Aku tidak pernah jatuh cinta sedalam ini. Menaruh harapan kepada orang yang sama dalam waktu yang cukup panjang. Ya, tiga tahun waktu yang cukup lama untuk menunggu dan menantinya menjadi milikku, bukan? Aku tahu, dia telah menjalin hubungan serius dengan seseorang. Ia bersama teman sekelasnya, sudah menjalin hubungan yang cukup serius. Bahkan kabar terakhir yang ku dengar darinya, mereka akan membawa hubungan itu hingga ke jenjang pernikahan selepas wisuda nanti.
Bagas. Nama lelaki yang selama ini telah membuatku berhasil
jatuh cinta sedalam ini. Dia kakak seniorku sejak di bangku SMA hingga di
kampus yang sama. Ia memiliki rahang yang tegas, mata yang tajam, alis mata
yang cukup tebal, serta tinggi badan sekitar 170 cm, yang akhirnya menjadi daya
pikat tersendiri di mataku. Jarak rumah kami yang begitu dekat, hanya berbeda
satu blok, membuat hubungan aku denganya pun begitu dekat sejak lama. Kami
sering kali menghabiskan waktu untuk sekadar berdiskusi singkat. Atau di saat
aku butuh bantuannya untuk mengerjakan tugas-tugas sekolah. Atau sekadar
menghabiskan malam minggu yang panjang dengan ngobrol ngalor ngidul sambil
menikmati semangkuk bakso dan es campur. Namun semua kedekatan kami terjalin sebelum
ku tahu ia telah memiliki tambatan hati.
Aku mundur perlahan.
Menjauh darinya sejak ku tahu hatinya telah terpaut dengan wanita lain. Meski kata kebanyakan orang, selama janur kuning belum melengkung, masih bisa ditikung, tapi aku lebih memilih untuk mundur secara terhormat. Aku tidak ingin menjadi perusak hubungan orang. Kabar kelulusan, serta acara wisudanya ku dapati dari media sosial miliknya. Aku benar-benar menghindar dan menjauh darinya semampu ku bisa.Hingga akhirnya, dua minggu lalu, ia tiba-tiba saja datang ke
rumahku. Aku tak bisa lagi menghindar darinya. Karena saat itu aku baru saja
pulang dari kampus sedangkan ia sudah berdiri di depan pintu pagar rumahku.
Mustahil untukku pergi lagi menjauh darinya, atau bahkan mengusirnya pergi dari
rumahku.
“Hay, Ka. Ada apa berdiri di depan rumah, Nay?” tanyaku
sedikit heran.
“Mau ketemu kamu.” Jawabnya singkat.
“Ketemu aku? Ada apa, Ka?”
“Enggak dipersilahkan masuk dulu ini, tamunya?” tanya Bagas
yang disusul kekehan kecil.
Jujur, saat itu rasanya ingin sekali segera pergi
meninggalkannya. Bukan tak ingin menghormati tamu, aku hanya takut rasa rindu,
beriring cinta yang sudah ku simpan begitu rapat ini mendominasi pikiran dan
hatiku karena terlalu lama bersitatap dengannya. Jika ditanya inginku saat itu,
aku ingin sekali memeluknya begitu erat. Namun ku sadar, ia milik perempuan
lain. Tak patut rasanya aku berlaku demikian kepada lelaki yang telah dimiliki
oleh orang lain.
“Oh ya, Ka. Maaf. Silahkan masuk, Ka.” Kataku kemudian sambil
membuka pintu pagar.
Aku mempersilahkannya duduk di kursi teras. Sedangkan aku
memasuki rumah untuk memberitahu bunda bahwa ada tamu, juga mengambilkannya
segelas air minum beserta toples berisi cemilan.
“Silahkan diminum, Ka. Maaf cuma ini aja.” ucapku sedikit
basa-basi.
“Nay, kemana aja selama ini? Tiba-tiba menghilang begitu
aja.” ucapnya setelah meneguk sedikit air yang ku bawakan.
“Ada. Cuma memang jadwal kuliah dan tugas lagi padet banget
akhir-akhir ini, Ka.” Terangku. Sedikit berbohong tentunya.
Aku menatap wajahnya yang begitu aku rindukan selama ini.
Sementara itu, ia melemparkan pandangannya lurus ke depan. Ia nampak seperti
sedang memikirkan sesuatu.
“Nay, ada yang mau aku bicarain sama kamu.” Ucapnya sambil
menoleh ke arahku.
Dengan reflek akupun membuang tatapanku ke sembarang tempat
agar ia tidak mendapatiku sedang menikmati wajahnya.
“Tentang?”
“Tentang perasaan aku, mungkin juga perasaan kamu.” Ucapnya.
Deg! Jantungku kini mulai berpacu lebih cepat.
“Mungkin ini akan terdengar konyol. Tapi aku rasa aku perlu
untuk bicarakan ini sekarang.”
Aku terdiam menunggu kalimat berikutnya.
“Aku kangen kamu, Nay. Bisakah kita seperti dulu? Sedekat
dulu? Sebelum tiba-tiba kamu menghilang menjauh dari aku?”
Aku nyaris tidak percaya dengan apa yang telah ia ucapkan.
Namun inilah kenyataannya. Lelaki yang telah lama ku tunggu datang dan
mengungkapkan apa yang tak pernah ku duga selama ini.
“Maksud Kak Bagas?” tanyaku hati-hati
“Aku suka kamu, Naya.” Jawabnya singkat, padat dan jelas.
Jawaban yang berhasil membuat jantungku ingin loncat dari tempatnya. Aku
bahagia mendengar pernyataan itu. Namun sisi hati yang lain, aku merasa takut.
“Bagaimana dengan … pacar Kakak?” tanyaku sedikit ragu-ragu.
“Kami sudah selesai. Tiga bulan yang lalu.”
Jawaban yang cukup menenangkan bagiku.
“Kami memang sempat berencana untuk serius selepas wisuda di
tahun kemarin. Tapi ternyata, seiring jalan. Apa yang kami rencanakan selama
ini tak sesuai kenyataan yang ada.” Lanjutnya.
“Kenyataan yang bagaimana maksudnya, Kak?” tanyaku penasaran.
“Ya … karena apa yang pernah kami rencanakan, hanya akan
berakhir di batas rencana tidak akan pernah nyata.”
“Kenapa?”
“Ya, karena ternyata aku suka dan jatuh cinta sama kamu, Nay.
Dan aku merasa kamu yang lebih pantas untuk bersanding denganku, melengkapi
separuh agamaku suatu hari nanti. Kamu bersedia?”
Jawaban serta pertanyaan yang meluncur bebas dari lisannya
berhasil membuat air mata ku menggenang di pelupuk mata, lalu menetes satu
persatu.
“Hei, kamu kenapa nangis?” tanyanya dengan tatapan heran. Ia
keluar dari kursinya, dan mendekat ke arahku. Bertopang dengan kedua lututnya,
ia berdiri di hadapanku, sambil mencoba menghapus air mata yang mulai membasahi
wajah.
“Aku pikir, selamanya Kak Bagas hanya akan menjadi seseorang
yang aku cintai secara diam-diam. Dan aku hanya akan menjadi seseorang yang
melihat Kak Bagas bahagia dengan wanita lain meski perih harus aku telan
sendiri.”
“Sebentar, maksudnya … kamu … kamu juga jatuh cinta sama
aku?” tanyanya sambil mencoba menatap mataku. Ia nampak tidak percaya dengan
apa yang telah aku ucapkan. Aku mengangguk memberikan jawaban.
“Ya. Aku sempat berpikir dan merasa bahwa aku memang enggak
pantas buat Kak Bagas. Tapi ternyata, apa yang ku pikirkan selama ini
dipatahkan oleh realita yang ada. Makasih, Kak … makasih sudah jatuh cinta sama
aku.” Ucapku dengan derai air mata haru yang masih menetes satu persatu.
Ia memelukku erat. Dari wajahnya, kecupan singkat di pucuk
kepalaku, juga tatapan matanya ku tahu ia sama bahagianya denganku.
Maka sore itu, dengan kejujuran yang telah terungkap aku
sadar, bahwa terkadang apa yang diharapkan dan dipikirkan secara berlebihan
bisa dengan mudah dipatahkan oleh realita yang telah digariskan oleh-Nya dalam
perjalanan hidup ini.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar