Sabtu, 02 Maret 2019

Separuh Nyawa

Februari tak lagi menjadi indah di mataku. Bulan yang katanya menjadi bulan kasih sayang, penuh cinta, penuh dengan rona bahagia, kini tak lagi seperti itu di hadapanku. Ia berubah menjadi bulan yang penuh rasa duka dan air mata. Juga menjadi bulan yang menciptakan kerinduan tak berujung bagiku. Ya! Februari ku kini menjadi kelabu. Sejak pagi itu.

Pagi yang terlalu awal di pertengahan Februari menjadi awal dari duka yang aku rasakan. Pagi itu, menjelang subuh, aku terbangun dan hendak melaksanakan witir sambil menanti subuh seperti biasanya. Dan sebelum witir ku laksanakan, aku akan melihat emak di kamarnya. Beberapa hari sebelumnya kondisi kesehatan beliau memang sudah menurun. Membuat aku merasa khawatir berlebihan. Dan tiap menjelang subuh aku mendatangi kamar beliau, lalu menatapnya masih tertidur pulas, atau terkadang beliau sudah terjaga dan langsung menyambutku dengan senyuman kala aku menghampirinya membuat aku merasa jauh lebih tenang. Rasa khawatirku seperti lenyap seketika. Tapi pagi itu, saat aku menghampiri emak, aku lihat beliau masih tertidur pulas. Tapi seketika aku heran dan merasa keliru dengan pengelihatanku. Aku tak melihat gerakan napas pada tubunya. Dengan kekhawatiran yang semakin menjadi aku hampiri beliau. 
"Emak... bangun. Udah mau subuh." Kataku perlahan mencoba membangunkannya. Sambil ku usap telapak tanganku ke wajahnya.

Ya Allah, wajahnya dingin sekali... bisikku dalam hati. Rasa khawatir dan kecurigaanku semakin menjadi.

"Emak..." panggilku lagi. Kali ini sambil ku taruh jari telunjuk tepat di bawah hidungnya.

Seketika badanku lemas. Dan mataku mulai panas oleh lahar air mata yang mulai meleleh saat aku sadar tak lagi aku rasakan hembusan napas itu.

"Emak... banguuuun.." kataku lirih sambil menggoyangkan perlahan tubuhnya yang sudah terbujur kaku. 

"Emak... bangun..ayo kita solat..." lirihku mencoba menolak kenyataan. Berharap ini adalah mimpi. Tapi sejatinya, tetap ini adalah kenyataan yang harus aku hadapi.

Apa yang aku khawatirkan dan takutkan menjadi nyata pagi itu. Sosok wanita kuat, tersabar, dan selalu ikhlas dan rida atas ketentuan Allah yang aku miliki, kini telah pulang kepada sang penciptanya. 

Emak.. sosok wanita terbaik yang aku miliki dalam hidupku. Kini hanya meninggalkan jejak kenangan yang tak mungkin aku hapuskan. Kepulangannya kepada sang pencipta membawa turut separuh nyawaku.

Aku mencoba menolak keadaan, menolak kenyataan, menolak takdir-Nya. Tapi aku bisa apa?? Bukankah yang memiliki kehidupan ini adalah Allah? Segala yang terjadi di kehidupan ini tentu sudah dituliskan begitu rapih nan indah oleh-Nya, kan? Dan bukankah setiap kejadian, musibah, kesedihan juga kebahagiaan adalah pemberian terbaik dari Allah? Maka aku bisa apa? Selain meyakini diri bahwa ini yang terbaik untukku juga untuk Emak.
Walau rasanya seperti ada yang hilang. Ya! Seperti ada yang hilang dalam diri, juga dalam hidupku. Dan aku mulai merindukannya sejak pagi itu, dan mungkin akan selamanya. Karena ia adalah separuh nyawaku.

4 komentar:

  1. Jazakillah khoiron katsiron teteh ku... 😢😭😘

    BalasHapus
  2. Ambu... Nyentuh sangat cerita ini..
    Setiap ambu nulis apa pun dah pokonya bikin Nyentuh bangat..
    Abis baca ini langsung mau pulang, mau ke temu mamah..
    Ah ambu pokonya sayang bangat dah sama ambu..

    BalasHapus