Rabu, 15 Februari 2012

Surat Untuk Mama, part 1


Dua hari menjelang pesta ulangtahunku yang ke- 17
20 September 2008
Untuk Periku yang tak pernah ku lihat ....
Untuk pahlawanku yang tak pernah ku tatap ....
Mama.
Bagaimana dengan Mamamu? Mamaku selalu menyenangkan. Dia adalah orang yang sangat baik! Coba sekarang kamu ceritakan bagaimana dengan Mamamu? Apakah dia orang yang baik juga seperti Mamaku?
Pertanyaan itu sering sekali aku dapatkan sejak dulu. Sejak aku mulai sekolah. Sejak aku memiliki teman banyak. Mereka saling membanggakan Mamanya. Mereka saling menceritakan kebaikan Mamanya. Tapi aku tidak pernah bisa melakukan itu, Ma. Karena aku tidak pernah tahu semua tentang Mama. Kata Papa, Mama adalah orang yang baik dan cantik. Aku pernah sekali diperlihatkan foto Mama. Dan aku akui bahwa Mama memang orang yang cantik, dan mungkin juga baik. Saat ada seseorang yang menanyakan bagaimana Mamaku? Maka yang hanya bisa ku katakan adalah bahwa Mama adalah sosok perempuan yang sangat cantik.
Ma, tahukah Mama? Aku sangat merindukan Mama! Di setiap jantung ini berdegup, di setiap tarikan serta hembusan nafas ini, aku selalu menunggu kedatangan Mama. Aku tidak akan memaksa Mama untuk tinggal bersama ku serta bersama Papa, Nenek, dan Kakek di rumah ini. Aku hanya ingin Mama datang. Walau sebenatar saja, Ma. Walau hanya memelukku sedetik, Ma. Karena aku sangat merindukan Mama.
Dulu, saat aku masih duduk di bangku SD. Aku selalu iri dengan teman-temanku, Ma.
Mereka selalu diantar oleh Mamanya. Saat ada pengambilan raport, kebanyakan dari mereka datang bersama Mamanya. Tapi aku? Kalau bukan bersama Papa pasti bersama Nenek. Bahkan, pernah ada yang menanyakan kepadaku, kenapa aku tidak pernah membawa Mama ke sekolah? Aku hanya bisa mengatakan Mama sedang pergi. Walau aku tidak tahu pegi kemanakah dirimu, Ma?
Setiap kenaikan kelas aku selalu mencoba untuk mendapatkan nilai tertinggi. Dan aku berharap Papa mengirimkan kabar baik itu untuk Mama agar Mama mau pulang dan melihat keberhasilan ku. Aku juga berharap Mama datang kemudian memelukku, dan menciumku. Tapi setiap tahun itu semua tidak pernah terjadi, Ma. Selalu Papa, Nenek, dan Kakek yang memberikan pelukan itu. Tapi aku selalu merasa masih kurang tanpa kehadiran Mama. Karena aku tidak pernah bisa memberikan semua bintang ini untuk Mama. Tahukah Mama, setiap malam datang dengan langit yang indah bertabur bintang, apa yang aku lakukan? aku selalu menanti bintang jatuh, Ma. Kata orang ketika ada bintang jatuh, kita bisa meminta apa saja dan permintaan itu akan dikabulkan. Pasti Mama tahu apa yang aku minta. Ya, aku minta Mama pulang dan memeluk aku. Tapi kenapa itu tidak pernah terjadi, Ma?
Ketika aku sakit, lagi-lagi aku berharap kedatangan Mama. Aku ingin Mama menjagaku. Duduk di sampingku. Menceritakan berbagai cerita dongeng agar aku bisa tidur. Atau memantau kondisiku setiap saat. Tapi lagi-lagi itu tidak pernah terjadi, Ma. Selalu Nenek yang setia menjadi sosok Mama saat aku sakit. Beliau yang selalu menjagaku, menemaniku, dan menghiburku. Dimana dirimu, Mama? Aku ingin seperti teman-temanku yang lain, Ma. Memiliki seorang Mama.
Setiap perayaan ulangtahun, aku selalu berharap Mama datang, lalu memelukku dengan penuh cinta dan sayang. Aku tidak berharap Mama datang dengan membawa kado yang besar dan mahal. Karena bagiku, kedatangan Mama dan pelukan dari Mama itu sudah kado termahal yang aku dapatkan. Tapi pada nyatanya, acara perayaan ulangtahun itu selalu aku lalui dengan harapan kosong. Selalu aku lalui dengan penantian yang tak berakhir. Dimana dirimu, Ma? Mengapa Mama tidak pernah hadir di acara yang bagiku sangatlah penting! Apakah Mama lupa dengan tanggal ulangtahunku? Ataukah Mama lupa sudah melahirkanku? Setega itukah dirimu, Mama?
Seandainya saja aku memiliki sayap, setiap hari aku akan terbang mencari Mama. Kemanapun! Ke Negara mana pun! Walau aku lelah, walau aku harus kelelahan, walau aku harus merasakan panasnya terikmatahari, atau dinginnya guyuran hujan, aku tidak peduli! Aku akan tetap mencari Mama. Tapi itu tidak mungkin kan, Ma? Tuhan tidak memberikan sayap-sayap itu untukku, Ma. Maka aku hanya bisa berharap akan kedatangan Mama.
Dua hari yang akan datang adalah hari perayaan ulangtahunku yang ke-17, Ma. Kata teman-teman, kata Papa, dan kata Nenek serta Kakek, itu tandanya aku sudah besar. Sudah memasuki usia remaja. Dan kemarin Papa menanyakan kado apa yang aku inginkan. Mama tahu, apa yang aku katakan kepada Papa? Aku meminta kedatangan Mama untuk menjadi kado teristimewa untukku di hari yang istimewa pula. Datanglah, Ma. Demi aku. Demi Aira, anakmu. Kedatangan Mama akan sangat berarti untuk aku, Ma. Kedatangan Mama akan menjadi hari yang tidak pernah aku bisa lupakan. Aku mohon, datanglah, Ma. Walau hanya sebentar saja. Izinkan aku merasakan pelukan seorang Mama. Izinkanlah aku merasakan kecupan penuh cinta dan sayang dari seorang Mama. Aku tidak akan berhenti berharap dan menunggu kedatangan Mama. Percayalah, Ma. Walau aku tidak pernah melihat dirimu, walau aku tidak pernah bisa merasakan pelukan hangat darimu, aku selalu mencintai dan merindukan Mama.
Sampai kapanpun, aku akan tetap menunggu Mama.

With Love for you, My Mom.
^^^
Setelah membaca ulang untuk yang kedua kalinya, Aira, gadis cantik nan pintar itu langsung melipat kembali kertas surat itu dan meletakkannya di atas meja belajar. Ia berniat akan diberikan kepada Ayahnya esok pagi. Sebelum sang Ayah pergi ke kantornya. Aira pun segera beranjak dari meja belajarnya dan beralih ke tempat tidur. Malam ini ia akan tidur lebih awal. Ia tidak mau membuat Neneknya harus bulak-balik kek kamarnya hanya untuk mengontrol ia sudah tidur atu belum. Kamar Aira berada di lantai atas, sedangkan Nenek berada dibawah. Terbayang betapa lelahnya jika Nenek harus turun-naik ke kamarnya.
Aira menarik selimutnya, dan mematikan lampu kamarnya. Ia membiarkan lampu kecil yang berada di tas tempat tidurnya menyala. Agar kondisi kamarnya tidak terlalu gelap. Dan seperti biasa, sebelum tidur, Aira mengambil selembar foto di laci meja kecil yang terletak di samping tempat tidurnya, dan kemudian memandangi selembar foto itu byang terdapat wajah sang Mama, yang berhasil ia minta dari Papa. I miss you, Mam. Kata Aira pelan dan kemudian ia letakkan kembali ke dalam laci.
Setelah membaca do`a, Aira meminta kepada Allah agar ia dipertemukan dengan sang Mama di dalam tidurnya nanti. Sepuluh menit setelah Aira tidur, Nenek datang ke dalam kamarnya. Seperti biasa, mengontrol keadaan cucu tersayangnya. Nenek cukup lega saat melihat Aira sudah tertidur.
“Ini anak, kalau habis belajar kebiasaan! Lampu meja belajarnya tidak dimatikan!” kata Nenek pelan sambil berjalan ke arah meja belajar Aira.
Gerakan tangan Nenek yang ingin mematikan lampu meja belajar terhenti saat ia melihat lipatan kertas yang terdapat tulisan”Untuk Mama.” Dengan rasa ingin tahu, Nenek membuka lipatan kertas itu. Dan Nenek semakin ingin tahu apa yang ditulis oleh Aira. Perlahan, kata demi kata Nenek baca. Airmata Nenek pun mulai berjatuhan, sebisa mungkin Nenek menjaga agar kertas itu tidak terkena airmatanya. Nenek bisa merasakan kerinduan yang teramat sangat yang kini dirasakan oleh Aira. Dan rasa bersalah itu pun kini mulai datang ke sela hati Nenek. Sekeras apapun hati orangtua, saat melihat anaknya dan cucunya menangis, maka ia pun akan ikut menangis. Dulu Nenek menangis melihat Andre, Papa dari Aira, seperti orang frustasi. Tidak ingin melanjutkan hidupnya. Menelantarkan Aira yang masih terlalu kecil. Dan kini, Nenek harus menangis lagi karena melihat kerinduan Aira kepada sang Mama. Orang yang sesungguhnya sangat dibutuhkan oleh Aira.
Nenek pun langsung segera keluar dari kamar Aira setelah ia melipat kembali surat itu seperti semula. Dengan sisa airmata Nenek keluar oerlahan dari kamar Aira. dan Nenek pun kembali menutup pintu kamar Aira dengan sangat pelan. Nenek tidak ingin membangunkan Aira dan Aira mengetahui bahwa dirinya telah membaca surat untuk Mamanya.
Andre yang sedang menonton TV merasa bingung saat melihat Ibunya turun dari kamar Aira dengan mata yang basah. Andre pun langsung segera menghampiri Nenek yang ingin masuk ke dalam kamar.
“Bu, ada apa? Kenapa Ibu menangis?” tanya Andre khawatir.
Nenek hanya menunduk dan menggeleng pelan sebagai awaban dari pertanyaan Andre.
“Enggak mungkin, Bu! Kalau tidak ada masalah, kenapa Ibu menangis? Apa Aira membuat Ibu kesal?” tanya Andre lagi.
“Tidak, Nak. Aira tidak pernah membuat Ibu menangis. Dia anak yang baik. Ibu hanya teringat masa lalu itu. Ibu masuk kamar dulu, ya? Ibu lelah, mau istirahat.” Kata Nenek yang langsung masuk ke dalam kamarnya dan segera mengunci pintu.
Andre termenung di tempatnya. Mencoba memahami ucapan sang Ibu. Masa lalu? Apakah itu berkenaan tentang ….’ Batin Andre.
Ia tidak berani melanjutkan bayangannya lagi. Cukup itu semua menjadi masa lalunya yang menyakitkan. Mungkin ia memang bukan yang terbaik, tapi ia tetap tidak pernah hilang dari bayangannya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar