Rabu, 15 Februari 2012

Surat Untuk Mama, part 2



^^^
Andre langsung beralih ke kamar tidurnya dari ruang TV. Terdiam seorang diri di atas kasurnya yang cukup besar nan empuk itu. Kesendiriannya seperti membawa ia ke dalam kehidupannya beberapa tahun yang lalu. Ia pun tergerak untuk mengambil kotak yang menyimpan banyak kenangan  di masa lalunya. Andre seperti sedang menyaksikan film yang memutar kisah pertemuannya dengan sang pujaan hati yang kemudian memberikannya harta terindah, Aira.
^^^

Andre sudah mulai menyukai Anita saat pertama kali mereka bertemu di kampus dan sedang menjalankan Masa Perkenalan Mahasiswa Baru. Hari pertama MPMB menjadi hari pertama Andre kenal dengan sosok Anita. Sosok perempuan yang anggun, cantik, terlihat pintar dan baik. Andre semakin mengenal Anita saat mereka tahu bahwa mereka satu fakultas, satu jurusan, dan bahkan satu kelas! Suatu kebetulan yang sangat Andre sukai. Pendekatan pun mulai gencar Andre lakukan. Perlahan, namun tepat pada sasaran. Itulah prinsip Andre. Ia tidak ingin terlihat dan terlalu terburu-buru mendekati Anita. Takut salah langkah yang ada Anita meninggalkannya. Ia berusaha dan mencoba mencari tahu tentang Anita lebih dalam. Selama lima semester Andre hanya berani dekat dengan Anita. Memberikan perhatiannya. Selalu memberikan waktu untuk Anita saat ia butuh teman curhat. Tidak pernah ada pernyataan bahwa ia mencintai Anita. Bahkan ia pun selalu mencoba kuat dan tegar saat ia mendapatkan cerita bahwa Anita sudah berpacaran. Andre tidak pernah patah semangat. Dengan keyakinan rasa cinta, sayang serta perhatiannya yang selalu ia berikan kepada Anita, ia yakin suatu saat nanti Anita akan datang kepelukannya.
Memasuki akhir semester enam, Andre pun membuktikan sendiri keyakinannya itu. Anita kembali kepadanya. Anita datang kerumahnya dan menceritakan kisah berakhirnya hubungan Anita dengan pacarnya. Andre merasa sangat senang, walau di sisi lain hatinya ia ikut merasakan kesedihan yang dirasakan oleh Anita. Tiga bulan lamanya Andre mencoba membuat Anita melupakan masa lalu dengan mantan pacarnya itu. Berbagai macam hal Andre lakukan untuk menghibur Anita. Sampai akhirnya Andre pun berani mengungkapkan rasa cinta dan sayangnya itu kepada Anita.
“Aku mau menjadi pacar kamu, Ndre.” Jawab Anita.
“Kalau aku meminta kamu untuk menjadi calon pedampingku, apa kamu mau?” tanya Andre.
Anita terlihat tersipu malu dan akhirnya menjawab,
“Aku bersedia, Ndre.”
Jawaban itu membuat Andre seperti terbang ke langit. Walau hanya jawaban singkat dari Anita, itu semua membuat Andre luar biasa bahagia. Andre mulai mencari pekerjaan untuk mempersiapkan penikahannya nanti bersama Anita. Tidak peduli jika ia masih kuliah. Ia akan mengatur waktu sebaik mungkin untuk bisa kuliah dengan cepat dan mendapatkan hasil yang sempurna serta bekerja untuk mengumpulkan biaya menuju pernikahannya nanti.
Waktu kelulusan pun tiba. Andre dan Anita lulus bersamaan. Andre menyandang gelar sebagai mahasiswa terbaik di jurusan HI. Setahun setelah kelulusan mereka, Andre melamar Anita, dan selang sebulan setelah acara lamaran itu, mereka pun menikah. Suatu kebahagiaan yang tiada tara yang Andre dan Anita rasakan. Andre tidak menyangka bahwa penantiannya selama enam semester untuk mendapatkan Anita tidak sia-sia. Pada akhirnya Anita pun menjadi istrinya. Andre merasa menjadi pria yang paling beruntung karena telah mencintai, menyayangi, serta mencintai Anita, wanita catik, pintar, cerdas, baik, dan begitu menghormati orang tua.
Andre yang menjadi anak terakhir dari tiga bersaudara akhirnya harus menetap di rumah orang tuanya.
“Siapa yang akan mengurus Ibu dan Bapak kalau kamu keluar dari rumah ini, De?” tanya Ibu suatu hari saat Andre menyatakan rencananya ingin memiliki rumah sendiri bersama Anita.
Andre pun menceritakan ketidak inginan Ibu jika ia dan Anita meninggalkan Ibu dan Bapak hanya berdua di rumah yang cukup besar itu.
“Yasudah, Mas. Benar kata Ibu, kalau kita keluar, siapa yang akan mengurus mereka? Aku siap ko, merawat Ibu dan bapak, sampai kapanpu!” kata Anita menenangkan suamianya itu.
Andre tersenyum mendengar ucapan istrinya itu. Kebanggaan Andre kepada Anita naik satu tingkat. Bersyukurnya Andre karena memiliki istri yang begitu pengertian dan mau berkorban demi dirinya dan Ibu serta bapak.
Lima bulan setelah pernikahan mereka, Anita memberikan tanda-tanda bahwa di dalam rahimnya akan tumbuh buah hati mereka. Dan sejak saat itu Anita melepaskan pekerjaannya sebagai wanita karir dan total hanya mengurus Ibu dan Bapak di rumah. Serta menjaga buah hati mereka ini sepenuh hati. Ibu dan Bapak pun ikut menjaga dan memperhatikan kondisi Anita. Walau ini bukanlah cucu pertama bagi Ibu dan Bapak, tapi calon cucunya inilah yang akan menjadi cucu pertama yang tinggal bersama mereka. Ibu dan Bapak membayangkan betapa ramainya rumah ini jika si kecil ini terlahir ke dunia, mengisi bagian dari rumah ini. Ibu dan Bapak tidak membiarkan Anita bekerja keras. Mereka pun tidak akan membiarkan Anita kelelahan. Tugas anita hanyalah menjaga sang buah hati hingga lahir nanti.
Dan saatnya telah tiba. Sembilan bulan ia melalui hari-hari bersama sang buah hati yang menemaninya kemana pun ia pergi dan melangkah. Sembilan bulan sudah Anita menjaga buah hatinya dengan Andre di dalam rahimnya yang kokoh. Kini saatnya ia keluar dari persembunyiannya. Saatnya sang buah hati ikut merasakan dan menghirup udara dunia. Dan terlahir lah anak perempuan yang mungil dan cantik dengan proses dan kondisi yang normal. Perpaduan antara Andre dan Anita yang sangat pas. Hidungnya mancung seperti Anita, kulitnya sawo matang seperti Andre. Matanya pun benar-benar perpaduan antara Andre dan Anita yang sangat seimbang.

“Semoga nanti anak ini besarnya seperti kalian, sama-sama pintar!” kata Bapak.
Ibu, Andre beserta Anita me-aminkan ucapan Bapak. Setelah sejenak berembuk, mereka pun memutuskan untuk memberi nama untuk anak pertama mereka dengan nama Aira Renita. Setelah tiga hari berada di rumah sakit, Anita pun memilih untuk pulang. Tho ia di rumah pun tidak sendiri. Ada Ibu yang akan setia membantunya pula. Keadaan rumah pun menjadi lebih hidup setelah kehadiran Aira. Ibu kini telah menjadi Nenek. Dan Anita kini telah menjadi seorang Ibu. Ia merasa telah menjadi wanita seutuhnya. Ia sangat bahagia telah memberikan seorang anak untuk Andre. Dan begitu pula Andre. Ia merasa sudah menjadi seorang Ayah. Ia telah merasa menjadi lelaki seutuhnya. Menjadi kepala keluarga, menjadi imam, menjadi suami, serta menjadi seorang ayah. Ini semua terasa mimpi bagi Anita dan Andre.
Anita, Andre, Ibu serta Bapak menjadi saksi akan pertumbuhan Aira. gadis kecil itu mulai tumbuh semakin besar. Kini Aira sudah mulai belajar berjalan. Walau kadang ia masih merangkak, dan seringkali terjatuh, Aira selalu berusaha untuk berdiri. Mencoba melangkahkan kakinya satu, dua, tiga, dan kemudian terjatuh. Begitulah yang sering terjadi. Tapi Aira selalu tertawa saat ia terjatuh.
“Anak Mama memang pinter, ya! Bener kata Kakekmu, Nak. Kamu anak yang pintar. Enggak pernah nangis, ya?” kata Anita sambil mengangkat Aira dari lantai.
Aira yang belum mengerti dengan ucapan sang Mama hanya tertawa. Dan itu membuat Anita semakin mencintai sang buah hatinya. Senyumnya Aira, tangisnya Aira, atau tawanya Aira selalu bisa mengobati rasa lelah yang menimpa Anita. Begitu lah seorang Ibu.
Saat sedang menemani Aira asik bermain, Anita melihat Ibu sedang bersiap pergi dengan membawa tas belanjaannya. Anita pun segera menghampiri Ibu dan meninggalkan Aira yang sedang asik dengan mainannya.
“Ibu, mau kemana?” tanya Anita kepada Ibu yang sudah berdiri di depan pintu.
“Mau ke pasar sebentar, mau beli bahan-bahan untuk bikin kue. Besok mau ada pengajian ibu-ibu di rumah.” Jawab Ibu.
“Anita saja ya, Bu, yang pergi? Sini tas belanjaannya!” Kata Anita yang langsung mengambil tas belanjaan dari tangan Ibu.
“Enggak usah, Nak. Kamu temani saja Aira. Ibu enggak lama!” kata Ibu mencoba menolak.
“Ibu, inget kata dokter kan? Ibu sudah tidak boleh terlalu capek! Jadi, biar Anita aja yang belanja, ya?” bujuk Anita setelah mengambil dompetnya di kamar.
“Anita titip Aira ya, Bu?” lanjut Anita sebelum pergi.
“Iya, kamu hati-hati ya, Nak. Catetan belanjaannya sudah ada di dalam tas.” Kata Ibu khawatir.
Anita tersenyum kepada Ibu. Mencoba meyakinkan Ibu bahwa ia akan baik-baik saja. Setelah mencium Aira yang sudah berada di gendongan Ibu, dan mencium tangan Ibu dengan khidmat, Anita segera pergi menuju pasar. Ibu yang masih menggendong Aira mengantarkan Anita dengan tatapan khawatirnya. Jarak antara rumah dengan jalan raya yang tidak terlalu jauh membuat Ibu bisa dengan jelas melihat Anita. Ibu akan menunggu Aira sampai menaiki angkot.
Belum juga Anita sampai ke angkot yang sudah menunggunya di sebrang, sebuah mobil sedan yang melaju kencang menabrak Anita. Tidak hanya itu. Mobil itu pun juga membuat tubuh Anita seperti terbang, terlempar, dan kemudian terbanting sekeras mungkin ke aspal.
“BAPAAAK …!” teriak Ibu histeris.
Dengan cepat Ibu langsung menaruh Aira di dalam kamar dan menarik Bapak untuk segera keluar dan ke jalan raya. Melihat ke adaan Anita. Ibu tidak menghiraukan tangisan Aira. Ibu terlalu panik dan takut melihat kejadian yang baru saja terjadi.
“Anita …. Bangun sayang!” kata Ibu diiringi rintikan air mata.
Kepala Anita terlalu banyak mengeluarkan darah. Tangan Ibu yang mencoba mengangkat kepala Anita terasa begitu licin dengan darah yang tidak berhenti keluar. Badan Aira seperti bermandikan darah.
“Pak, bawa ke rumah sakit! Ayo!” kata Ibu yang masih panik.
“Bu, bagaimana mungkin? Anita sudah pergi, Bu.” Kata Bapak dengan matanya yang mulai basah.
Seketika rasa bersalah yang teramat sangat menyerang lubuk hati Ibu. Semua ini tidak akan pernah ia lupakan. Dan Ibu pun mungkin tidak akan pernah bisa memaafkan dirinya sendiri. Bila saja tadi Ibu mampu menahan Anita untuk tidak pergi, mungkin tidak akan seperti kejadiannya. Bisik hati Ibu.
Belum juga jasad Anita di bawa ke dalam rumah untuk dibersihkan, dan segera dimandikan, Andre sudah pulang dari kantornya. Betapa terkejutnya ia melihat apa yang terjadi. Andre berteriak histeris memanggil-manggil Anita. Istrinya yang teramat sangat ia cintai. Walaupun ia tahu bahwa Anita tidak mungkin mendengarkannya. Andre menangis sambil memeluk jasad Anita. Ia tidak peduli dengan bajunya yang terkena darah.
“Aku tau, kamu cuma tidur kan, sayang? Bangun, sayang! Aku sudah pulang.” Kata Andre di telinga Anita.
“Ndre, Anita sudah pulang, Nak. Lepaskan sayang! Kita bawa ia masuk dan kita bersihkan dia!” kata Baapak sambil memegang pundak Andre pelan.
Andre menoleh ke arah Bapak yang berdiri di sampingnya dan kemudian menggeleng. Ia tidak percaya dengan kejadian ini. Dengan kenyataan bahwa istrinya sudah pergi meninggalkannya.
Berbulan-bulan lamanya Andre seperti orang kehilangan arah. Ia tidak mau bekerja, jarang makan, selalu menyalahkan Ibu, dan juga tidak mau melihat Aira, anaknya. Baginya, melihat Aira sama saja melihat bayangan Anita. Dan hal itu sungguh menyakitkan bagi Andre. Ditinggalkan oleh wanita yang sangat dicintainya, sedangkan di dalam rumahnya ada bayangan Anita di wajah Aira. Ibu dan Bapak  tak jarang ikut menangis melihat tingkah anaknya yang seperti itu. Andre belum bisa menerima kenyataan bahwa isteri tercintanya kini sudah pergi meninggalkannya. Dan Andre pun mulai menelantarkan Aira. ia membiarkan Aira tumbuh dan besar dengan asuhan Nenek serta Kakeknya. Andre membiarkan Aira begitu jauh dengan dirinya. Karena ia tidak pernah bisa kuat saat ia melihat Aira. Melihat Aira sama dengan mengingatkan dirinya kepada kematian Anita.
“Sampai kapan kamu akan berlaku seperti, Nak?” tanya Bapak suatu sore.
Andre yang sedang mempelajari beberapa berkas, langsung menoleh ke arah sang Bapak yang berada di sampingnya.
“Aira masih membutuhkan kamu sebagai sosok Papanya, kalau kamu seperti ini, ia akan kehilangan kamu juga, Nak!” kata Bapa yang mengerti tatapan mata Andre.
“Andre masih belum bisa, Pak.” Kata Andre yang sudah bersiap meninggalkan Bapak.
Tapi langkahnya terhenti ketika Bapak menggenggam tangannya erat.
“Tapi, apa kamu tega melihat Aira? Dia sudah kehilangan sosok Mamanya, apa dia harus kehilangan juga sosok Papanya?” tanya Bapak tajam sambil menatap mata Andre dalam-dalam.
“Tapi, Pak ….”
“Bapak tau rasanya, kamu masih sakit, mungkin juga kamu masih kecewa dengan Ibu mu, tapi tidak seperti ini cara mu memperlakukan kami, Nak. Bersikaplah seolah tidak pernah terjadi apapun! Kasihan Aira. Nanti, jika sudah saatnya, kita beritahu Aira tentang kejadian yang sebenarnya.”
Andre mencoba memikirkan kata-kata Bapak. Ya! Memang sudah seharusnya ia bangkit dan keluar dari masa lalunya yang menyakitkan itu. Ia harus berhenti menyalahkan dirinya sendiri. Ia pun harus berhenti menyalahkan Ibu. Ia harus mulai mencoba untuk mencintai dan menyayangi Aira sepenuh hatinya. Walau Andre tahu bahwa ini sangatlah sulit. Dan Andre harus bisa membiasakan dirinya tanpa kehadiran Anita. Andre pun bertekad untuk segera meminta maaf kepada Ibunda tercinta esok paginya.
Ternyata pagi ini pun ia harus segera pergi ke kantornya, karena ada meeting mendadak. Andre berjanji kepada dirinya sendiri, ia akan menyempatkan waktu untuk menulis surat dan segera mengirimkan kepada Ibunda tercinta.
Teruntuk, Ibuku tercinta …
Bu, maafkan Andre atas sikap Andre selama ini, Bu. Seharusnya Andre tidak pernah menyalahkan Ibu dan menyalahkan siapapun atas kejadian itu. Karena itu semua sudah menjadi takdir dari yang Maha Kuasa. Tapi Andre terlalu mencintainya, Bu. Mungkin itulah mengapa Andre selalu menyalahkan Ibu. Selalu berusaha menjauhi Aira, yang padahal ia sendiri tidak mengerti apapun! Andre terlalu takut untuk menghadapi kenyataan ini, Bu. Andre terlalu terpukul dengan kejadian ini, Bu. Olehkarenanya Andre tidak bisa menerima kejadian dan kenyataan yang pahit seperti ini.
Sekali lagi Andre minta maaf, Bu. Silahkan Ibu mau memberikan hukuman apapun kepada Andre, itu semua akan Andre terima, Bu. Asal ibu mau memaafkan ku.
Setelah melipatnya yang rapih, Andre meminta tolong kepada asisten pribadinya untuk mengirmkan surat itu untuk Ibu.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar