dan membenci karena dia memilih untuk pergi dan lenyap.
Karena harapku, dia hadir untuk menjadi yang terakhir. Inginku, dia singgah untuk sebuah kata sungguh. Namun ternyata, takdir Tuhan ternyata tak sejalan dengan harap dan inginku. Dia datang hanya untuk menata, bukan menetap.