Selasa, 10 Desember 2024

Menata, Lalu Lenyap

12/10/2024 01:29:00 AM 0 Comments


Dia, si paling tau bagaimana rapuh dan hancurnya aku waktu itu. 
Kacau! Tak lagi memiliki harapan, apalagi kepercaayan terhadap apapun dan siapapun! Terlebih harapan dan kepercayaan soal cinta. Menjadi seseorang yang tak lagi memiliki semangat untuk hidup! Hanya berpikir bagaimana caranya cepat pergi dari dunia yang begitu keras dan tak adil ini. Merasa bahwa tak ada lagi alasan untuk ku terus bertahan pada keadaan yang bagiku sangat menyakitkan. 

Dia, si paling setia dan sabar menemani hari-hariku yang begitu berantakan. Tersebab seseorang yang tega memporakporandakan! Mendampingi langkah perjalananku menuju sembuh dari luka yang bukan dia penciptanya. 

Padahal dia bukan sumber atas kehancuran dan rapuhnya aku. Tapi dia, rela berjuang agar aku sembuh! Agar aku mampu mencipta harapan dan membangun impian kembali setelah merasa tak layak memiliki harapan apapun dalam hidup ini.

Tapi dia tau, bagaimana caranya membuatku membangun kembali rasa percaya. Ia tau bagaimana meyakinkanku bahwa dunia tak sejahat yang aku pikir. Bahwa dunia masih memiliki kehangatan, dan bahwa hati ini masih layak untuk kembali merasa apa itu, hidup? dan apa itu cinta?

Di tengah hatiku yang terasa begitu remuk, dia dengan penuh kesungguhan mengatakan. "Lukamu gak akan hilang dalam semalam, tapi aku ada di sini menemani sampai kamu kuat dan melupakan kesakitanmu saat ini." 

Kalimatnya sederhana, namun sangat berarti untukku. Dia menata ulang puing-puing kepercayaanku yang telah hancur berserakan. Dia menyusun harapan yang sudah cukup lama ku abaikan. Dia terus menguatkanku dari waktu ke waktu, agar ku mampu meraih apa yang menjadi impianku selama ini. Tutur kata serta sikapnya seolah saling bekerja sama mendorong hatiku jatuh padanya. Perlahan namun pasti, ia menjadi pusat dari segalanya bagiku.

Aku pikir, dia memanglah seseorang yang dikirimkan Tuhan untuk menjadi obat sekaligus pengganti bagi dia yang telah pergi. Aku kira, dia akan selamanya berada di sisi. Namun segala yang aku pikirkan dan aku kira tak pernah terjadi.

Dia hadir bukan untuk benar-benar tinggal, ia hanya singgah. Singgahnya membangun apapun yang telah runtuh dari diriku. Dia datang hanya untuk menata, bukan untuk menetap. Dia hadir hanya untuk membangun kembali duniaku yang telah runtuh, hancur berantakan. membuatku berani untuk kembali mencinta.  Namun setelah ia memastikan bahwa kakiku telah kembali kuat berdiri, luka ku sudah nyaris sempurna terobati, ia pamit pergi. 

Kepergiannya menyisakan jejak tanya, "Apakah hati ini harus kembali hancur?"

Tapi menyedihkannya kali ini ia harus hancur oleh seseorang yang sempat membantu untuk pulih dan utuh lagi.

 Apakah luka ini harus terbuka lagi? Padahal dia yang telah menutupnya dengan sangat rapat.

Aku tak tahu apa yang lebih menyakitkan: kehilangan seseorang yang menghancurkan segalanya, atau kehilangan seseorang yang membangun segalanya lalu ditinggal pergi.

Aku tak tau, haruskah berterimakasih kepadanya karena pernah membantuku menata segala hal yang hancur, ataukah marah dan membenci karena dia memilih untuk pergi dan lenyap.

Karena harapku, dia hadir untuk menjadi yang terakhir. Inginku, dia singgah untuk sebuah kata sungguh. Namun ternyata, takdir Tuhan ternyata tak sejalan dengan harap dan inginku. Dia datang hanya untuk menata, bukan menetap. 

Minggu, 01 Desember 2024

Lembaran Kenangan

12/01/2024 12:41:00 PM 2 Comments


Harusnya aku sudah benar-benar selesai untuk membaca buku baru yang dengan sengaja ku pinjam dari orang lain. Mestinya, buku itu lekas ku kembalikan, di saat aku sudah membaca semua isi pada prolog dan juga bab pertamanya. Namun, aku terlalu penasaran untuk membaca alur cerita berikutnya. Dan sialnya aku mulai jatuh hati pada setiap rangakaian diksi yang disajikannya

Setiap alur ceritnya membuatku berdecak kagum pada si tokoh utama.

Aku terus membuka setiap babnya. Membacanya setiap hari. Menikmati barisan diksi yang membuat ku semakin jatuh cinta. 

Hingga suatu ketika, sang waktu menyuruhku berhenti untuk membacanya. Sang waktu memintaku untuk kembalikan buku itu pada yang semestinya. 

Tapi ku menolak! 

Ku teriakan pada sang waktu "aku tak bisa melepasnya!"

Lalu dengan tegas sang waktu mengingatkan, "itu bukan bukumu! Kembalikanlah!"

Aku masih pada inginku. Ku peluk erat buku itu. Ku memohon pada waktu untuk tidak mengambilnya dari ku. 

Tapi permohonanku tak dihiraukan. Tangis mengibaku tak didengarkan. Sang waktu menarik paksa buku yang sedang berada dalam dekapanku. Membuatnya robek terbagi menjadi beberapa bagian. Meninggalkan beberapa bagian cerita dalam genggaman. Ia mengembalikan sebagian besar yang telah terambil pada si pemiliknya. Lalu aku, menyimpan lembaran sobekan yang tertinggal pada tanganku.

Lembaran itu yang kini ku baca berulang kali. Meski aku tak pernah tau akhir pada ceritanya seperti apa. 

Lembaran itu yang kini ku simpan dan jaga dengan begitu baik. Agar ketika ku rindu, cukup ku temukan ia pada tempat penyimpanan teristimewa ku. 

Aku tau, buku itu tak akan pernah lagi kembali pada ku. 

Tapi setidaknya, aku merasa sangat bahagia karena pernah membacanya, dan jatuh cinta pada setiap diksinya. Dan ternyata, meski yang tersisa hanyalah lembaran potongan ceritanya, aku masih mencintai buku itu, dan aku masih menunggu sang waktu menceritakan kepadaku bagaimana akhir dari cerita dari buku yang telah membuatku merasa jatuh cinta sedalam ini. 

~~~~

Tapi.... Ini bukan tentang buku. Ku yakin kau paham itu. 😊

Senin, 25 November 2024

Tuhan Tolong Jaga Dia

11/25/2024 01:26:00 PM 0 Comments


Ada sakit yang tak mampu ku lukiskan seperti apa. Saat berulang kali kau mengatakan, "aku pamit, ya?" sedangkan kau tau, betapa aku ingin kau selalu ada bersamaku. Aku tau, bukan aku saja yang terluka pada keadaan ini. Kamu pun sama sakitnya! Namun hebatnya, logikamu menjadi kompas yang selalu mengarahkanmu dengan tegas, sementara aku tersesat dalam labirin emosiku sendiri. Realita, dan perasaanku menjadi pukulan untuk hatiku sendiri. Sehingga aku hanya merasa semakin terluka karena pamit serta pergimu.

Aku tau ini salah. Berkali-kali kamu pun mengatakan ini adalah kesalahan. Kamu tak menyalahkanku memang, tapi aku pun tak ingin kamu terus menyalahkan dirimu. Agar adil, katakanlah bahwa ini adalah kesalahan kita bersama.

Karena kau datang hanya sekadar mengetuk pintu, namun aku memilih membuka pintu dan mempersilahkan kau masuk dalam rumah yang mestinya ku kunci serapat mungkin dari orang asing. Sayangnya, aku menaruh harap bahwa kau akan menetap. Padahal aku tau, kau tak akan pernah bisa menetap dalam rumahku.

Berkali kau pamit, berkali-kali itu pula aku menahanmu untuk menetap lebih lama. Dan pada akhirnya, sang waktu membawa keadaan dimana pamitmu menjadi nyata. Tak ada lagi iba yang kau hiraukan. Tak ada lagi permintaanku yang kau jadikan nyata. Kamu pergi dengan suka cita. Kamu melangkah tanpa beban apapun yang tersisa. Meski kamu tau, salam kepergianmu pasti menorehkan luka untukku yang masih ingin bersama.

Langkahmu tegap sekali tanpa aba-aba. Menoleh sekali lagi untuk mengucapakan selamat tinggal pun tidak ada. Kau menjauh dari rumahku dengan membawa sepotong hati yang sempat ku berikan pada mu. Setelah sekian jauh langkahmu pergi, Jangan berharap kalimat "semoga kau bahagia bersama pilihanmu" mengalun dari lisanku, atau tertulis dalam kotak pesan yang tertuju pada mu. Karena menghadapi kepergianmu dengan cara seperti ini sangat menyakitkan bagiku.
Bahkan, aku pun sekarang tak tau, apa yang akan ku pinta pada Tuhan perihal dirimu selain, "Tuhan, tolong jaga dia sebaik mungkin." Karena sekarang tak penting bagiku kau bahagia dengan siapa, karena hal terpenting saat ini adalah kau selalu dalam penjagaan Tuhan. 

Kamis, 21 November 2024

Kepergian Yang Tak Diharapkan

11/21/2024 03:20:00 PM 0 Comments


Ada perasaan yang tak pernah sepenuhnya milik kita. Ia datang bagai aliran sungai di tengah kemarau, menghadirkan sejuk di hati yang gersang. Ia mengalir lembut, mencipta harapan yang tumbuh seperti kuncup bunga di musim semi. Namun, kehilangannya tetaplah meninggalkan luka.

Kita tidak pernah saling berjanji, tidak pernah saling memiliki. Kita hanya pernah saling mengakui, bahwa ada satu rasa yang sama hadir dalam hati tanpa bisa kita pungkiri. Kita pernah saling menyadari, bahwa kita tak mungkin untuk saling memiliki, tetapi aku tahu… ada ruang kecil dalam diriku yang pernah kau huni. Dan kini, ruang itu sunyi.

Aku mengerti kenapa kau pergi. Karena kita hidup di dua keadaan yang tak bisa dipaksa untuk dipersatukan. Kau, dengan langkah menuju masa depan yang telah ditentukan. Aku, dengan jalanku sendiri yang sudah lama aku pilih. Tapi meski semua itu masuk akal, rasa sakit ini tetap tinggal, mengendap seperti seduhan kopi pahit, meninggalkan getir di setiap tegukan waktu. Aku tak bisa menumpahkannya, tapi juga tak mampu menelannya.

Aku tidak menyalahkanmu, juga tidak menyalahkan diriku. Aku bahkan tak mampu menyalahkan waktu, dan juga keadaan yang telah mempertemukan kita. Mungkin, cinta tak selalu berarti tinggal. Mungkin, cinta tak selalu bermakna bersama. Mungkin, cinta tak harus memiliki. Kadang, cinta berarti pergi. Kadang cinta bermakna melepaskan. Kadang cinta adalah mengikhlaskan.

Tanda-tanda kepergianmu seperti kabut yang perlahan turun, menyelimuti setiap percakapan kita. Kata-katamu semakin datar, seperti langit yang kehilangan warna saat senja berlalu. Meski caramu menghilang meninggalkan pertanyaan yang tidak akan pernah terjawab, aku tahu, itu adalah pilihan yang harus kau ambil.

Tidak ada kalimat penutup untuk apa yang kita rasa. Tidak ada kalimat pamit yang indah untuk kukenang darimu. Hanya hening, yang berubah menjadi jarak. Jarak yang kini menjadi sebuah tembok pembatas, yang bahkan aku tak tahu harus kuhancurkan atau biarkan berdiri.

Pada akhirnya, kita memang harus saling melepaskan. Saling menatap jalan yang terbentang di hadapan masing-masing. Meski kepergianmu adalah hal yang tak pernah kuharapkan. Tapi kepergianmu memberiku pelajaran tentang begini rasanya kehilangan seseorang yang tak pernah sepenuhnya kumiliki. Begini rasa sakitnya melepaskan kalimat "aku menyayangimu" yang sempat melekat dengan begitu hebat. Seperti menyesali mimpi indah yang terlalu cepat berakhir.

Semoga langkahmu selalu ringan untuk menggapai masa depan seperti apa yang pernah kau impikan. Semoga jalanmu penuh cahaya kebahagiaan, meski bukan aku sumber cahaya itu.

Dan aku…

Aku akan belajar mengubur kenangan itu seperti benih yang kutanam dalam-dalam di tanah. Semoga, suatu saat, ia tumbuh menjadi pohon kebijaksanaan, agar aku bisa berdiri tegak meski ranting-rantingnya penuh luka. Aku akan belajar untuk tidak pernah menyesali deklarasi rasa yang pernah saling terlontar di antara kita. Aku akan belajar berdamai dengan keadaan yang cukup menyakitkan ini. Dan aku, mungkin akan belajar untuk tak lelah meminta pada Sang Pemilik rasa untuk menghapus segala rasaku untukmu. Agar inginmu, dan harapku menjadi nyata; bahagia dengan versi kita masing-masing.

Rabu, 13 November 2024

Datang dan Pergi Pada Waktunya

11/13/2024 11:12:00 PM 0 Comments


Seseorang pernah mengingatkan ku, bahwa "setiap orang ada masanya, dan setiap masa ada orangnya. Beberapa orang datang ke dalam hidup kita hanya untuk mengajari bagaimana cara melepaskannya." Aku menyadari hal itu. Bahwa memang siklus kehidupan ini begitu, bukan? Akan ada yang datang dan juga pergi tanpa kita tau kapan semua itu terjadi.

Namun, meski ku menyadari hal itu, kehilanganmu bukanlah suatu hal yang pernah ku harapkan. Jangankan mengharapkan, membayangkannya saja aku tak mampu! Tapi menyedihkannya hal ini adalah kenyataan terpahit yang harus ku hadapi.

Kamu datang di waktu aku begitu butuh sandaran dan pegangan untuk bisa tetap berdiri dan melanjutkan perjalanan hidupku. Kamu hadir di saat aku butuh tempat berbagi keluh kesah, suka duka saat aku melalui hari-hari yang begitu sepi. Kamu seolah anugerah yang Tuhan kirimkan agar aku memiliki semangat untuk tetap hidup dan menikmati indahnya dunia ini. 

Namun, di saat aku baru saja menikmati hadirmu. Di saat baru saja ku ukir harap untuk dapat bersamamu hingga akhir detak nadi, justru kau pergi tanpa menunggu persetujuanku. Kamu pergi tanpa aba-aba. Bahkan tanpa memberiku penjelasan yang mampu ku terima dengan logika. Kamu pergi tanpa sedikitpun peduli bagaimana rapuh dan hancurnya aku tanpa kamu. Karena kakiku belum sempurna kuat berdiri sendiri tanpamu!

Kau tau, mengapa aku sampai pada titik sehancur ini? 

Karena bersamamu ku temukan diriku. Karena bersamamu, aku bisa menjadi aku yang apa adanya. Karena denganmu aku tak perlu menggunakan topeng kepura-puraan. Aku bisa tertawa atau menangis kapanpun ku butuhkan. 

Tapi, pada akhirnya aku harus menyadari bahwa inilah hidup. Akan ada yang datang, dan pergi. Ada yang meninggalkan dan juga ditinggalkan. Ada yang harus melepaskan dengan ikhlas, ada yang dipaksa untuk ikhlas melepaskan. Pada akhirnya aku dipaksa mengerti bahwa tidak pernah ada yang abadi di dunia ini. Termasuk kamu, yang pernah singgah dalam hidupku. Boleh ya, aku minta, dalam kepergianmu ini tolong ikut sertakan kenangan yang pernah kamu lukiskan untukku. Agar kepergianmu bisa ku nikmati dengan begitu paripurna. Karena bagaimanapun aku harus menerima keadaan bahwa setiap manusia itu datang dan pergi pada waktunya.

Ya. Setiap orang ada masanya, dan setiap masa ada orangnya.

Kamis, 07 November 2024

Zona Mati Kata

11/07/2024 09:39:00 AM 0 Comments


Lama telah ku kehilangan kata-kata penyembuh luka, atau sekedar pelepas kesakitan yang mendera. Setiap kata yang sering kali terangkai karena apapun dan siapapun penyebabnya, seketika buntu. Tak mampu terangkai sempurna. Diksi-diksi yang sering kali menemani seolah lari menjauhi diri dan hati.

Lama ku terjebak dalam zona mati kata yang membuatku bahkan tak mampu mengenal diriku sendiri. Bahkan aku tak mampu memaksa kemampuanku untuk melahirkan kembali diksi-diksi terindah yang pernah terangkai begitu nyata. Aku terkurung dalam ruang mati kata. Berkali ku teriak ingin keluar darinya, namun ku tak bisa! Langkahku seolah terpaku pada ruang itu. Berkali ku mencoba menghadirkan rangkaian kata menjadi kalimat yang kelak menjelma menjadi obat dari berbagai kesakitan karena sebuah rasa,aku pun tak mampu. Zona mati kata membuatku harus menelan sendiri kesakitakan yang kerap kali menyapa bahkan memeluk jiwa. Membuatku bekerja keras mengolah berbagai perasaan yang sering kali hadir tak sesuai harapku. Zona mati kata, membuatku kehilangan separuh aku yang selama ini menjadi kawan di setiap keadaan. Tak ada lagi rangkaian air mata berteman kata-kata yang mengalir melalui ujung pena yang ku goreskan. Tak ada lagi cerita suka maupun duka cita yang ku abadikan dalam kota memori kata. Semua yang terjadi ku biarkan terjadi dan berlalu begitu saja. sedangkan ku, menikmati kesendirian, kesakitan maupun kebahagiaan semu dalam zona mati kata yang membelenggu entah sampai kapan.

Minggu, 22 September 2024

Labirin Rasa

9/22/2024 03:21:00 PM 0 Comments

 


Aku kembali terjebak pada labirin rasa. Tersesat di dalamnya. Nyaris putus asa karena tak juga menemukan jalan keluar. Hingga kemudian seseorang hadir di dalam labirin rasa yang sedang ku jejaki.  Melangkah bersisian denganku. Ia pun sama terjebaknya. 

Kita berjalan dan tersesat bersama di dalamnya. 

Herannya, kita tak mencari jalan untuk keluar dari labirin ini. 

Mungkin karena aku yang begitu menikmti kehadirannya. Larut dalam setiap cerita yang mengalir dari lisannya. Hingga yang hadiir dalam logikaku adalah bagaimana kebersamaan ini tak berkahir? Bagaiman caranya agar aku ataupun dia tak bertemu pintu keluar dari labirin ini. 

Entah, mengapa bisa aku sebahagia ini saat bersamanya. Bersama terjebak dalam labirin rasa. Dan entah mengapa, ia pun seolah menikmati kebersamaan ini.

Setiap detik yang ku lalui bersamanya, mengasah rasa candu akan hadirnya menjadi rasa sayang yang mungkin sesaat lagi akan dipertajam dengan rasa cinta. 

Konyol! Bodoh!! Jahat!! 

Teriak logikaku mencoba mengehentikan langkah dan mengakhiri kebersamaan dengannya. 

Namun hati kecilku tak mampu menjauh darinya meski selangkah. 

Untuk saat ini, biarkan aku menikmati ketersesatan dalam labirin rasa ini. 

Karena ku yakin, suatu hari nanti, labirin rasa ini akan hancur dengan sendirinya. Entah karena apa dan siapa penyebabnya. 

Hei kamu, maaf ya.. Jika aku harus menahanmu dalam labiri rasa ini.  Sungguh aku bahagia, di atas kebodohan dan ketersesatan ku dalam labiriin rasa ini. Aku bahagia menghabiskan banyak waktu bersamamu. Jika kelak kita berhasil keluar dari labirin ini, entah mengapa, aku hanya ingin kamu menjadi orang terakhir yang menemaniku melangkah menghabiskan sisa waktu yang ada. 

Senin, 16 September 2024

Rasa Bersalah

9/16/2024 08:14:00 PM 0 Comments

Sebelum sampai di angka dua tahun untuk saling mengenal, aku dan dia sepakat akan melanjutkan kisah kita hingga ke mahligai pernikahan.
Satu minggu menjelang hari pernikahan mestinya menjadi hari yang membahagiakan. Menjadi hari-hari yang mendebarkan menanti momen paling sakral yang akan terjadi dalam hidupku. Satu minggu menjelang hari pernikahan, mestinya sudah ku selesaikankan segala urusan, sehingga tak ada lagi alasan aku dan dia untuk pergi menyelesaikan urusan yang belum tuntas. Ya. Semestinya... dan seandainya...
Namun siapa kira? Seminggu menjelang hari pernikahan kami, menjadi hari yang paling menyakitkan bagiku! Menjadi hari dimana aku terlempar dan terkurung dalam ruang rasa bersalah yang menyakitkan dan tak berkesudahan!
Ratusan, atau bahkan ribuan hari aku terkurung dalam rasa bersalah, tersebab kejadian di hari itu. Hari dimana aku bersamanya terlempar dari motor kesayangan kami tersebab sebuah mobil yang menghantam kami dari arah berlawanan. Ia seketika tak sadarkan diri. Meregang nyawa di tempat kejadian. Aku yang masih setengah sadar harus menyaksikan calon pedamping hidupku menghembuskan napas terakhirnya. Padahal, sesaat sebelum kejadian itu, kami masih menikmati perjalanan dengan sangat bahagia. Aku masih bisa mendengar tawanya. Melihat wajah bahagianya. Rasanya, kami sudah tak sabar menunggu waktu seminggu lagi untuk segera mengikat hubungan kami dengan sebuah akad.
Setelah kejadian itu, aku tak sadarkan diri berhari-hari lamanya, membuatku tak bisa mengantarkan ia kerumah barunya, dan hal itu, mencipta ruang rasa bersalahku semakin besar!
Entah, apa yang sedang Tuhan persiapkan untuk masa depanku, hingga sesakit ini ujian yang harus ku hadapi. 
Kehilangan cinta pertama, membuatku merasa akulah penyebab utama atas kepergiannya, hancur segala harapan dan impian untuk dapat hidup bersamanya. 
Akad itu tak pernah terucap. Aku kalah cepat dengan kematian yang menjemputnya lebih dulu. Dan kepergiannya membuatku selalu dipeluk rasa bersalah.
Aku hanya berharap, kelak Tuhan hadirkan aku kebahagiaan yang begitu paripurna. Meski bukan bersamanya. Namun satu hal yang pasti, seiring rasa bersalah ini pergi, ia akan tetap abadi dalam memori juga sanubari. Raganya boleh terkubur bersama rasa bersalahku, namun jiwanya akan selalu hidup dan abadi dalam kisah perjalan hidupku.

Selasa, 10 September 2024

Perpisahan

9/10/2024 12:09:00 PM 1 Comments


Berpisah darimu adalah awal dimana kehancuranku tercipta. Derai air mataku berlomba mengurai sesak dalam dada. Sepi dan sendiri adalah kawan yang senantiasa menyelimutiku, yang mencoba membuatku tenang meski ternyata selalu saja kegaduhan dalam isi kepala yang menjadi pemenangnya. Sesakit ini aku, Tuan! Berpisah darimu bukanlah suatu hal yang kutunggu. Jangankan menunggu, ku harapkan pun tidak! Sakit rasanya. Harus ada salam perpisahan diantara kita. Segala harapan, cita-cita dan cinta harus ku kubur pada tanah realita yang ku pijak.

Hai, Tuan... Kenapa harus perpisahan yang menjadi pilihan setelah kita pernah mencipta bahagia bersama? Kenapa harus kamu mencipta bahagia di orang lain, setelah kau pernah dengan sungguh menyatakan bahwa aku adalah kebahagian untukmu. Kenapa harus kau begitu meyakinkan hati ini, jika pada akhirnya kau pergi juga.

Hari-hari yang ku lalui tanpamu terasa begitu meyakitkan, Tuan! Setiap hari yang kulalui hanya menunggu kau kembali. Dan di saat ku sadar bahwa kau tak akan pernah datang lagi, maka aku mulai mencarimu di orang baru yang datang dalam hidupku. Terkesan jahat dan egois memang, tapi sesulit itu aku melupakanmu. Seberat itu hatiku untuk benar-benar melepasmu. 

Aku tau, mencarimu pada orang lain hanya akan membuatku lelah dan membuang-buang waktu. Tapi, biarlah aku membunuh rasa yang kau tinggalkan dengan seperti ini caranya. Biarkan aku lelah hingga berjumpa titik putus asa hanya karena terus mencarimu pada setiap orang baru yang singgah dalam hidupku.

Kesakitanku, kehilanganmu, pada akhirnya menyadarkan tentang kata perpisahann bagiku.

Ya, perpisahan bagiku adalah satu kata yang membuatku mengerti makna dari sebuah menghargai perjumpaan dan kebersamaan. Tentang satu kata yang memahmkan diri dan hati bahwa ternyata, tak pernah ada yang abadi dalam hidup ini. 

Rabu, 04 September 2024

Pergilah! Aku Tak Apa Sendiri

9/04/2024 07:42:00 PM 0 Comments

Ternyata, apa yang banyak orang katakan itu benar, ya?
Orang yang paling tega menyakiti adalah orang yang paling dekat. Orang yang kesehariannya selalu ada bersama kita. Dia yang selalu terlihat paling sayang, perhatian, dan mungkin terlihat paling mencintai kita. Dia yang sama sekali tidak ingin melihat kita dilukai oleh siapapun. Selalu siap menjadi garda terdepan di saat kita terancam tidak baik-baik saja, atau ada perlakuan yang membuat kita merasa tidak aman dan tidak nyaman.
Ku pikir, hal itu tidak akan pernah menimpaku. Ku kira, cerita tentang orang yang disakiti oleh orang paling dekat adalah milik mereka saja, mereka yang ku pikir hidupnya sedang tidak beruntung.
Ternyata, kini aku menjadi bagian dari orang yang tak beruntung itu. Segala hal yang selama ini hanya ku dengar, kini benar-benar ku rasakan sendiri!
Orang yang ku anggap paling setia dan rela berkorban untuk kebahagiaanku, justru orang yang paling dalam menggoreskan luka di dada. Seseorang yang selalu ada di segala kondisiku, menyayangiku dengan begitu hebat layaknya saudara serahim, justru ternyata dia menjadi orang yang paling tega menancapkan belati di hatiku. Dia orang yang tanpa belas kasihan menghancurkan kebahagiaanku.
Jika sahabat terbaikku bisa bermain gila dengan lelaki yang sudah menjadi calon suamiku, merebut perhatian dan rasa cintanya, lalu kini mereka bahagia menjalani kisah cinta setelah memporakporandakan kepercayaan dan perasaanku, lantas setelah ini siapa lagi yang harus ku percaya? Kepada siapa lagi bisa ku sebut sahabat terbaik? Atau calon imam terbaik seumur hidup? Setelah ini, jika aku mati rasa pada siapapun tak menjadi masalah, bukan?
Sungguh! Hancur sekali rasanya! Ditikam belati oleh sahabat sendiri. Dikhianti oleh kekasih hati. 
Pergilah! Aku tak apa apa sendiri di sini. Namun jangan lupa, bawa serta dia, yang dulu pernah menjadi sahabat terbaikku. Pergilah! Aku tak apa sendiri di sini. Berjuang menata kembali hati yang telah kalian hancurkan tanpa belaskasihan. Pergilah!