^^^
Andre langsung beralih ke kamar tidurnya dari ruang TV. Terdiam seorang
diri di atas kasurnya yang cukup besar nan empuk itu. Kesendiriannya seperti
membawa ia ke dalam kehidupannya beberapa tahun yang lalu. Ia pun tergerak untuk mengambil kotak yang menyimpan banyak kenangan di masa lalunya. Andre seperti sedang
menyaksikan film yang memutar kisah pertemuannya dengan sang pujaan hati yang
kemudian memberikannya harta terindah, Aira.
^^^
Andre sudah mulai menyukai Anita saat pertama kali mereka bertemu di kampus dan sedang menjalankan Masa Perkenalan Mahasiswa Baru. Hari pertama MPMB menjadi hari pertama Andre kenal dengan sosok Anita. Sosok perempuan yang anggun, cantik, terlihat pintar dan baik. Andre semakin mengenal Anita saat mereka tahu bahwa mereka satu fakultas, satu jurusan, dan bahkan satu kelas! Suatu kebetulan yang sangat Andre sukai. Pendekatan pun mulai gencar Andre lakukan. Perlahan, namun tepat pada sasaran. Itulah prinsip Andre. Ia tidak ingin terlihat dan terlalu terburu-buru mendekati Anita. Takut salah langkah yang ada Anita meninggalkannya. Ia berusaha dan mencoba mencari tahu tentang Anita lebih dalam. Selama lima semester Andre hanya berani dekat dengan Anita. Memberikan perhatiannya. Selalu memberikan waktu untuk Anita saat ia butuh teman curhat. Tidak pernah ada pernyataan bahwa ia mencintai Anita. Bahkan ia pun selalu mencoba kuat dan tegar saat ia mendapatkan cerita bahwa Anita sudah berpacaran. Andre tidak pernah patah semangat. Dengan keyakinan rasa cinta, sayang serta perhatiannya yang selalu ia berikan kepada Anita, ia yakin suatu saat nanti Anita akan datang kepelukannya.
Memasuki akhir semester enam, Andre pun membuktikan sendiri
keyakinannya itu. Anita kembali kepadanya. Anita datang kerumahnya dan
menceritakan kisah berakhirnya hubungan Anita dengan pacarnya. Andre merasa
sangat senang, walau di sisi lain hatinya ia ikut merasakan kesedihan yang
dirasakan oleh Anita. Tiga bulan lamanya Andre mencoba membuat Anita melupakan
masa lalu dengan mantan pacarnya itu. Berbagai macam hal Andre lakukan untuk
menghibur Anita. Sampai akhirnya Andre pun berani mengungkapkan rasa cinta dan
sayangnya itu kepada Anita.
“Aku mau menjadi pacar kamu, Ndre.” Jawab Anita.
“Kalau aku meminta kamu untuk menjadi calon pedampingku, apa kamu
mau?” tanya Andre.
Anita terlihat tersipu malu dan akhirnya menjawab,
“Aku bersedia, Ndre.”
Jawaban itu membuat Andre seperti terbang ke langit. Walau hanya
jawaban singkat dari Anita, itu semua membuat Andre luar biasa bahagia. Andre
mulai mencari pekerjaan untuk mempersiapkan penikahannya nanti bersama Anita.
Tidak peduli jika ia masih kuliah. Ia akan mengatur waktu sebaik mungkin untuk
bisa kuliah dengan cepat dan mendapatkan hasil yang sempurna serta bekerja
untuk mengumpulkan biaya menuju pernikahannya nanti.
Waktu kelulusan pun tiba. Andre dan Anita lulus bersamaan. Andre
menyandang gelar sebagai mahasiswa terbaik di jurusan HI. Setahun setelah
kelulusan mereka, Andre melamar Anita, dan selang sebulan setelah acara lamaran
itu, mereka pun menikah. Suatu kebahagiaan yang tiada tara yang Andre dan Anita
rasakan. Andre tidak menyangka bahwa penantiannya selama enam semester untuk
mendapatkan Anita tidak sia-sia. Pada akhirnya Anita pun menjadi istrinya.
Andre merasa menjadi pria yang paling beruntung karena telah mencintai,
menyayangi, serta mencintai Anita, wanita catik, pintar, cerdas, baik, dan
begitu menghormati orang tua.
Andre yang menjadi anak terakhir dari tiga bersaudara akhirnya
harus menetap di rumah orang tuanya.
“Siapa yang akan mengurus Ibu dan Bapak kalau kamu keluar dari
rumah ini, De?” tanya Ibu suatu hari saat Andre menyatakan rencananya ingin
memiliki rumah sendiri bersama Anita.
Andre pun menceritakan ketidak inginan Ibu jika ia dan Anita
meninggalkan Ibu dan Bapak hanya berdua di rumah yang cukup besar itu.
“Yasudah, Mas. Benar kata Ibu, kalau kita keluar, siapa yang akan
mengurus mereka? Aku siap ko, merawat Ibu dan bapak, sampai kapanpu!” kata
Anita menenangkan suamianya itu.
Andre tersenyum mendengar ucapan istrinya itu. Kebanggaan Andre
kepada Anita naik satu tingkat. Bersyukurnya Andre karena memiliki istri yang
begitu pengertian dan mau berkorban demi dirinya dan Ibu serta bapak.
Lima bulan setelah pernikahan mereka, Anita memberikan tanda-tanda
bahwa di dalam rahimnya akan tumbuh buah hati mereka. Dan sejak saat itu Anita
melepaskan pekerjaannya sebagai wanita karir dan total hanya mengurus Ibu dan
Bapak di rumah. Serta menjaga buah hati mereka ini sepenuh hati. Ibu dan Bapak
pun ikut menjaga dan memperhatikan kondisi Anita. Walau ini bukanlah cucu
pertama bagi Ibu dan Bapak, tapi calon cucunya inilah yang akan menjadi cucu
pertama yang tinggal bersama mereka. Ibu dan Bapak membayangkan betapa ramainya
rumah ini jika si kecil ini terlahir ke dunia, mengisi bagian dari rumah ini. Ibu
dan Bapak tidak membiarkan Anita bekerja keras. Mereka pun tidak akan
membiarkan Anita kelelahan. Tugas anita hanyalah menjaga sang buah hati hingga
lahir nanti.
Dan saatnya telah tiba. Sembilan bulan ia melalui hari-hari bersama
sang buah hati yang menemaninya kemana pun ia pergi dan melangkah. Sembilan
bulan sudah Anita menjaga buah hatinya dengan Andre di dalam rahimnya yang
kokoh. Kini saatnya ia keluar dari persembunyiannya. Saatnya sang buah hati
ikut merasakan dan menghirup udara dunia. Dan terlahir lah anak perempuan yang
mungil dan cantik dengan proses dan kondisi yang normal. Perpaduan antara Andre
dan Anita yang sangat pas. Hidungnya mancung seperti Anita, kulitnya sawo
matang seperti Andre. Matanya pun benar-benar perpaduan antara Andre dan Anita
yang sangat seimbang.
“Semoga nanti anak ini besarnya seperti kalian, sama-sama pintar!”
kata Bapak.
Ibu, Andre beserta Anita me-aminkan ucapan Bapak. Setelah sejenak
berembuk, mereka pun memutuskan untuk memberi nama untuk anak pertama mereka
dengan nama Aira Renita. Setelah tiga hari berada di rumah sakit, Anita pun
memilih untuk pulang. Tho ia di rumah pun tidak sendiri. Ada Ibu yang akan
setia membantunya pula. Keadaan rumah pun menjadi lebih hidup setelah kehadiran
Aira. Ibu kini telah menjadi Nenek. Dan Anita kini telah menjadi seorang Ibu.
Ia merasa telah menjadi wanita seutuhnya. Ia sangat bahagia telah memberikan
seorang anak untuk Andre. Dan begitu pula Andre. Ia merasa sudah menjadi
seorang Ayah. Ia telah merasa menjadi lelaki seutuhnya. Menjadi kepala
keluarga, menjadi imam, menjadi suami, serta menjadi seorang ayah. Ini semua
terasa mimpi bagi Anita dan Andre.
Anita, Andre, Ibu serta Bapak menjadi saksi akan pertumbuhan Aira.
gadis kecil itu mulai tumbuh semakin besar. Kini Aira sudah mulai belajar
berjalan. Walau kadang ia masih merangkak, dan seringkali terjatuh, Aira selalu
berusaha untuk berdiri. Mencoba melangkahkan kakinya satu, dua, tiga, dan
kemudian terjatuh. Begitulah yang sering terjadi. Tapi Aira selalu tertawa saat
ia terjatuh.
“Anak Mama memang pinter, ya! Bener kata Kakekmu, Nak. Kamu anak
yang pintar. Enggak pernah nangis, ya?” kata Anita sambil mengangkat Aira dari
lantai.
Aira yang belum mengerti dengan ucapan sang Mama hanya tertawa. Dan
itu membuat Anita semakin mencintai sang buah hatinya. Senyumnya Aira,
tangisnya Aira, atau tawanya Aira selalu bisa mengobati rasa lelah yang menimpa
Anita. Begitu lah seorang Ibu.
Saat sedang menemani Aira asik bermain, Anita melihat Ibu sedang
bersiap pergi dengan membawa tas belanjaannya. Anita pun segera menghampiri Ibu
dan meninggalkan Aira yang sedang asik dengan mainannya.
“Ibu, mau kemana?” tanya Anita kepada Ibu yang sudah berdiri di
depan pintu.
“Mau ke pasar sebentar, mau beli bahan-bahan untuk bikin kue. Besok
mau ada pengajian ibu-ibu di rumah.” Jawab Ibu.
“Anita saja ya, Bu, yang pergi? Sini tas belanjaannya!” Kata Anita
yang langsung mengambil tas belanjaan dari tangan Ibu.
“Enggak usah, Nak. Kamu temani saja Aira. Ibu enggak lama!” kata
Ibu mencoba menolak.
“Ibu, inget kata dokter kan? Ibu sudah tidak boleh terlalu capek!
Jadi, biar Anita aja yang belanja, ya?” bujuk Anita setelah mengambil dompetnya
di kamar.
“Anita titip Aira ya, Bu?” lanjut Anita sebelum pergi.
“Iya, kamu hati-hati ya, Nak. Catetan belanjaannya sudah ada di dalam
tas.” Kata Ibu khawatir.
Anita tersenyum kepada Ibu. Mencoba meyakinkan Ibu bahwa ia akan
baik-baik saja. Setelah mencium Aira yang sudah berada di gendongan Ibu, dan
mencium tangan Ibu dengan khidmat, Anita segera pergi menuju pasar. Ibu yang
masih menggendong Aira mengantarkan Anita dengan tatapan khawatirnya. Jarak
antara rumah dengan jalan raya yang tidak terlalu jauh membuat Ibu bisa dengan
jelas melihat Anita. Ibu akan menunggu Aira sampai menaiki angkot.
Belum juga Anita sampai ke angkot yang sudah menunggunya di
sebrang, sebuah mobil sedan yang melaju kencang menabrak Anita. Tidak hanya
itu. Mobil itu pun juga membuat tubuh Anita seperti terbang, terlempar, dan
kemudian terbanting sekeras mungkin ke aspal.
“BAPAAAK …!” teriak Ibu histeris.
Dengan cepat Ibu langsung menaruh Aira di dalam kamar dan menarik
Bapak untuk segera keluar dan ke jalan raya. Melihat ke adaan Anita. Ibu tidak
menghiraukan tangisan Aira. Ibu terlalu panik dan takut melihat kejadian yang
baru saja terjadi.
“Anita …. Bangun sayang!” kata Ibu diiringi rintikan air mata.
Kepala Anita terlalu banyak mengeluarkan darah. Tangan Ibu yang
mencoba mengangkat kepala Anita terasa begitu licin dengan darah yang tidak
berhenti keluar. Badan Aira seperti bermandikan darah.
“Pak, bawa ke rumah sakit! Ayo!” kata Ibu yang masih panik.
“Bu, bagaimana mungkin? Anita sudah pergi, Bu.” Kata Bapak dengan
matanya yang mulai basah.
Seketika rasa bersalah yang teramat sangat menyerang lubuk hati
Ibu. Semua ini tidak akan pernah ia lupakan. Dan Ibu pun mungkin tidak akan
pernah bisa memaafkan dirinya sendiri. Bila saja tadi Ibu mampu menahan Anita
untuk tidak pergi, mungkin tidak akan seperti kejadiannya. Bisik hati Ibu.
Belum juga jasad Anita di bawa ke dalam rumah untuk dibersihkan,
dan segera dimandikan, Andre sudah pulang dari kantornya. Betapa terkejutnya ia
melihat apa yang terjadi. Andre berteriak histeris memanggil-manggil Anita.
Istrinya yang teramat sangat ia cintai. Walaupun ia tahu bahwa Anita tidak
mungkin mendengarkannya. Andre menangis sambil memeluk jasad Anita. Ia tidak
peduli dengan bajunya yang terkena darah.
“Aku tau, kamu cuma tidur kan, sayang? Bangun, sayang! Aku sudah
pulang.” Kata Andre di telinga Anita.
“Ndre, Anita sudah pulang, Nak. Lepaskan sayang! Kita bawa ia masuk
dan kita bersihkan dia!” kata Baapak sambil memegang pundak Andre pelan.
Andre menoleh ke arah Bapak yang berdiri di sampingnya dan kemudian
menggeleng. Ia tidak percaya dengan kejadian ini. Dengan kenyataan bahwa
istrinya sudah pergi meninggalkannya.
Berbulan-bulan lamanya Andre seperti orang kehilangan arah. Ia
tidak mau bekerja, jarang makan, selalu menyalahkan Ibu, dan juga tidak mau
melihat Aira, anaknya. Baginya, melihat Aira sama saja melihat bayangan Anita.
Dan hal itu sungguh menyakitkan bagi Andre. Ditinggalkan oleh wanita yang
sangat dicintainya, sedangkan di dalam rumahnya ada bayangan Anita di wajah
Aira. Ibu dan Bapak tak jarang ikut
menangis melihat tingkah anaknya yang seperti itu. Andre belum bisa menerima
kenyataan bahwa isteri tercintanya kini sudah pergi meninggalkannya. Dan Andre
pun mulai menelantarkan Aira. ia membiarkan Aira tumbuh dan besar dengan asuhan
Nenek serta Kakeknya. Andre membiarkan Aira begitu jauh dengan dirinya. Karena
ia tidak pernah bisa kuat saat ia melihat Aira. Melihat Aira sama dengan
mengingatkan dirinya kepada kematian Anita.
“Sampai kapan kamu akan berlaku seperti, Nak?” tanya Bapak suatu
sore.
Andre yang sedang mempelajari beberapa berkas, langsung menoleh ke
arah sang Bapak yang berada di sampingnya.
“Aira masih membutuhkan kamu sebagai sosok Papanya, kalau kamu
seperti ini, ia akan kehilangan kamu juga, Nak!” kata Bapa yang mengerti
tatapan mata Andre.
“Andre masih belum bisa, Pak.” Kata Andre yang sudah bersiap
meninggalkan Bapak.
Tapi langkahnya terhenti ketika Bapak menggenggam tangannya erat.
“Tapi, apa kamu tega melihat Aira? Dia sudah kehilangan sosok
Mamanya, apa dia harus kehilangan juga sosok Papanya?” tanya Bapak tajam sambil
menatap mata Andre dalam-dalam.
“Tapi, Pak ….”
“Bapak tau rasanya, kamu masih sakit, mungkin juga kamu masih
kecewa dengan Ibu mu, tapi tidak seperti ini cara mu memperlakukan kami, Nak.
Bersikaplah seolah tidak pernah terjadi apapun! Kasihan Aira. Nanti, jika sudah
saatnya, kita beritahu Aira tentang kejadian yang sebenarnya.”
Andre mencoba memikirkan kata-kata Bapak. Ya! Memang sudah
seharusnya ia bangkit dan keluar dari masa lalunya yang menyakitkan itu. Ia
harus berhenti menyalahkan dirinya sendiri. Ia pun harus berhenti menyalahkan
Ibu. Ia harus mulai mencoba untuk mencintai dan menyayangi Aira sepenuh
hatinya. Walau Andre tahu bahwa ini sangatlah sulit. Dan Andre harus bisa
membiasakan dirinya tanpa kehadiran Anita. Andre pun bertekad untuk segera
meminta maaf kepada Ibunda tercinta esok paginya.
Ternyata pagi ini pun ia harus segera pergi ke kantornya, karena
ada meeting mendadak. Andre berjanji kepada dirinya sendiri, ia akan
menyempatkan waktu untuk menulis surat dan segera mengirimkan kepada Ibunda
tercinta.
Teruntuk, Ibuku tercinta …
Bu, maafkan Andre atas sikap Andre selama ini, Bu. Seharusnya Andre
tidak pernah menyalahkan Ibu dan menyalahkan siapapun atas kejadian itu. Karena
itu semua sudah menjadi takdir dari yang Maha Kuasa. Tapi Andre terlalu
mencintainya, Bu. Mungkin itulah mengapa Andre selalu menyalahkan Ibu. Selalu
berusaha menjauhi Aira, yang padahal ia sendiri tidak mengerti apapun! Andre
terlalu takut untuk menghadapi kenyataan ini, Bu. Andre terlalu terpukul dengan kejadian ini, Bu. Olehkarenanya Andre tidak bisa menerima kejadian dan
kenyataan yang pahit seperti ini.
Sekali lagi Andre minta maaf, Bu. Silahkan Ibu mau memberikan hukuman
apapun kepada Andre, itu semua akan Andre terima, Bu. Asal ibu mau memaafkan
ku.
Setelah melipatnya yang rapih, Andre meminta tolong kepada asisten
pribadinya untuk mengirmkan surat itu untuk Ibu.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar